PENDAHULUAN
Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang dapat menyerang orang di seluruh
dunia. Di negara – negara maju, kejadian epilepsi tahunan diperkirakan sekitar 50 – 100.000
penduduk dan prevalensinya diperkirakan sekitar 700 per 100.000 penduduk. Di negara
berkembang, jumlahnya diperkirakan lebih tinggi. Insiden epilepsi umumnya tinggi pada
kelompok usia kanak – kanak dan lanjut usia, cenderung lebih tinggi pada pria daripada wanita.
DEFINISI
Definisi Konseptual.
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan terus menerus untuk
menimbulkan bangkitan epileptik dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
sosial.definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bengkitan epileptik.
Definisi Operasional
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan salah satu kondisi/gejala
sebagai berikut:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak
waktu antar bangkitan pertana dan kedua lebih dari 24 jam;
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan bila terdapat 2
bangkitan tanpa provokasi atau bangkitan refleks; dan
3. Sudah ditegakan diagnosis sindrom epilepsi (oleh dokter yang kompeten)
Epilepsi dianggap dapat diatasu (resolved) pada individu dengan sindrom epilepsi
tergantung usia tetapi sudah melewati batas usia tertentu atau mereka yang tetap bebas
bangkitan selama 10 tahun terakhir, tanpa obat antiepilepsi (OAE) selama 5 tahun terakhir.
KLASIFIKASI
Klasifikasi Epilepsi yang baru adalah klasifikasi bertingkat, yang dirancang untuk
memenuhi klasifikasi epilepsi dalam lingkungan klinis yang berbeda. Tingkat klasifikasi akan
tergantung pada dokter yang membuat diagnosis. Jika memungkinkan, diagnosis pada ketiga
level harus dicari dengan etiologi epilepsi masing – masing.
1. Tipe bangkitan
Langkah awal kerangka klasifikasi epilepsi adalah menentukan tipe bangkitan.
2. Tipe epilepsi
Diasumsikan bahwa pasien sudah memiliki diagnosis epilepsi. Terdapat
kategori baru pada tipe epilepsi, yaitu gabungan epilepsi umum dan fokal di samping
epilepsi umum dan epilepsi fokal. Terdapat juga kategori “tidak diketahui”. Banyak
epilepsi terdiri dari beberapa tipe bangkitan. Untuk diagnosis epilepsi umum, biasanya
dutunjang dengan aktivitas epileptiform umum pada EEG. Pasien dengan epilepsi
umum dapat memiliki beberapa tipe bangkitan termasuk absans, mioklonik, atonik,
tonik, dan bangkitan tonik-klonik.
Diagnosis epilepsi umum dibuat atas dasar klinis, didukung oleh temuan khas
aktivitas epileptiform. Epilepsi fokal termasuk gangguan unifokal dan multifokal serta
bangkitan yang melibatkan satu hemisfer otak. EEG interiktal biasanya menunjukkan
adanya aktivitas epileptiform fokal, diagnosis dibuat berdasarkan klinis, didukung oleh
temuan EEG. Terdapat kelompok baru epilepsi gabungan umum dan fokal, karena
adanya pasien yang memiliki bangkitan umum dan fokal. Diagnosis dibuat atas dasar
klinis didukukng oleh temuan EEG. EEG interiktal dapat menunjukkan aktivitas
epileptiform umum dan fokal, tetapi aktivitas epileptiform tidak diperlukan untuk
diagnosis. Contoh di mana kedua tipe bengkitan terjadi adalah sindrom Dravet dan
sindrom Lennox-Gastaut.
Tipe epilepsi juga dapat menjadi akhir diagnosis jika dokter tidak dapat
membuat diagnosis Sindrom Epilepsi. Contoh: seorang anak atau orang dewasa dengan
epilepsi lobus temporal nonlesional yang memiliki epilepsi fokal tanpa etiologi yan
diketahui; seirang anak berusia 5 tahun yang mengalami bangkitan umum tonik-klonik
dan gelombang spike umum pada EEG yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam suatu
sindrom epilepsi yang diketahui tetapi memiliki diagnosis yang jelas dari epilepsi
umum; atau pada seorang wanita berusia 20 tahun dengan bangkitan fokal dengan
gangguan kesadaran, dan bangkitan absans dengan focal discharges dan generalized
spike wave pada rekaman EEG dan MRI normal, yang karena istilah “tidak diketahui”
digunakan untuk menunjukkan dimana pasien memiliki epilepsi tetapi dokter tidak
dapat menentukan tipe epilepsi fokal atau umum karena informasi yang tidak cukup
tersedia. Mungkin tidak ada akses pemeriksaan EEG, atau EEG yang kurang informatif
(hasil normal). Jika tipe bangkitan tidak diketahui.
3. Sindrome epilepsi
4. Etiologi
Saat pasien datang dengan serangan epilepsi pertama, dokter harus menentukan
etiologi epilepsi pasien seringkali investigasi pertama yang dilakukan melibatkan
neuroimagining (MRI). Ini dapat membantu untuk menentukan adanya etiologi
struktural. Enam kelompok etiologi merupakan struktura, genetik, infeksi, metabolik,
dan imun, serta kelompok yang tidak diketahui.
ETIOLOGI
Enam kelompok etiologi adalah struktural, genetik, infeksi, metabolik, dan imun serta
kelompok yang tidak diketahui. Epilepsi pasien dapat diklasifikasikan ke dalam lebih dari satu
kategori etiologi; etiologinya tidak bersifat hierarki dan mungkin tergantung pada keadaan
pasien.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari saksi mata mengenai hal hal terkati dibawah
ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca-bangkitan
1. Sebelum bangkitan/gejala prodromal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan perilaku, perasan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk,
menjadi sensitif, dan lain – lain.
2. Selama bangitan/iktal
a. Ada/tidaknya aura
b. Deskripsi bangkitan; deviasi mata,gerakan kepala,gerakan tubuh, vokalisasi,
automatisme, gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat dan
lain lain. Akan lebih baik jika saksi dapat menirukan gerakan atau memiliki
video saat pasien mengalami bangkitan.
- Apakah terdapat lebih dari satu tipe bangkitan?
- Apakah terdapat perubahan tipe dari bangkitan sebelumnya?
- Waktu terjadinya bangkitan: saat tidur, saat terjaga, bermain video game,
berkemih, atau sewaktu – waktu.
3. Pasca-bangkitan/post-ictal: bingaung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh
gelisah, hemiparesis pasca-bangkitan (paralisis Todd).
b. faktor pencetus: kelelahan, kurang tidurm hormonal, stres psikologis, alkohol.
c. faktor lain: usia awitan, durasi bangkitan frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antar bangkitan , awareness antar bangkitan.
d. Terapi dan respons terhadap OAE sebelumnya;
e. Penyakit yang diderita sekarang dan riwayat penyakit lain yang menjadi penyebab
serta komorbiditas
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat pre-natal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan neonatal/kejang
demam.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
a. trauma kepala,
b. tanta- tanda infeksi
c. kelaina kongenital
d. kencanduan alkohol atau napza
e. kelainan pada kulit (neurooculocutaneus), dan
f. tanda – tanda keganansan.
Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda – tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan
dengan bangkitan, seperti paralisis Todd, gangguan kesadaran pasca-iktal, afasia pasca-
iktal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. elektroensefalografi (EEG)
1. membantu menunjang diagnosis
2. membantu penentuan tipe bangkitan maupun sindrom epilepsi
3. membantu menentukan diagnosis
4. membantu penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE; dan
5. membantu menentukan penghentian OAE
b. Pencitraan otak untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak
1. CT scan kepala (kejang pertama usia dewasa)
2. MRI (minimal 1.5 tesla)
3. Positron Emission Computed Tomography Scan
4. Single Photon Emission Computed Tomography
5. Magnetic Resonance Spectroscopy
6. USG Doppler (pada neunatus)
c. pemeriksaan laboratorium
1. pemeriksaan hematologis (awal pengobatan, 2 bulan setelah pemberian OAE dan
diulang setiap tahun untuk monitor)
2. pemeriksaan kadar OAE dalam plasma
d. pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:
1. Pungsi lumbal
2. EKG
TERAPI OAE PADA EPILEPSI
Tujuan terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan pasien epilepsi dapat hidup
senormal mungkin dan tercapainya kualitas hidup optimal. Harapannya adalah “bebas
bangkitan, tanpa efek samping” OAE
Tidak ada satupun OAE yang ideal untuk semua pasien. Prinsip umum terapi
farmakologi :
2. Terapi OAE
1. dimulai dengan monoterapi sesuai jenis bangkitan dan sindrom epilepsi dengan
mempertimbangkan biaya.
2. go slow (peningkatan dosis bertahap mulai dosis terendah)
3. berikan OAE lini pertama yang lain jika timbul efek samping
4. apabila OAE dapat ditoleransi namun tidak efektif, harus dipertimbangkan lagi
penggantian OAE :
- apakah diagnosis epilepsi sudah benar
- kepatuhan pasien meminum OAE
- kesesuaian OAE dengan tipe bangkitan dan sindrom
- adanya kondisi yang mendasari
- adanya penggunaan alkohol dan obat – obat lainnya
5. OAE pertama diganti jika :
- OAE pertama tidak efektif walaupun sudah mencapai dosis maksimal
- Muncul efek samping atau alergi
6. Cara penggantian dan penambahan OAE:
- Jika OAE kedua sudah mencapai kadar terapi, turunkan dosis OAE pertama secara
bertahap
- Apabila terjadi bangkitan pada penurunan dosis OAE pertama, berikan kedua OAE di
dosis terakhir yang mampu mengontrol bangkitan
- OAE ketiga baru ditambahkan bila respon OAE kedua tidak optimal meskipun
pengguanaan kedua OAE pertama maksimal.
- Kombinasi OAE harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda
7. memperhatikan efek samping, profil farmakologis, dan interaksi farmakokinetik tiap OAE
8. Strategi untuk mencegah efek samping
- Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik pasien
- Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu pada sindrom
epilepsi dan karakteristik pasien.
Pemilihan OAE bersifat individual, berdasarkan atas jenis bangkitan, jenis sindrom
epilepsi, efek samping OAE yang mungkin terjadi, profil farmakologis, dan antara OAE.
1. bangkitan parisal
- LEVEL A
- LEVEL B
a. Dewasa : VPA
b. Anak :-
c. Usia Tua :-
- LEVEL C
- LEVEL D
- LEVEL A
a. Dewasa :-
b. Anak :-
- LEVEL B
a. Dewasa :-
b. Anak :-
- LEVEL C
- LEVEL D
- LEVEL B : -
- LEVEL C : LTG
- LEVEL D : -
Keterangan :
CBZ : Carbamazepin, CLB: Clobazam, CZP: Clonazepam, ESM: Ethosuximide, GBP: Gabapentin, LTG:
Lamotrigine, LEV: Levetiracetam, OXC: Oxcarbazepine, PHT: Phenytoin, PB: Phenobarbital, STM: Sulthiam,
TPM: Topiramate, VGB: Vigabatrin, VPA: Valproic, ZNS: Zonisamide.
Rekomendasi Penggunaan OAE Generasi Baru Monoterapi pada orang dewasa dengan epilepsi
onset baru :
↔ tidak ada perubahan, ↓penurunan kadar plasma minor (inkonsisten), ↑peningkatan kadar plasma
minor(inkonsisten), ▲peningkatan kadar plasma bermakna, ▼penurunan kadar plasma bermakna, *kadar obat
bebas(aktif secara farmakologis) dapat meningkat, **efekmetabolit aktif H-OXC tidak diketahui, ?= tidak
diketahui, atau mungkin terjadi interaksi.
TERAPI OAE PADA EPILEPSI ANAK
Prinsip Dasar
1. Definisi first unprovoked seizure pada anak adalah satu bangkitan atau beberaoa bangkitan
(muncul dalam 24 jam), pada pasien berusia lebih dari 1 bulan tanpa ada riwayat bangkitan
tanpa provokasi sebelumnya.
2. Risiko bangkitan berulang makin meningkat setelah first unprovoked seizure pada kondisi
berikut :
3. Secara umum, hindari memulai terapi pada anak dengan bangkitan yang hanya muncul sekali.
Mulai penghentian OAE pada anak yang telah bebas bangkitan 2 tahun atau lebih. Keputusan
memulai terapi harus melibatkan dokter dan keluarga pasien.
PENGHENTIAN OAE
Pada dewasa, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3-5 tahun
bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam hal
penghentian OAE maka ada dua hal pentng yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum untuk
menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE dihentikan.
3. Harus dilakukan secar bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-
6 bulan, dapat lebih lambat untuk pasien dengan politerapi dosis tinggi atau yang mendapat
berbiturat/benzodiazepine.
4. Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan meningkat pada keadaan sebagai berikut:
1. Usia tua
2. Epilepsi “simptomatik”
5. Jenis sindrom: epilepsi fokal kriptogenik/simptomatik, epilepsi mioklonik pada anak, dan
JME
7. Gangguan belajar.
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan
dosis OAE), kemudian di evaluasi kembali.
Pendahuluan
Pada pasien lanjut usia (lansia), diagnosis epilepsi lebih sulit karena bangkitan muncul tidak
khas. Karakteristik bangkitan berupa pandangan kosong atau gangguan kesadaran, bangkitan
saat tidurm sehingga pada awalnya sering tidak dicurigai sebagai epilepsi. Etiologi pada
epilepsi awitan lansia biasanya simptomatik, terdapat fokus epileptogenik pada EEG dan
pencitraan otak.
Pengobatan epilepsi pada lansia lebih rumit karena sering terdapat komorbiditas, komedikasi,
dan meningkatnya kejadian efek samping akibat OAE. Pilihan OAE pada lansia dengan
bangkitan fokal.
2. Karbamazepin (Level C)
Pemilihan obat anti epilepsi spektrum luas dapat dipertimbangkan pada epilepsi umum atau
tipe campuran. Lansia dengan epilepsi memiliki angka kematian 2-3 kali lebih tinggi daripada
populasi umum. Penatalaksanaan yang tepat memiliki prognosis yang baik dengan dosis OAE
yang lebih rendah.
KOMORBIDITAS EPILEPSI
Komorbiditas pada epilepsi merupakan gangguan atau penyakit lain yang dapat
mendahului, bersamaan atau mengikuti diagnosis epilepsi. Komorbiditas penting diperhatikan
karena akan memengaruhi preognosis, kualitas hidup, dan pemilihan OAE. Komorbiditas lebih
sering dijumpai pada perempuan serta pada rentang usia 40-60 tahun. Komorbiditas pada
epilepsi secara umum meliputi gangguan medis, psikiatrik serta kognitif.
Epilepsi dengan Gangguan Kardiovaskuler
1. Pemberian fenitoin untuk penatalaksanaan bangkitan epilepsi fase akut merupakan kontra
indikasi pada pasien gangguan jantung berat serta AV blok derajat 2 dan 3.
1. Gangguan densitas tulang erat katannya dengan penggunaan OAE jangka panjang terutama
OAE enzyme-inducer seperti fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital, usia tua, serta
menopause.
1. Benzodiazepine juga dapat memicu ensefalopati hepatikum, maka anya dapat digunakan
apabila benar – benar diperlukan dan dengan dosis lebih rendah.
2. setelah hemodialysis, kadar obat akan menurun, sehingga diperlukan penambahan dosis
3. Topiramat dan zonisamad tidak boleh digunakan pada pasien yang terdapat nefrolitiasis atau
kecenderungan terjadi nefrolitiasis
1. Beberapa OAE berkaitan dengan peningkatan berat badan, seperti karbamazepin, klobazam,
gabapentin, pregabalin dan valproate), sedangkan topiramat dan zonisamid menyebabkan
penurunan berat badan.
1. Gunakan obat anti epilepsi generasi baru yang tidak berinteraksi dengan antiplatelet dan
antikoagulan.
1. Valproate dan topiramat telah disetujui sebagai terapi preventif migren. Gabapentin,
karbamazepin, oxkarbazepin dan zonisamid juga dapat digunakan sebagai terapi preventif
migrain.
2. Faktor risiko untuk terjadi depresi yang diinduksi OAE adalah riwayat kerluarga dengan
gangguan mood, ansietas, alkoholik, epilepsi yang berat, titrasi terlalu cepat, dan politerapi.
3. sebelum memberikan obat anti depresan, perlu dipastikan apakah baru sajadilakukan
penghentian OAE yang mempunyai efek mood-stabilizing seperti karbamazepin, lamotrigine
atau valproate.
5. antidepresan golongan trisiklik tidak direkomendasikan sebagai obat lini pertama karena
kemungkinan drug interaction dan beberapa efek samping yang merugikan.
a. tahap 1 : monoterapi dengan obat golongan SSRI atau cognitive behavioral therapy.
b. tahap 2 : apabila tahap 1 tidak efektif, diberikan penggantian obat antidepresan dengan obat
lain yang direkomendasikan (golongan SSRI lain, venlafaxine, atau mirtazapine)
c. tahap 3 : apabila respons tidak komplet, diganti dengan golongan SSRI lain, antidepresan
trisiklik, venlafaxine, mirtazapine, atau golongan MAO.
Tahap 4 : apabila respons tidak komplet, diberikan terapi kombinasi antidepresan trisiklik
dengan SSRI atau antidepresan trisiklik dengan venlafaxine, atau antidepresan trisiklik
denganmirtazapine, atau venlafaxine dengan mirtazapine.
1. Terapi yang direkomendasikan untuk ansietas pada pasien adalah golongan SSRI seperti
paroxetine dan escitalopram.
1. Risiko psikosi pada epilepsi adalah keci dan bervariasi tergantung dari sindrom, derajat berat
dan frekuensi bangkitan epileptik.
2. Obat antipsikotik merupakann terapi utama, namun perlu dicatat bahwa antipsikotik
golongan lama mempunyai risiko besar untuk eksaserbasi bangkitan epileptik.
1. Pemberian OAE dapat menyebabkan beberapa gejala inti dari ADHD, seperti hiperaktifitas,
agresif, dan distractibility. Topiramat, fenobarbital, benzodiazepine, tiagabin, dan zonisamid
mempunyai efek negatif terhadap atensi
3. Terapi perilaku harus selalu merupakan pilihan pertama terutama untuk anak kurang dari 8
tahun
4. Bila bangkitan epileptik telah terkontrol, pemberian obat stimulan (metilfenidat) dapat
mengurangi gejala ADHD
1. Insiden epilepsi pada pasien dengan gangguan mental lebih tinggi dibandingkan pada
populasi umum.
2. Pasien dengan gangguan mental pada umumnya lebih rentan terhadap efek samping OAE.
Oleh karena itu sebisa mungkin diberikan OAE monoterapi.
3. OAE dengan efek sedasi atau berpotensi memengaruhi fungsi kognitif. Seperti
benzodiazepine, karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, pirimidon, dan topiramat sebaiknya
dihindari untuk penggunaan jangka panjang.
4. Sebaiknya diguakan OAE yang pengaruh ke fungsi kognitif ringan, seperti gabapentin,
levetiracetam, lamotrigine,oxkarbazepin, dan valproate.
1. Dibandingkan dengan populasi umum, pasien epilepsi lanjut usia berisiko lebih tinggi untuk
menderita penyakit Alzheimer, setidaknya 1 tahun setelah terdiagnosis epilepsi.
Epilepsi pada perempuan memperlihatkan hal yang unik terkait dengan interaksi antara hormon
endokrin dan mekanisme epilepsi. Kedua hal tersebut saling memengaruhi, dimana hormon
endokrin berpengaruh terhadap epilepsi, demikian pula sebaliknya.
Beberapa jenis bangkitan epilepsi terjadi pertama kali pada saat pubertas, sementara jenis
epilepsi yang lain membaik, dimana hal ini kemungkinan terkait dengan perubahan hormonal
yang terjadi saat pubertas.
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) pada masa pubertas harus memperhatikan efek OAE
terhadap ganggaun reproduksi, seperti gangguan menstruasi, sindroma polikistik ovarium,
gangguan fertilitas, dan gangguan seksualitas
Definisi epilepsi katamental adalah peningkatan bangkitan epilepsi dua kali lebih sering pada
saat perimenstral, dibanding rata – rata frekuensi bangkitan epilepsi harian. Catatan harian
tentang bangkitan epilepsi dan siklus menstruasi serta pengukuran suhu tubuh basal harian
dapat digunakan untuk diagnosis epilepsi katamenial.
Sampai saat ini belum ditemukan terapi yang spesifik, namun dapat membantu mengurangi
frekuensi bangkitan epilepsi :
1. Tambahkan OAE yang bekerja cepat seperti klobazam. Dosis klobazam 20-30mg/hari
diberikan 10 hari selama periode menstruasi
2. asetazolamid, dosis 250 – 500 mg per hari, diberikan 5-7 hari sebelum dan selama menstruasi
Tidak ada OAE yang dianggap pasti aman pada kehamilan. Malformasi kongenital
mayor meningkat 2-3 kali pada bayi dari ibu yang mendapatkan obat anti epilepsi monoterapi,
lebih tinggi lagi bila menggunakan asam valproat serta politerapi. Direkomendasikan
pemberian asam folat pada perempuan yang merencanakan kehamilan dan pada saat hamil
terutama pada trinester pertama dengan dosis 1-5mg per hari untuk mencegah defek neural
tube.
Pemberian asam folat perikonsepsional juga berhubungan positif dengan IQ anak yang
lahir dari perempuan menggunakan obat anti epilepsi. Beberapa obat anti epilepsi generasi
kedua dengan resiko teratogenitas yang relatif kecil adalah lamotrigin, oxcarbazepin, dan
topiramat.
Jenis OAE yang sedang digunakan jangan diganti bila tujuannya hanya untuk hanya
mengurangi risiko teratogenik
Pada pengguna asam valproat atau OAE politerapi dianjurkan untuk dilakukan
1. Semua OAE terpat pada air susu ibu (ASI) walaupun dalam proporsi yang berbeda – beda.
2. OAE yang relatif aman untuk menyusui adalah fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin.
OAE dengan profil keamanan sedang meliputi lamotrigin, okskarbazepin, levetiacetam,
topiramat, gabapentinm oregabaalin, vigabatrin, dan tiagabine. OAE dengan kemungkinan
berisiko saat menyusui adalah fenobarbital, primidion, benzodiazepine, etosuksimid,
zonisamid, dan felbamat.
1. terjadi peningkatan kekambuhan pad saat perimenopause akibat peningkatan rasio estradiol
terhadap progesterin, terutama pada awal perimenopause. Setelah menopause, ketika kadar
estradiol dan progesteron menjadi rendah dan stabil, pasien epilepsi melaporkan penurunan
bangkitan, terutama yang mengalami epilepsi katamenial.
3. pasien yang menggunakan terapi sulih hormon (hormon replacement therapy) kemungkinan
akan terjadi peningkatan frekuensi bangkitan.
BEDAH EPILEPSI
Pendahuluan
Bedah epilepsi dilakukan bila penyakit epilepsi sudah mengalami resistan terhadap obat.
Tujuan tindakan bedah epilepsi adalah tercapainya bebas bangkitan atau menurunkan frekuensi
dengan efek samping minimal. Hingga saat ini tindakan bedah epilepsi masih jarang dikerjakan
di Indonesia.
INDIKASI
Bedah epilepsi diindikasikan pada kasus epilepsi yang berpotensi akan membaik dengan
tindakan bedah (remediable), seperti :
1. Sklerosis hipokampus
KONTRA INDIKASI
2. Psikosis interiktal
3. IQ kurang dari 70
SELEKSI PASIEN
Evaluasi umum :
Evaluasi khusus :
Tim yang terlibat dalam bedah epilepsi adalah spesialis neurologi, spesialis bedah saraf,
spesialis radiologi, spesialis psikiatri, ahli psikologi, dan subspesialis neurofisiologi.
JENIS TINDAKAN OPERASI
1. Reseksi
2. Paliatif
a. Diskoneksi, yaitu memutus jaras penyebaran bangkitan, digunakan pada prosedur: korpus
kalosotomi (bangkitan drop attack), transeksi multiper sub pial (epilepsi Landau Kleffner)
b. Stimulasi : untuk menurunkan eksitabilitas otak (vagal nerve stimulation/VNS, deep brain
stimulation/DBS)
KOMPLIKASI
a. kebocoran LCS, infeksi, aseptik meningitis, DVT, emboli paru, pneumonia, hematom
intrakranial, gangguan metabolik.
b. pada pasien anak dan reseksi ekstra temporal sering terjadi:gangguan lapang pandang (13%),
hemianopia (2%), dan afasia (4%)
Komplikasi neuropsikologi dan psikiatri
a. Gangguan memori verbal pada reseksi sisi kiri sebesar 44% dan sisi kanan 20%
OUTPUT
Bebas bangkitan 57% terdapat pada reseksi daerah neokortikal, 70% pada reseksi temporal
anteromesial.
-kelas IV : 4 hari bangkitan dalam setahun sampai penurunan 50% hari bangkitan yang
biasanya terjadi, dengan/tanpa aura.
-kelas V : penurunan kurang dari 50% hari bangkitan yang biasanya terjadi sampai
peningkatan 100%, dengan/tanpa aura
-kelas VI : peningkatan lebih dari 100% hari bangkitan yang biasanya terjadi
dengan/tanpa aura