Anda di halaman 1dari 33

EPILEPSI

PENDAHULUAN

Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang dapat menyerang orang di seluruh
dunia. Di negara – negara maju, kejadian epilepsi tahunan diperkirakan sekitar 50 – 100.000
penduduk dan prevalensinya diperkirakan sekitar 700 per 100.000 penduduk. Di negara
berkembang, jumlahnya diperkirakan lebih tinggi. Insiden epilepsi umumnya tinggi pada
kelompok usia kanak – kanak dan lanjut usia, cenderung lebih tinggi pada pria daripada wanita.

Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (POKDI


Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013
selama 6 bulan. Didapatkan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801 kasus lama.
Rerata usia kasus baru adalah 25,06 ±16,9 tahun. Sedangkan rerata usia pada kasus lama adalah
29,2 ± 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali ke dokter spesialis saraf, 6,8%
berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat.

DEFINISI

Definisi Konseptual.

Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan terus menerus untuk
menimbulkan bangkitan epileptik dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
sosial.definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bengkitan epileptik.

Definisi Operasional

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan salah satu kondisi/gejala
sebagai berikut:

1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak
waktu antar bangkitan pertana dan kedua lebih dari 24 jam;
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan bila terdapat 2
bangkitan tanpa provokasi atau bangkitan refleks; dan
3. Sudah ditegakan diagnosis sindrom epilepsi (oleh dokter yang kompeten)
Epilepsi dianggap dapat diatasu (resolved) pada individu dengan sindrom epilepsi
tergantung usia tetapi sudah melewati batas usia tertentu atau mereka yang tetap bebas
bangkitan selama 10 tahun terakhir, tanpa obat antiepilepsi (OAE) selama 5 tahun terakhir.

KLASIFIKASI

Klasifikasi Epilepsi yang baru adalah klasifikasi bertingkat, yang dirancang untuk
memenuhi klasifikasi epilepsi dalam lingkungan klinis yang berbeda. Tingkat klasifikasi akan
tergantung pada dokter yang membuat diagnosis. Jika memungkinkan, diagnosis pada ketiga
level harus dicari dengan etiologi epilepsi masing – masing.

1. Tipe bangkitan
Langkah awal kerangka klasifikasi epilepsi adalah menentukan tipe bangkitan.
2. Tipe epilepsi
Diasumsikan bahwa pasien sudah memiliki diagnosis epilepsi. Terdapat
kategori baru pada tipe epilepsi, yaitu gabungan epilepsi umum dan fokal di samping
epilepsi umum dan epilepsi fokal. Terdapat juga kategori “tidak diketahui”. Banyak
epilepsi terdiri dari beberapa tipe bangkitan. Untuk diagnosis epilepsi umum, biasanya
dutunjang dengan aktivitas epileptiform umum pada EEG. Pasien dengan epilepsi
umum dapat memiliki beberapa tipe bangkitan termasuk absans, mioklonik, atonik,
tonik, dan bangkitan tonik-klonik.
Diagnosis epilepsi umum dibuat atas dasar klinis, didukung oleh temuan khas
aktivitas epileptiform. Epilepsi fokal termasuk gangguan unifokal dan multifokal serta
bangkitan yang melibatkan satu hemisfer otak. EEG interiktal biasanya menunjukkan
adanya aktivitas epileptiform fokal, diagnosis dibuat berdasarkan klinis, didukung oleh
temuan EEG. Terdapat kelompok baru epilepsi gabungan umum dan fokal, karena
adanya pasien yang memiliki bangkitan umum dan fokal. Diagnosis dibuat atas dasar
klinis didukukng oleh temuan EEG. EEG interiktal dapat menunjukkan aktivitas
epileptiform umum dan fokal, tetapi aktivitas epileptiform tidak diperlukan untuk
diagnosis. Contoh di mana kedua tipe bengkitan terjadi adalah sindrom Dravet dan
sindrom Lennox-Gastaut.
Tipe epilepsi juga dapat menjadi akhir diagnosis jika dokter tidak dapat
membuat diagnosis Sindrom Epilepsi. Contoh: seorang anak atau orang dewasa dengan
epilepsi lobus temporal nonlesional yang memiliki epilepsi fokal tanpa etiologi yan
diketahui; seirang anak berusia 5 tahun yang mengalami bangkitan umum tonik-klonik
dan gelombang spike umum pada EEG yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam suatu
sindrom epilepsi yang diketahui tetapi memiliki diagnosis yang jelas dari epilepsi
umum; atau pada seorang wanita berusia 20 tahun dengan bangkitan fokal dengan
gangguan kesadaran, dan bangkitan absans dengan focal discharges dan generalized
spike wave pada rekaman EEG dan MRI normal, yang karena istilah “tidak diketahui”
digunakan untuk menunjukkan dimana pasien memiliki epilepsi tetapi dokter tidak
dapat menentukan tipe epilepsi fokal atau umum karena informasi yang tidak cukup
tersedia. Mungkin tidak ada akses pemeriksaan EEG, atau EEG yang kurang informatif
(hasil normal). Jika tipe bangkitan tidak diketahui.
3. Sindrome epilepsi
4. Etiologi
Saat pasien datang dengan serangan epilepsi pertama, dokter harus menentukan
etiologi epilepsi pasien seringkali investigasi pertama yang dilakukan melibatkan
neuroimagining (MRI). Ini dapat membantu untuk menentukan adanya etiologi
struktural. Enam kelompok etiologi merupakan struktura, genetik, infeksi, metabolik,
dan imun, serta kelompok yang tidak diketahui.
ETIOLOGI

Enam kelompok etiologi adalah struktural, genetik, infeksi, metabolik, dan imun serta
kelompok yang tidak diketahui. Epilepsi pasien dapat diklasifikasikan ke dalam lebih dari satu
kategori etiologi; etiologinya tidak bersifat hierarki dan mungkin tergantung pada keadaan
pasien.

1. Struktural: etiologi struktural berdasarkan pada pemeriksaan pencitraan yang dikaitkan


dengan pemeriksaan elektroklinik. Etiologi struktural antara lain stroke, trauma,
infeksi; atau yang berkaitan dengan genetik seperti malformasi perkembangan kortikal.
Identifikasi lesi struktural memerlukan pemeriksaan MRI dengan meggunakan protokol
spesifik epilepsi.
2. Genetik: akibat mutasi genetik yang diketahui atau diduga dimana bangkitan
merupakan gejala utama dari gangguan tersebut. Contoh Childhood Absence Epilepsy
atau Juvenile Myoclonic Epilepsy.
3. Infeksi: akibat dari pasca-infeksi intrakranial, seperti neurosistiserkosis, tuberkulosis,
HIV, malaria serebral, pan-ensefalitis sklerosis subakut, toksoplasmosis serebral, dan
infeksi kongenital seperti virus Zika dan virus Sitomegalo. Infeksi ini kadang memiliki
korelasi struktural.
4. Metabolik: identifikasi penyebab metabolik sangat penting sehubungan dengan terapi
spesifik dan pencegahan gangguan intelektual.
5. Imun: gangguan imunitas disertai adanya peradangan SSP yang berhubungan dengan
reaksi autoimun; contoh: epilepsi pada multiple sklerosis.
6. Tidak diketahui: penyebab epilepsi belum diketahui. Diagnosis hanya berdasarkan usia
awitan, semiologi bangkitan dan pemeriksaan EEG.

DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang didukung oleh


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

1. Tentukan tipe bangkitan


2. Tentukan tipe epilepsi
3. Tentukan sindrom epilepsi
Dalam praktis klinis, langkah-langkah dalam penegakan diagnosis epilepsi adalah
sebagai berikut;

1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari saksi mata mengenai hal hal terkati dibawah
ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca-bangkitan
1. Sebelum bangkitan/gejala prodromal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan perilaku, perasan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk,
menjadi sensitif, dan lain – lain.
2. Selama bangitan/iktal
a. Ada/tidaknya aura
b. Deskripsi bangkitan; deviasi mata,gerakan kepala,gerakan tubuh, vokalisasi,
automatisme, gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat dan
lain lain. Akan lebih baik jika saksi dapat menirukan gerakan atau memiliki
video saat pasien mengalami bangkitan.
- Apakah terdapat lebih dari satu tipe bangkitan?
- Apakah terdapat perubahan tipe dari bangkitan sebelumnya?
- Waktu terjadinya bangkitan: saat tidur, saat terjaga, bermain video game,
berkemih, atau sewaktu – waktu.
3. Pasca-bangkitan/post-ictal: bingaung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh
gelisah, hemiparesis pasca-bangkitan (paralisis Todd).
b. faktor pencetus: kelelahan, kurang tidurm hormonal, stres psikologis, alkohol.
c. faktor lain: usia awitan, durasi bangkitan frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antar bangkitan , awareness antar bangkitan.
d. Terapi dan respons terhadap OAE sebelumnya;
e. Penyakit yang diderita sekarang dan riwayat penyakit lain yang menjadi penyebab
serta komorbiditas
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat pre-natal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan neonatal/kejang
demam.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
a. trauma kepala,
b. tanta- tanda infeksi
c. kelaina kongenital
d. kencanduan alkohol atau napza
e. kelainan pada kulit (neurooculocutaneus), dan
f. tanda – tanda keganansan.
Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda – tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan
dengan bangkitan, seperti paralisis Todd, gangguan kesadaran pasca-iktal, afasia pasca-
iktal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. elektroensefalografi (EEG)
1. membantu menunjang diagnosis
2. membantu penentuan tipe bangkitan maupun sindrom epilepsi
3. membantu menentukan diagnosis
4. membantu penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE; dan
5. membantu menentukan penghentian OAE
b. Pencitraan otak untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak
1. CT scan kepala (kejang pertama usia dewasa)
2. MRI (minimal 1.5 tesla)
3. Positron Emission Computed Tomography Scan
4. Single Photon Emission Computed Tomography
5. Magnetic Resonance Spectroscopy
6. USG Doppler (pada neunatus)
c. pemeriksaan laboratorium
1. pemeriksaan hematologis (awal pengobatan, 2 bulan setelah pemberian OAE dan
diulang setiap tahun untuk monitor)
2. pemeriksaan kadar OAE dalam plasma
d. pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:
1. Pungsi lumbal
2. EKG
TERAPI OAE PADA EPILEPSI

Tujuan terapi

Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan pasien epilepsi dapat hidup
senormal mungkin dan tercapainya kualitas hidup optimal. Harapannya adalah “bebas
bangkitan, tanpa efek samping” OAE

PRINSIP TERAPI FARMAKOLOGI

Tidak ada satupun OAE yang ideal untuk semua pasien. Prinsip umum terapi
farmakologi :

TERAPI OAE PADA EPILEPSI DEWASA

Memulai Terapi OAE

1. OAE diberikan bila :


 diagnosis epilepsi sudah dipastikan; dan
 pasien dan/atau keluarganya setuju dan sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan, potensi efek samping terapi, interaksi obat, kepatuhan, teratogenisitas, dan
mengemudi.

2. Terapi OAE

a. umumnya tidak diberikan pada bangkitan pertama tanpa provokasi


b. direkomendasikan bila kemungkinan kekambuhan tinggi:
- terbukti pada EEG
- ditemukan lesi yang berhubungan dengan bangkitan pada CT-scan atau MRI otak.
- ditemukan hasil yang mengarah pada kerusakan otak saat pemeriksaan neurologik
- terdapat riwayat epilepsi pada saudara kandung
- riwayat bangkitan simtomatik
- terdapat sindrom epilepsi dengan resiko kambuh yang tinggi seperti Juvenile Myoclonic
Epilepsy
- riwayat trauma kepala terutama dengan penurunan kesadaran,stroke,infeksi SSP
- bangkitan pertama berupa status epileptikus.

Cara Pemberian OAE

1. dimulai dengan monoterapi sesuai jenis bangkitan dan sindrom epilepsi dengan
mempertimbangkan biaya.
2. go slow (peningkatan dosis bertahap mulai dosis terendah)
3. berikan OAE lini pertama yang lain jika timbul efek samping
4. apabila OAE dapat ditoleransi namun tidak efektif, harus dipertimbangkan lagi
penggantian OAE :
- apakah diagnosis epilepsi sudah benar
- kepatuhan pasien meminum OAE
- kesesuaian OAE dengan tipe bangkitan dan sindrom
- adanya kondisi yang mendasari
- adanya penggunaan alkohol dan obat – obat lainnya
5. OAE pertama diganti jika :
- OAE pertama tidak efektif walaupun sudah mencapai dosis maksimal
- Muncul efek samping atau alergi
6. Cara penggantian dan penambahan OAE:
- Jika OAE kedua sudah mencapai kadar terapi, turunkan dosis OAE pertama secara
bertahap
- Apabila terjadi bangkitan pada penurunan dosis OAE pertama, berikan kedua OAE di
dosis terakhir yang mampu mengontrol bangkitan
- OAE ketiga baru ditambahkan bila respon OAE kedua tidak optimal meskipun
pengguanaan kedua OAE pertama maksimal.
- Kombinasi OAE harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda
7. memperhatikan efek samping, profil farmakologis, dan interaksi farmakokinetik tiap OAE
8. Strategi untuk mencegah efek samping
- Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik pasien
- Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu pada sindrom
epilepsi dan karakteristik pasien.

Pemeriksaan Kadar Obat Dalam Plasma

1. Permeriksaan kadar obat dalam plasma dilakukan bila:

a. bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif


b. diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh kehamilan, penyakit hati,
penyakit ginjal, gangguan absorbsu OAE)
c. diduga pasien tidak patuh pada pengobatan
d. bila dicurigai ada toksisitas obat, terutama pada pasien yang mendapat politerapi
e. setelah penggantian dosis/regimen OAE; dan
f. untuk melihat interaksi antar OAE atau obat lain.

Jenis Obat Anti Epilepsi dan Mekanisme Kerjanya

Pemilihan OAE bersifat individual, berdasarkan atas jenis bangkitan, jenis sindrom
epilepsi, efek samping OAE yang mungkin terjadi, profil farmakologis, dan antara OAE.

Pilihan OAE berdasar tipe bangkitan

1. bangkitan parisal

- LEVEL A

a. Dewasa : CBZ, LEV, PHT, ZNS


b. Anak : OXC
c. c. Usia tua : GBP, LTG

- LEVEL B

a. Dewasa : VPA
b. Anak :-
c. Usia Tua :-

- LEVEL C

a. Dewasa : GBP, LTG, OXC, PB, TPM, VGB


b. Anak : CBZ, PB, PHT, TPM, VPA, VGB
c. Usia Tua : CBZ

- LEVEL D

a. Dewasa : CZP, PRM


b. Anak : CLB, CZP, LTG, ZNS
c. Usia Tua : TPM, VPA

2. bangkitan umum tonik – klonik

- LEVEL A

a. Dewasa :-
b. Anak :-

- LEVEL B

a. Dewasa :-
b. Anak :-

- LEVEL C

a. Dewasa : CBZ, LTG, OXC, PB, PHT, TPM, VPA


b. Anak : CBZ, PB, PHT, TPM, VPA

- LEVEL D

a. Dewasa : GBP, LEV, VGB


b. Anak : OXC
3. bangkitan lena/absan pada anak

- LEVEL A : ESM, VPA

- LEVEL B : -

- LEVEL C : LTG

- LEVEL D : -

Keterangan :

CBZ : Carbamazepin, CLB: Clobazam, CZP: Clonazepam, ESM: Ethosuximide, GBP: Gabapentin, LTG:
Lamotrigine, LEV: Levetiracetam, OXC: Oxcarbazepine, PHT: Phenytoin, PB: Phenobarbital, STM: Sulthiam,
TPM: Topiramate, VGB: Vigabatrin, VPA: Valproic, ZNS: Zonisamide.

Rekomendasi Penggunaan OAE Generasi Baru Monoterapi pada orang dewasa dengan epilepsi
onset baru :

 Level B : Penggunaan LTG harus dipertimbangkan untuk mengurangi frekuensi


bangkitan
 Level B&C : Penggunaan LTG harus dipertimbangkan (Level B) dan penggunaan
GBP dapat dipertimbangan (Level C) untuk mengurangi frekuensi bangkitan pada
pasien berusia ≥60 tahun
 Level C : Penggunaan LEV dapat dianggap mengurangi frekuensi bangkitan
 Level C : Penggunaan ZNS dapat dianggap mengurangi frekuensi bangkitan
 Level C : Penggunaan VGB dapat tampaknya kurang efektif dibandingkan
penggunaan Carbamazepin (CBZ) immediate-release dan mungkin tidak dianjurkan;
lebih lanjut, profil toksisitas menghalangi penggunaan VGB sebagai terapi lini pertama.
 Level C : Penggunaan PGB 150 mg/hari mungkin kurang efektif dibandingkan
penggunaan LTG 100 mg/hari
 Level U : Bukti tidak cukup untuk mempertimbangkan GBP,OXC, atau TPM.
 Level U : Bukti tidak cukup untuk mempertimbangkan TPM sebagai ganti
fenitoin dalam pengobatan segera epilepsi onset baru atau berulang, bangkitan motorik
tonik-klonik yang tidak terklasifikasi, atau epilepsi umum motorik tonik-klonik.
 Level U : Data kurang mendukung penggunaan AED generasi ketiga, CLB, FBM,
atau VGB dalam mengobati epilepsi onset baru.
 Level U : Data kurang untuk mendukung penggunaan AED baru dalam
mengobati bangkitan motorik tonik klonik tidak terklasifikasi.
CBZ = carbamazepine; CBZ-E = carbamazepine-10,11-epoxide (metabolit aktif CBZ); CLB = clobazam; CZP =
clonazepam; DMCLB = N-desmethylclobazam (metabolit aktif CLB); ESLa = eslicarbazepine acetate; ESL =
eslicarbazepine (metabolit aktiv ESLa); ESM = ethosuximide; FBM felbamate; GBP = gabapentin; H-OXC = 10-
hydroxy-oxcarbazepine (metabolit aktiv OXC); LCM = lacosamide; LEV = levetiracetam; LTG = lamotrigine;
OXC = oxcarbazepine; PB = phenobarbital; PHT = phenytoin; PGB = pregabalin; PRM = primidone; RFN =
rufinamide; STP = stiripentol; TGB = tiagabnie; TPM = topiramate; VPA = valproic acid; VGB = vigabatrin;
ZNS = zonisamide. AI = autoinduction; NA=none anticipated; NCCP = not commonly co-prescribed.

↔ tidak ada perubahan, ↓penurunan kadar plasma minor (inkonsisten), ↑peningkatan kadar plasma
minor(inkonsisten), ▲peningkatan kadar plasma bermakna, ▼penurunan kadar plasma bermakna, *kadar obat
bebas(aktif secara farmakologis) dapat meningkat, **efekmetabolit aktif H-OXC tidak diketahui, ?= tidak
diketahui, atau mungkin terjadi interaksi.
TERAPI OAE PADA EPILEPSI ANAK

Prinsip Dasar

1. Definisi first unprovoked seizure pada anak adalah satu bangkitan atau beberaoa bangkitan
(muncul dalam 24 jam), pada pasien berusia lebih dari 1 bulan tanpa ada riwayat bangkitan
tanpa provokasi sebelumnya.

2. Risiko bangkitan berulang makin meningkat setelah first unprovoked seizure pada kondisi
berikut :

a. Etiologi : remote symptomatic


b. EEG : EEG abnormal, terutama gelombang epileptiform
c. Tidur : bangkitan terjadi saat tidur
d. Klasifikasi bangkitan : fokal
e. Riwayat Keluarga : riwayat keluarga epilepsi +

3. Secara umum, hindari memulai terapi pada anak dengan bangkitan yang hanya muncul sekali.
Mulai penghentian OAE pada anak yang telah bebas bangkitan 2 tahun atau lebih. Keputusan
memulai terapi harus melibatkan dokter dan keluarga pasien.
PENGHENTIAN OAE
Pada dewasa, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3-5 tahun
bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam hal
penghentian OAE maka ada dua hal pentng yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum untuk
menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE dihentikan.

Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut :

1. Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal

2. Penghentian OAE disetujui oleh pasien atau keluarganya

3. Harus dilakukan secar bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-
6 bulan, dapat lebih lambat untuk pasien dengan politerapi dosis tinggi atau yang mendapat
berbiturat/benzodiazepine.

4. Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan meningkat pada keadaan sebagai berikut:

1. Usia tua

2. Epilepsi “simptomatik”

3. Gambaran EEF yang abnormal

4. Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE

5. Jenis sindrom: epilepsi fokal kriptogenik/simptomatik, epilepsi mioklonik pada anak, dan
JME

6. Penggunaan lebih dari satu OAE

7. Gangguan belajar.

Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan
dosis OAE), kemudian di evaluasi kembali.

EPILEPSI PADA LANJUT USIA

Pendahuluan

Pada pasien lanjut usia (lansia), diagnosis epilepsi lebih sulit karena bangkitan muncul tidak
khas. Karakteristik bangkitan berupa pandangan kosong atau gangguan kesadaran, bangkitan
saat tidurm sehingga pada awalnya sering tidak dicurigai sebagai epilepsi. Etiologi pada
epilepsi awitan lansia biasanya simptomatik, terdapat fokus epileptogenik pada EEG dan
pencitraan otak.

PENATALAKSANAAN EPILEPSI PADA LANSIA

Pengobatan epilepsi pada lansia lebih rumit karena sering terdapat komorbiditas, komedikasi,
dan meningkatnya kejadian efek samping akibat OAE. Pilihan OAE pada lansia dengan
bangkitan fokal.

1. Gabapentin, Lamotrigin (Level A)

2. Karbamazepin (Level C)

3 Topiramat, Valproat (Level D)

Pemilihan obat anti epilepsi spektrum luas dapat dipertimbangkan pada epilepsi umum atau
tipe campuran. Lansia dengan epilepsi memiliki angka kematian 2-3 kali lebih tinggi daripada
populasi umum. Penatalaksanaan yang tepat memiliki prognosis yang baik dengan dosis OAE
yang lebih rendah.

KOMORBIDITAS EPILEPSI

Komorbiditas pada epilepsi merupakan gangguan atau penyakit lain yang dapat
mendahului, bersamaan atau mengikuti diagnosis epilepsi. Komorbiditas penting diperhatikan
karena akan memengaruhi preognosis, kualitas hidup, dan pemilihan OAE. Komorbiditas lebih
sering dijumpai pada perempuan serta pada rentang usia 40-60 tahun. Komorbiditas pada
epilepsi secara umum meliputi gangguan medis, psikiatrik serta kognitif.
Epilepsi dengan Gangguan Kardiovaskuler

1. Pemberian fenitoin untuk penatalaksanaan bangkitan epilepsi fase akut merupakan kontra
indikasi pada pasien gangguan jantung berat serta AV blok derajat 2 dan 3.

2. benzodiazepin dapat digunakan dengan monitoring fungsi respirasi.

Epilepsi dengan Gangguan Muskuloskeletal

1. Gangguan densitas tulang erat katannya dengan penggunaan OAE jangka panjang terutama
OAE enzyme-inducer seperti fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital, usia tua, serta
menopause.

Epilepsi dengan Gangguan Traktus Respiratorik

1. Penggunaan OAE golongan barbiturate dan benzodiazepine harus dihindari karena


berpotensi menginduksi depresi napas. Pada anak – anak, benzodiazepine juga berpotensi
meningkatkan sekresi bronchial.

2. OAE enzyme-inducer mengurangi konsentrasi teofilin, sebaliknya teofilin menurunkan


kadar karbamazepin dan fenitoin

Epilepsi dengan Gangguan Hepar

1. Benzodiazepine juga dapat memicu ensefalopati hepatikum, maka anya dapat digunakan
apabila benar – benar diperlukan dan dengan dosis lebih rendah.

2. diperlukan kewaspadaan pada penggunaan fenitoin karena berpotensi menimbulkan


intoksikasi akibat peningkatan fraksi bebas fenitoin.

Epilepsi dengan Gangguan Renal

1. Levetiracetam (tidak direkomendasikan)

2. setelah hemodialysis, kadar obat akan menurun, sehingga diperlukan penambahan dosis

3. Topiramat dan zonisamad tidak boleh digunakan pada pasien yang terdapat nefrolitiasis atau
kecenderungan terjadi nefrolitiasis

Epilepsi dengan Gangguan Tiroid


1. OAE enzyme-inducer dapat menurunkan kadar tiroksi total dan bebas. Valproate dapat
meningkatkan hormone tiroksin (TSH), namun reversibel. Oxkarbazepin dan topiramat dapat
menurunkan hormone tiroid.

2. Penggunaan non-enzyme-inducer lebih aman pada pasien gangguan tiroid

Epilepsi dengan Obesitas

1. Beberapa OAE berkaitan dengan peningkatan berat badan, seperti karbamazepin, klobazam,
gabapentin, pregabalin dan valproate), sedangkan topiramat dan zonisamid menyebabkan
penurunan berat badan.

Epilepsi denga Infeksi

1. Pemberian OAE enzyme-inducer pada pasien neurosistisikosis dapat menyebabkan


pengurangan konsentrasi prazikuantel dan albendazol sebanyak 50%

2. Pada kasus tuberculosis, penggunaan isoniazid menghambat metabolism karbamazepin,


fenitoin, dan valproate, sehingga dapat menyebabkan toksisitas. Sebaliknya rifampicin
mengurangi konsentrasi plasma karbamazepin, fenitoin, valproate, lamotrigine, dan
fenobarbital.
3. Pada kasus HIV, yang mengonsumsi obat antiretroviral, OAE yang paling tepat adalah
levetiracetam, pregabalin, dan topiramat.

Epilepsi dengan Stroke

1. Gunakan obat anti epilepsi generasi baru yang tidak berinteraksi dengan antiplatelet dan
antikoagulan.

Epilepsi dengan Migren

1. Valproate dan topiramat telah disetujui sebagai terapi preventif migren. Gabapentin,
karbamazepin, oxkarbazepin dan zonisamid juga dapat digunakan sebagai terapi preventif
migrain.

Epilepsi dengan Depresi dan Gangguan Mood

1. Beberapa OAE, yaitu fenobarbital, topiramat, vigabatrin, tiagabin, gabapentin, levetiracetam,


dan zonisamid mempunyai efek negative terhadap mood.

2. Faktor risiko untuk terjadi depresi yang diinduksi OAE adalah riwayat kerluarga dengan
gangguan mood, ansietas, alkoholik, epilepsi yang berat, titrasi terlalu cepat, dan politerapi.

3. sebelum memberikan obat anti depresan, perlu dipastikan apakah baru sajadilakukan
penghentian OAE yang mempunyai efek mood-stabilizing seperti karbamazepin, lamotrigine
atau valproate.

4. SSRI merupakan pilihan untuk pasien yang mengalami depresi.

5. antidepresan golongan trisiklik tidak direkomendasikan sebagai obat lini pertama karena
kemungkinan drug interaction dan beberapa efek samping yang merugikan.

6. rekomendasi penatalaksanaan depresi pada epilepsi :

a. tahap 1 : monoterapi dengan obat golongan SSRI atau cognitive behavioral therapy.

b. tahap 2 : apabila tahap 1 tidak efektif, diberikan penggantian obat antidepresan dengan obat
lain yang direkomendasikan (golongan SSRI lain, venlafaxine, atau mirtazapine)

c. tahap 3 : apabila respons tidak komplet, diganti dengan golongan SSRI lain, antidepresan
trisiklik, venlafaxine, mirtazapine, atau golongan MAO.
Tahap 4 : apabila respons tidak komplet, diberikan terapi kombinasi antidepresan trisiklik
dengan SSRI atau antidepresan trisiklik dengan venlafaxine, atau antidepresan trisiklik
denganmirtazapine, atau venlafaxine dengan mirtazapine.

Epilepsi dengan Ansietas

1. Terapi yang direkomendasikan untuk ansietas pada pasien adalah golongan SSRI seperti
paroxetine dan escitalopram.

2. Terapi nonfarmakologik juga dapat digunakan, seperti konseling keluarga, psikoterapi


suportif, terapi dalam kelompok, dan cognitive behavioral therapy.

Epilepsi dengan Psikosis

1. Risiko psikosi pada epilepsi adalah keci dan bervariasi tergantung dari sindrom, derajat berat
dan frekuensi bangkitan epileptik.

2. Obat antipsikotik merupakann terapi utama, namun perlu dicatat bahwa antipsikotik
golongan lama mempunyai risiko besar untuk eksaserbasi bangkitan epileptik.

Epilepsi dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)

1. Pemberian OAE dapat menyebabkan beberapa gejala inti dari ADHD, seperti hiperaktifitas,
agresif, dan distractibility. Topiramat, fenobarbital, benzodiazepine, tiagabin, dan zonisamid
mempunyai efek negatif terhadap atensi

2. ADHD dapat mendahului terjadinya bangkitan epileptik

3. Terapi perilaku harus selalu merupakan pilihan pertama terutama untuk anak kurang dari 8
tahun
4. Bila bangkitan epileptik telah terkontrol, pemberian obat stimulan (metilfenidat) dapat
mengurangi gejala ADHD

Epilepsi dengan Gangguan Mental

1. Insiden epilepsi pada pasien dengan gangguan mental lebih tinggi dibandingkan pada
populasi umum.

2. Pasien dengan gangguan mental pada umumnya lebih rentan terhadap efek samping OAE.
Oleh karena itu sebisa mungkin diberikan OAE monoterapi.

3. OAE dengan efek sedasi atau berpotensi memengaruhi fungsi kognitif. Seperti
benzodiazepine, karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, pirimidon, dan topiramat sebaiknya
dihindari untuk penggunaan jangka panjang.

4. Sebaiknya diguakan OAE yang pengaruh ke fungsi kognitif ringan, seperti gabapentin,
levetiracetam, lamotrigine,oxkarbazepin, dan valproate.

5. pasien yang mengalami gangguan behavior berat, sebaiknya menghindari penggunaan


levetiracetam, topiramat, dan zonisamid

Epilepsi dengan Demensia

1. Dibandingkan dengan populasi umum, pasien epilepsi lanjut usia berisiko lebih tinggi untuk
menderita penyakit Alzheimer, setidaknya 1 tahun setelah terdiagnosis epilepsi.

2. beberapa obat demensia yang dapat menyebabkan bangkitan epileptik.

EPILEPSI PADA PEREMPUAN

Epilepsi pada perempuan memperlihatkan hal yang unik terkait dengan interaksi antara hormon
endokrin dan mekanisme epilepsi. Kedua hal tersebut saling memengaruhi, dimana hormon
endokrin berpengaruh terhadap epilepsi, demikian pula sebaliknya.

Berdasarkan perubahan fisiologik yang terjadi pada perempuan :

1. Epilepsi pada pubertas

Beberapa jenis bangkitan epilepsi terjadi pertama kali pada saat pubertas, sementara jenis
epilepsi yang lain membaik, dimana hal ini kemungkinan terkait dengan perubahan hormonal
yang terjadi saat pubertas.
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) pada masa pubertas harus memperhatikan efek OAE
terhadap ganggaun reproduksi, seperti gangguan menstruasi, sindroma polikistik ovarium,
gangguan fertilitas, dan gangguan seksualitas

2. Epilepsi pada Menstruasi (Epilepsi Katamenial)

Definisi epilepsi katamental adalah peningkatan bangkitan epilepsi dua kali lebih sering pada
saat perimenstral, dibanding rata – rata frekuensi bangkitan epilepsi harian. Catatan harian
tentang bangkitan epilepsi dan siklus menstruasi serta pengukuran suhu tubuh basal harian
dapat digunakan untuk diagnosis epilepsi katamenial.

Sampai saat ini belum ditemukan terapi yang spesifik, namun dapat membantu mengurangi
frekuensi bangkitan epilepsi :

1. Tambahkan OAE yang bekerja cepat seperti klobazam. Dosis klobazam 20-30mg/hari
diberikan 10 hari selama periode menstruasi

2. asetazolamid, dosis 250 – 500 mg per hari, diberikan 5-7 hari sebelum dan selama menstruasi

3. terapi hormon menggunakan progesterone, metabolit progesteron dan antagonis estrogen.

3. Epilepsi pada Kehamilan

Kehamilan berkaitan dengan peningkatan kadar estrogen dan progesteron yang


bermakna serta perubahan metabolisme hormon dan obat anti epilepsi. Kedua hal tersebut akan
memengaruhi frekuensi bangkitan. Epilepsi pada kehamilan dapat menyebabkan komplikasi
maternal dan fetal/neonatal. Komplikasi maternal yang dapat terjadi, yaitu perdarahan
pervaginam, aborsi spontan, preeklampsia, persalinan lama, bangkitan berulang(hipoksia),
status epileptikus, bangkitan saat persalinan, hipertensi kehamilan, persalinan preterm, dan
sudden unexplained death in epilepsy (SUDEP). Komplikasi pada fetal/neonatal yang bisa
terjadi adalah keguguran (2 kali lebih sering dari normal), kelainan kongenital (2-3 kali lebih
sering dari normal), hipoksia, berat badan lahir rendah, kelairan prematur, IQ rendah, dan
perilaku abnormal.

Tidak ada OAE yang dianggap pasti aman pada kehamilan. Malformasi kongenital
mayor meningkat 2-3 kali pada bayi dari ibu yang mendapatkan obat anti epilepsi monoterapi,
lebih tinggi lagi bila menggunakan asam valproat serta politerapi. Direkomendasikan
pemberian asam folat pada perempuan yang merencanakan kehamilan dan pada saat hamil
terutama pada trinester pertama dengan dosis 1-5mg per hari untuk mencegah defek neural
tube.

Pemberian asam folat perikonsepsional juga berhubungan positif dengan IQ anak yang
lahir dari perempuan menggunakan obat anti epilepsi. Beberapa obat anti epilepsi generasi
kedua dengan resiko teratogenitas yang relatif kecil adalah lamotrigin, oxcarbazepin, dan
topiramat.

- Tatalaksana Sebelum Kehamilan


 Penyuluhan terhadap setiap perempuan yang menggunakan OAE( keuntungan dan
risiko terhadap kehamilan dan janin)
 Pemberian OAE dosis optimal sebelum konsepsi (bila perlu periksa kadar obat dalam
darah sebagai basis pengukuran)
 Bila memungkinkan pinda ke OAE yang kurang teratogenik, dosis efektif tercapai
minimal ≥ 6 bulan sebelum konsepsi
 Hindari penggunaan OAE politerapi
 Apabila memungkinkan, hindari penggunaan asam valproat. Apabila terpaksa
digunakan, berikan dosis terkecil (<750mg) dan gunakan bentuk lepas lambat.

- Tatalaksana Saat Hamil

 Bila mengalami bebas bangkitan minimal 9 bulan sebelum kehamilan, kemungkinan


besar (84-92%) akan tetap bebas bangkitan selama kehamilannya

 Jenis OAE yang sedang digunakan jangan diganti bila tujuannya hanya untuk hanya
mengurangi risiko teratogenik

 Pada pengguna asam valproat atau OAE politerapi dianjurkan untuk dilakukan

a. pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein serum dan asetilkolinesterase dalam cairan


amnion (pada minggu 14-16 kehamilan)
b. pemeriksaan ultrasonografi (pada minggu 16-20 kehamilan)
 apabila terdapat abnormalitas pada pemeriksaan diatas, merupakan bahan
pertimbangan untuk tidak meneruskan kehamilan
 Kadar OAE diperiksa awal trimester dan pada bulan terakhir kehamilan.
 Dosis OAE dapat dinaikkan apabila kadar OAE turun dibawah kadar OAE sebelum
kehamilan atau sesuai kebutuhan klinik
- Persalinan pada Penyandang Epilepsi
 Sebaiknya dilakukan diklinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk perawatan intensif
untuk ibu dan neonatus
 Persalinan dapat dilakukan secara normal per-vaginam dengan persalinan tanpa nyeri
dengan epidural analgesia
 Selama persalinan, OAE harus tetap diberikan
 Kejang saat persalinan dihentikan dengan menggunakan diazepam 10mg i.v, atau
fenitoin 15-20 mg/kg bolus iv diikuti dosis rumatan
 Vitamin K 1 mg intramuskular diberikan pada neonatus saat dilahirkan oleh ibu yang
menggunakan OAE penginduksi – enzim untuk mengurangi risiko terjadinya
perdarahan.

- Tatalaksana Setelah Persalinan


 Bila dosis OAE dinaikkan selama kehamilan, maka turunkan kembali secara bertahap
sampai ke dosis sebelum kehamilan untuk menghindari toksisitas. Kadar OAE perlu
dipantau sampai minggu ke 8 pasca persalinan
 Perlu diberikan penyuluhan kemungkinan kekambuhan bangkitan akibat kurang tidur
dan kelelahan karena merawat bayi, sehingga diperlukan pendampingan
 Merawat bayi sebaiknya dilakukan di lantai untuk menghindari bayi terjatuh saat ibu
mengalami kekambuhan.

4. Epilepsi Pada Menyusui

1. Semua OAE terpat pada air susu ibu (ASI) walaupun dalam proporsi yang berbeda – beda.

2. OAE yang relatif aman untuk menyusui adalah fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin.
OAE dengan profil keamanan sedang meliputi lamotrigin, okskarbazepin, levetiacetam,
topiramat, gabapentinm oregabaalin, vigabatrin, dan tiagabine. OAE dengan kemungkinan
berisiko saat menyusui adalah fenobarbital, primidion, benzodiazepine, etosuksimid,
zonisamid, dan felbamat.

5. Penggunaan Kontrasepsi pada Epilepsi

1. Dianjurkan menggunakan kontrasepsi non-hormonal


2. Penggunaan suntukan (Depo Provera) dilaporkan dapat mengurangi bangkitan terutama
pada perempuan dengan bangkitan katamenial. Pemberian suntikan ini dianjurkan untuk
diulangi setiap 10 minggu dari yang biasanya setiap 12 minggu.

6. Epilepsi Pada Menopause

1. terjadi peningkatan kekambuhan pad saat perimenopause akibat peningkatan rasio estradiol
terhadap progesterin, terutama pada awal perimenopause. Setelah menopause, ketika kadar
estradiol dan progesteron menjadi rendah dan stabil, pasien epilepsi melaporkan penurunan
bangkitan, terutama yang mengalami epilepsi katamenial.

2. dianjurkan menggunakan OAE non induksi enzim (zonisamid, lamotrigin, gabapentin,


levetiracetam, dan pregabalin) karena tidak memengaruhi metabolisme kalsium dan tidak
menekan produksi bentuk vitamin D aktif yang akan meningkatkan risiko gangguan pada
tulang seperti osteoporosis, osteopeni, osteomalasia, dan fraktur.

3. pasien yang menggunakan terapi sulih hormon (hormon replacement therapy) kemungkinan
akan terjadi peningkatan frekuensi bangkitan.

BEDAH EPILEPSI

Pendahuluan

Bedah epilepsi dilakukan bila penyakit epilepsi sudah mengalami resistan terhadap obat.
Tujuan tindakan bedah epilepsi adalah tercapainya bebas bangkitan atau menurunkan frekuensi
dengan efek samping minimal. Hingga saat ini tindakan bedah epilepsi masih jarang dikerjakan
di Indonesia.

INDIKASI

Bedah epilepsi diindikasikan pada kasus epilepsi yang berpotensi akan membaik dengan
tindakan bedah (remediable), seperti :

1. Sklerosis hipokampus

2. Ganglioglioma, dysembrioplastic neuroepithelial tumor (DNET), cavernous angioma,


displasia kortek

3. Ensefalitis Rasmussen, hemimegalensegali, Sturge weber

4. Sindrom Lenox Gestaut

KONTRA INDIKASI

Kontra indikasi absolut :

1. Latar belakang penyakit degeneratif dan gangguan metabolik.

2. Kelainan neurologi progresif dan

3. Sindrom epilepsi benigna

Kontra indikasi relatif :

1. Tidak patuh minum OAE

2. Psikosis interiktal

3. IQ kurang dari 70

4. Zona epileptogenik bilateral atau diffus

SELEKSI PASIEN

Evaluasi umum :

1. Tentukan zona epileptogenik


2. Jelaskan tentang tujuan operasi

3. Tentukan jenis tindakan operasi

4. Jelaskan hasil akhir yang akan dicapai

5. Jelaskan konsekuensi operasi

Evaluasi khusus :

1. Tentukan ada/tidak lesi intra kranial; dan

2. tentukan keadaan klinik dan tumbuh kembang penyandang.

Tim yang terlibat dalam bedah epilepsi adalah spesialis neurologi, spesialis bedah saraf,
spesialis radiologi, spesialis psikiatri, ahli psikologi, dan subspesialis neurofisiologi.
JENIS TINDAKAN OPERASI

1. Reseksi

a. Mengangkat fokus epileptik fokal: lobektomi temporal anterior atau amigdala


hipokampektomi selektif (epilepsi lobus temporal)

b. Mengangkat jaringan luas: hemisferektomi (sindrom Rassmusen, sindrom Sturge weber)

2. Paliatif

a. Diskoneksi, yaitu memutus jaras penyebaran bangkitan, digunakan pada prosedur: korpus
kalosotomi (bangkitan drop attack), transeksi multiper sub pial (epilepsi Landau Kleffner)

b. Stimulasi : untuk menurunkan eksitabilitas otak (vagal nerve stimulation/VNS, deep brain
stimulation/DBS)

KOMPLIKASI

Komplikasi medis dan neurologi

1. Minor (gejala menghilang dalam 3 bulan) :

a. kebocoran LCS, infeksi, aseptik meningitis, DVT, emboli paru, pneumonia, hematom
intrakranial, gangguan metabolik.

2. Mayor (gejala menghilang lebih dari 3 bulan)

a. hidrosefalus, abses intra kranial

b. pada pasien anak dan reseksi ekstra temporal sering terjadi:gangguan lapang pandang (13%),
hemianopia (2%), dan afasia (4%)
Komplikasi neuropsikologi dan psikiatri

1.Lobektomi Temporal anterior

a. Gangguan memori verbal pada reseksi sisi kiri sebesar 44% dan sisi kanan 20%

b. Gangguan memori visuospasial (20%)

c. Gangguan penamaan (34%) pada sisi kiri

d. Fluensi verbal dapat meningkat (27%)

2. Gangguan distimik interiktal (18%), psikosis (1%)

OUTPUT

Bebas bangkitan 57% terdapat pada reseksi daerah neokortikal, 70% pada reseksi temporal
anteromesial.

Luaran pos operasi epilepsi berdasar klasifikasi ILAE:

-kelas I : bebas bangkitan, tanpa aura

-kelas II : hanya aura

-kelas III : 1-3 hari bangkitan dalam setahun, dengan/tanpa aura

-kelas IV : 4 hari bangkitan dalam setahun sampai penurunan 50% hari bangkitan yang
biasanya terjadi, dengan/tanpa aura.

-kelas V : penurunan kurang dari 50% hari bangkitan yang biasanya terjadi sampai
peningkatan 100%, dengan/tanpa aura

-kelas VI : peningkatan lebih dari 100% hari bangkitan yang biasanya terjadi
dengan/tanpa aura

Anda mungkin juga menyukai