Anda di halaman 1dari 8

A.

Gejala/Gambaran Klinik Epilepsi


Contoh beberapa bentuk bangkitan epilepsy
1. Bangkitan umum lena
a. Gangguan kesadaran secara mendadak (absence), berlangsung beberapa detik
b. Selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa reaksi
c. Mata memandang jauh ke depan
d. Mungkin terdapat autismatisme
e. Pemulihan kesaran segera terjadi tanpa perasaan bingung
f. Sesudah itu pasien melanjutkan aktivitas semula
2. Bangkitan umum tonik klonik
a. Dapat didahului prodromal seperti jeritan, sentaan, mioklonik
b. Pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10 -30 detik, diikuti gerakan
kejang kelonjotan pda kedua lengan dan tungkai (fase klonik) selama 30 – 60 detik
dapat disertai mulut berbusa
c. Selesai bangkitan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan tampak bingung
d. Pasien sering tidur setelah bangkitan
3. Bangkitan parsial sederhana
a. Tidak terjadi perubahan kesadaran
b. Bangkitan dimulai dari tangan, kaki dan muka (unilateral/fokal) kemudian
menyebar pada sisi yang sama.
c. Kepala mungkin berpaling kea rah bagian tubuh yang mengalami kejang (adversif)
4. Bangkitan parsial kompleks
a. Bangkitan fokal disertai terganggunya kesadaran
b. Sering diikuti oleh automatisme yang setreotipik seperti mengunyah, menelan,
tertawa dan kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas
c. Kepala mungkin berpaling kea rah bagian tubuh yang mengalami kejang (adversif)
5. Bangkitan umum sekunder
a. Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang dalam waktu
singkat menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial dapat berupa aura
c. Bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik klonik.6
B. Diagnosis Epilepsi
Diagnosis epilepsy ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk
bangkitan epilepsy berulang (minimal 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform
pada EEG.6 Secara lengkap uturan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai
berikut :
1. Anamnesis (auto atau alo-anamnesis)
Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk menggambarkan kejadian
sebelum , selama dan sesudah serangan kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui
riwayat kejadian serangan kejang tersebut biasanya dapat memberikan informasi yang
lengkap dan baik mengingat pada kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri
serangan kejang yang dialami pasien.
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut.
a. Serangan kejang yang pertama kali
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan
kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada
masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang
umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja.
b. Perasaan tidak enak pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang
Gejala peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut
dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum serangan kejang
parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “ aura” dapat membantu
dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus
temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak enak di
lambung, kesemutan yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan
gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi
lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura”
hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura”
dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber
fokus yang patologis.
c. Kesadaran selama serangan kejang berlangsung
Bila pasien bukan dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik
tentu pasien tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara
dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung.
d. Respon sesudah serangan kejang
Periode sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post
ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu
tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya
biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau
hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang
menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai
gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan.
Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
e. Waktu kejang berlangsung selama siklus 24 jam
Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu
terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu,
sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam
hari.
f. Faktor pencetus
Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya yang
berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi
alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan
mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan
mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya
dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.
g. Frekuensi kejang
Informasi ini dapat membantu untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan
bila sudah mendapat obat obat anti kejang .
h. Periode bebas kejang sejak awal serangan kejang 
Untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti kejang atau
belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik
bermanfaat.
i. Riwayat medik dahulu.
Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang
berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan
kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk
pengobatan selanjutnya
j. Riwayat keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom
epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor
genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh “Juvenile
myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign rolandic
epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam.
k. Riwayat allergi.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu
dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi
hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas
karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena
efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas?
l. Riwayat pengobatan.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan
bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama
sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya.
m. Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.
Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI. 7

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pemeriksaan neurologi
meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik,
serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia,
gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya
lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia
atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti
karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan
kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom
dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat
diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa
menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya
distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis. 7

3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan bukti – bukti klinik dan/atau


indikasi serta bila keadaan memungkinkan untuk pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting untuk
membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut :
 Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien
dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan
EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis
serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.
 Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola
epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis
epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz spike-wave
complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.
 Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat
menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan kejang.
Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan
dengan cermat.
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam
menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
 Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan
epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila
dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %.
Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal,
sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting
sekali.
 Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya
epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang
normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk
menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
 Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin
saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien
epilepsi anak.
Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform
difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk menentukan
klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau serangan kejang
umum. 7
Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi fotik,
hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsy refleks).
Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan) pada orang dewasa dapat
ditemukan sebesar 29-38%. Pada pemeriksaan epileptiform dapat meningkat
menjadi 59-77%. Bila EEG pertama menunjukkan hasil normal sedangkan
persangkaan epilepsy sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24 –
48 jam setalah bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus misalnya
dengan mengurangi tidur (sleep deprivation) atau deengan menghentikan obat anti
epilepsy (OAE).
Indikasi pemeriksaan EEG :
 Membantu menegakkan diagnosis epilepsy
 Menentukan prognosis pada kasus tertentu
 Pertimbangan dalam penghentian OAE
 Membantu dalam menentukan letak focus
 Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan sebelumnya) 6
b. Pemeriksaan Pencitraan otak (Brain Imaging)
Indikasi :
 Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan structural
 Adanya perubahan bentuk bangkitan terdapat deficit neurologic fokal
 Epilepsy dengan bangkitan parsial
 Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
 Untuk persiapan tindakan pembedahan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk
epilepsy dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan Computed
Tomography Scan (CT Scan). MRI dapat mendeteksi sklerosis hipokampus,
disgenesi kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Pemeriksaan MRI
diindikasikan untuk epilepsy yang sangat mungkin memerlukan terapi
pembedahan.6
c. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan darah meliputi hemoglobin, lekosit, hematokrit, trombosit,
hapusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,kalsium,magnesium), kadar gula,
fungsi hati (SGOT,SGPT, gamma GT,alkali fosfatase), ureum, kreatinin dan
lain – lain atas indikasi.
 Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi SSP
 Pemeriksaan – pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya ada kelainan
metabolic bawaan. 6
C. Diagnosis Banding
Pada neonatus dan bayi :
1. Jittering
2. Apneic spell
Pada anak :
1. Breath holding spells
2. Sinkope
3. Migraine
4. Bangkitan psikogenik/konversi
5. Prolonged QT syndrome
6. Night terror
7. Tics
8. Hypercyanotic attack (pada tetralogi fallot) 6

Anda mungkin juga menyukai