Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM III FARMAKOTERAPI

PENYAKIT EPILEPSI
indikasi

NAMA KELOMPOK :
1. Ni Luh Eka Pratihari Arini (161200037)
2. Ni Luh Setiawati (161200038)
3. Ni Luh Wahyu Trisnayanti (161200039)
4. Ni Made Dewi Porsuwati (161200040)
5. A.A Sagung Istri Iryaningrat (161200041)

KELOMPOK : II
KELAS : A1-B FARMASI KLINIS
Hari/Tanggal Praktikum : Rabu, 27 Maret 2018
DOSEN PENGAMPU : DEWI PUSPITA APSARI, S.Farm., M.Farm., Apt.

JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Praktikum


1. Mengetahui definisi penyakit epilepsi.
2. Mengetahui klasifikasi penyakit epilepsi.
3. Mengatahui patofisiologi penyakit epilepsi.
4. Mengetahui tatalaksana penyakit epilepsi (Farmakologi& Non-
Farmakologi)
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit epilepsy secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Definisi Epilepsi


Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. (Robert S,dkk,
2005) Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan
kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari
cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran
parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral
cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik,
dan klonik termasuk dalam epilepsi umum (Engel J, 2001).

2.2 Etiologi Epilepsi


Epilepsi dapat terjadi pada masa kanak-kanak, dewasa, atau pada lansia.
Penyebabnya berasal dari berbagai macam factor.

Kejang terjadi karena sekelompok neuron kortikal keluar secara abnormal


dalam sinkron. Apa pun yang mengganggu homeostasis normal neuron dan
stabilitasnya dapat memicu hipereksitabilitas dan kejang. Ada ribuan kondisi
medis yang dapat menyebabkan epilepsi, dari mutasi genetik hingga cedera otak
traumatis. Suatu predisposisi genetik terhadap kejang telah diamati dalam banyak
bentuk epilepsi umum primer. Pasien dengan retardasi mental, cerebral palsy,
cedera kepala, atau stroke berisiko lebih tinggi untuk kejang dan epilepsi.
Semakin dalam tingkat keterbelakangan mental yang diukur oleh intelligence
quotient (IQ), semakin besar insiden epilepsi. Pada orang tua, kejang terutama
dari onset parsial yang terkait dengan cedera neuronal fokal yang disebabkan oleh
stroke, gangguan degeneratif neuro (misalnya, penyakit Alzheimer), dan kondisi
lainnya. Dalam beberapa kasus, jika etiologi kejang dapat ditemukan dan
diperbaiki, pasien mungkin tidak memerlukan pengobatan antiepilepsi kronis
(AED). Pasien juga dapat hadir dengan kejang tak beralasan yang tidak memiliki
penyebab yang dapat diidentifikasi, dan dengan demikian definisi memiliki
epilepsi idiopatik atau kriptogenik. Etiologi idiopatik adalah istilah yang
digunakan untuk menduga kejang umum primer, sedangkan etiologi kriptogenik
digunakan jika tidak ada penyebab yang jelas ditemukan untuk kejang parsial-
onset. Insiden epilepsi idiopatik lebih tinggi pada anak-anak. Banyak faktor telah
terbukti memicu kejang pada individu yang rentan. Hiperventilasi dapat memicu
terjadinya kejang. Tidur, kurang tidur, rangsangan indra, dan stres emosional
meningkatkan frekuensi kejang. Perubahan hormonal yang terjadi di sekitar waktu
menstruasi, pubertas, atau kehamilan juga telah dikaitkan dengan timbulnya atau
peningkatan frekuensi kejang. Riwayat yang cermat harus diperoleh dari pasien
yang datang dengan kejang karena teofilin, alkohol, fenotiazin dosis tinggi,
antidepresan (terutama maprotiline atau bupropion), dan penggunaan narkoba
jalanan dikaitkan dengan kejang yang memprovokasi. Cedera perinatal dan berat
gestational kecil saat lahir juga merupakan faktor risiko untuk pengembangan
kejang onset parsial. Imunisasi belum dikaitkan dengan peningkatan risiko
epilepsi.

2.3 Epidemiologi Epilepsi


Setiap tahunnya 120 per 100.000 orang di Amerika Serikat datang ke
perawatan medis karena kejang yang baru diakui. 8% dari populasi umum
memiliki setidaknya satu kali kejang dalam seumur hidup. Tingkat kekambuhan
kejang tak beralasan pertama dalam 5 tahun berkisar antara 23% dan 80%. Anak-
anak dengan kejang pertama idiopatik dan elektroensefalogram normal (EEG)
memiliki prognosis yang sangat menguntungkan. Beberapa kejang terjadi sebagai
peristiwa tunggal yang dihasilkan dari penarikan depresan sistem saraf pusat
(SSP) (misalnya, alkohol, barbiturat, dan obat lain) atau selama penyakit
neurologis akut atau kondisi toksik sistemik (misalnya, uremia atau eklamsia).
Epilepsi adalah gangguan kronis yang ditandai dengan kejang yang tidak terulang
berulang. Kejadian epilepsi yang disesuaikan dengan usia adalah 44 per 100.000
orang-tahun. Setiap tahun, sekitar 125.000 kasus epilepsi baru terjadi di Amerika
Serikat; hanya 30% berada pada orang yang lebih muda dari 18 tahun pada saat
diagnosis. Ada distribusi bimodal dalam terjadinya kejang pertama, dengan satu
puncak terjadi pada bayi baru lahir dan anak-anak muda dan puncak kedua terjadi
pada pasien yang lebih tua dari 65 tahun.

2.4 Klasifikasi Epilepsi Berdasarkan Gejala Klinis


Berdasarkan gejala klinis yang terjadi, epilepsy dibagi menjadi 2, yaitu
kejang umum dan kejang partial.
1. Kejang umum (generalized seizure), terdiridari:
a. Tonic-clonic convulsion = grand mal
Merupakanbentukepilepsi yang paling banyak terjadi. Tanda-
tanda dari grand mal adalah pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas
terengah-engah, keluar air liur, bisaterjadisianosis, ngompol, atau
menggigit lidah, terjadi 1-2 menit, kemudian diikuti lemah,
kebingungan, sakit kepala.
b. Abscense attacks = petit mal
Merupakan jenis epilepsi yang jarang terjadi. Umumnya hanya
terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja. Gejala klinis yang
terlihat berupa:
a) Penderitatiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip,
dengan kepala terkulai.
b) Kejadiannya Cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak
disadari.
c. Myoclonic seizure
Merupakan serangan epilepsi yang biasanya terjadi pada pagi
hari, setelah bangun tidur. Gejala klinis yang terlihat berupa: Pasien
mengalami sentakan yang tiba-tiba.
d. Atonic seizure
Merupakan serangan epilepsi yang jarang terjadi. Gejala klinis
yang tampak berupa:
a) Pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot.
b) Pasien jatuh, tapi bisa segera pulih.
2. Kejang parsial/focal.
Kejang parsial dimulai dari satu bagian hemisphere otak dan dapat
berkembang menjadi kejang umum. Kejang parsial akan mengakibatkan
perubahan pada fungsi motorik, sensorik, atau gejala somato sensorik atau
automatism. Kejang parsial terbagi menjadi:
a. Simple partial seizures
a) Pasien tidak kehilangan kesadaran.
b) Terjadi sentakan sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.
b. Complex partial seizures
a) Pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali (yaitu:
gerakan mengunyah, meringis, dll) tanpa kesadaran.

2.5 Faktor Resiko Epilepsi


Ada beberapa factor resiko epilepsi. Epilepsi adalah sindroma otak kronis
dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal
dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan
dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik. Ancaman dari penyakit ini
sangat berbahaya, karena kematian menjadi akibatnya jika penanganannya
terlambat atau tidak serius. Adapun faktor risiko epilepsi adalah:
a. Catatan Keluarga
Jika anda memiliki catatan epilepsy dalam keluarga, anda mungkin
memiliki peningkatan risiko mengalami kejang-kejang.
b. Usia
Epilepsi biasanya terjadi pada masa awal usia anak-anak dan setelah
usia 65 tahun, tapi kondisi yang sama dapat terjadi pada usia
berapapun.
c. Cedera Kepala
Cedera ini bertanggung jawab pada banyak kasus epilepsi. Anda dapat
mengurangi risikonya dengan selalu menggunakan sabuk pengaman
ketika mengendarai mobil dan menggunakan helm ketika mengendarai
motor, bermain ski, bersepe da atau melakukan aktifitas lain yang
berisiko terkena cedera kepala.
d. Kejang-kejang Berkepanjangan pada Saat Anak-anak
Demam tinggi pada saat anak-anak dalam waktu yang lama terkadang
dikaitkan dengan kejang-kejang untuk waktu yang lama dan epilepsy
pada saat nanti. Khususnya untuk mereka dengan catatan sejarah
keluarga dengan epilepsy infeksi pada otak.
e. Infeksi pada Otak
Infeksi seperti meningitis, menyebabkan peradangan pada otak atau
tulang belakang dan menyebabkan peningkatan risiko terkena epilepsi.
f. Stroke dan Penyakit Vaskular Lain
Ini dapat menyebabkan kerusakan otak yang memicu epilepsi. Andai
dapat mengambil beberapa langkah untuk mengurangi risiko penyakit-
penyakit tersebut, termasuk adalah batasi untuk mengkonsumsi alcohol
dan hinderi rokok, makan makanan yang sehat dan selalu berolahraga.

2.6 Patofisiologi Epilepsi


Otak terdiri dari lebih dari satu biliun sel neuron yang mana satu
dengan lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut
terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yang
dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas impul
santar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme
yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan
breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi
secara abnormal.
Glutamat dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA) diketahui
mempunyai peranan penting pada patofisiologi epilepsi. Apabila terjadi
penurunan GABA akan menyebabkan terjadi pelepasan impuls epileptic
secara berlebihan yang mana akan memicu timbulnya kejang (gejala
epilepsi). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post
sinaptik. Selain itu, apabila terja dipeningkatan Glutamat (neuron
eksitatorik) sementara jumlah GABA berada pada kadar normal akan
terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan dan memicu terjadinya
kejang.

2.7 Diagnosa Epilepsi


Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah
dapat ditegakkan (Chadwick D, 1990).
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis
epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat,
rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah
menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat
memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan
metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat penting dan merupakan kunci diagnosis (Chadwick D, 1990).
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a) Pola/bentuk serangan
b) Lama serangan
c) Gejala sebelum, selama dan sesudah serangan
d) Frekuensi serangan
e) Faktor pencetus
f) Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g) Usia saat terjadinya serangan pertama
h) Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
i) Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
j) Riwayat penyakit epilepsy dalam keluarga.
2. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya
tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti
trauma kepala, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau
difus, infeksi telinga atau sinus. Sebab-sebab terjadinya serangan
epilepsi harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Untuk
penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara
anggota tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak
unilateral (Wyler AR, 1993). Beberapa pemeriksaan penunjang antara
lain :
a) Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien
epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua
bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.
Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang
sama di kedua hemisfer otak
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih
lambat dibanding seharusnya
c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada
anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike),
paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang
timbul secara paroksimal
d. Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu
menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya
pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE). (Moshe SL,
2008)
b) Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan
radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan
melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan
Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan
maka MRI lebih sensitive dan secara anatomik akan tampak
lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan
hippocampus kiri dan kanan. (Ruben I, 2005)

2.8 Farmakologi Obat


a. Obat Antiepilepsi
OAE diklasifikasikan menjadi generasi pertama (yang lebih awal
ditemukan) dan generasi kedua (yang lebih baru). Generasi pertama antara lain
adalah fenitoin, asam valproat, karbamazepin, fenobarbital dan etoksusimid;
sementara generasi kedua antara lain gabapentin–pregabalin, levetiracetam,
lamotigrin, topiramat, dan lain-lain. Secara umum obat-obatan generasi
pertama dan generasi kedua memiliki efektivitas yang sama dalam
penanganan epilepsi onset baru, akan tetapi obat generasi kedua cenderung
memiliki efek samping yang lebih sedikit.
Mekanisme kerja OAE kebanyakan bekerja melalui mekanisme spesifik
yang menghilangkan eksitabilitas neuron (melalui modulasi kanal sodium dan
kalsium) atau dengan meningkatkan inhibisi neuronal melalui interaksi pada
berbagai bagian reseptor γ-aminibutyric acid (GABA). OAE bekerja terhadap
excitatory synapse atau inhibitory synapse. OAE yang mempengaruhi
excitatory synapse dapat bekerja pada pre-synapse maupun post synapse
dengan tujuan mengurangi depolarisasi yang diinduksi oleh influx Ca+ dan
pelepasan neurotransmitter (glutamat) vesikular.
Berikut ini akan diuraikan profil OAE yang biasa digunakan sebagai terapi
profilaksis bangkitan kejang dan epilepsy (Rovina Ruslami, Tatang Bisri,
2016):
1. Fenitoin
Fenitoin (phenytoin yang selanjutnya disingkat PHT) memiliki
mekanisme kerja yaitu bekerja melalui inhibisi excitatory synapse
dengan cara menghambat voltage-gated Na+ channel sehingga
menghambat terjadinya depolarisasi dan akhirnya menghambat
pelepasan neurotransmiter glutamat vesicular.
2. Levetiracetam
Levetiracetam (selanjutnya disingkat dengan LEV) memiliki
mekanisme kerja yaitu dengan berikatan secara selektif terhadap
protein vesikular sinaptik SV2A. Fungsi protein ini sendiri belum
sepenuhnya dipahami namun tampaknya LEV mengubah pelepasan
sinaptik glutamat dan GABA melalui kerja pada fungsi vesicular.
3. OAE Lain (Valproate, Karbamazepin)
Karbamazepin merupakan senyawa trisiklik yang juga efektif
mengatasi depresi, neuralgia trigeminal, yang kemudian diketahui juga
memiliki efek sebagai anti epilepsi. Mekanisme kerjanya serupa
dengan mekanisme kerja PHT dan valproat yaitu dengan memblok
kanal natrium. Karbamazepin meningkatkan metabolisme obat lain
yang dimetabolisme di hati sehingga juga berpotensi menimbulkan
interaksi obat dan mempengaruhi kemanan. Efek samping
karbamazepin antara lain adalah diskrasia darah termasuk anemia
aplastik dan agranulositosis dan adanya ruam di kulit. Valproat dan
karbamazepin bekerja di tempat yang sama, yaitu di excitatory
synapse, menghambat voltage-gated Na+ channel sehingga
menghambat terjadinya depolarisasi dan memblok sustained high-
frequency repetitive firing suatu neuron.
4. Golongan Hipnotik-Sedativ Barbiturate (Fenobarbital)
Phenorbarbital merupakan OAE yang paling tua, bekerja dengan cara
meningkatkan proses inhibisi dan menurunkan transmisi eksitasi
neuron. Phenobarbital adalah salah satu obat golongan barbiturat yang
memberikan efek depresan sistem saraf pusat non-selektif. Obat
golongan barbiturate bekerja pada reseptor GABA sehingga
menyebabkan terjadinya inhibisi sinaptik. Salah satu efek dari inhibisi
sinaptik pada tubuh adalah relaksasi otot dan otak.
Gambar 2.1 Mekanisme Kerja Obat Antiepilepsi

2.9 Evidence Based Medicine (EBM) Terkait Epilepsi


Terkait PHT, setidaknya terdapat 6 uji klinik yang dilakukan pada tahun
90-an memperlihatkan hasil yang bervariasi. Hasil penelitian pada tahun 1990 dan
penilitian yang dipublikasikan pada tahun 1999 memperlihatkan bahwa pemberian
PHT efektif mencegah early PTS pasca COT (3,6% vs. 14,2%, p<0,001 pada studi
Temkin dan 21% vs. 41%, p=0,03 pada studi Haltiner), namun tidak terdapat
perbedaan dalam dalam mencegah late PTS pasca COT dan mortalitas dibanding
plasebo. Review oleh Chang memperlihatkan bahwa PHT dapat mencegah early
PTS jika dibandingkan dengan plasebo (risiko relatif 0,37), tidak dapat mencegah
late PTS (risiko relatif 1,05). Sementara penelitian lainnya tidak memperlihatkan
efektivitas tersebut.
PHT diduga dapat memperburuk fungsi kognitif; skor GCS yang dinilai
setelah 1 bulan pasca COT berat pada kelompok yang mendapat PHT lebih rendah
dibanding yang mendapat plasebo (p<0,05). Temuan yang sama juga didapatkan
pada studi lebih baru, walau perlu dipertimbangkan beberapa keterbatasan dalam
disain penelitian tersebut. Alternatif lain untuk terapi profilaksis bangkitan pasca
COT adalah LEV. Mengingat obat ini merupakan obat yang lebih baru ditemukan
(tahun 1999), masih sedikit studi yang mengevaluasi efek profilaksis bangkitan
kejang pasca COT. Studi kohort retrospektif oleh Jones dkk pada tahun 2008
memperlihatkan bahwa efektivitas LEV setara dengan PHT dalam mencegah
bangkitan dini pada penderita COT dan tidak terdapat perbedaan dalam
perburukan neurologis pada 6 bulan pada kedua kelompok. Uji klinik single-
blinded oleh Szaflarski dkk terhadap 52 pasien COT, memperlihatkan hal yang
sama, namun penggunaan LEV memperlihatkan luaran neurologis yang lebih baik
dibanding PHT (p=0,024) dan gangguan saluran cerna (p=0,043) dibandingkan
kelompok yang mendapat LEV. Hal ini mengindikasikan bahwa LEV memiliki
efikasi yang setara dengan PHT, namun lebih dapat diterima oleh pasien.15 Studi
retrospektif baru-baru ini di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 98% pasien
yang dirawat sebelum 2008 mendapatkan PHT, dan 64% pasien yang dirawat
antara tahun 2008–2010 mendapatkan LEV.
Terhadap OAE lainnya, bukti klinis masih sangat terbatas. Dua uji klinis
memperlihatkan bahwa efikasi asam valproat sebanding dengan PHT, luaran
neurologis juga sama, namun mortalitas cenderung lebih tinggi (p=0,07) (Temkin
1999). Luaran neuropsikologis atau fungsi kognitif pengobatan dengan asam
valproat juga sama dengan PHT. Walaupun efikasinya setara dengan PHT, namun
karena data masih terbatas dan adanya kecenderungan kematian yang lebih tinggi,
maka pemberian asam valproat tidak direkomendasikan.
Gambar 2.2 Drug of Choice Theraphy

2.10 Tatalaksana Terapi Stroke


Tujuan dari tatalaksana terapi stroke, yaitu (Dipiro, 2015) :
1. Mengendalikan atau mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan
kejang.
2. Meminimalkan efek samping dan memastikan kepatuhan pasien
dalam mengkonsumsi obat antiepilepsi.
3. Memungkinkan pasien untuk hidup kehidupan yang normal
mungkin.
Tatalaksana terapi epilepsy dapat dibagi menjadi 2 yaitu : Terapi
Farmakologi dan Terapi Non Farmakologi.
1. Terapi Farmakologi
Tujuan terapi obat adalah untuk mengendalikan kejang dan
meningkatkan kualitas hidup dengan efek samping minimum. Ini
didasarkan pada tipe kejang dan sindrom epilepsi tetapi juga harus
memasukkan pertimbangan seperti ketersediaan, keterjangkauan,
dan efek samping profil atau toksisitas. Faktor-faktor lain yang
harus dipertimbangkan dalam pilihan pengobatan adalah:
a) Jenis Kelamin
Beberapa obat antiepilepsi (AED) dapat berinteraksi
dengan pil kontrasepsi oral (OCP) sementara yang lain
memiliki efek teratogenik. Obat-obatan semacam itu
mungkin bukan pilihan pertama pada wanita selama tahun-
tahun melahirkan anak. Beberapa obat merupakan
kontraindikasi selama kehamilan
b) Usia
Metabolisme dan eliminasi obat di usia yang ekstrem dapat
mempengaruhi konsentrasi darah dari AED, oleh karena itu
diperlukan kehati-hatian saat meresepkan untuk neonatus
dan tua.
c) Komorbiditas
Kehadiran beberapa co-morbiditas misalnya penyakit hati
dapat mempengaruhi plasma konsentrasi AED dan oleh
karena itu mempengaruhi efikasi atau toksisitas. Kapanpun
evaluasi yang mungkin untuk co-morbiditas tersebut harus
dilakukan sebelum dimulainya obat dan selama perawatan.
d) Interaksi Obat
Beberapa obat dapat berinteraksi secara negatif dengan
AED terutama yang beraksi di CNS termasuk obat
penenang dan obat penenang dan penggunaannya perlu
dipertimbangkan. Lain obat-obatan mungkin epileptogenic
misalnya fenotiazin dan penenang utama lainnya.
Pemantauan yang cermat untuk efek samping dan interaksi
obat direkomendasikan untuk pasien dengan Epilepsi yang
menggunakan ART untuk penatalaksanaan HIV atau anti-
TB obat. Obat antiretroviral dan obat anti-TB dapat
mengurangi khasiat AED dan sebaliknya.
Gambar 2.3 Algoritma Pengobatan Epilepsi
Gambar 2.4 Obat yang Digunakan Untuk Terapi Epilepsi

2. Terapi Non Farmakologi


Terapi Non Farmakologi yang direkomendasikan untuk penyakit
epilepsy yaitu diet, operasi, dan stimulasi saraf vagus (VNS). Diet
yang disarankan yaitu diet ketogenik, Pemberian nutrisi ketogenik
(proses pembentukan ketone) juga telah menjadi salah satu
alternatif pengobatan pasien epilepsi. Dokter spesialis anak dari
Universitas Johns Hopkins mengeluarkan teori bahwa keadaan
kelaparan (starvation) dapat meningkatkan pembentukan ketone
dalam sirkulasi yang disebut dengan ketosis. Proses ini
memberikan efek antiepileptik. Mempertahankan ketosis tanpa
keadaan kelaparan dapat dicapai dengan pemberian asupan nutrisi
tinggi lemak serta rendah karbohidrat dan protein. Rekomendasi
distribusi kalori untuk nutrisi ketonik ini lemak : KH adalah 4 : 1
dan lemak memberikan distribusi kalori sebesar 90% kalori dari
total seluruh kalori. Terapi Non Farmakologi lainnya yaitu operasi,
dimana operasi dilaporkan memiliki tingkat keberhasilan 80-90%
dapat mengurangi resiko kematian terkait epilepsy (Dipiro, 2009).

2.11 Evaluasi Outcome Terapi Epilepsi


Evaluasi outcome yang harus dipantau dalam pengobatan epilepsy, yaitu
(1) Memonitor kejang, efek samping, penyesuaian sosial termasuk kehidupan,
interaksi obat dan efek samping. (2) Melakuan pemeriksaan berkala untuk
gangguan kejiwaan (misalnya Kecemasan, depresi). (3) Meminta pasien dan
perawat untuk mencatat tingkata keparahan dan frekuensi kejang (Dipiro, 2015).
BAB III
ALAT DAN BAHAN

3.1 Alat
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minum Obat
4. Kalkulator Scientific
5. Laptop Dan Koneksi

3.2 Bahan
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH)
2. Data Nilai Normal Laboratorium
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis)

3.3 Studi Kasus


Nama Pasien : Tn. A R
Umur : 24 Tahun
MRS : 25 September 2017
KRS : 08 Oktober 2017
Kurang lebih 5 jam SMRS pada saat akan makan siang tiba tiba pasien kejang
15 menit sekitar jam 12.00 siang, pada saat pasien kejang tangan pasien
mengepal dan terguncang naik turun kaki pasien juga terguncang naik turun
secara bersamaan. Mata terbelalak, mulut tidak berbusa, lidah tidak tergigit,
saat kejang terjadi pasien terjatuh pada sisi tubuh sebelah kanan dengan bibir
dan kepala sisi kanan membentur batu, bibir luka sebesar 1 cm tepi tidak rata,
Kejang terjadi hingga 3 kali sekitar 15 menit, selama masa kejang pasien tidak
sadarkan diri.
• Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat epilepsi sejak kecil (+) namun tidak terkontrol, Riwayat penyakit
kusta (+) meminum obat program (Tahun 2006)
1. Pemeriksaan Fisik Dan Tanda Tanda Vital
TTV: TD: 110/70mmHg, HR : 88x/menit, RR: 20x/menit, T: 38°C
2. Diagnosa Sementara
Epilepsi dd Infeksi Intrakarnial
3. Terapi Saat MRS
IVFD D5% + Fenitoin 3 ampul/8jam
Ceftriaxone 2x1 ampul (iv)
Paracetamol drip 3x1 F1. (bila panas)
4. Diagnosa Akhir
Epilepsi bangkitan umum tipe Tonik Klonik

E. PERTANYAAN DISKUSI KASUS


Bagaimana Tatalaksana Terapi Pada Pasien?
BAB IV
SOAP
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi Kasus


Pasien atas nama Tuan A.R berjenis kelamin laki-laki dan memiliki usia
24 tahun memasuki rumah sakit dengan keluhan mengalami kejang kurang lebih
15 menit (sekitar pukul 12.00 siang) dan kejang ini terjadi 5 jam sebelum pasien
memasuki rumah sakit. Pasien memiliki riwayat penyakit epilepsy sejak kecil
tetapi tidak terkontrol dan memiliki riwayat oenyakit kusta tetapi sudah terkontrol
dan sembuh.

5.2 Subyektif
Pasien mengalami kejang sekitar 15 menit. Pada saat kejang, tangan pasien
mengepal dan terguncang naik turun, kaki pasien juga terguncang naik turun
secara bersamaan. Mata pasien terbelalak, mulut tidak berbusa, lidah tidak tergigit
dan saat kejang pasien terjatuh pada sisi tubuh sebelah kanan dengan bibir dan
kepala sisi kanan membentur batu, bibir pasien luka sebesar 1 cm tepi tidak rata.
Kejang yang terjadi pada pasien sebanyak 3 kali sekitar 15 menit dan pada saat
kejang pasien juga tidak sadarkan diri.

5.3 Obyektif
Tekanan darah adalah 110/70 mmHg; heart rate adalah 88x/menit;
respiratory rate adalah 20x/menit dan suhu tubuh pasien adalah 380C.

5.4 Assesment
Saat pasien berada di UGD, pasien mengalami status epileptikus dan
diagnose sementara yang diberikan dokter kepada pasien adalah epilepsy dd
infeksi intracranial. Untuk diagnose akhir yang diberikan dokter kepada pasien
adalah epilepsy bangkitan umum tipe tonik-klonik. Berdasarkan kasus yang
diberikan, pasien mengalami beberapa DRP, yaitu:
a. –
5.5 Planning
5.5.1 Terapi Sebelumnya
Pada saat memasuki rumah sakit, pasien diberikan obat IVFD D5% +
Fenitoin 3 ampul/8 jam; ceftriaxone 2 x 1 ampul (IV) dan paracetamol drip 3 x 1
FI (bila panas).
5.5.2 Terapi Farmakologi
1. Pada saat pasien tiba di UGD, pasien mengalami status epileptikus.
Untuk pengobatan yang dapat diberikan kepada pasien antara lain:
a. Fenitoin
Phenytoin/fosphenytoin, asam valproik, levetiracetam,
phenobarbital, dan lacosamide adalah obat antiseizure yang paling
sering diresepkan untuk pengobatan ESE. Sampai saat ini tidak ada
data kelas 1 untuk mendukung rekomendasi farmakologis dari satu
agen di atas yang lain. mekanisme aksi utama osphenytoin dan
phenytoin adalah penghambatan saluran natrium. Phenytoin tidak
larut dalam air, membutuhkan pelarut alkalin untuk mencegah
pengendapan. Alkalinitas ini dapat menyebabkan iritasi lokal,
thrombophlebitis, sindrom kompartemen, sindrom sarung ungu,
dan nekrosis jaringan dengan ekstravasasi (Falco-Walter dan Bleck,
2016). Kemanjuran phenytoin untuk ESE terbukti 43,1% dalam
penelitian acak besar untuk status kejang epileptikus pada orang
dewasa (Treiman, 2015). Sebuah meta-analisis baru-baru ini
mengumpulkan data dari 22 penelitian dan membandingkan
kemanjuran beberapa obat antiseizure untuk ESE. Menggunakan
data dari delapan studi, penulis mencatat kemanjuran rata-rata
50,2% untuk fenitoin dalam menggugurkan ESE (Falco-Walter
dan Bleck, 2016).
2. Untuk mengobati demam yang diderita pasien, dapat diberikan
paracetamol. Terdapat 2 EBM yang menunjukkan efektivitas dari
penggunaan paracetamol untuk mengobati demam.
a. EBM 1
P : 5 orang dewasa dan 30 anak-anak
I : Kelompok anak-anak dan dewasa ibuprofen dengan kelompok
anak-anak dan dewawa paracetamol
C : Ibuprofen vs paracetamol
O : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari pemakaian
kedua obat dan jika dilihat dari efek sampingnya, tidak terdapat
perbedaan yang signifikan dari paracetamol dan ibuprofen.
(Pierce et al., 2015)
b. EBM 2
Terdapat 17 penelitian yang membandingkn antara efektivitas
pemakaian ibuprofen dengan paracetamol untuk mengobati
demam. Berdasarkan penelitian, menunjukkan bahwa pada
pemakaian ibuprofen, terjadi penurunan persentase demam sebesar
15% pada jam ke-4 dan jam ke-6.Besar penurunan efek demam
setelah 4 jam adalah 0,31 (CI 95% 0,19-0,44), sedangkan
penurunan efek demam setalah 6 jam adalah 0,33 (CI 95% 0,19-
0,47). Sehinnga berdasarkan penelitian, ibuprofen lebih efektif jika
dibandingkan dengan paracetamol setelah pemberian pada jam ke-
6. Tetapi, setelah dievaluasi pada jam ke-8 pemberian, tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara pemakaian ibuprofen
dengan paracetamol untuk menurunkan demam. Selain itu, jika
dilihat dari segi farmakoekonomi, paracetamol memiliki harga
yang lebih murah jika dibandingkan dengan ibuprofen dan
memiliki efek yang sama (cost effectiveness) sehingga paracetamol
lebih disarankan untuk diberikan pada pasien penderita demam
(Walsh, 2006).
3. Untuk mengobati epilepsy dd infeksi intracranial pasien dapat
diberikan ceftriaxone. Terdapat 2 EBM yang menunjukkan bahwa
ceftriaxone merupakan pilihan terbaik untuk mengobati infeksi
intracranial.
a. EBM 1
Pilihan agen untuk terapi empiris harus ditentukan oleh usia pasien
dan adanya kondisi predisposisi, dan harus mengasumsikan
resistensi antimikroba. Sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim
atau ceftriaxone) direkomendasikan untuk pengobatan meningitis
bakteri dan untuk meningitis pneumokokus dan meningokokal
yang disebabkan oleh strain yang resisten terhadap penisilin (A-III)
(Smith, 2005). Sefalosforin generasi ketiga telah menunjukkan
khasiat yang lebih besar daripada kloramfenikol (Chloromycetin)
dan sefalosporin cefuroxime generasi kedua (Ceftin). Mereka
efektif dalam meningitis yang disebabkan oleh bacilli gram negatif
aerobik (A-II), tetapi meningkatkan resistensi membuat pengujian
kerentanan in vitro sangat penting. Ceftriaxone telah terbukti
efektif dalam pengobatan Pseudomonas meningitis (A-II) (Smith,
2005).

Gambar 5.1 Antimicrobial agent of First Choise (Barbara et al., 2015)

Gambar 5.2 Agen Antibiotik yang digunakan yaitu Ceftriaxone (Barbara et al.,
2015)
b. EBM 2
Menurut NCBI jurnal, lini pertama untuk antibiotik meningitis
yaitu antibiotik golongan sefalosporin golongan III, yaitu
ceftriaxone. Ceftriaxone sebagai lini pertama karena terdapat
beberapa orang yang mengalami resistensi terhadap penisilin, maka
dari itu digunakan obat antibiotik sefalosporin golongan III (NICE,
2019).
4. Untuk mengobati epilepsy bangkitan umum tipe tonik-klonik pasien
dapat diberikan
DAFTAR PUSTAKA

Barbara et all. 2015. Pharmachotherapy Handbook. 9th Edition. The McGraw-


Hill Companies Inc.

Chadwick D. Diagnosis of Epilepsy. Lancet. 1990; 336:291-295.

Dewi Puspita Apsari, Dhiancinantyan W.B.P dan Made Krisna Adi Jaya, 2018,
Modul Praktikum Farmakoterapi III (Neurologi Dan Psikiatri), Program
Studi Farmasi Klinis. Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada, Denpasar,
Bali

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.

Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM.
Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach. 7th ed. New York:
TheMcGraw-Hill Companies, Inc.; 2009.

Engel J Jr. A Proposed Diagnostic Scheme for People with Epileptic Seizures and
with Epilepsy: Report of the ILAE Task Force on Classification and
Terminology. Epilepsia 2001; 42(6):796-803

Falco-Walter, J.J. dan Bleck,T. 2016. Treatment of Established Status Epilepticus.


Jounal Of Clinical Medicine v.5(5). Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4882478/
Guidelines for epidemiologic studies on epilepsy. Commission on Epidemiology
and Prognosis, International League Against Epilepsy. Epilepsia.
1993;34:592-6.

Ministry Of Health. Kenya National Guidelines For The Management Of


Epilepsy. 2016. A Practical Guide For Healthcare Workers. National
Guidelines For The Management Of Epilepsy. Nairobi. Kenya.

Moshe SL, Pedley TA. Overview : Diagnostic evaluation. In: Engel J, Pedley TA,
editors. Epilepsy : A comprehensive Textbook 2nd Ed. Vol
One.Philadelphia : Lippincott Wiliams & Wilkins ; 2008 : 785 – 89.

NICE. 2019. Management of Bacterial Meningitis and Meningococcal in


Secondaary Care. National Institute for Health and Care Excellence.

PCNE. 2010. Classification for Drug Related Problems. Pharmaceutical Care


Network Europe Foundation.

Pierce, C.A., Voss, B. 2015. Efficacy and Safety of Ibuprofen and Acetaminophen
in Children and Adults: a Meta Analysis and Qualitative Review. Journal
Annals of Pharmacotherapy.

Robert S, Walter E, Warren B, et al. Epileptic Seizures and Epilepsy: Definition


Proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the
International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia 2005; 46(4):470-2.

Rosvina Ruslami, Tatang Bisri. Pengobatan Anti Epilepsi Untuk Terapi Profilaksi
Bangkitan Pada Cedera Otak Traumatik. 2016. Departemen
Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
– RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Departemen Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran –
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Neuroanestesi Indonesia
2016;5(1): 77–85.

Ruben I. Neuroimaginf of Epilepsy: Therapeutic Implications. NeuroRx. 2005


April
Smith, L. 2005. Management of Bacterial Meningitis: New Guidelines from the
IDSA. American Family Physician. Available at:
https://www.aafp.org/afp/2005/0515/p2003.html

Treiman, D.M., Patti, D.M., Nancy, Y.W. 2015. A Comparison of Four


Treatments for Generalized Convulsive Status Epilepticus. The New
England Journal of Medicine. Vol 339. pp: 792.

Walsh. 2006. Kejang Deman. Jurnal Kesehatan Melayu.

Wyler AR. Modern management of epilepsy. Postgrad Med. 1993. 94(3):97-108

Anda mungkin juga menyukai