PENYAKIT EPILEPSI
indikasi
NAMA KELOMPOK :
1. Ni Luh Eka Pratihari Arini (161200037)
2. Ni Luh Setiawati (161200038)
3. Ni Luh Wahyu Trisnayanti (161200039)
4. Ni Made Dewi Porsuwati (161200040)
5. A.A Sagung Istri Iryaningrat (161200041)
KELOMPOK : II
KELAS : A1-B FARMASI KLINIS
Hari/Tanggal Praktikum : Rabu, 27 Maret 2018
DOSEN PENGAMPU : DEWI PUSPITA APSARI, S.Farm., M.Farm., Apt.
JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
3.1 Alat
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minum Obat
4. Kalkulator Scientific
5. Laptop Dan Koneksi
3.2 Bahan
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH)
2. Data Nilai Normal Laboratorium
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis)
5.2 Subyektif
Pasien mengalami kejang sekitar 15 menit. Pada saat kejang, tangan pasien
mengepal dan terguncang naik turun, kaki pasien juga terguncang naik turun
secara bersamaan. Mata pasien terbelalak, mulut tidak berbusa, lidah tidak tergigit
dan saat kejang pasien terjatuh pada sisi tubuh sebelah kanan dengan bibir dan
kepala sisi kanan membentur batu, bibir pasien luka sebesar 1 cm tepi tidak rata.
Kejang yang terjadi pada pasien sebanyak 3 kali sekitar 15 menit dan pada saat
kejang pasien juga tidak sadarkan diri.
5.3 Obyektif
Tekanan darah adalah 110/70 mmHg; heart rate adalah 88x/menit;
respiratory rate adalah 20x/menit dan suhu tubuh pasien adalah 380C.
5.4 Assesment
Saat pasien berada di UGD, pasien mengalami status epileptikus dan
diagnose sementara yang diberikan dokter kepada pasien adalah epilepsy dd
infeksi intracranial. Untuk diagnose akhir yang diberikan dokter kepada pasien
adalah epilepsy bangkitan umum tipe tonik-klonik. Berdasarkan kasus yang
diberikan, pasien mengalami beberapa DRP, yaitu:
a. –
5.5 Planning
5.5.1 Terapi Sebelumnya
Pada saat memasuki rumah sakit, pasien diberikan obat IVFD D5% +
Fenitoin 3 ampul/8 jam; ceftriaxone 2 x 1 ampul (IV) dan paracetamol drip 3 x 1
FI (bila panas).
5.5.2 Terapi Farmakologi
1. Pada saat pasien tiba di UGD, pasien mengalami status epileptikus.
Untuk pengobatan yang dapat diberikan kepada pasien antara lain:
a. Fenitoin
Phenytoin/fosphenytoin, asam valproik, levetiracetam,
phenobarbital, dan lacosamide adalah obat antiseizure yang paling
sering diresepkan untuk pengobatan ESE. Sampai saat ini tidak ada
data kelas 1 untuk mendukung rekomendasi farmakologis dari satu
agen di atas yang lain. mekanisme aksi utama osphenytoin dan
phenytoin adalah penghambatan saluran natrium. Phenytoin tidak
larut dalam air, membutuhkan pelarut alkalin untuk mencegah
pengendapan. Alkalinitas ini dapat menyebabkan iritasi lokal,
thrombophlebitis, sindrom kompartemen, sindrom sarung ungu,
dan nekrosis jaringan dengan ekstravasasi (Falco-Walter dan Bleck,
2016). Kemanjuran phenytoin untuk ESE terbukti 43,1% dalam
penelitian acak besar untuk status kejang epileptikus pada orang
dewasa (Treiman, 2015). Sebuah meta-analisis baru-baru ini
mengumpulkan data dari 22 penelitian dan membandingkan
kemanjuran beberapa obat antiseizure untuk ESE. Menggunakan
data dari delapan studi, penulis mencatat kemanjuran rata-rata
50,2% untuk fenitoin dalam menggugurkan ESE (Falco-Walter
dan Bleck, 2016).
2. Untuk mengobati demam yang diderita pasien, dapat diberikan
paracetamol. Terdapat 2 EBM yang menunjukkan efektivitas dari
penggunaan paracetamol untuk mengobati demam.
a. EBM 1
P : 5 orang dewasa dan 30 anak-anak
I : Kelompok anak-anak dan dewasa ibuprofen dengan kelompok
anak-anak dan dewawa paracetamol
C : Ibuprofen vs paracetamol
O : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari pemakaian
kedua obat dan jika dilihat dari efek sampingnya, tidak terdapat
perbedaan yang signifikan dari paracetamol dan ibuprofen.
(Pierce et al., 2015)
b. EBM 2
Terdapat 17 penelitian yang membandingkn antara efektivitas
pemakaian ibuprofen dengan paracetamol untuk mengobati
demam. Berdasarkan penelitian, menunjukkan bahwa pada
pemakaian ibuprofen, terjadi penurunan persentase demam sebesar
15% pada jam ke-4 dan jam ke-6.Besar penurunan efek demam
setelah 4 jam adalah 0,31 (CI 95% 0,19-0,44), sedangkan
penurunan efek demam setalah 6 jam adalah 0,33 (CI 95% 0,19-
0,47). Sehinnga berdasarkan penelitian, ibuprofen lebih efektif jika
dibandingkan dengan paracetamol setelah pemberian pada jam ke-
6. Tetapi, setelah dievaluasi pada jam ke-8 pemberian, tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara pemakaian ibuprofen
dengan paracetamol untuk menurunkan demam. Selain itu, jika
dilihat dari segi farmakoekonomi, paracetamol memiliki harga
yang lebih murah jika dibandingkan dengan ibuprofen dan
memiliki efek yang sama (cost effectiveness) sehingga paracetamol
lebih disarankan untuk diberikan pada pasien penderita demam
(Walsh, 2006).
3. Untuk mengobati epilepsy dd infeksi intracranial pasien dapat
diberikan ceftriaxone. Terdapat 2 EBM yang menunjukkan bahwa
ceftriaxone merupakan pilihan terbaik untuk mengobati infeksi
intracranial.
a. EBM 1
Pilihan agen untuk terapi empiris harus ditentukan oleh usia pasien
dan adanya kondisi predisposisi, dan harus mengasumsikan
resistensi antimikroba. Sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim
atau ceftriaxone) direkomendasikan untuk pengobatan meningitis
bakteri dan untuk meningitis pneumokokus dan meningokokal
yang disebabkan oleh strain yang resisten terhadap penisilin (A-III)
(Smith, 2005). Sefalosforin generasi ketiga telah menunjukkan
khasiat yang lebih besar daripada kloramfenikol (Chloromycetin)
dan sefalosporin cefuroxime generasi kedua (Ceftin). Mereka
efektif dalam meningitis yang disebabkan oleh bacilli gram negatif
aerobik (A-II), tetapi meningkatkan resistensi membuat pengujian
kerentanan in vitro sangat penting. Ceftriaxone telah terbukti
efektif dalam pengobatan Pseudomonas meningitis (A-II) (Smith,
2005).
Gambar 5.2 Agen Antibiotik yang digunakan yaitu Ceftriaxone (Barbara et al.,
2015)
b. EBM 2
Menurut NCBI jurnal, lini pertama untuk antibiotik meningitis
yaitu antibiotik golongan sefalosporin golongan III, yaitu
ceftriaxone. Ceftriaxone sebagai lini pertama karena terdapat
beberapa orang yang mengalami resistensi terhadap penisilin, maka
dari itu digunakan obat antibiotik sefalosporin golongan III (NICE,
2019).
4. Untuk mengobati epilepsy bangkitan umum tipe tonik-klonik pasien
dapat diberikan
DAFTAR PUSTAKA
Dewi Puspita Apsari, Dhiancinantyan W.B.P dan Made Krisna Adi Jaya, 2018,
Modul Praktikum Farmakoterapi III (Neurologi Dan Psikiatri), Program
Studi Farmasi Klinis. Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada, Denpasar,
Bali
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.
Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM.
Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach. 7th ed. New York:
TheMcGraw-Hill Companies, Inc.; 2009.
Engel J Jr. A Proposed Diagnostic Scheme for People with Epileptic Seizures and
with Epilepsy: Report of the ILAE Task Force on Classification and
Terminology. Epilepsia 2001; 42(6):796-803
Moshe SL, Pedley TA. Overview : Diagnostic evaluation. In: Engel J, Pedley TA,
editors. Epilepsy : A comprehensive Textbook 2nd Ed. Vol
One.Philadelphia : Lippincott Wiliams & Wilkins ; 2008 : 785 – 89.
Pierce, C.A., Voss, B. 2015. Efficacy and Safety of Ibuprofen and Acetaminophen
in Children and Adults: a Meta Analysis and Qualitative Review. Journal
Annals of Pharmacotherapy.
Rosvina Ruslami, Tatang Bisri. Pengobatan Anti Epilepsi Untuk Terapi Profilaksi
Bangkitan Pada Cedera Otak Traumatik. 2016. Departemen
Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
– RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Departemen Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran –
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Neuroanestesi Indonesia
2016;5(1): 77–85.