Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

ANSIETAS

OLEH :

NAMA : MARIA NOVITA


NIM : PO714251181032
KELAS : DIV TK III

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR


JURUSAN FARMASI
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ansietas merupakan perasaan takut yang tidak jelas disertai perasaan ketidakpastian,
ketidakberdayaan, isolasi, dan ketidakamanan. Seseorang merasa bahwa dirinya sedang
terancam (Stuart, 2016). Kecemasan merupakan suatu hal yang biasa terjadi pada pasien
yang akan menjalani pembedahan ataupun anestesi. Kecemasan yang terjadi pada pasien pre
operasi yang akan menjalani anestesi dapat dirasakan sejak pasien dijadwalkan untuk
mejalani operasi hingga waktu operasi tiba (Pefbrianti dkk, 2018).
Berdasarkan data WHO (2007), Amerika Serikat menganalisis data dari 35.539 pasien
bedah dirawatdi unit perawatan intensif, terdapat 8.922 pasien (25.1%) mengalami masalah
kejiwaan dan 2,473 pasien (7%) mengalami kecemasan. Di Indonesia prevalensi kecemasan
di perkirakan antara 9 – 21% di populasi umum. Sedangkan angka populasi yang lebih besar
bervariasi antara 17 – 27%, terdapat di antara pasien-pasien dalam dunia medis dan
tergantung ktiteria diagnostic yang digunakan (Yustin, 2011)
Pasien di rumah sakit sering kali merasa cemas di karenakan gejala-gejala penyakit yang
dirasakan pasien dan prosedur medis yang harus dijalani kadang sangat rumit sehingga
membuat pasien merasa khawatir. Salah satu prosedur medis ini adalah tindakan
pembedahan atau operasi, karena merupakan pengalaman yang sulit bagi hampir semua
pasien. Berbagai kemungkinan buruk yang dapat membahayakan pasien bisa saja terjadi.
Kecemasan yang dialami pasien biasanya berhubungan dengan segala macam prosedur asing
yang harus dijalani pasien dan ancaman terhadap keselamatan jiwa akibat segala macam
prosedur pembedahan dan tindakan pembiusan (Majid dkk, 2011)
Teknik anestesi yang digunakan dalam operasi dapat meningkatkan kecemasan
praoperasi. Penelitian yang dilakukan Jawaid et al, 2007 memberikan hasil bahwa tingkat
kecemasan operasi dengan teknik anestesi umum lebih tinggi dibandingkan dengan teknik
spinal. Kecemasan ini dapat menimbulkan efek merugikan pada anestesi umum ketika
induksi dan ketika masa pemulihan pasien. Kecemasan kemungkinan meninggal dunia
selama dilakukan anestesi sekitar 8-55%, kesadaran selama anetesi sekitar 5-45%, nyeri
paska operasi sekitar 5-65%, dan mual muntah paska operasi 5-48% (Budianti, 2018).
Setiap orang dalam menghadapi anestesi atau pembedahan 99% akan berpotensi
mengalami kecemasan. Sebagian besar individu mengalami puncak kecemasan ketika
berada diruang tunggu operasi ditandai dengan gejala berupa pasien sering bertanya, gelisah,
nadi cepat, tensi meningkat 20% - 30%. Kecemasan pasien pre operasi ini perlu diperhatikan
salah satunya dengan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah kecemasan seperti
tekni relaksasi dan distraksi (Donsu, 2017)
Keadaan cemas membuat kemampuan seseorang dalam mempersepsikan stimulus yang
berasal dari individu akan mengalami suatu penyempitan bahkan bisa terjadi suatu
penyimpangan dalam tingkat panik, hal-hal yang dilakukan sebelum tindakan operasi yang
dipersepsikan secara tidak baik, dapat juga menyebabkan penyimpangan, hal ini dapat
meningkatkan terhambatnya proses persalinan ataupun proses pemuliahn pasca operasi
(Agustina, 2018)
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecemasan pasien, antara lain : usia
pasien, pengalaman pasien, konsep diri dan peran, kondisi medis, tingkat pendidikan, akses
informasi, proses adaptasi, tingkat social ekonomi, dan jenis tindakan (Stuart, 2012).
Kecemasan dapat menimbulkan adanya perubahan secara fisik maupun psikologis yang
akhirnya mengakibatkan saraf otonom simpatik sehingga meningkatkan denyut jantung,
tekanan darah, dan akhirnya dapat merugikan pasien itu sendiri karena akan berdampak pada
pelaksanaan operasi. (Muttaqin, 2009)
Pasien yang mengalami kecemasan pre operasi dan pre anestesi sering diberi terapi
farmakologi untuk menurunkan kecemasan yang dirasakan. Obat-obatan yang diberikan
tiada sendikit memberikan efek negative pada tubuh pasien, seperti rasa kantuk dan depresi
pernapasan yang dengan hal tersebut dapat menghambat fase pemulihan pasca operasi.
Tindakan non farmakologi juga dapat diberikan pada pasien yang mengalami kecemasan.
Tindakan non farmakologi ini dapat berupa pendidikan kesehatan, terapi relaksasi, dan
teknik distraksi untuk dapat menurunkan kecemasan pasien. Tindakan non farmakologi ini
memiliki resiko yang sangat rendah bahkan hampir tidak ada resiko yang akan terjadi pada
pasien selama diberikan untuk mengatasi kecemasan (Brand,2013)
Beberapa cara mengendalikan rasa nyeri juga dapat menurunkan kecemasan antara lain
teknis message dan terapi music, karena pengendalian rasa nyeri merupakan upaya
dukungan untuk mengurangi kecemasan (Sumarah, 2009). Massage merupakan salah satu
cara untuk menghilangkan rasa lelah pada tubuh, memperbaiki sirkulasi darah, merangsang
tubuh untuk mengeluarkan racun, serta meningkatkan kesehatan pikiran. Teknik massage
membantu pasien merasa lebih segar, rileks, dan nyaman (Sukmaningtyas, 2016)
Hal ini juga dikuatkan menurut penelitian Meihartati (2018) bahwa terdapat pengaruh
endorphin massage terhadap tingkat kecemasan pada ibu bersalin dimana ibu bersalin
dimassage 20 menit dalam satu jam selama proses persalinan dapat mengurangi kecemasan
ibu karena dengan dilakukannnya massage endorphin dapat membantu ibu menjadi lebih
rileks dan nyaman serta dapat mengurangi rasa nyeri dan sakit saat proses persalinan.
Enderphine massage merupakan sebuah terapi sentuhan/pijatan ringan yang merangsang
tubuh dan melepaskan senyawa endorphin. Endorphin massage ini sangat bermanfaat karena
dapat memberikan kenyamanan, rileks dan juga tenang sehingga nyeri dapat berkurang.
Selain itu endorphin massage juga dapat mengembalikan denyut jantung dan tekanan darah
pada keadaan normal (Lany, 2011)
Selain menggunakan pemberian endorphin massage tersebut, farmakologi yang dapat
diberikan untuk mengurangi kecemasan adalah terapi music. Peranan music bukan seperti
obat yang dapat segera menghilangkan rasa sakit maupun rasa cemas, namun secara
perlahan-lahan dan bertahap melalui irama musical akan mengurangi kesedihan, kecemasan,
dan rasa sakit. Terapi music instrumental merupakan salah satu teknik distraksi yang efektif
dan dipercaya dapat menurunkan nyeri fisiologis, stress, dan kecemasan dengan
mengalihkan perhatian seseorang dan nyeri, namun masih sangat jarang digunakan terutama
dalam bidang kesehatan. Terapi music instrumental juga memenuhi syarat penting sebagai
salah satu teknik untuk penyembuhan suatu penyakit dengan menggunakan bunyi atau irama
tertentu (Meihartati, 2018)

B. Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Ansietas adalah suatu perasaan takut yang berasal dari eksternal atau internal sehingga
tubuh memiliki respons secara perilaku, emosional, kognitif, dan fisik (Videbeck, 2011).
Ansietas adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respon
otonom (sumber tidak diketahui oleh individu) sehingga individu akan meningkatkan
kewaspadaan untuk mengantisipasi (Nanda, 2015). Ansietas adalah kekhawatiran yang
tidak jelas dan menyebar, berkaitan dengan perasaan yang tidak berdaya dan respon
emosional terhadap penilaian sesuatu. Gangguan ansietas adalah masalah psikiatri yang
paling sering terjadi di Amerika Serikat ( Stuart, 2013).
Gangguan ansietas dapat membuat individu mengalami gangguan pikiran atau
konsentrasi. Mereka menjauhi situasi yang dapat membuat individu tersebut khawatir
(American Psychological Assosiation, 2017). Menurut Videbeck (2011) individu yang
mempunyai gangguan kecemasan menunjukkan perilaku yang tidak biasanya seperti panic
tanpa alas an, takut pada objek tanpa alas an, tindakan tanpa bisa dikontrol sering terulang,
atau kekhawatiran luar biasa yang tidak bisa dijelaskan. Ansietas juga berdampak pada
kehidupan sehari-hari mereka, kehidupan social, dan pekerjaan mereka

B. Epidemiologi
Tinjauan sistematik melaporkan bahwa estimasi angka prevalensi sutu tahun dan
prevalensi sepanjang hidup untuk keseluruhan gangguan ansietas berturut-turut adalah
10,6% dan 16,6%. Rasio kedua angka tersebut mengesankan besarnya jumlah individu yang
mengalami gangguan ansietas secara berkelanjutan atau kambuh-kambuhan. Prevalensi pada
perempuan dua kali lebih tinggi daripada laki-laki, dan didapatkan peningkatan prevalensi
sepanjang hidup pada usia 18 hingga 64 tahun (Somers et al, 2006). Status social ekonomi,
tingkat pendidikan, dan etnis berpengaruh terhadap terjadinya gangguan ansietasdalam
batas-batas tertentu dan pengaruhnya bervariasi antar studi (Merikangas & Kalaydjian,
2009).
Masing-masing gangguan ansietas ditemukan memiliki angka prevalensi sepanjang hidup
yang bervariasi, dimana yang tersering adalah gangguan ansietas menyeluruh sebesar 6,2%.
Didiagnosis yang juga sering adalah kelompok gangguan fobia, dimana agoraphobia
memiliki pevalensi sepanjang hidup sebesar 3,8%, social fobia 3,6%, dan fobia khas 5,35.
Gangguan stress pasca-trauma didapatkan prevalensi sebesar 2,1%, gangguan obsesif
kompulsif 1,3% dan gangguan panic 1,2% (Somers et al, 2006)
Gangguan ansietas memiliki angka komorbiditas yang sangat tinggi dengan depresi. Pada
suatu studi kohort dilaporkan bahwa diantara individu yang kini dengan gangguan ansietas
juga didapatkan 63% kini komorbid gangguan depresi dan 81% gangguan depresi sepanjang
hidup. Sebaliknya diantara individu yang kini dengan gangguan depresi juga didapatkan
67% kini komorbid gangguan ansietas dan 75% sepanjang hidup. Diantara kasus-kasus
komorbid, 57% ansietas mendahului depresi dan 18% depresi mendahului ansietas (Lamers
et al., 2011)

C. Etiologi
Hingga kini pemahaman etiologi gangguan ansietas masih terbagi antara model biologi
dan model psikologis. Kontribusi dari kedua model belum dapat digabungkan untuk
memahaminya secara komprehensif
Pada model biologis terdapat peran faktor genetic. Data dari berbagai studi menunjukkan
adanya kontribusi genetic dalam taraf sedang pada berkembangnya gangguan ansietas (Fyer,
2009). Salah satu temuan bahwa gangguan ansietas tertentu meningkat pada keturunan
tingkat pertama dengan gangguan yang sama (Starcevic, 2010). Model biologi juga
didukung oleh adanya abnormalitas sifat dan fungsi koneksi amygdala dengan are-area
penting di otak yang meregulasi gejala ketakutan (fear) serta sikuit cortico – striato –
thalamo – cortical (CSTC) yang meregulasi gejala khawatir yang melibatkan berbagai
neurotransmitter antara lain Ƴ-aminobutyric acid (GABA), serotonin (5HT), norepinephrine
(NE), dopamine, serta voltage-gated calcium channels (Stahl, 2013)
Beberapa hal yang berkontribusi terhadap gangguan ansietas berdasarkan model
psikologis meliputi faktor predisposisi (misalnya peristiwa pada masa kanak, ciri
kepribadian, keyakinan dan penilaian terhadap ancaman, kemampuan coping), faktor
presipitasi ( misalnya peristiwa kehidupan tertentu), dan faktor pemeliharaan (misalnya
perilaku menghindar) (Starcevis, 2010)
D. Patofisiologi
Sistem saraf pusat menerima suatu persepsi ancaman. Persepsi ini timbul akibat adanya
rangsangan dari luar dan dalam yang berupa pengalaman masa lalu dan faktor genetic.
Kemudian rangsangan dipersepsi oleh panca indera, diteruskan dan direspon oleh sistem
saraf pusat melibatkan jalur cortex cerebri – imbic system – reticular activating system –
hypothalamus yang memberikan impuls kepada kalenjar hipofise untuk mensekrsi mediator
hormonal terhadap target organ yaitu kalenjar adrenal yang kemudian memicu saraf otonom
melalui mediator hormone yang lain (Owen, 2016)
E. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2016) faktor predisposisi terjadi kecemasan terdiri dari aspek biologis,
psikologis, dan social budaya. Faktor biologis merupakan faktor yang berhubungan dengan
kondisi fisiologis dari individu yang mempengaruhi terjadinya ansietas. Beberapa teori yang
melatarbelakangi cara pandang faktor predisposisi biologis adalah teori genetic dan teori
biologi. Teori genetic menekankan pada campur tangan komponen genetic terhadap
berkembangnya perilaku ansietas. Sedangkan teori biologi lebih melihat sruktur fisiologis
yang meliputi fungsi saraf, hormone, anatomi, dan kimia saraf.
Teori psikoanalisa terbaru menjelaskan bahwa ansietas merupakan interaksi antara
temperament dan lingkungan. Seorang lahir kedunia dengan bawaan fisiologi sejak lahir
yang mempengaruhi rasa takut pada tahap awal kehidupan. Sebagai upaya seseorang
menghadapi konflik, seseorang mengembangkan lemah tentang kemampuan diri dan
penggunaan strategi yang kurang tepat seperti mencegah kenyamanan seseoran menurun dan
mengembangkan kehilangan control dengan meningkatkan emosi yang negative, puncak
ansietas dan mengawali terjadinya panic (Medscape, 2000)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan rendah menjadi faktor social budaya
dari penyebab kecemasan keluarga yang merawat anak dengan hospitalisasi. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian Livana, Keliat, dan putri (2016) bahwa salah satu penyebab
kecemasan individu adalah pendidikan rendah. Status pendidikan yang rendah pada
seseorang, akan menyebabkan orang tersebut lebih mudah mengalami kecemasan
disbanding dengan mereka yang status pendidikannya tinggi.
F. Terapi
Terapi relaksasi Slow Deep Breathing
Relaksasi nafas dalam atau slow deep breathing merupakan suatu teknik bernapas,
berhubungan dengan perubahan fisiologis yang dapat membantu memberikan respon
relaksasi (Sepdianto, 2008). Relaksasi nafas dalam juga dapat diartikan sebagai suatu teknik
relaksasi sederhana, dimana paru-paru menghirup oksigen sebanyak mungkin, merupakan
gaya pernafasan yang pada dasarnya dilakukan dengan lambat, dalam dan rileks sehingga
memungkinkan seseorang merasa lebih tenang (Nipa, 2017)

G. Tujuan Terapi
Menurut Smeltzer & Bare (2013) menyatakan bahwa tujuan teknik relaksasi slow deep
breathing atau nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara
pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress
baik fisik maupun emosional. Sedangkan menurut Bruner & Suddarth (2013) tujuan
relaksasi nafas dalam adalah mengontrol pertukaran gas agar menjadi efesien, mengurangi
kinerja bernapas, meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan relaksasi otot,
menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola aktivitas otot-otot pernapasan yang tidak
berguna, tidak terkoordinasi, melambatkan frekuensi pernapasan.
H. Penatalaksanaan dengan Algoritme
1. Penatalaksanaan farmakologi
Pengobatan untuk anti ansietas terutama benzodiazepine digunakan untuk jangka
pendek, dan tidak dianjurkan untuk jangka panjang karena pengobatan ini menyebabkan
ketergantungan. Obat anti ansietas non benzodiazepine, seperti buspiron (buspar) dan
berbagai antidepresan juga digunakan (Ann Isaacs, 2005)
2. Penatalaksanaan non famakologi
a. Distraksi
Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan ansietas dengan cara
mengalihkan perhatian pada hal-hal lain sehingga pasien akan lupa terhadap
ansietas yang dialami. Stimulus sensorik yang menyenangkan menyebabkan
pelepasan endorphin yang bisa menghambat stimulus ansietas yang mengakibatkan
lebih sedikit stimuli ansietas yang di transmisikan ke otak (Potter & Perry, 2010)
b. Relaksasi
Masase juga merupakan terapi untuk relaksasi. Terapi relaksasi yang dilakukan
dapat berupa teknik relaksasi napas dalam, mendengar music dan dengan masase,
tindakan ini bertujuan untuk membuat tubuh merasa lebih nyaman dan dapat
meningkatkan kendali dan percaya diri serta mengurangi stress dan kecemasan
yang dirasakan. Masase dapat merangsang tubuh melepaskan senyawa endorphin
yang merupakan pereda sakit alami, endorphin tersebut juga dapat menciptakan
rasa nyaman dan enak (Maryunami, 2010)
I. Intervensi Obat dan Nonobat
1. Intervensi obat, (Departemen Kesehatan RI, 2008)
Anti Ansietas:
1) Golongan Benzidiazepam
2) Buspiron
Anti Depresan:
Golongan serotoin Norepinephrin Reuptake Inhibitors (SNRI). Pengobatan yang paling
efektif untuk pasien dengan kecemasan menyeluruh adalah pengobatan yang
mengkombinasikan psikoterapi dan farmakoterapi. Pengobatan mungkin memerlukan
cukup banyak waktu bagi klinisi yang terlibat (Manjoer, 2010).
2. Intervensi non obat
1) Distriksi
2) Relaksasi
3) Masase punggung
J. Faktor yang bisa dan tidak bisa dimodifikasi
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien menurut Majid, 2011 adalah:
1) Pengalaman operasi sebelumnya
2) Pengetahuan pasien tentang persiapan operasi baik fisik maupun penunjang
3) Pengertian pasien tentang tujuan atau alasan tindakan operasi
4) Pengetahuan pasien tentang situasi atau kondisi kamar operasi dan petugas kamar
operasi
5) Pengetahuan pasien tentang prosedur (pra, intra, pasca operasi)
6) Pengetahuan tentang latihan-latihan yang harus dilakukan sebelum operasi dan harus di
jalankan setelah operasi, seperti latihan napas dalam, batuk efektif, ROM, dan lain-lain
K. Monitoring Terapi
L. Edukasi Klien
Terapi psikoedukasi keluarga merupakan salah satu elemen program perawatan kesehatan
jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang
terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan
progmatif (York & Kristyantingsih, 2013 dalam Stuart, Keliat & Pasaribu, 2016). Peneliti
menunjukkan pada pasien yang akan hemodialysis, psikoedukasi keluarga terbukti efektif
dalam menurunkan ansietas serta dapat meningkatkan kelansungan hidup klien ( Hosseini et
al, 2015). Psikoedukasi keluarga merupakan praktik keperawatan yang berbasis bukti
penggunaan pendekatan edukasi dan praktik (Stuart, 2016).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ansietas adalah suatu perasaan takut yang berasal dari ekstenal atau internal sehingga
tubuh memiliki respon secara prilaku, emosional, kognitif dan fisik.
Faktor predisposisi terjadinya ansietas adalah faktor biologim psikologis dan social
budaya.
Salah satu terapi untuk ansietas adalah terapi slow deep breathing yang bertujuan untuk
meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru,
meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik fisik maupun emosional.

Anda mungkin juga menyukai