Anda di halaman 1dari 17

Agus Dwi Ananto, MG Lalu Undrus Yusditia, & Lalu Sanik Wahyu FA:

Analisis
Kandungan BKO (Antalgin dan Dexamethasone) dalam Pengobatan Herbal

ANALISIS ISI BKO (ANTALGIN DAN DEXAMETHASONE)


DALAM OBAT HERBAL DENGAN MENGGUNAKAN IODIMETRY TITRATION
DAN HPLCMETHOD

Agus Dwi Ananto *, Lalu Undrus Yusditia MG **, Lalu Sanik Wahyu FA ***

*
Jurusan Farmasi, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, Mataram, Indonesia
agus_da@unram.ac.id
*
* Jurusan Farmasi, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, Mataram, Indonesia
laluundrus20@gmail.com
**
* Jurusan Farmasi, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, Mataram, Indonesia
lalusanikfa@gmail.com

Korespondensi Email: agus_da@unram.ac.id

Diterima: 23 Oktober 2019 Diterima: 9 April 2020 Ditayangkan: 30 Juni 2020

Abstrak : Penyalahgunaan penambahan obat kimia - BKO - ke dalam


obat herbal kerap dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab. Tujuannya untuk meningkatkan efikasi secara instan, untuk
menarik minat konsumen. BKO yang sering ditambahkan pada jamu
adalah antalgin dan deksametason. Analisis kandungan antalgin
dilakukan secara kuantitatif menggunakan metode titrasi iodimetri
dengan melakukan uji pendahuluan. Analisis kandungan deksametason
dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif
dilakukan dengan menggunakan KLT. Metode kuantitatif dilakukan dengan
teknik HPLC. Hasil yang diperoleh untuk analisis kadar antalgin dari 10
sampel diperoleh dua sampel jamu yang mengandung antalgin, masing-
masing 0,0749% dan 0,1083%.
0,222%, 0,4521%, 0,5131% dan 0,2809%. Maka berdasarkan hasil tersebut perlu
dilakukan tindakan dari instansi terkait terkait ditemukannya kandungan
BKO pada jamu yang beredar di pasaran di Lombok.
Kata kunci: Antalgin, Deksametason, TLC, HPLC

Abstrak: Penyalahgunaan penambahan bahan kimia obat (BKO)


kedalam jamu sering dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung
jawab. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan khasiat
secara instan, sehingga dapat menarik minat konsumen. BKO yang sering
ditambahkan kedalam jamu adalah antalgin dan deksametason. Analisis
kandungan antalgin dlakukan dengan cara kuantitatif menggunakan
metode titrasi iodimetri dengan melakukan uji pendahuluan. Sedangkan
analisis kandungan deksametason dilakukan dengan metode kualitatif
dan kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan menggunakan
KLT. Metode dilakukan dengan menggunakan teknik HPLC kuantitatif.
Hasil yang diperoleh untuk analisis kandungan antalgin dari 10 sampel
didapat 2 sampel jamu yang mengandung antalgin masing-masing
sebesar 0,0749% dan 0,1083%.
0,0979%; 0,222%; 0,4521%; 0,5131% dan 0,2809%. Sehingga berdasarkan hasil
tersebut maka perlu dilakukan tindakan dari instansi yang berkaitan dengan
masih

57 | Elkawnie: Jurnal Sains dan Teknologi Islam Vol. 6, No. 1, Juni 2020
(www.jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/elkawnie)
DOI: 10.22373 / ekw.v6i1.5428
Agus Dwi Ananto, MG Lalu Undrus Yusditia, & Lalu Sanik Wahyu FA:
Analisis
Kandungan BKO (Antalgin dan Dexamethasone) dalam Pengobatan Herbal

ditemukannya kandungan BKO dalam sediaan jamu yang dialirkan di pasaran


pulau Lombok.
Kata kunci: Antalgin, Dexametason, KLT, HPLC

pengantar
Obat herbal merupakan warisan yang telah digunakan untuk pengobatan dan
pemeliharaan kesehatan. Obat herbal merupakan salah satu obat tradisional yang
berkembang pesat di berbagai negara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vera
et al. (2018) menunjukkan bahwa masih banyak jenis tanaman obat yang
dimanfaatkan masyarakat. Misalnya, untuk satu kawasan di komunitas Pulo
Seunong, Pidie, Aceh menggunakan 79 spesies tumbuhan obat yang tersebar di 40
famili. Sehingga dapat dikatakan Indonesia memiliki keanekaragaman tumbuhan yang
dapat dijadikan sebagai tumbuhan yang memiliki khasiat obat. Penggunaan jamu
sebagai salah satu alternatif pengobatan modern di masyarakat cukup tinggi. Hal ini
disebabkan oleh perkembangan pengobatan modern yang pesat dan era globalisasi;
Sebagian besar masyarakat masih menggunakan jamu untuk menjaga kesehatan dan
menyembuhkan penyakit (Andriati dan Wahjudi, 2016). Penggunaan jamu berdampak
pada peningkatan tingkat kepercayaan masyarakat dalam mengkonsumsi daripada
menggunakan obat sintetik (Saputra, 2015).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 003 / MENKES / PER / I
/
2010 ayat satu tentang identifikasi jamu dalam penelitian berbasis
pelayanan kesehatan, obat tradisional adalah bahan atau bahan yang
berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik. , atau campuran
bahan-bahan ini yang secara tradisional digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman sebelumnya.
Dengan semakin maraknya penggunaan obat tradisional
khususnya tambahan herbal, akibatnya sering ditemukan
penyalahgunaan Bahan Kimia Obat (BKO) menjadi sediaan herbal. Hal
tersebut juga dipertegas oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia (2012) nomor 6 yang menyatakan bahwa semua jenis obat
tradisional dilarang mengandung produk bahan kimia atau sintetik.
Hal ini juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia (2012) Nomor 007 ayat 7 Alinea 1 tentang registrasi
obat yang menyatakan bahwa obat tradisional dilarang mengandung
obat kimia hasil isolasi.
Penyalahgunaan penambahan BKO ke dalam sediaan herbal sering
diidentifikasi untuk penanganan penyakit seperti rematik, pereda nyeri, dan
afrodisiak (Nurohmah & Mita, 2017). Salah satu jamu yang biasa digunakan untuk
meredakan nyeri adalah herbal pegal-pegal untuk meredakan nyeri, meredakan nyeri
otot, kelelahan, nyeri otot, dan tulang, memperlancar peredaran darah,
memperkuat daya tahan tubuh, dan meredakan nyeri di seluruh tubuh.
Berdasarkan beberapa kasus BKO kaku pada jamu yang berhasil diungkapkan
Elkawnie: Jurnal Sains dan Teknologi Islam Vol. 6, No. 1, Juni
2020
(www.jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/elkawnie)

DOI: 10.22373 / ekw.v6i1.5428 |


Agus Dwi Ananto, MG Lalu Undrus Yusditia, & Lalu Sanik Wahyu FA:
Analisis
Kandungan BKO (Antalgin dan Dexamethasone) dalam Pengobatan Herbal

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), BKO yang paling umum adalah
antalgin. Antalgin adalah turunan methanesulfonate dari middleopyrine yang
bekerja pada sistem saraf pusat, yang

Elkawnie: Jurnal Sains dan Teknologi Islam Vol. 6, No. 1, Juni


2020
(www.jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/elkawnie)

DOI: 10.22373 / ekw.v6i1.5428 |


kepekaan reseptor rasa sakit dan mempengaruhi pusat pengaturan
suhu tubuh. Tiga efek utama antalgin adalah analgesik, antipiretik, dan anti
inflamasi (Fatimah, Rahayu, & Indari, 2017).
Selain antalgin, produk obat yang bisa didapat dengan mudah adalah
deksametason. Dexamethasone biasanya digunakan untuk mengobati nyeri di tubuh.
Obat tersebut termasuk obat kortikosteroid sintetik yang memiliki potensi antiinflamasi
yang sangat kuat (Budiarti & Faza, 2018). Efek anti inflamasi ini dapat mengobati
nyeri pada tubuh sehingga banyak disalahgunakan yang bercampur dalam sediaan
herbal.
Adanya penyalahgunaan BKO pada sediaan herbal inilah yang
menjadikan alasan utama analisis BKO pada sediaan herbal.
Sampel jamu diambil di beberapa daerah di pulau Lombok,
Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Metode penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental. Sampel yang
digunakan adalah sampel jamu yang diambil dengan menggunakan metode purposive
sampling di pulau Lombok.

Bahan dan alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah herbal kaku,
antalgin standar, deksametason standar, aquadest, metanol, asetonitril, etanol,
kloroform, perak nitrat, asam klorida, larutan pati 1%, larutan yodium. Alat yang
digunakan adalah HPLC, mikropipet, timbangan analitik, pelat KLT, chamber,
lampu UV 254 dan 366, dan buret.

Prosedur Penelitian

Analisis konten antalgin

Prosedur analisis kandungan antalgin diadaptasi dari


Banureah
(2009). Pada sediaan antalgin standar, sebanyak 400 mg antalgin standar
dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan aquadest 50 ml,
ditambahkan shake HCl 0,2 N sebanyak 5 ml dan disaring. Pada tahap persiapan
sampel herbal diambil 400 mg sampel, ditambahkan 50 ml akuades, dan
ditambahkan 5 ml HCl 0,2 N kemudian dikocok dan disaring.
Metode analisis dibagi menjadi dua bagian, metode kualitatif dan
kuantitatif. Perlakuan yang sama dilakukan untuk standar dan
sampel. Dalam metode kualitatif, hasil dari setiap preparasi sampel
dan standar Diminum sebanyak tiga tetes, dimasukkan ke dalam plate tetes, dan
ditambahkan AgNO3
sebanyak lima tetes.
Pada analisis kuantitatif hasil sediaan standar dan sampel
diambil sebanyak 5 ml, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, ditambahkan
1 ml larutan pati 1% sebagai indikator. Titrasi dengan larutan iodium
dan hitung volume hasil titrasi iodium (1 ml larutan iodium 0,01 N
setara dengan 16,67 mg).
Keberadaan BKO dalam sediaan jamu dapat diketahui
dengan menghitung jumlah antalgin dengan persamaan
sebagai berikut:

……………………… (1)
Informasi:
V = volume titrasi sampel N
= normalitas yodium
∞ = 16,67 mg
B = berat sampel

Analisis konten deksametason

Penelitian ini menggunakan metode HPLC untuk analisis kandungan


deksametason. Standar deksametason standar diencerkan dari 1000 ppm
menjadi 5 ppm, 3 ppm, 2 ppm, 1 ppm, dan 0 ppm menggunakan pelarut
etanol 25 mL. Larutan standar ini diinjeksikan ke dalam instrumen HPLC
dan diukur pada panjang gelombang 254 nm untuk membentuk kurva
standar deksametason.
Sampel ditimbang sebanyak 25 mg, dimasukkan ke dalam gelas ukur,
dan ditambahkan 25 mL ethanol. Sampel dikocok beberapa saat. 10.00 μL
sampel yang dikocok diinjeksikan ke dalam instrumen HPLC. Fase gerak yang
digunakan dalam instrumen ini adalah asetonitril: air (7: 3). Kolom yang
digunakan adalah kolom C18. Instrumen tersebut diprogram dengan waktu
berjalan sekitar 5 menit pada panjang gelombang 254 nm. Kromatogram yang
diperoleh dianalisis sehingga dapat diketahui kadar deksametason dalam
sampel.

Hasil dan Diskusi


Analisis kandungan BKO perlu ditentukan untuk kemungkinan
kandungannya dalam sediaan kekakuan herbal. Hal ini diperlukan karena
tidak diperbolehkan adanya kandungan BKO dalam sediaan obat tradisional
atau herbal. Antalgin dan deksametason BKO sering disalahgunakan
untuk ditambahkan pada pegal linu untuk mempercepat efek pereda nyeri
atau nyeri reumatik, sehingga meningkatkan nilai jual jamu. Sampel
herbal diambil di beberapa daerah di Pulau Lombok. Sampel dibagi menjadi
2 kategori. Sebanyak 10 sampel disiapkan untuk analisis kadar antalgin,
dan 10 sampel disiapkan untuk analisis kadar deksametason.

Analisis konten antalgin

Dalam analisis kandungan antalgin dilakukan analisis dengan menggunakan


metode kualitatif dan kuantitatif. Preparasi sampel dilakukan dengan
menambahkan 50 ml akuades dan 5 ml HCl 0,2 N, kemudian dikocok dan
disaring. Ini bertujuan untuk melarutkan antalgin dalam sampel. Identifikasi
keberadaan antalgin dilakukan dengan metode kualitatif. Pada tahap ini diambil
hasil preparasi sampel sebagai
sebanyak 3 tetes dan dimasukkan ke drip plate, kemudian diteteskan dengan AgNO3 dan
diproduksi
endapan dan warna ungu. Mekanisme reaksi yang terjadi antara Antalgin
dan AgNO3 adalah sebagai berikut:

BEGIT3U 2 +- Ag + • AgSO3 ......................(2)


Dengan menambahkan lebih banyak reagen, terbentuk endapan dengan reaksi:

[AgSO3] - + Ag + • Ag2BEGITU3............(3)
Adanya sedimen ungu membuktikan adanya kandungan antalgin dalam
sampel. Dari total 10 sampel, 6 sampel diduga mengandung antalgin. Tabel 1
menggambarkan hasil identifikasi kandungan antalgin. Berdasarkan tabel tersebut,
terdapat enam sampel positif yang mengandung antalgin (A, B, F, G, H, dan I).
Berdasarkan hasil yang diperoleh, keenam sampel yang diduga
mengandung antalgin dianalisis secara kuantitatif dengan metode
iodimetri.
Tabel 1. Hasil identifikasi kualitatif keberadaan antalgin dalam sediaan herbal.

Sampel
Warna larutan Warna sedimen
Antalgin standar Ungu Putih keunguan

A Merah Jambu Merah Jambu


B Ungu Putih keunguan
C Merah Jambu Merah
D Merah muda keunguan Merah muda keunguan
E Merah muda keunguan Merah muda keunguan
F Ungu Putih keunguan
G Ungu Putih keunguan
H Putih keunguan
Ungu
I Ungu Putih keunguan
J cokelat cokelat

Prinsip dasar metode titrasi iodimetri ditekankan dengan adanya reaksi


oksidasi antara yodium dan zat pereduksi, yang memiliki potensi oksidasi lebih
lemah daripada sistem iodin-iodida. Berdasarkan hal tersebut dilakukan
analisis kuantitatif untuk mengetahui seberapa besar kandungan BKO antalgin
dalam jamu dengan menggunakan metode ini.
Sampel diambil sebanyak 5 ml, ditambahkan 1 ml pati 1%, dan
dititrasi
dengan saya2 0,1 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan munculnya
larutan berwarna keunguan. Berdasarkan metode standar dalam
Farmakope
Indonesia (1995) untuk menganalisis antalgin digunakan yodium 0,1 N. Alasan
pemilihan yodium 0,1 N karena pada konsentrasi ini yodium memiliki warna yang
kuat sehingga yodium dapat menjadi indikator untuk dirinya sendiri. Penentuan
antalgin dengan titrasi iodimetri akan memberikan warna yang jelas. Deteksi titik
akhir reaksi ini adalah munculnya warna biru. Reaksi yang terjadi adalah
sebagai berikut:

NaSO3 + saya2 + H2HAI•NaSO4 + 2HI...........(4)


Reaksi yang terjadi pada tahap ini adalah reaksi pelepasan
hidrogen dari antalgin, yang bertindak sebagai pengoksidasi dan mereduksi I.2 sebagai
solusi standar. Antalgin mengalami oksidasi sehingga I2 bertindak sebagai
agen pereduksi yang menangkap hidrogen. Berdasarkan hasil titrasi
iodimetri, terdapat 2 sampel
diperoleh antalgin, B dan F.Hasil uji kandungan antalgin dapat dilihat
pada Tabel 2.
Meja 2. Hasil kuantitatif uji antalgin menggunakan titrasi iodimetri.

Antalgin Rata-rata (%) Jarak


Sampel Pengulangan
tingkat (%)
1 0,5001 0,5001 0,5001 ± 0
Standar
2 0,5001
Antalgin
3 0,5001

1 0,0833 0,0694 0,0694 ± 0,024

Sampel B 2 0,0833

3 0,0416

1 0,0923 0,0968 0,0968 ± 0,047

Sampel F. 2 0,125

3 0,123

Berdasarkan tabel 2, sampel B merupakan sampel jamu yang


tidak memiliki izin edar dari BPOM, dan sampel F memiliki izin edar
dari BPOM. Secara kuantitatif, kedua sampel mengandung antalgin
BKO.
Penelitian dengan menggunakan metode yang sama dilakukan oleh Banureah
(2009). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dari 10 sampel yang digunakan;
semua sampel itu mengandung antalgin.

Analisis konten deksametason


Sebanyak 10 sampel dari berbagai merek telah dianalisis.
Analisis kandungan deksametason dilakukan dengan metode kualitatif
(KLT) dan metode kuantitatif (HPLC). Hasil identifikasi kandungan
deksametason dengan metode KLT diperoleh 5 sampel yang diperkirakan
positif mengandung deksametason. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 1
yang menunjukkan hasil KLT yang terlihat pada lampu UV 254 dan 366.
Gambar 1. Hasil KLT pada sinar UV 254 dan 366, St = Standard Deksametason
Berdasarkan Gambar 1 dapat disimpulkan bahwa beberapa sampel
mengandung deksametason. Hal ini karena antara sampel dan standar
menunjukkan letak posisi bercak memiliki nilai Rf yang sama. Kesamaan
nilai Rf dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai rf sampel dan standar deksametason

Kode sampel Jarak titik (cm) Nilai rf


SEBUAH 5,9 0,73
B 5,8 0,72
C 5,6 0,70
E 5,4 0,67
G 5,8 0,72
St 4,3 - 5,9 0,53 - 0,73

Berdasarkan identifikasi menggunakan KLT, sampel A, B, C, E,


dan G diuji menggunakan instrumen HPLC untuk mengetahui
seberapa besar kandungan BKO deksametason dalam sampel
jamu. Proses analisis menggunakan HPLC diawali dengan
menginjeksikan sampel dan standar deksametason ke dalam
instrumen sebanyak 10,00 μL. Fase gerak telah mengalir melalui
kolom ke detektor. Pemisahan komponen campuran dalam kolom
terjadi karena perbedaan kekuatan interaksi antar larutan dengan
fasa diam. Larutan yang kurang berinteraksi kuat dengan fase diam
akan keluar dari kolom terlebih dahulu, kemudian dideteksi oleh
detektor dan direkam dalam bentuk kromatogram. Fase diam yang
digunakan pada instrumen ini adalah kolom C18 µm. Kolom ini
dapat diterapkan untuk sampel non-polar.
Konsentrasi standar deksametason yang digunakan adalah 0 ppm, 1 ppm, 2
ppm, 3 ppm, dan 5 ppm. Panjang gelombang yang digunakan dalam pengukuran adalah
254 nm. Nilai area standar deksametason dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai area standar deksametason

Konsentrasi (ppm) Daerah Waktu retensi (menit)


0 0 0
1 33527 1,51 - 2,20
2 76769 1,30 - 2,10
3 103729 1,40 - 2,00
5 219745 1,50 - 2,20

Kurva standar deksametason standar dapat dilihat pada Gambar 2.


Berdasarkan Gambar 2 diperoleh persamaan y = 43425x - 8780 dan nilai R2
= 0,9815. Kurva yang dihasilkan memiliki linieritas yang baik karena syarat
untuk mengetahui linieritas yang baik adalah nilai R2 harus mendekati 1 atau
sama dengan 1.
Gambar 2. Kurva standar deksametason.

Penyelarasan model regresi dapat dijelaskan dengan menggunakan nilai


R2. Jika R2 nilai mendekati 1, artinya model regresi semakin baik. R2 nilai
memiliki ciri-ciri yang selalu positif. R maksimum2 nilainya adalah 1.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini memiliki R2 nilai 0,9815; itu
berarti memiliki arti kesesuaian yang baik.
Setelah didapatkan persamaan garis untuk mengetahui
kandungan deksametason dalam sampel, selanjutnya dilakukan
pengujian untuk menentukan luas sampel sehingga diperoleh nilai “y”.
Hasil analisis sampel kemudian diinterpretasikan dalam bentuk
kromatogram.
Tabel 5. Data dari analisis sampel menggunakan HPLC

Kode sampel Waktu retensi (Menit) Daerah

SEBUAH 1.988 33734


B 1.573 87632
C 1.561 187540
E 1.522 214045
G 1.784 82700

Berdasarkan Tabel 5, untuk mengetahui kandungan deksametason dalam sampel, nilai luas
yang diperoleh dimasukkan sebagai nilai "y" pada persamaan garis yang diperoleh
sebelumnya. Kadar deksametason dalam sampel dapat dihitung menggunakan
persamaan garis yang diperoleh berdasarkan persamaan garis sebelumnya. Tabel 6
menunjukkan tingkat deksametason dalam sampel.

Tabel 6. Tingkat data deksametason dalam sampel

Kode sampel Tingkat deksametason %Tingkat


SEBUAH 0,979 0,0979
B 2.220 0,222
C 4.521 0,4521
E 5.131 0,5131
G 2.107 0,2809
Penelitian serupa terkait analisis kandungan deksametason juga dilakukan
oleh Aulia et al. tahun 2016. Penelitian ini juga menggunakan metode yang kurang
lebih sama dan menggunakan instrumen HPLC. Berdasarkan penelitian dari 3 sampel
uji, 1 sampel positif mengandung deksametason (2,220%).
Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, masih ditemukan
penyalahgunaan penambahan BKO (antalgin dan deksametason) ke dalam
sediaan jamu. Hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 006 (2012) bahwa BKO tidak boleh ditambahkan
pada sediaan herbal.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa masih terdapat


penyalahgunaan penambahan BKO yang termasuk dalam sediaan herbal.
Hasil yang diperoleh untuk analisis kandungan antalgin dari 10 sampel
diperoleh 2 sampel jamu yang mengandung antalgin, masing-masing
0,0749% dan 0,1083%. Analisis kadar deksametason dari 10 sampel
diperoleh 5 sampel jamu yang mengandung deksametason masing-masing
0,0979%, 0,222%, 0,4521%,
0,5131%, dan 0,2809%.

Referensi
Andriati, & RM Teguh Wahjudi, (2016). Tingkat penerimaan masyarakat terhadap jamu
sebagai alternatif pengobatan modern untuk golongan bawah, menengah,
dan atas. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik (MKP), 29 (3),
133-145. http:// dx.doi.org/10.20473/mkp.V29I32016.133-
145
Aulia, DS, Aprilia, H., & Kodir, RA (2016). Analisis Kualitatif dan
Kuantitatif Bahan Kimia Obat Parasetamol dan Deksametason pada Jamu
Pegal Linu yang Beredar di Perdagangan dengan Menggunakan
Metode Ekstraksi Fase Padat - Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
Prosiding Farmasi, hal.446-453.
Banureah, EM, (2009). Analisis Kandungan Metampiron pada Jamu Tradisional
yang Beredar di Kota Medan Tahun 2009. Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Budiarti, A., & Faza MBA, (2018). Analisis Bahan Kimia Obat Deksametason
Dalam Jamu Pegal Linu Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi. Cendekia Eksata 3 (1), 1-6. https: //
publikasiilmiah.unwahas.ac.id/ index.php / CE / article / view /
2136/2140.
Fatimah, S., Rahayu M., & Indari DF, (2017). Analisis Antalgin dalam
Jamu
Pegal Linu yang Dijual di Pasar Beringharjo Yogyakarta. Jurnal
Kesehatan (JoH) 4 (1), 29-34. https://doi.org/10.30590/vol4-no1, 29-34. Nurohmah,
S., & Mita SR (2017). Review Artikel: Analisis Bahan Kimia Obat
(BKO) Dalam Jamu Menggunakan Strip Indikator. Farmaka suplemen
15 (2), 200-206. https://doi.org/10.24198/jf.v15i2.13248.g6124.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 003 Tentang Saintifikasi
Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Kemenkes
Republik Indonesia. Jakarta. 2010.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tentang Industri
Dan Usaha Obat Tradisional. Kemenkes Republik Indonesia. Jakarta. 2012.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tentang Registrasi
Obat Tradisional. Kemenkes Republik Indonesia. Jakarta. 2012.
Saputra, SA (2015). Identifikasi Bahan Kimia Obat Dalam Jamu Pegal
Linu Seduh Dan Kemasan Yang Dijual Di Pasar Bandar. Junal
Wiyata 2 (2), 188-192.
https://ojs.iik.ac.id/index.php/wiyata/article/view/59/59.
Vera, V., Irda Y., Irhamni, Saudah, & Ernilasari, (2018). Biodiversitas Tumbuhan
Obat oleh Masyarakat Gampong Pulo Seunong Kecamatan
Tangse
Kabupaten Pidie. Elkawnie. 4 (1), 89-100.
http://dx.doi.org/10.22373/ekw.v4i1.3027.

Anda mungkin juga menyukai