Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH OBAT ANTIHISTAMIN GENERASI KE-2

“ LORATADINE “

Disususn Oleh :

Kelompok 4 :

1. Nety Parwati Oktarina (A191038)


2. Ni Putu Natasya Dewanti (A191039)
3. Titin Agustiningsih (A191040)
4. Uswatun Hasanah (A191041)
5. Wahyu Septiana (A191042)
6. Yunisa Andriani (A191043)
7. Yuyun Kusati (A191044)
8. Yugi Sandiawan Saputra (A191045)
9. Fili Sri Ulan (A191046)
10. Agas Herfiandika (A191047)
11. Hisnawati (A191048)
12. Zati Hulwani (A191051)
13. Sukmawati (A191052)
POLITEKNIK MEDIKA FARMA HUSADA MATARAM

Tahun Pelajaran 2020/2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Farmakologi II tentang ini.”Obat
Antihistamin Generasi ke-2 Loratidine” dengan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata kesempurnaan. Oleh kerana itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada para pembaca apabila
menemukan kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah kami, baik dari segi bahasanya
maupun isinya demi lebih baiknya makalah–makalah yang akan datang.

Mataram, 12 Maret 2021

Kelompok 4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................................2
BAB I............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
A. Latar belakang.................................................................................................................................4
B. Identifikasi Masalah........................................................................................................................5
C. Maksud dan Tujuan.........................................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................................................6
I. HISTAMIN.....................................................................................................................................6
II. ANTIHISTAMINE..........................................................................................................................8
A. Indikasi Loratadine........................................................................................................................13
B. Dosis Loratidine............................................................................................................................13
C. Efek Samping................................................................................................................................14
D. Interaksi Obat................................................................................................................................15
E. Kehamilan.....................................................................................................................................16
F. Kontraindikasi...............................................................................................................................17
G. Mekanisme kerja............................................................................................................................17
BAB III..................................................................................................................................................18
PENUTUP.............................................................................................................................................18
A. Kesimpulan....................................................................................................................................18
B. Saran..........................................................................................................................................18
Daftar Pustaka..........................................................................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Antihistamin adalah obat yang bekerja mengantagonis aksi dari histamin. Dbat antihistamin
yang pertama digunakan adalall epinefrin, dan antara tahun 1937-1972, beratus-ratus
antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak
berbeda. Antihistamin misalnya Antergan, Neoantergan, Difenhidramin, dan Tripelenamin dalam
dosis terapi efektif untuk mengobati udem,eritema, dan pruritus pada penderita urtikaria, tetapi
tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut di
atas digolongkan dalam antihistaminpenghambat reseptor HI(AHI). Sesudah tahun 1972,
ditemukan kelompok antihistamin barn, yaitu Burinamid, Metiamid, dan Simetidin yang dapat
menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Kelompok obat antihistamin tersebut
digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H2(AH2)CUdin.S, Hedi. RD, 1995).

Histamin sendiri dikenal sebagai mediator kimia yang penting pada peradangan dan secara
khusus berperan dalam respon hipersensitivitas tipe cepat. Hipersensitivitas atau yang dikenal
dengan nama alergi adalah perubahan reaksi tubuh atau pertahanan tubuh terhadap suatu benda
asing yang terdapat di dalam lingkungan hidup sehari-hari. Alergi termasuk salah satu jenis
penyakit yang sering dijumpai dalam masyarakat. Manifestasi dari alergi dapat berupa Asma
Bronkhiale (pada saluran nafas bawah), rhinitis alergika (pada hidung), UrtikarialEksim (pada
kulit). Selain itu, manifestasi alergi terberat dapat berupa syok anafilaktik. Dari seluruh penyakit
akibat alergi, angka kejadian rhinitis diperkirakan lebih kurang sebanyak 200/0(Asma antara 2-
10%, dan Eksim 1-2 %) (M.C Widjaja, 2002). Masyarakat masih menganggap bahwa penyakit
alergi ini dapat sembuh dengan sendirinya. Pada kenyataannya untuk mengatasi
penyakitpenyakit alergi ini diperlukan obat-obatan antihistamin. Antihistamin sebagai
penghambat reseptor HI yang pertama kali ditemukan berpotensi untuk menghambat reseptor HI
tetapi mempunyai efek sedasi dan antikolinergik yang kuat juga. Obat-obat itu juga
menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti mulut kering dan efek sedasi. Klasifikasi
terbaru membagi antihistamin menjadi obat-obatan antihistaminAHI generasi pertama dan
generasi kedua.

Antihistamin penghambat reseptor HI generasi I melewati sawar darah otak dengan cepat dan
menghambat reseptor HI di otak lebih dari 80%. Antihistamin AHI generasi pertama merupakan
reseptor yang tidak selektif, obat-obatan ini juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap
reseptor-reseptor dopaminergik, serotoergik, alpha-adrenergik, dan kolinergik di otak. Semua
antihistamin generasi pertama termasuk semua obat-obatan tanpa resep dokter yang tersedia di
pasaran menyebabkan efek-efek yang tidak diinginkan seperti hilangnya kewaspadaan dalam
mengemudi dan bekerja, menurunkan ketangkasan dan dapat meningkatkan efek buruk ethanol
dalam menyebabkan kerusakan psikomotor. Penurunan produktivitas pekerja yang disebabkan
oleh antihistamin sedatif banyak ditemukan dalam studi klinik. Jems kecelakaan yang paling
sering tetjadi pada penggunaan obat-obat antihistamin sedatif adalah luka bakar, diikuti dengan
luka terbuka dan luka tusuk, juga patah tulang dan dislokasi sendi (Buske, 2002). Terapi dengan
antihistamin secara kroms dapat menyebabkan penurunan kemanjuran obat tersebut, hal itu
berhubungan dengan efek samping yang ditimbulkannya. Dengan demikian obat antihistamin
generasi pertama walaupun efektif untuk mengatasi penyakit alergi namun penggunaannya
terbatas oleh karena efek sampingnya seperti sedasi. Pada tahun 1980 para ahli mulai
mengembangkan antihistamin non-sedatif yang tetap efektif untuk mengatasi gangguan akibat
penyakit alergi tanpa efek samping sedasi. Saat ini obat-obat antihistamin non-sedatif yang kita
kenal sebagai antihistamin penghambat reseptor HI generasi IT sudah banyak ditemukan seperti
Loratadine, Cetirizine, Desloratadine, Azelastine, dan Fexofenadine (Buske, 2002).

B. Identifikasi Masalah
1. Apa itu histamine?
2. Pengertian antihistamine dan golongan antihistamine generasi kedua?

C. Maksud dan Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu histamine


2. Untuk mengetahui pengertian antihistamine dan golongan antihistamine generasi ke dua.
BAB II
Pembahasan

I. HISTAMIN
A. Pengertian Histamin
Histamin adalah zat kimia yang terdapat secara alami dalam jaringan tubuh yang
dengan dosis kecil dan memiliki kerja yang nyata dan bergam pada otot, kapiler darah
serta sekresi lambung. (Sue Hinchliff, Kamus keperawatan edisi 17 , hal. 209).
Ada juga menyebutkan Histamin adalah amina biogenik terlibat dalam respon
imun lokal serta mengatur fungsi fisiologis di usus dan bertindak sebagai
neurotransmiter.
Histamin sendiri merupakan senyawa yang terlibat dalam respon imunitas lokal,
selain itu senyawa ini juga berperan sebagai neurotransmitter di susunan saraf pusat dan
mengatur fungsi fisiologis di lambung.
Ada juga berpendapat Histamin merupakan mediator kimia turunan asam amino
histidin, banyak terdapat di paru-paru, kulit dan saluran cerna. Zat ini disekresikan saat
terjadi luka, saat alergi yang dipengaruhi antibody IgE atau tanpa IgE. Efek yang
ditimbulkan antara lain dilatasi (pelebaran) pembuluh darah, tekanan darah turun,
meningkatnya permeabilitas kapiler, efek gatal, konstriksi bronkus dan peningkatan asam
lambung.
Histamin berperan terhadap berbagai proses fisiologis yaitu mediator kimia yang
dikeluarkan pada alergi seperti asma, urtikaria dan anafilaksis. Penderita yang sensitif
terhadap histamin atau yang mudah terkena alergi karena jumlah enzim yang dapat
merusak histamin ditubuh lebih rendah dari normal. Histamin dibentuk oleh histidin
dengan bantuan enzim histidine decarboxylase (HDC). Selanjutnya histamin yang
terbentuk akan diinaktivasi dan disimpan dalam granul mast cell dan basofil (sel darah
putih).
B. Pelepasan histamine terjadi akibat :
1. Rusaknya sel
Histamine banyak dibentuk di jaringan yang sedang berkembang dengan cepat atau
sedang dalam proses perbaikan, misalnya luka
2. Senyawa kimia
Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenic,sehingga akan melepaskan histamine
dari sel mast dan basofil. Contohnya adalah enzim kemotripsin, fosfolipase, dan
tripsin.
3. Reaksi hipersensitivitas
Pada orang normal, histamine yang keluar dirusak oleh enzim histamin dan diamin
oksidase sehingga histamine tidak mencapai reseptor Histamin. Sedangkan pada
penderita yang sensitif terhadap histamine atau mudah terkena alergi jumlah enzim-
enzim tersebut lebih rendah daripada keadaan normal.
4. Sebab lain
Proses fisik seperti mekanik, thermal, atau radiasi cukup untuk merusak sel terutama
sel mast yang akan melepaskan histamin.
C. Reseptor Histamin
A. Reseptor H1
Paling banyak berperan dalam alergi namun bisa juga vasodilatasi dan
bronkokonstriksi (asma) sedangkan lokasinya  terdapat di otak, bronkus,
gastrointestinal tract, genitourinary system, sistem kardiovaskuler, adrenal medula,
sel endothelial.
B. Reseptor H2
Berlokasi di sel parietal lambung yang berperan dalam sekresi asam lambung Cara
kerjanya adalah dengan mengikat reseptor H2 pada membran sel parietal dan
mencegah histamin menstimulasi sekresi asam lambung.
Obat antagonis H2: cimetidine, ranitidine, famotidine
C. Reseptor H3
Terdapat di sistem syaraf, mengatur produksi dan pelepasan histamin pada susunan
saraf pusat. Tidak seperti antagonis H1 yang menimbulkan efek sedatif, antagonis H3
menyebabkan efek stimulant dan nootropic dan sedang diteliti sebagai obat
Alzheimer.
Obat: Imetit, Immepip, clobenpropit, lodoproxyfan
D. Reseptor H4
Dijumpai pada sel-sel inflammatory (eusinofil, neutrofil, mononukleosit). diduga
terlibat dalam alergi bersinergi dengan reseptor H1 Masih merupakan target baru obat
anti inflamasi alergi karena dengan penghambatan reseptor H4 maka dapat mengobati
alergi dan asma (sama dengan reseptor H1).

II. ANTIHISTAMINE
A. Definisi Antihistamin
Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin
dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada reseptor H-1, H-2 dan H-3.
Efek antihistamin bukan suatu reaksi antigen antibodi karena tidak dapat menetralkan
atau mengubah efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak
dapat mencegah produksi histamin. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat
secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor khas.
Antihistamin sebagai penghambat dapat mengurangi degranulasi sel mast yang
dihasilkan dari pemicuan imunologis oleh interaksi antigen IgE. Cromolyn dan
Nedocromil diduga mempunyai efek tersebut dan digunakan pada pengobatan asma,
walaupun mekanisme molekuler yang mendasari efek tersebut belum diketahui hingga
saat ini.
B. Berdasarkan hambatan pada reseptor khas antihistamin dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu :
a. Antagonis H-1, terutama digunakan untuk pengobatan gejala-gejalal akibat reaksi
alergi
b. Antagonis H-2, digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan
penderita pada tukak lambung
c. Antagonis H-3, sampai sekarang belum digunakan untuk pengobatan, masih dalam
penelitian lebih lanjut dan kemungkinan berguna dalam pengaturan kardiovaskuler,
pengobatan alergi dan kelainan mental.

C. Antagonis histamin 1 generasi 2

Pada reaksi alergi, alergen (semacam antigen) berinteraksi dan membentuk ikatan
silang dengan permukaan dari antibodi IgE pada sel mast dan basofil. Ketika terjadi
kompleks sel mast antibodi-antigen, akan memacu terjadinya degranulasi dan
pelepasan histamin (dan mediator lainnya) dari dalam sel mast maupun basofil.
Setelah dilepaskan,histamin dapat bereaksi (menimbulkan efek) pada jaringan yang
terdapat reseptor histamin.

Proses release histamin tidak terjadi secara langsung, melainkan diawali dengan
transduksi signal. Proses transduksi signal adalah proses masuknya signal ke dalam
sel sehingga membuat sel bereaksi dan menimbulkan efek. Ketika alergen masuk
pertama kali ke dalam tubuh, TH -2 limfosit akan mengeluarkan IL-4, IL-4
menghasilkan signal yang merangsang B-sel (suatu sel limfosit) untuk menghasilkan
antibodi IgE. Ketika alergen menyerang untuk yang kedua kalinya, IgE berikatan
dengan alergen dan dibawa menuju sel mast. Pada sel mast kompleks IgE-alergen
akan terikat pada reseptor Fcε(Epsilon-C reseptor). Ikatan ini akan menghasilkan
signal ke dalam sel yang akan mengaktifkan enzim fosfolipase. Fosfolipase akan
mengubah phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate (PIP 2 ) menjadi inositol 1,4,5-
triphosphate (IP3) yang akan memobilisasi Ca2+ dari organel penyimpan dalam sel
mast. Ca2+ merupakan second messenger bagi terjadinya kontraksi otot atau sel.
Second messenger inilah yang memacu proses degranulasi sel mast sehingga histamin
akan terlepas.
Histamin bereaksi pada reseptor H-1, dapat menyebabkan pruritus (gatal-gatal),
vasodilatasi, hipotensi, wajah memerah, pusing, takikardia, bronkokonstriksi,
menaikkan permeabilitas vaskular, rasa sakit dan lain-lain. Histamin merupakan
produk dekarboksilasi dari asan amino histidin. Histamin terdapat dalam sel mast dan
leukosit basofil dalam bentuk tidak aktif secara biologik dan disimpan terikat dalam
heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan pada reaksi hipersensitivitas
pada rusaknya sel dan akibat senyawa kimia. Antihistamin adalah obat yang mampu
mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya sehingga mampu meniadakan
histamin.
Reseptor H-1 disebut juga metabotropik G-protein coupled reseptor. G-protein
yang terdapat dalam reseptor H-1 menghasilkan fosfolipase dan fosfatidylinositol.
Kedua senyawa inilah yang bertindak sebagai penunjuk jalan histamine sampai ke
reseptor H-1. Pelepasan histamin dapat diinduksi oleh produksi enzim prostaglandin
sintase. Sebagai akibatnya terjadi pelepasan histamine yang berlebihan sehingga
menyebabkan vasodilatasi karena histamine menginduksi endotel vaskuler yang
menghasilkan cGMP di otot polos. cGMP inilah yang menyebabkan vasodilatasi.
Efek ini dapat dihilangkan dengan adanya antagonis histamin H-1 dimana mekanisme
kerjanya bersifat inhibitor kompetitif terhadap reseptor-reseptor histamin.
Antagonis histamin H-1 terdiri dari 3 generasi : generasi 1,generasi 2 dan generasi
3. Perbedaan antara generasi 1 dan generasi 2 terletak pada efek samping yang
ditimbulkan, generasi 1 menimbulkan efek sedatif sedangkan generasi 2 pada
umumnya non sedatif karena generasi 2 pada umumnya tidak dapat menembus
blood brain barrier (bersifat lipofobik dan bulky), sehingga tidak mempengaruhi
sistem saraf pusat. Selain itu, antihistamin H-1 generasi 2 bersifat spesifik karena
hanya terikat pada reseptor H-1. Beberapa obat generasi 2 dapat menghambat
pelepasan mediator histamin oleh sel mast. Obat antihistamin H-1 generasi 2 tidak
bias digolongkan berdasarkan struktur kimianya karena meskipun memiliki struktur
kimia dasar yang sama, obat tersebut masih memiliki gugus fungsional tambahan
yang berbeda. Contoh : sterfenadine, aztemizole, nuratadine, ketotifen, levokaloastin,
mempunyai cincin piperidin tetapi tidak dapat dimasukkan dalam satu golongan
karena mempunyai gugus fungsional tambahan yang berbeda. Efek samping
antagonis histamin H-1 G2 :

 Allergic – photosensitivity, anaphylactic shock, drug rash, dermatitis


 Central nervous system* – somnolence / drowsiness, headache fatigue, sedation
 Respiratory** – dry mouth, nose and throat (cetirizine, loratadine)
 Gastrointestinal** – nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine
D. contoh obat antihistamin generasi kedua
Loratadine adalah antihistamin H1 trisiklik kerja panjang generasi kedua. Loratadine
merupakan antagonis reseptor H1 yang menghambat kerja histamin dengan berkompetisi
mengikat reseptor H1 perifer secara reversibel. Akibatnya, gejala yang disebabkan oleh aktivitas
histamin di pembuluh darah kapiler (vasodilatasi), otot polos bronkus (bronkokonstriksi), dan
otot polos gastrointestinal (kontraksi spasmodik otot polos gastrointestinal) dapat dihambat.
Loratadine memiliki efek sedasi yang lebih ringan dibandingkan dengan antagonis reseptor H1
generasi pertama karena senyawa ini tidak memiliki kemampuan untuk menembus sawar darah
otak sehingga tidak dapat terdistribusi sempurna ke sistem saraf pusat. Selain itu, loratadine
memiliki afinitas yang rendah pada reseptor kolinergik dan alfa adrenergik sehingga tidak
memberikan efek yang signifikan. Loratadine memiliki senyawa metabolit aktif yaitu
desloratadine atau descarboethoxyloratadine.

Efektivitas antihistamin H1 ditentukan oleh 2 faktor yaitu afinitas obat terhadap reseptor
dan konsentrasi obat di lokasi ikatan. Desloratadine sebagai metabolit loratadine merupakan
antihistamin yang paling poten diikuti oleh levocetirizine dan feksofenadin. Secara in vivo,
cetirizine dan feksofenadin memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan loratadine,
namun cetirizine dapat menyebabkan somnolen pada individu berisiko, dan feksofenadin
memiliki durasi kerja obat yang singkat. Loratadine memiliki efikasi yang lebih rendah namun
jarang menyebabkan somnolen dan memiliki durasi kerja yang panjang sehingga dapat menjadi
pilihan.

Farmakokinetik

Farmakokinetikloratadine mayoritas berikatan dengan protein plasma dan dimetabolisme di


hepar.

Absorpsi

Loratadine diserap dengan cepat di saluran pencernaan. Onset kerja pada 1-3 jam dan durasi efek
obat >24 jam. Waktu untuk mencapai konsentrasi puncak di plasma adalah 1,3 jam untuk
loratadine dan 2,3-2,5 jam untuk desloratadine baik dalam bentuk tablet maupun sirup.
Konsumsi loratadine bersama dengan makanan menyebabkan makin lamanya waktu untuk
mencapai konsentrasi puncak, namun meningkatkan bioavailabilitas dan tidak mempengaruhi
konsentrasi puncak di plasma.

Distribusi

Loratadine 98% berikatan dengan protein plasma.[1,2] Pada kondisi menyusui, loratadine dan
metabolitnya dapat terdistribusi ke ASI dan mencapai puncak konsentrasi yang ekuivalen dengan
konsentrasi di plasma darah ibu.
Metabolisme

Proses metabolisme loratadine terjadi di hepar dan menghasilkan metabolit aktif berupa
desloratadine. Metabolisme tersebut dilakukan oleh enzim CYP3A4 (mayor) dan CYP2D6
(minor). Apabila terdapat zat lain yang menginhibisi kerja enzim CYP3A4, metabolisme utama
loratadine diambil alih oleh CYP2D6. Administrasi bersama loratadine dengan ketokonazol,
eritromisin (penghambat CYP3A4), dan simetidin (penghambat CYP2D6 dan CYP3A4) akan
meningkatkan konsentrasi loratadine di dalam plasma

Eliminasi

Loratadine dan desloratadine diperkirakan mencapai kadar yang stabil dalam darah setelah
pemberian dosis kelima.Waktu paruh loratadine adalah 8,4 jam (3 – 20 jam). Waktu paruh
desloratadine 28 jam (8,8 – 92 jam). Efek kerja loratadine yang panjang terjadi akibat lamanya
waktu disosiasi metabolit desloratadine dari reseptor.Sejumlah 80% dari total loratadine yang
dikonsumsi diekskresikan dalam bentuk metabolit melalui urin dan feses selama 10 hari.

A. Indikasi Loratadine
Indikasi dan dosis loratadine untuk mengatasi gejala yang berhubungan dengan respon alergi dan
dimediasi oleh histamin seperti pada kondisi rhinitis alergi dan urtikaria. Antihistamin generasi
kedua tidak diindikasikan untuk pasien dengan gejala commoncold karena tidak memiliki efek
antikolinergik yang signifikan.

B. Dosis Loratidine

 Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi merupakan inflamasi pada membran nasal yang ditandai dengan
kombinasi gejala berupa hidung tersumbat, bersin, keluar sekret, dan hidung gatal.
Kondisi ini juga dapat disertai gejala lain berupa konjungtiva merah, bengkak dan
produksi air mata yang berlebihan.
 Dewasa : 10 mg/hari atau 5 mg/12 jam ; tidak melebihi 10 mg/hari
 Anak : 2-6 tahun : 5 mg/hari
>6 tahun : 10mg/hari ; tidak melebihi 10 mg/hari
Pada pasien dewasa, tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara
penggunaan cetirizine dan loratadine dalam mengurangi gejala klinis
rhinitis alergi.

Pada pasien anak, penggunaan cetirizine lebih superior dibandingkan


loratadine dalam mengurangi gejala rhinitis alergi. Efek samping yang
sering timbul berupa sakit kepala dan faringitis. Kejadian somnolen lebih
tinggi pada pasien anak yang mengkonsumsicetirizine dan tidak
ditemukan pada pasien yang mengkonsumsiloratadine.[16]

 Urtikaria

Urtikaria ditandai dengan adanya eritema berbatas tegas disertai dengan edema
dermis dan epidermis yang sangat gatal. Urtikaria akut terjadi dalam waktu <6
minggu sedangkan disebut kronik apabila >6 minggu. Apabila pembengkakan
terjadi pada dermis dalam dan jaringan subkutan maka disebut sebagai
angioedema.
 Dewasa : 10 mg/hari atau 2x5mg ; tidak melebihi 10 mg/hari
 Anak : 2-6 tahun : 5 mg/hari
>6 tahun : 10mg/hari ; tidak melebihi 10 mg/hari

C. Efek Samping

 Frekuensi >10%
 Sakit kepala
 Frekuensi 1-10%
 Neuropsikiatri : Gangguan kesadaran, mengantuk, gugup, perasaan
lelah, hiperkinesia
 THT : disfonia, infeksi saluran napas atas, mulut kering,
 Lainnya : konjungtivitis, nyeri perut

Pernah dilaporkan:

Sistem saraf otonom : perubahan pola lakrimasi, perubahan pola salivasi, flushing,
hipoestesia, impotensi, peningkatan produksi keringat, rasa haus

Kardiovaskular : hipertensi, hipotensi, palpitasi, supraventrikulartakiaritmia, pingsan,


takikardi

Sistem saraf pusat : blefarospasme, mual, disfonia, hipertonik, migraine, paresthesia,


tremor, vertigo

Gastrointestinal : perubahan pola pengecapan, anoreksia, konstipasi, diare, dispepsia,


kembung, gastritis, cegukan, peningkatan nafsu makan, mual, muntah

Muskuloskeletal : arthralgia, myalgia

Psikiatri : agitasi, amnesia, kecemasan, kebingungan, penurunan libido, depresi,


gangguan konsentrasi, insomnia, iritabilitas, paranoid

Reproduksi : nyeri payudara, dismenore, menorrhagia, vaginitis

Saluran pernafasan : bronkitis, bronkospasme, batuk, sesak, batuk darah, laringitis,


hidung kering, sinusitis, bersin-bersin

Kulit : dermatitis, rambut kering, kulit kering, reaksi fotosensitif, pruritus, purpura,
urtikaria
Saluran kemih : perubahan pola berkemih, perubahan warna urin, inkontinensia urin,
retensi urin

Lain-lain : edema angioneurotik, kelemahan tubuh, nyeri punggung, pandangan kabur,


nyeri dada, nyeri telinga, nyeri mata, demam, kram kaki, perasaan tidak nyaman,
menggigil, tinitus, peningkatan berat badan

D. Interaksi Obat

Beberapa interaksi loratadine dengan obat adalah :


 Interaksi loratadine dengan makanan
Terdapat interaksi minor antara loratadine dengan jeruk bali. Jeruk bali dapat
menghambat kerja CYP3A4 dan menyebabkan peningkatan konsentrasi
loratadine dan metabolitnya dalam plasma. Peningkatan konsentrasi akibat
interaksi ini tidak mempengaruhi profil keamanan dari loratadine.

 Administrasi bersamaan antara loratadine dengan beberapa obat dapat


menyebabkan interaksi serius berupa peningkatan konsentrasi atau efek loratadine
akibat hambatan enzim CYP3A4. Walaupun terjadi peningkatan konsentrasi
plasma loratadine atau desloratadine, tidak ditemukan adanya perubahan profil
keamanan loratadine yang bermakna dilihat dari parameter elektrokardiografi,
laboratorium dan tanda vital. Obat tersebut adalah ketoconazole, cimetidine,
eritromisin, klaritromisin, itrakonazol, diltiazem, fluconazole, fluoksetin, isoniazid,
metronidazole, verapamil.
 Penurunan efek loratadine
Efek loratadine akan berkurang apabila digunakan bersamaan dengan
beberapa obat, seperti karbamazepin, rifabutin, rifampin, amobarbital,
budesonide, efaviren, griseofulvin, phenytoin, fenobarbital.
 Loratadine dapat meningkatkan konsentrasi beberapa obat lain dengan
mempengaruhi transporterglikoprotein P seperti amikasin, amitriptyline,
azitromisin, kolkisin, dexamethasone, digoxin, gentamicin, siklosporin, estradiol,
hidrokortison, itrakonazol, ivermektin, kanamisin, dan streptomisin
 Pemanjangan interval QT
Pernah dilaporkan adanya pemanjangan interval QT dan torsadesdepointes
pada penggunaan bersama antara amiodaron dan loratadine. Mekanisme pasti
belum dapat ditentukan namun kemungkinan dikarenakan loratadine secara
kompetitif menginhibisi metabolisme amiodaron oleh CYP3A4. Oleh karena itu
sebaiknya dilakukan pengawasan interval QT pada pasien yang
mengkonsumsiamiodaron dan loratadine. Selain itu pasien perlu mengetahui
tanda awal gangguan irama jantung seperti mual, palpitasi dan pingsan sehingga
dapat segera mencari pertolongan medis.

E. Kehamilan

Penggunaan loratadine pada kehamilan masuk dalam Kategori B. Artinya, studi pada
binatang percobaan tidak memperlihatkan adanya risiko terhadap janin, namun belum ada
studi terkontrol pada wanita hamil.

F. Kontraindikasi

Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitivitas pada loratadine atau
komponen yang terkandung dalam obat.

G. Mekanisme kerja

Loratadine bekerja dengan menghambat kerja zat histamin tersebut. Obat ini tersedia
dalam bentuk tablet 10 mg. Berbeda dengan obat antialergicetirizine yang terkadang
masih dapat menimbulkan efek samping mengantuk pada beberapa orang, loratadine
sangat jarang menimbulkan rasa kantuk.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Histamin sendiri merupakan senyawa yang terlibat dalam respon imunitas lokal,
selain itu senyawa ini juga berperan sebagai neurotransmitter di susunan saraf pusat dan
mengatur fungsi fisiologis di lambung.

Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin
dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada reseptor H-1, H-2 dan H-3.
Efek antihistamin bukan suatu reaksi antigen antibodi karena tidak dapat menetralkan
atau mengubah efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak
dapat mencegah produksi histamin. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat
secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor khas.

B. Saran

Dengan adanya makalah kami mengenai histamin dan antihistamin ini pembaca bisa
memahaminya dan diterapkan dikehidupan sehari-hari lalu bisa juga memberikan
pemahaman dengan tenaga kesehatan dan terus dikembangkan sesuai perkembangan
ilmu pengetahuan.
Daftar Pustaka

Food andDrugAdministration, Claritine Brand ofLoratadine,


https://www.fda.gov/ohrms/dockets/ac/01/briefing/3737b_12_label-claritin.pdf

National Center forBiotechnologyInformation, PubChemCompoundDatabase;


CID=3957,https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/3957

MIMS,Loratadine,http://www.mims.com/indonesia/drug/info/loratadine/?
type=brief&mtype=generic

Medscape, Loratadine,https://reference.medscape.com/drug/claritin-reditabs-loratadine-
343397#3

B. G. Katzung, S.B. Masters, A.J. Trevor. Basic &ClinicalPharmacology, 12th ed,


McGraw-Hill, New York, 2012, pp. 277-280

Food andDrugAdministration, Claritine Brand ofLoratadine,


https://www.fda.gov/ohrms/dockets/ac/01/briefing/3737b_12_label-claritin.pdf

https://www.alodokter.com/loratadine

Anda mungkin juga menyukai