Anda di halaman 1dari 38

UJI AKTIVITAS SITOTOKSIK MINYAK ATSIRI BIJI

KETUMBAR (Coriandrum sativum Linn.)


TERHADAP KULTUR SEL HeLa DENGAN METODE
MICROTETRAZOLIUM TEST (MTT)

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:

FIKHRI ABDILLAH
No. BP. 19011153

Dosen Pembimbing:

1. Anzharni Fajrina, M. Si

2. Dr. apt. Dwi Dinni Aulia Bakhtra, M. Farm

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI

STIFARM

PADANG

2022
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker merupakan suatu penyakit akibat pertumbuhan yang abnormal pada

sel-sel jaringan tubuh yang tidak diketahui penyebabnya secara pasti, tetapi dapat

dipengaruhi oleh banyak faktor seperti mengkonsumsi alkohol, merokok/terkena

paparan asap rokok, paparan sinar ultraviolet pada kulit, obesitas, diet tidak sehat,

kurang aktifitas fisik, serta infeksi yang berhubungan dengan kanker (Ariani, 2015).

Kanker serviks merupakan salah satu jenis kanker yang sangat menakutkan bagi

perempuan di seluruh dunia karena menempati peringkat kedua untuk jenis kanker

yang paling banyak ditemui setelah kanker payudara, terutama di negara

berkembang seperti Indonesia.

World Health Organization (2018), menyatakan bahwa hampir semua kasus

kanker serviks (99%) terkait dengan infeksi HPV (Human Papillomavirus) dimana

virus yang sangat umum ditularkan melalui kontak seksual. Kanker serviks

merupakan kanker keempat yang paling umum pada wanita. Pada tahun 2018,

diperkirakan 570.000 wanita didiagnosis menderita kanker serviks di seluruh dunia

sekitar 311.000 wanita meninggal akibat penyakit tersebut. Data dari GLOBOCAN

(Global Cancer Observatory), (2020) menyebutkan bahwa terdapat 36.633 (9,2%)

kasus baru kanker serviks di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia (2019), angka kejadian kanker di Indonesia berada

pada urutan ke-8 di Asia Tenggara, sedangkan di Asia urutan ke-23. Angka kejadian

kanker leher rahim/serviks di Indonesia sebesar 23,4 per 100.000 penduduk dengan

rata-rata kematian 13,9 per 100.000 penduduk.


Sel HeLa merupakan sel epitel manusia yang berasal dari kanker serviks

atau kanker leher rahim. Alasan pemilihan sel ini di karenakan kanker serviks

merupakan salah satu kanker yang paling mematikan bagi wanita (Goodwin &

DiMaio, 2000)

Beberapa obat kemoterapi yang paling sering digunakan adalah

antimetabolit, senyawa interaktif DNA, senyawa antitubulin, hormon dan senyawa

penarget molekular (Nussbaumer et al., 2011). Namun menimbulkan efek samping

seperti rambut rontok, supresi sumsum tulang, resistensi obat, lesi gastrointestinal,

disfungsi neurologi, dan toksisitas jantung (Hosseini & Ghorbani, 2015). Oleh

karena itu pencarian bahan alam sebagai alternatif pengobatan kanker sangat gencar

dilakukan.

Di Indonesia banyak tumbuhan yang memiliki khasiat untuk kesehatan

maupun pengobatan salah satunya ketumbar. Ketumbar (Coriandrum sativum Linn)

adalah tumbuhan rempah-rempah yang sangat terkenal. Ketumbar merupakan

tanaman herbal yang tumbuh tiap tahunnya dan dibudidayakan di dataran tinggi

seperti di daerah Boyolali, Salatiga, Temanggung, Sumatera Barat, dan lainnya.

Senyawa aktif minyak ketumbar adalah linalool (60-70%), geraniol (1,6- 2,6%),

geranil asetat (2-3%), kamfor (2-4%), dan mengandung senyawa golongan

hidrokarbon (20%). Senyawa linalool memiliki banyak manfaat, sehingga sering

dimanfaatkan sebagai bahan baku farmasi/obat, aroma makanan dan minuman,

sabun mandi, bahan dasar lilin, sabun cuci, sintesis vitamin E, dan pestisida maupun

insektida (Handayani & Juniarti, 2012).


Pemanfaatan linalool diantaranya sebagai antioksidan, antibakteri,

antimikroba dan antikanker. Efek sitotoksik senyawa tersebut pada selkanker

serviks adeno karsinoma sel HeLa, sel melarioma manusia FemX, sel mylogenous

leukemia K562 kronis, dan sel ovarium manusia (Zarlaha et al., 2014).

Linalool merupakan senyawa dengan kadar tertinggi dalam minyak atsiri

biji ketumbar dengan presentase sebanyak 68%. Minyak atsiri merupakan senyawa

yang mudah menguap, alami, kompleks yang ditandai dengan bau yang kuat dan

dibentuk oleh tanaman aromatik sebagai metabolit sekunder. Minyak atsiri juga

merupukan campuran alami yang sangat kompleks yang dapat mengandung sekitar

20-60 komponen pada konsentrasi yang sangat berbeda. Mereka dicirikan oleh dua

atau tiga komponen utama pada konsentrasi yang cukup tinggi (20-70%)

dibandingkan dengan komponen lain yang ada dalam jumlah kecil (Bakkali et al.,

2008).

Dari penelitian sebelumnya nilai LC50 dari ekstrak etanol buah ketumbar

terhadap larva Arthemia salina Leach atau uji BSLT yaitu 40,548 µg/mL

(Tianandari et al., 2017). Dari kombinasi minyak atsiri biji ketumbar dan cumin

(1:1) didapatkan nilai LC50 dengan uji BSLT yaitu 4945,35 µg/mL (Bag &

Chattopadhyay, 2015). Pada uji MTT minyak atsiri ketumbar terhadap sel HaCaT

(sel keratinosit) dan sel CoN (sel epitelial) didapatkan nilai IC50 15,70 µg/mL dan

9,75 µg/mL (Ribeiro et al., 2020). Dari penilitian Yasmin et al., (2014), didapatkan

letalitas minyak atsiri dari ketumbar di evaluasi dengan BSLT dan menunjukkan

sitotoksisitas tinggi dengan nilai LC50 yaitu 3,88 µg/mL. Nilai LC50 dari ekstrak air
dan ekstrak etanol biji ketumbar terhadap sel MCF-7 yaitu 78 µg/mL dan 50 µg/mL

(Swetha & Krithika, 2018).

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan

menggunakan sel HeLa, karena sebelumnya belum pernah dilakukan pengujian

aktivitas sitotoksik minyak atsiri biji dengan metode Microtetrazolium Test (MTT)

terhadap kultur sel HeLa.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah minyak atsiri ketumbar (Coriandrum sativum Linn.) memiliki

aktivitas sitotoksik terhadap sel HeLa dengan metode Microtetrazolium Test

(MTT)?

2. Berapa besar nilai LC50 dari minyak atsiri ketumbar (Coriandrum sativum

Linn.) terhadap kultur sel HeLa dengan metode Microtetrazolium Test

(MTT)?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah minyak atsiri ketumbar (Coriandrum sativum

Linn.) memiliki aktivitas sitotoksik sel HeLa dengan metode

Microtetrazolium Test (MTT).

2. Untuk mengetahui berapa nilai LC50 dari minyak atsiri ketumbar

(Coriandrum sativum Linn.) terhadap kultur sel HeLa dengan metode

Microtetrazolium Test (MTT)?


1.4 Hipotesis Penelitian

1. Minyak atsiri ketumbar (Coriandrum sativum Linn.) memiliki aktivitas

sitotoksik sel HeLa dengan metode Microtetrazolium Test (MTT).

2. Didapatkan nilai LC50 dari minyak atsiri ketumbar (Coriandrum sativum

Linn.) terhadap kultur sel HeLa dengan metode Microtetrazolium Test

(MTT).

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Akademik

Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan kepada

mahasiswa/i STIFARM Padang, serta dapat di manfaatkan dengan baik dan

dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan buku pedoman.

1.5.2 Bagi Peneliti

Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

pemberian minyak atsiri ketumbar (Coriandrum sativum Linn.) terhadap kematian

kultur sel HeLa dengan metode Microtetrazolium Test (MTT).

1.5.3 Bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa minyak atsiri ketumbar

(Coriandrum sativum Linn.) dapat djadikan sebagai calon pengobatan alternatif

untuk penyakit kanker serviks.


II. TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Tinjauan

1.1.1 Klasifikasi Ketumbar

Menurut Hadipoentyanti et al., (2004), klasifikasi ketumbar sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnolipsida

Ordo : Apiales

Family : Apiaceae

Genus : Coriandrum

Spesies : Coriandrum sativum Linn.

2.1.2 Sinonim

Nama daerah: Keutumba (Aceh), hatumbar (Batak), katumba (Bima),

katumbar (Jawa), katombhar (Madura), katumbara (Makassar), ketumbar (Melayu),

katumba (Padang), katuncar (Sunda) (Dirjen POM, 1983).

Nama asing: Coriander (Inggris), kuzbara (Arab), yuan sui (Cina), coriander

(Jerman), coriandro (Portugis), coriandolo (Itali). koendrodo (Jepang), dhania

(India) (Al-Snafi, 2016).


2.1.3 Morfologi Tumbuhan: Coriandrum sativum Linn.

Tanaman Ketumbar memiliki daun herbal kecil yang memiliki banyak

cabang dan sub unit. Daun barunya berbentuk oval dan daun yang lainnya

memanjang. Bunga berwarna putih, memiliki buah yang bergerombol dan

berbentuk bulat. Buah berbentuk mericarps biasanya disatukan oleh margin yang

membentuk sebuah cremocarp dengan diameter sekitar 2 - 4 mm, warna kecoklatan,

kuning atau coklat, gundul, terkadang dimahkotai oleh sisa-sisa sepals, memiliki

bau aromatik. Ketumbar memiliki rasa yang berkarakteristik dan pedas. (British

pharmacopoeia, 2009).

(a) (b)

Gambar 1: (a) Tanaman ketumbar, (b) biji ketumbar (Bermawie et al., 2020)
Tabel 1. Karakter morfologi ketumbar berdasarkan daerah

Kadipekso Cipanas Jember Madiun Temanggung Sungayang Sumbar


Habitus Tegak Tegak Tegak Tegak Tegak Tegak Tegak
Bentuk daun Menjari Menjari Menjari Menjari Menjari Menjari Menjari
Warna daun Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau
Panjang daun (cm) 6,03-6,10 5,98-6,01 5,11-5,38 5,98-6,08 5,65-5,95 5,20-5,80 5,35-5,51
Lebar daun (cm) 6,20-6,30 5,0-5,10 5,15-5,90 6,15-6,18 5,98-6,19 5,60-5,95 5,60-5,90
Panjang tangkai (cm) 1,05-1,15 1,64-1,80 1,8-1, 90 1,15-1,20 1,63-1,81 1,70-1,80 1,65-1,71
Warna batang Ungu Hijau Ungu Ungu Ungu Hijau Hijau
Tinggi tanaman (cm) 75-95 40-55 35-45 70-85 70-85 70-85 55-65
Diameter batang (cm) 0,8-1,4 0,3-0,6 0,3-0,5 0,4-0,5 0,7-1,1 0,7-1,0 0,5-0,6
Jumlah cabang 9-18 4-6 6-10 7-12 8-20 5-9 4-5
produktif
Waktu berbunga (hst) 53 39 42 53 53 53 42
Umur panen (hst) 73 62 112 73 73 73 112
Warna bunga Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih
keunguan keunguan keunguan keunguan
Jumlah bunga/umbel 8-9 5-7 6-8 6-8 8-9 6-8 6-7
Jumlah benangsari 5 5 5 5 5 5 5
Jumlah putik 1 1 1 1 1 1 1
Kedudukan putik Putik lebih Putik lebih Putik lebih Putik lebih Putik lebih Putik lebih Putik lebih
terhadap benangsari pendek dari pendek dari pendek dari pendek dari pendek dari pendek dari pendek dar
benangsari benangsari benangsari benangsari benangsari benangsari benangsari
Bentuk biji Besar bulat Kecil bulat Besar bulat Sedang bulat Besar bulat Besar bulat Sedang bul
Diameter biji (mm) 3,4-4,1 2,3-3,0 3,2-3,4 2,9-3,1 3,2-3,4 3,2-3,4 2,9-3,0
Jumlah biji/payung 6-7 3-4 4-6 5-6 8-9 5-6 6-7
Bobot 1000 butir (g) 20-45 20-45 20-30 17-30 20-45 15-35 10-20
Volume 1000 butir 30-50 25-29 25-45 20-32 20-60 16-20 10-18
(ml)
Produksi biji basah per 19,9-22,54 8,38-10,21 13,2-14,15 16,6-18,78 34,1-36,12 14,27-15,21 8,0-15
tanaman (g)
Produksi biji kering per 7,95-11,21 5,21-7,42 3,73-4,98 6,64-8,15 14,12-16,32 7,68-8,91 4,7-6,12
tanaman (g)
Habitus Tegak Tegak Tegak Tegak Tegak Tegak
Bentuk daun Menjari Menjari Menjari Menjari Menjari Menjari
Warna daun Hijau Hijau Hijau Hijau gelap Hijau Hijau terang
Panjang daun (cm) 5,39-5,95 5,15-5,53 5, 57-5,9 5,63-6,03 5,71-5,85 5,6-5, 95
Lebar daun (cm) 5,63-6,03 5,55-6,01 5,78-6,01 6,01-6,10 6,03-6,10 5,79-5,85
Panjang tangkai (cm) 1,65-1,95 1,40-1,85 1,83-1,90 1,72-1,81 1,8-2,01 1,53-1,80
Warna batang Ungu Hijau Ungu Ungu Ungu Ungu muda
keunguan
Tinggi tanaman (cm) 45-55 50-65 75-85 60-75 70-85 60-65
Diameter batang (cm) 0,5-0,6 0,4-0,6 0,5-0,8 0,5-0,9 0,4-0,9 0,4-0,7
Jumlah cabang 9-10 3-8 6-12 8-18 7-14 5-9
produktif
Waktu berbunga (hst) 42 42 53 53 53 90
Umur panen (hst) 78 62 90 90 82 120
Warna bunga Pink ungu Putih Putih Putih Putih Putih
muda keunguan keunguan keunguan keunguan
Jumlah bunga/umbel 6-8 6-8 6-7 7-8 8-9 -
Jumlah benang sari 5 5 5 5 5 5
Jumlah putik 1 1 1 1 1 1
Kedudukan putik Putik lebih Putik lebih Putik lebih Putik lebih Putik lebih Putik lebih
terhadap benangsari pendek dari pendek dari pendek dari pendek dari pendek dari pendek dari
benangsari benangsari benangsari benangsari benangsari benangsari
Bentuk biji Besar bulat Besar lonjong Sedang bulat Besar bulat Kecil lonjong Kecil bulat
Diameter biji (mm) 3,2-3,4 3,4-4,1 3,1-3,3 4,0-4,2 2,3-3,0 2,3-2,9
Jumlah biji/payung 5-8 5-6 5-7 5-6 8-9 5-6
Bobot 1000 butir (g) 20-50 20-50 15-20 15-20 18-35 15-25
Volume 1000 butir 27-55 28-55 20-28 20-35 25-40 20-30
(ml)
Hasil biji basah per 19,53-21,14 9,68-11,12 18,98-20,16 22,71-24,12 19,27-21,78 7,88-15,49
tanaman (g) (Hadipoentyanti et al., (2004)
Hasil biji kering per 7,82-8,25 5,10-7,11 8,79-17,85 11,28-12,14 8,55-12,14 4,25-9,75
tanaman (g)
2.1.4 Kandungan Bahan Aktif

Biji ketumbar mengandung minyak atsiri (0,03-2,6%) dan minyak lemak

(9,9-27,7%) (Al-Snafi, 2016). Jenis minyak atsiri adalah monoterpen hidrokarbon

(p-cimen, camfen, Δ-3-caren, limonen (dipentene), myrcen, cis- dan trans-ocimen,

α-felandren, β-felandren, α- pinen, β-pinen, sabinen, α-terpinen, γ-terpinen,

terpinolen, αthujen); monoterpen oksida dan karbonil (camphor, 1,8- cineol, linalol

oxida, carvon, geranial); monoterpen alkohol (borneol, citronellol, geraniol,

linalool, nerol, α-terpineol, 4-terpinenol); monoterpen ester (bornil acetat, geranil

acetat, linalil acetat, α-terpinil acetat); sesquiterpen (β-cariofelen, cariofelen oxida,

elemol, nerolidol); phenol (anetol, miristicin, timol); alifatik hidrokarbon

(heptadecan, octadecan); alifatik alkohol (decanol, dodecanol); alifatik aldehida

(octanal, nonanal, decanal, undecanal, dodecanal, tridecanal, tetradecanal, 3-

octenal, 2-decenal, 5-decenal, 8-metil-2-nonenal, 8- metil-5-nonenal, 6-undecenal,

2-dodecenal, 7-dodecenal, 2-tridecenal, 8- tridecenal, 9-tetradecenal, 10-

pentadecenal, 3,6-undecadienal, 5,8- tridecadienal) (Al-Snafi, 2016). Minyak

ketumbar mengandung linalail acetat (61,16%), linalool (22,06%), dan α–terpineol

(4,21%) (HwaJung, 2018).

Ketumbar juga mengandung beberapa jenis mineral, antara lain kalsium

(709-1246 mg), besi (16,32-42,46 mg), fosfor (409-481mg), magnesium (330-694

mg), kalium (1267-4466 mg), sodium (35-211 mg), dan seng (4,70-4,72 mg), serta

vitamin C (566 mg), thiamin (0,239-1,252 mg), riboflavin (0,290-1,500 mg), niasin
(2,130-10,707 mg), vitamin B (0-120 μg), dan vitamin A (0-5859 IU) (Al-Snafi,

2016).

Variasi komposisi minyak atsiri Coriandrum sativum Linn. dari berbagai

bagian tanaman. Pada biji yaitu Linalool (58.0–80.3%), g-terpinene (0.3%–11.2%),

a-pinene (0.2%–10.9%),p-cymene (0,1%–8,1%), kapur barus (3,0%–5,1%) dan

geranyl acetate (0,2%–5,4%), pada bunga Benzofuran,2,3-dihydro (15,4%), asam

heksadekanoat, metil ester (10,32%) 2,4a-epioxy-3,4,5,6,7,8,-hexahydro-2,5,5,8a-

tetramethyl-2h-1-benzofuran (9,35%), 2-metoksi-4-vinilfenol (8,8%)2,3,5,6-

tetrafluroanisol (8,62%) 2,6dimetil-3- aminobenzokuinon (6,81%) asam

dodekanoat (5%), pada daun Decanal (19,09%), trans-2-decenal (17,54%), 2-

decen-1-ol (12,33%) dan siklodekana (12,15%), cis-2-dodecena (10,72%),

Dodecanal (4,1%), dodecan-1-ol (3,13%) (Mandal & Mandal, 2015).

2.1.5 Khasiat Secara Empiris

Selain sebagai penyedap masakan, ketumbar juga digunakan untuk obat

mual, mulas waktu haid, pelancar ASI dan pencernaan, serta obat sakit perut. Daun

ketumbar juga dapat digunakan untuk obat batuk, demam dan campak (Dirjen

POM, 1983).

2.1.6 Tinjauan Farmakologi

Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa ketumbar dapat berfungsi sebagai

antidepresan, sedatif-hipnotis, antikonvulsan, memori, orkinacial dyskinesia

neuroprotektif, antibakteri, antijamur dan insektisida, antioksidan, hipolipidemik,


antiinflamasi dan analgesik, antidiabetic, antibakteri, antibiotik, antibodi, antibodi,

hepatoprotektif, penghilang bau, detoksifikasi, diuretik, dermatologis, dan

antiimplantasi (infertilitas) (Al-Snafi, 2016). Ekstrak hexane, methanol dan air biji

ketumbar menunjukkan sebagai anti-cancer HepG2 cell lines (CC50 600-700

µg/ml), sedangkan ekstraks air (IC50 = 350 μg/ml) dan heksan (IC50 = 250 μg/ml)

menghambat virus HSV-1 (Fayyad et al., 2017), minyak atsiri ketumbar terhadap

sel HaCaT dan sel CoN menunjukan aktivitas sitotoksik karena didapatkan nilai

IC50 15,70 µg/mL dan 9,75 µg/mL (Ribeiro et al., 2020). Penelitian lain

menunjukkan bahwa terdapat efek sitotoksik pada linalool yang terkandung dalam

biji ketumbar terhadap sel kanker prostat dimana hal ini berkaitan dengan induksi

apoptosis, fragmentasi DNA, dan penghambatan proliferasi sel (Iwasaki et al.,

2016).

2.2 Minyak Atsiri

Minyak atsiri merupakan salah satu hasil sisa proses metabolisme dalam

tanaman, yang terbentuk karena reaksi antara berbagai persenyawaan kimia dengan

adanya air. Minyak tersebut di sintesis dalam sel kelenjar pada jaringan tanaman

dan ada juga yang terbentuk dalam pembuluh resin, misalnya minyak terpentin dari

pohon pinus. Minyak atsiri selain dihasilkan oleh tanaman dapat juga terbentuk dari

hasil degradasi trigliserida oleh enzim atau dapat dibuat secara sintesis (Ketaren,

1985).

Minyak atsiri umumnya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia

yang terbentuk dari unsur karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O) serta beberapa
persenyawaan kimia yang mengandung unsur nitrogen (N) dan belerang (S).

umumnya komponen kimia dari dalam minyak atsiri terdiri dari campuran hidrogen

dan turunannya yang mengandung Oksigen yang disebut dengan Terpen atau

terpenoid. Terpen merupakan persenyawaan hidrogen tidak jenuh dan satuan

terkecil dari molekulnya disebut isopren (CsHa). Senyawa terpen mempunyai

rangka Karbon yang terdiri dari 2 atau lebih satuan isopren. Klasifikasi dari terpen

di dasarkan atas jumlah satuan isopren yang terdapat dalam molekulnya yaitu:

monoterpen, seskuiterpen, diterpen, triterpen, tetraterpen dan politerpen yang

masing-masing terdiri dari 2, 3, 4, 6, 8 dan n satuan isopren. Rantai molekul terpen

dalam minyak atsiri merupakan rantai terbuka (terpen alifatis) dan rantai melingkar

(terpen siklis).

Dari 70 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasaran internasional,

sekitar 9-12 macam atau jenis minyak atsiri di suplai dari Indonesia.Oleh sebab itu,

Indonesia termasuk negara produsen besar yang cukup diandalkan dan menjadi

negara pengekspor minyak atsiri dengan kualitas terbaik. Kondisi tersebut

disebabkan faktor dan kondisi iklim serta jenis dan tingkat kesuburan tanah yang

dimiliki Indonesia, yang sesuai dengan syarat tumbuh dari tanaman nilam

(patchouli), akar wangi (vetyver), kenanga (cananga), kayu putih (cajeput), serta

melati (yasmin). Dari berbagai jenis tanaman penghasil minyak atsiri tersebut,

didapat hasil berupa minyak nilam (patcauli oil), minyak sereh wangi (citronella),

akar wangi (vetyver), kenanga (cananga), kayu putih (cajeput), serta minyak melati

(yasmin).
2.3 Distilasi

2.3.1 Defenisi Destilasi

Menurut Winkle (1967), distilasi adalah suatu proses pemisahan dua atau

lebih komponen dalam suatu campuran berdasarkan perbedaan titik didih dengan

panas sebagai tenaga pemisahnya. Proses distilasi memerlukan beberapa

persyaratan pokok yaitu:

a. Komposisi uap harus berbeda dengan komposisi cairan yang berada dalam

keseimbangan.

b. Kedua komponen dalam titik didih ini mempunyai titik didih yang berbeda

Menurut Brown (1984), distilasi termasuk pemisahan menurut dasar operasi

diferensial. Kecepatan perpindahan massa tergantung pada luas permukaan bidang

atau antarfase uap dengan fase cairan yang saling mengadakan kontak. Oleh karena

itu, kesempatan kontak antara kedua fase tersebut harus terjadi, sehingga distribusi

komposisi kedua fase sempurna dan akan mendapatkan effisiensi pemisahan yang

tinggi.

Prinsip kerja dari distilasi secara garis besar adalah dengan cara

memasukkan umpan ke dalam kolom distilasi. Umpan dipanaskan dengan steam

yang dihasilkan reboiler. Setelah tercapai titik didihnya, maka akan terbentuk uap

yang naik ke atas kolom distilasi, dan keluar melalui lubang keluaran uap. Uap yang

dihasilkan lalu didinnginkan pada kondensor. Bahan yang berada di bawah kolom

distilasi dipanaskan ulang oleh reboiler sehingga bisa terbentuk fase uap. Bahan
yang tidak teruapkan dikeluarkan melalui lubang hasil bawah kolom distilasi

sebagai waste.

2.3.2 Metode Destilasi

Distilasi termasuk proses pemisahan yang berdasarkan operasi perpindahan

massa. Oleh karena itu, dalam perencanaan peralatan distilasi diperlukan suatu

suatu bidang kontak yang luas sehingga distribusi perpindahan massa kedua fase

lebih sempurna dan lebih efisien sehingga didapatkan hasil yang maksimum. Dalam

industri minyak atsiri dikenal tiga macam metode distilasi, yaitu:

2.3.2.1 Distilasi Dengan Air

Pada metode ini, bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air

mendidih. Bahan tersebut mengapung di atas air atau terendam secara sempurna

tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling. Air dipanaskan dengan

metode pemanasan yang biasa dilakukan, yaitu dengan panas langsung, mantel uap,

pipa uap melingkar tertutup, atau dengan memakai pipa uap melingkar terbuka atau

berlubang. Ciri khas dari metode ini ialah kontak langsung antara bahan dengan air

mendidih. Beberapa jenis bahan (misalnya bubuk buah badam, bunga mawar, dan

orange blossoms) harus disuling dengan metode ini, karena bahan harus tercelup

dan bergerak bebas dalam air mendidih. Jika disuling dengan metode uap langsung,

bahan ini akan merekat dan membentuk gumpalan besar yang kompak, sehingga

uap tidak dapat berpenetrasi ke dalam bahan (Guenther, 1987).


2.3.2.2 Distilasi Dengan Uap Dan Air

Pada metode penyulingan ini, bahan olah diletakkan di atas rak-rak atau

saringan berlubang. Ketel suling diisi dengan air sampai permukaan air berada tidak

jauh dari bawah saringan. Air dapat dipanaskan dengan berbagai cara yaitu dengan

uap jenuh yang basah dan bertekanan rendah. Ciri khas dari metode ini adalah: 1.

Uap selalu dalam keadaan basah, jenuh dan tidak terlalu panas. 2. Bahan yang

disuling hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan air panas (Guenther,

1987).

2.3.2.3 Distilasi Dengan Uap

Metode ketiga disebut penyulingan uap, atau penyulingan uap langsung dan

prinsipnya sama dengan yang telah dibicarakan diatas, kecuali air tidak diisikan

dalam ketel. Uap yang digunakan adalah uap jenuh atau uap kelewat panas pada

tekanan lebih dari 1 atmosfer. Uap dialirkan melalui pipa uap melingkar yang

berpori yang terletak dibawah bahan, dan uap bergerak keatas melalui bahan yang

terletak di atas saringan (Guenther, 1987).

Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mendasar dari ketiga proses

penyulingan. Tetapi bagaimanapun juga dalam prakteknya hasilnya akan berbeda

bahkan kadang-kadang perbedaan ini sangat berarti, karena tergantung pada metode

yang dipakai dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi selama berlangsungnya

penyulingan (Guenther, 1987).


2.4 GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry)

Teknik GC pertama kali diperkenalkan oleh James dan Martin pada tahun

1952 (Sparkman et al., 2011). GC merupakan salah satu teknik kromatografi yang

hanya dapat digunakan untuk mendeteksi senyawasenyawa yang mudah menguap.

Kriteria menguap adalah dapat menguap pada kondisi vakum tinggi dan tekanan

rendah serta dapat dipanaskan (Drozd, 1985). Dasar pemisahan menggunakan

kromatografi gas adalah penyebaran cuplikan pada fase diam sedangkan gas

sebagai fase gerak mengelusi fase diam. Cara kerja dari GC adalah suatu fase gerak

yang berbentuk gas mengalir di bawah tekanan melewati pipa yang dipanaskan dan

disalut dengan fase diam cair atau dikemas dengan fase diam cair yang disalut pada

suatu penyangga padat. Analit tersebut dimuatkan ke bagian atas kolom melalui

suatu portal injeksi yang dipanaskan. Suhu oven dijaga atau diprogram agar

meningkat secara bertahap. Ketika sudah berada dalam kolom, terjadi proses

pemisahan antar komponen. Pemisahan ini akan bergantung pada lamanya waktu

relatif yang dibutuhkan oleh komponen-komponen tersebut di fase diam (Sparkman

et al., 2011). Seiring dengan perkembangan teknologi maka instrument GC

digunakan secara bersama-sama dengan instrumen lain seperti Mass-Spectrometer

(MS).

Spektrometer massa diperlukan untuk identifikasi senyawa sebagai penentu

bobot molekul dan penentuan rumus molekul. Prinsip dari MS adalah pengionan

senyawa-senyawa kimia untuk menghasilkan molekul bermuatan atau fragmen

molekul dan mengukur rasio massa/muatan. Molekul yang telah terionisasi akibat

penembakan elektron berenergi tinggi tersebut akan menghasilkan ion dengan


muatan positif, kemudian ion tersebut diarahkan menuju medan magnet dengan

kecepatan tinggi. Medan magnet atau medan listrik akan membelokkan ion tersebut

agar dapat menentukan bobot molekulnya dan bobot molekul semua fragmen yang

dihasilkan (David, 2005). Kemudian detektor akan menghitung muatan yang

terinduksi atau arus yang dihasilkan ketika ion dilewatkan atau mengenai

permukaan, scanning massa dan menghitung ion sebagai mass to charge ratio

(m/z). Terdapat 4 (empat) proses dalam spektrometri massa yakni ionisasi,

percepatan, pembelokkan dan pendeteksian.

2.5 Kanker

2.5.1 Pengertian Kanker

Kanker adalah penyakit yang di sebabkan oleh pertumbuhan sel sel jaringan

tubuh yang tidak normal, berkembang dengan cepat tidak terkendali dan terus

membelah diri (Indah, 2010), sedangkan menurut lubis (2009), kanker adalah

penyakit yang dapat menyerang dan muncul akibat pertumbuhan tidak normal

tubuh yang berubah menjadi sel kanker dalam perkembangannya, kanker

merupakan suatu kondisi pertumbuhan yang tidak normal dari sel-sel jaringan

tubuh yang berubah menjadi ganas. Sel-sel tersebut dapat tumbuh lebih lanjut serta

menyebar ke bagian tubuh lainnya, bahkan dapat menyebabkan kematian

2.5.2 Klasifikasi Kanker

Menurut Akmal et al., (2010), Kanker dapat diklasifikasikan menurut katagorinya

sebagai berikut.
1. Karsinoma

Karsinoma adalah kanker yang muncul dari sel sel epitel (lapisan sel yang

membantu melindungi organ). karsinoma dapat juga menyerang jaringan dan organ

di sekitarnya dan metastasis ke kelenjar getah bening dan area lain dari tubu, secara

umum bentuk kanker pada kelompok ini adalah kanker payudara, prostat, paru -

paru dan usus besar.

2. Sarkoma

Jenis tumor sarcoma ini adalah tumor ganas tulang atau jaringan lunak

(lemak, otot, darah pembuluh darah, saraf dan jaringan ikat lainya dan mengelilingi

organ). Bentuk sarcoma yang paling umum adalah leiomyosarcoma, liposarcoma

dan osteosarcoma.

3. Limfoma

Jenis tumor limfoma termasuk jenis kanker yang berasal dari jaringan yang

membentuk darah, misaknya jaringan limfe, lacteal, limfa, berbagai kelenjar imfe,

timus dan sumsum tulang.

4. Glioma

Kanker susunan saraf, misalnya sel sel glia (jaringan panjang) di susun oleh

saraf pusat.
5. Leukemia

Kanker leukemia merupakan jenis kanker yang tidak mebentuk masa tumor,

tetapi memenuhi pembuluh darah dan mengganggu fungsi sel darah normal.

6. Karsinoma in situ

Sel epetel yang abnormal masih terbatas di daerah tertentu sehingga di

anggap lesi prainvasif (kelainan/luka yang belum menyebar).

2.5.3 Kanker Serviks

Kanker serviks adalah kanker dengan angka kejadian nomor empat

terbanyak yang terjadi pada wanita diseluruh dunia dan kanker yang paling sering

pada negara berpenghasilan rendah (Mustafa et al, 2016). Kanker serviks

merupakan suatu keganasan yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan sel-sel

epitel serviks yang tidak terkontrol (Mirayashi, 2013). Menurut Setiawati (2014)

kanker serviks 99,7% disebabkan oleh Human Papiloma Virus (HPV) onkogenik

yang menyerang rahim. Kanker serviks merupakan tumor ganas yang tumbuh di

dalam leher rahim (serviks), yaitu bagian terendah dari rahim yang menempel pada

puncak vagina (Hartati et al., 2014). Berdasarkan pemaparan tersebut kanker

serviks atau yang dikenal juga dengan sebutan kanker leher rahim merupakan

kanker ganas yang tumbuh dileher rahim yang disebabkan oleh Human Papiloma

Virus.
2.6 Sel HeLa

Sel HeLa merupakan sel epitel manusia yang berasal dari kanker serviks atau

kanker leher rahim yang diberi nama sesuai dengan nama pasien penyakit kanker

serviks yang sel kankernya diambil, yaitu Henrietta Lacks (Hadisaputri &

Abdullah, 2018). Sel HeLa adalah sel kanker leher rahim akibat infeksi Human

Papilloma Virus (HPV 18) sehingga mempunyai sifat yang berbeda dengan sel

leher rahim normal (Cancer Chemoprevention Research Centre, 2000).

Sel HeLa dapat tumbuh dengan cepat dalam media kultur. Media yang

digunakan adalah media RPMI 1640-serum yang mengandung nutrisi seperti asam

amino, vitamin, gara-garam anorganik dan glukosa yang cukup untuk pertumbuhan

sel. Sel HeLa telah mengalami transformasi yang disebabkan oleh infeksi human

papilloma virus 18 dan berbeda dengan sel leher rahim yang normal (Cancer

Chemoprevention Research Centre, 2014). Sel HeLa yang diambil kemudian

diperbanyak dengan kultur sel dan banyak digunakan dalam penelitian. Teknik

kultur sel dengan menggunakan galur sel ini terus berkembang sehingga telah

banyak jenis galur sel lainnya yang diambil dan digunakan untuk pengujian in vitro

saat ini (Hadisaputri & Abdullah, 2018).

Sel HeLa adalah sel kanker leher rahim akibat infeksi Human

Papillomavirus (HPV 18) sehingga mempunyai sifat yang berbeda dengan sel leher

rahim normal. Sel kanker leher rahim yang diinfeksi HPV diketahui

mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 terbukti dapat

menyebabkan sifat imortal pada kultur primer keratinosit manusia, namun sel yang

imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral
onkogen tersebut tidak secara langsung menginduksi pembentukan tumor, tetapi

menginduksi serangkaian proses yang pada akhirnya dapat menyebabkan sifat

kanker (Goodwin & DiMaio, 2000).

2.7 Sitotoksik

2.7.1 Pengertian Sitotoksik

Senyawa sitotoksik merupakan senyawa atau zat yang dapat merusak sel

normal dan sel kanker serta dimanfaatkan untuk menghambat perkembangan sel

tumor ganas (Purwanto, et al., 2015). Uji sitotoksik merupakan uji pendahuluan

dengan menggunakan sel kultur secara in vitro yang selanjutnya dapat digunakan

untuk menentukan kadar pada uji antiproliferatif (Putri & Haryoto, 2018). Uji

sitotoksik saat ini juga digunakan dalam penelitian di bidang onkologi untuk

mengevaluasi toksisitas senyawa dan penghambatan pertumbuhan sel tumor selama

pengembangan obat. Kelebihan dari uji sitotoksik in vitro ini yaitu cepat, murah,

dan dapat menguji sampel dalam jumlah besar (Fathani, 2020).

2.7.2 Metode Uji Sitotoksik

Pengujian efek sitotoksik dapat di lakukan dengan beberapa metode

diantaranya: metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) metode Crown-Gall

Potato Disc (CGPD) dan Microculture Tetrazolium (MTT) merupakan suatu

metode yang menguji bahan bahan yang bersifat sitotoksik. Metode BSLT dapat di

percaya untuk menguji aktivitas sitotoksik dari suatu bahan (Mayer & Gustafson,

2008).
2.7.2.1 Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

Brine Shrimp lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode yang

digunakan untuk penapisan awal senyawa senyawa yang diduga berkhasiat sebagai

antikanker. Metode ini menggunakan larva Artemia Salina L. Besarnya toksisitas

dikketahui berdasarkan jumlah kematian larva akibat pemberian ekstrak yang

mengandung senyawa anti kanker. Ekstrak bersifat toksik bila LC50 <1000 mg/ml,

sedangkan untuk senyawa murni aktif bila nilai LC50 <200 mg/ml (Mayer &

Gusrafon, 1982).

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode skrining

untuk mengetahui ketoksikan suatu ekstrak ataupun senyawa bahan alam, Uji

toksisitas ini dapat diketahui dari jumlah kematian larva Artemia salina Leach.

karena pengaruh ekstrak atau senyawa bahan alam pada konsentrasi yang diberikan

(McLaughlin, 1998).

2.7.2.2 Metode Crown-Gall Potato Disc (CGPD)

Metode Metode Crown-Gall Potato Disc (CGPD) merupakan suatu metode

pengujian sitoksisitas yang relative cepat pengerjaannya,tidak mahal, tidak

memerlukan hewan percobaan serta menunjukan korelai yang sangat baik dengan

uji aktivitas sitotoksik lainnya, Crown-Gall merupakan suatu penyakit neoplastic

pada tumbuhan yang di sebabkan bakteri gram negatif Agrobacterium Tumefacies

yang selanjutnya menyebabkan pertumbuhan jaringan tumor secara otonom dan

tidak di pengaruhi oleh mekanisme control normal tumbuhan,pengjuin di lakukan

dengan mengukur kemampuan suatu senyawa menghambat pertumbuhan tumor


Crown-Gall pada umbi kentang yang di infeksikan dengan bakteri Agrobacterium

Tumefacies (Mayer & Gastafson, 2008).

2.7.2.3 Metode Microculture Tetrazolium (MTT) assay

Metode umum yang digunakan untuk uji sitotoksik adalah metode

perhitungan langsung (direct counting) dengan menggunakan biru tripan (trypan

blue) dan metode MTT. Uji MTT assay merupakan salah satu metode yang

digunakan dalam uji sitotoksik. Metode ini merupakan metode kolorimetrik dimana

pereaksi MTT ini merupakan garam tetrazolium yang dapat dipecah menjadi kristal

formazan oleh sistem suksinat tetrazolium reduktase yang terdapat dalam jalur

respirasi sel pada mitokondria yang aktif pada sel yang masih hidup. Kristal

formazan ini memberi warna ungu yang dapat dibaca absorbansinya dengan

menggunakan ELISA reader (Pamilih, 2009).

Microculture Tetrazolium (MTT) assay merupakan salah satu metode

sitotoksik dengan menggunakan sel limfoma tikus, metode ini merupakan metode

lanjutan setelah suatu senyawa dinketahui mempunyai aktifitas sitotoksik pada

penelitian yang menggunakan metode BSLT. Metode ini dapat digunakan untuk

skrinng awal senyawa senyawa yang di duga berkhasiat anti kanker (Mayer &

Gustafon, 2003).
III. PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan di lakukan pada bulan Desember 2022 sampai Februari

2023 di Laboraturium Biologi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM)

Padang dan Laboraturium Biomedik Fakultas Kedokteran Anadalas.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat destilasi lengkap,

oven, blue tips, yellow tips, autoklaf, mixer plat micro, incubator CO2, senterifus,

filter 0,22 µm, flask culture 25 𝑐𝑚3 , 96 well plat, eppendrof tube 1,5 mL,

aluminium foil, ELISA reader, timbangan analitik, mikroskop inverted,

haemacytometer, syringe filter 5 mL, bio safety cabinet (BCS), reader plat micro,

seperangkat alat GC-MS Shimadzu QP 2010 Ultra, conical tube, beaker glass

(pyrex), vial, erlenmeyer (Pyrex), piknometer (Pyrex).

3.2.2 Bahan

Sel kanker serviks HeLa (Koleksi Laboratorium Biomedik Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas), biji ketumbar (Coriandrum sativum Linn.), Sel

Kanker HeLa (Fakultas Kedokteran Universitas Andalas), Media DMEM

(Dulbecco's Modified Eagle Medium), Trypsin EDTA 0,25%, Tryphan Blue Stain

(Gibco, USA), Dimetil Sulfoksida (DMSO), Phosphate Buffered Saline (PBS)


(Sigma-Aldrich Chemical Co., USA), Fetal Bovine Serum (FBS), Penisilin

Streptomisin (PenStrep), stp solution SDS (Sodium Dodesil Sulfat 10% dalam 0,1

N HCL), 3- (4,5-dimethylthiazol-2- yl) -2, 5-diphenyltetrazolium bromide (MTT)

(Calbiochem, USA) , aquades (H2O), dietil eter (C4H10O) p.a (Mallinckrodt), etanol

95% (C2H5OH), natrium sulfat anhidrat (Na2SO4) (Merck)

3.3 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi dilakukan di Herbarium ANDA Jurusan Biologi Fakultas

matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang Sumatra

Barat.

3.4 Proses Pembuatan Minyak Atsiri

3.4.1 Penyiapan Sampel

Sampel di ambil di Padang, Sumatera Barat. Sampel diambil dalam keadaan

segar kemudian dicuci bersih dengan air mengalir lalu ditiriskan. Kemudian

dilakukan pegeringan di tempat yang tidak terkena cahaya matahari langsung untuk

mengurangi kadar air. Biji ketumbar yang telah disiapkan kemudian dihaluskan

menggunakan blender.

3.4.2 Isolasi Minyak Atsiri Dari Biji Ketumbar (Coriandrum Sativum Linn.)

Biji ketumbar sebanyak 5 kg dimasukan ke dalam ketel tempat sampel.

Kemudian ditambahkan air pada ketel tempat air. Alat distilasi uap dipasang yang

telah dilengkapai kondensor dan dipanaskan ketel tempat air tersebut sampai

mendidih selama ± 6 jam. Distilasi dihentikan bila tidak ada lagi butir-butir minyak
yang menetes bersama air atau volume minyak tidak bertambah. Minyak atsiri yang

dihasilkan ditampung ke dalam corong pisah dan dipisahkan antara minyak dengan

air. Kemudian tentukan rendemen minyak atsiri biji ketumbar (Coriandrum sativum

Linn.) (Anggraini et al., 2018).

𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑎𝑡𝑠𝑖𝑟𝑖 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑑𝑒𝑠𝑡𝑖𝑙𝑎𝑠𝑖 (𝑚𝐿)


% 𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = × 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑏𝑖𝑗𝑖 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑚𝑏𝑎𝑟

3.5 Penentapan Sifat Fisika Minyak Atsiri

3.5.1 Pemeriksaan Organoleptis

Pemeriksaan warna, rasa dan bau terhadap miyak biji ketumbar

(Coriandrum sativum Linn.). Pemeriksaan bersifat subyektif dan tidak dapat

menggambarkan mutu minyak atsiri secara tepat (Megawati et al., 2010).

3.5.2 Penetapan Bobot Jenis

Piknometer 5 mL dicuci dan dibersihkan dengan etanol. Bagian dalam

dikeringkan dengan arus udara kering, bagian luar di lap dengan tisu atau dengan

kain kering dan kemudian tutup piknometer. Piknometer kosong ditimbang,

kemudian piknometer di isi dengan air suling hingga penuh lalu celupkan ke dalam

penangas air pada suhu 25 ºC (hindari gelembung udara) piknometer diambil dari

penangas, kemudian piknometer dibersihkan dengan tisu hingga kering, ditimbang

piknometer yang berisi air suling.

Piknometer dikosongkan, dicuci dengan etanol dan kemudian dikeringkan

dengan arus udara kering. Piknometer di isi dengan minyak atsiri hingga penuh

pada suhu 25 ºC ± 0,2 ºC dan dibiarkan selama 30 menit. Diambil dari penangas,
kemudian dibersihkan dengan tisu sampai kering dan timbang (Depertemen

Kesehatan Republik Indonesia, 1985).

Rumus perhitungan bobot jenis:

𝑚2 − 𝑚
𝐵𝑗 =
𝑚1 − 𝑚

Keterangan:

m : Massa, dalam gram, piknometer kosong

𝑚1 : Massa, dalam gram, piknometer berisi air pada suhu 25 ºC

𝑚2 : Massa, dalam gram, piknometer berisi minyak atsiri pada suhu 25 ºC

3.5.3 Penentuan Indeks Bias

Air dialirkan melalui refraktometer agar alat ini berada pada suhu dimana

pembacaan akan dilakukan. Suhu tidak boleh lebih dari ± 25 ºC dari suhu referensi

dan harus dipertahankan dengan toleransi ± 0,2 ºC. Sebelum minyak atsiri dialirkan

di dalam alat minyak harus berada pada suhu yang sama dengan suhu pengukuran

yang akan dilakukan, pembacaan hanya boleh dilakukan bila suhunya stabil

(Wibowo et al., 2016).

Rumus perhitungan indeks bias:

𝑁𝑡 = 𝑁20 + (20 ºC – t) × 2 × 10−4

Keterangan:

𝑁𝑡 : Nilai indeks bias


𝑁20 : Hasil indeks bias

T : Suhu ruang (25 ºC)

3.6 Analisis Minyak Atsiri Menggunakan GC-MS

Analisis minyak atsiri biji ketumbar dengan GC-MS, identifikasi komponen

golongan senyawa yang terkandung pada minyak atsiri biji ketumbar dilakukan

menggunakan alat GCMS–QP 2010 Shimadzu. Kondisi operasional alat yaitu:

kolom DB-17MS, suhu oven kolom 70ºC dan suhu injeksi 250ºC.

3.7 Uji Aktivitas Sitotoksik

3.7.1 Sterilisasi

Sebelum dilakukan sterilisasi, peralatan gelas yang akan digunakan untuk

percobaan dicuci bersih kemudian dikeringkan dan dibungkus kertas. Peralatan

yang tidak tahan terhadap panas seperti pipet tetes, media, blue tips, yellow tips

disterilkan menggunakan autoklaf dengan suhu 121ºC selama 15 menit. Peralatan

yang tahan terhadap pemanasan dapat disterilkan menggunakan oven pada suhu

175ºC selama 2 jam (Putri & Haryoto, 2018).

3.7.2 Pemanenan Sel

Sel dipanen apabila jumlah sel 80% konfluen. Pemanenan sel dilakukan

dengan membuang media dengan menggunakan pipet pasteur steril. Sel kemudian

di cuci 2x dengan PBS 1x (volume PBS ± 5 mL. sel di resuspensi menggunakan

pipet hingga terlepas satu-persatu (tidak bergerombol). Sel diamati menggunakan

mikroskop dan apabila terdapat sel yang menggerombol maka dilakukan resuspensi
kembali. Sel yang terlepas satu-persatu lalu dipindahkan kedalam conical tube steril

baru (Putri & Haryoto, 2018).

3.7.3 Pembuatan Larutan Uji

10 mg sampel minyak atsiri dilarutkan dalam 100 µL DMSO (dimethylsulf

oxide) 10%, dan dilakukan pengenceran sampel menggunakan PBS (phosphate

buffer solution, Sigma Aldrich), berdasarkan panduan penilitian sebelumnya

dengan LC50 3,88 µg/mL sehinga diperoleh konsentrasi 4; 8; 12; 16; 20 µg/mL dan

dipindahkan kedalam microplate 96 untuk diujikan pada sel (Musfiroh et al., 2020).

3.7.4 Pengujian Microculture Tetrazolium Test

Pada hari ke-3 dilakukan penambahan reagen MTT (3-[4,5,

dimethylthiazol-yl-]-2,5-diphenyl tetrazolium bromide) ke dalam masing-masing

plat mikro sel yang telah diinkubasi selama dua hari sebelumnya, kemudian

dikocok dengan mixer plat micro selama ± 2 menit, disimpan kembali dalam

inkubator CO2 selama 4 jam kemudian ditambahkan stp solution SDS (Sodium

Dodesil Sulfat 10% dalam 0,1 N HCl) dan dikocok dengan lembut. Kemudian

disimpan kembali dalam inkubator CO2 selama 24 jam. Pengukuran optical density

dilakukan dengan Reader Plat Micro pada panjang gelombang 595 nm. Kemudian

hitung nilai IC50 (Musfiroh et al., 2020).

3.7.5 Analisa Data

Penentuan nilai IC50 mengunakan analisa regresi probit dari persentase

viabilitas sel hidup terhadap log konsentrasi minyak atsiri biji ketumbar
(Coriandrum sativum Linn.). Persentase sel yang hidup dapat dihitung berdasarkan

hasil absorbansi menggunakan rumus (Hargono et al., 2016):

𝐴𝑇 − 𝐴𝑀
% 𝑣𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑙 = × 100%
𝐴𝐾 − 𝐴𝑀

Keterangan :

AT : Absorbsi perlakuan minyak atsiri biji ketumbar (Coriandrum sativum Linn.)

AM : Absorbansi media kultur sel

AK : Absorbansi control sel


DAFTAR PUSTAKA

Akmal, Mutaroh et al., (2010). Ensiklopedi Kesehatan untuk Umum. Jogjakarta:


Ar-Ruzz Media.
Al-Snafi, A.E. (2016). A Review on Chemical Constituents and Pharmacological
Activities of Coriandrum sativum. OSR Journal of Pharmacy 6 (7): 17- 42.
Anggraini. D et al., (2018). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualita hidup
penderita kanker payudara di kota padang. Jurnal Endurance. Vol 3(3). Hal:
562-567.

Ariani, S. (2015). Stop Kanker. Yogyakarta: Istana Media.


Bakkali, F., Averbeck, S., Averbeck, D., & Idaomar, M. (2008). Biological effects
of essential oils - A review. In Food and Chemical Toxicology (Vol. 46,
Issue 2, pp. 446–475).
Bag, A., & Chattopadhyay, R. R. (2015). Evaluation of synergistic antibacterial
and antioxidant efficacy of essential oils of spices and herbs in combination.
PLoS ONE, 10(7), 1–17.
Berwawie N., et al., (2020). Potensi Tanaman Rempah, Obat dan Atsiri
Menghadapi Masa Pandemi Covid 19. Cimanggu, Bogor: Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat.
British Pharmacopoiea Commision. (2009). British pharmacopoeia. London: The
Pharmaceutical Press.
Brown, G. G. (1984). Unit Operation Modern Asia.Edition. New York: John Wiley
and Son Inc.

Cancer Chemoprevention Research Center. (2014). Sel HeLa. Diakses tanggal 27


November 2022 dari https://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/?page_id=1224.
David, G. W. (2005). Analisis Farmasi, Edisi kedua. EGC: Jakarta.
De Guzman CC & Siemonsman BS. (1999). Plant Resources of South-East Asia
13. Prosea Foundation. Vol 13. 137-141.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1985). Cara Pembuatan Simplisia.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dirjen POM. (1983). Pemanfaatan Tanaman Obat. Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Drozd, J. (1985). Chemical Derivatization in Gas Chromatography. Journal of
Chromatography Library. 19(2).
Fathani, I. J. (2020). Uji Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Etanol Cangkang Buah Dan
Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Terhadap Sel Kanker
Kolorektal Widr. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia.
Yogyakarta
Fayyad, A.G., Nazlina Ibrahim & Wan Ahmad Yaakob. (2017). Evaluation of
Biological Activities of Seeds of Coriandrum sativum. International
Journal of Scientific & Engineering Research. 8 (7): 158-1063.
Goodwin, E. C., DiMaio, D. (2000). Repression of Human Papillomavirus
Oncogenes in HeLa Cervical Carcinoma Cells causes The Orderly
Reactivation of Dormant Tumor Suppressor Pathways. Biochemistry
Journal. Vol.97 (23).
Guenther, E. (1987). Minyak Atsiri. Diterjemahkan oleh R.S. Ketarendan
R.Mulyono. Jakarta: UI Press.
Hadipoentyanti, E., Wahyuni, S., Penelitian, B., Rempah, T., & Obat, D. (2004).
Pengelompokan Kultivar Ketumbar Berdasar Sifat Morfologi. In Buletin
Plasma Nutfah (Vol. 10).
Hadisaputri, Y. E., & Abdullah, R. (2018). Sel Kultur Analisis Fitokimia. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Handayani P. A., & Juniarti E. R., (2012). Ekstraksi Minyak Ketumbar (Coriander
Oil) dengan Pelarut Etanol dan n-Heksana, JBAT (Jurnal Bahan Alam
Terbarukan), ISSN 2303-0623, pp. 1-10.

Hargono, Y., Yudi, C., & Nugroho, H. (2016). Sitotoksisitas Fraksi Piper
Porphyrophyllum terhadap Sel Kanker T47D Cytotoxic Activity of Piper
Porphyrophyllum Fraction against T47D Cancer Cell. 02(2), 1–50.
Hartati, N. N., Runiari, N. & Parwati, A. A. K. (2014). Motivasi Wanita Subur
Untuk Melakukan Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat, Poltekkes
Denpasar. Tersedia di: http://poltekkes-denpasar.ac.id/files/Jurnal
Hosseini A., & Ghorbani A., (2015). Cancer Therapy with Phytochemicals:
Evidence from Clinical Studies. Avicenna J Phytomed. 5 (2): 84-97.

Hwa-Jung, C. (2018). Chemical Constituents of Essential Oils Possessing Anti


Influenza A/WS/33 Virus Activity. Osong Public Health Res Perspect.
9(6):348-353.
Indah, Y. (2010). Stop Kanker: Panduan Deteksi Dini & Pengobatan Menyeluruh
Berbagai Jenis Kanker. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Iwasaki, K., Zheng, Y., Murata, S., Ito, H., Nakayama, K., Kurokawa, T., Sano, N.,
Nowatari, T., Villareal, M. O., Nagano, Y. N., Isoda, H., Matsui, H.,
Kurokawa, T., & Sano, N. (2016). Anticancer effect of linalool via cancer-
specific hydroxyl radical generation in human colon cancer. World Journal
of Gastroenterology. 22(44), 9765–9774.

Ketaren, S. (1985). Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta: Balai Pustaka.


Kemenkes RI. (2019). Hari Kanker Sedunia 2019. Kemenkes RI: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan.
Lubis, N. L. (2009). Dukungan Pada Pasien Kanker Perlukah. Medan: USU Press.

Mandal, S., & Mandal, M. (2015). Coriander (Coriandrum sativum L.) essential
oil: Chemistry and biological activity. Asian Pacific Journal of Tropical
Biomedicine, 5(6), 421–428.
Mayer, A. M. S., & Gustafson, K. R., (2008). Antitumor and Cytotoxic Compounds.
Eur J Cancer. 40(18):2357–87.
McLaughlin, J. L. and Rogers, L. L. (1998). The Use of Biological Assays to
Evaluate Botanicals. Drug Information Journal, 32, 513-524.
Megawati, R. F., Da’i, M., & Munawaroh, R. (2010). Quality Analysis of Clove
Bud Essential Oils (Syzygium Aromaticum L.) (Meer. & Perry) From
Maluku, Sumatera, Sulawesi and Java with Metabolomic Based On GC-MS
Method. In PHARMACON (Vol. 11, Issue 2).
Mirayashi, D. (2013). Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Kanker
Serviks dan Keikutsertaan Melakukan Pemeriksaan Inspeksi Visual Asetat
di Puskesmas Alianyang Pontianak. 214 (21). 1–18.
Musfiroh, I., Azura, A. R., & Rahayu, D. (2020). Prediction of Asiatic Acid
Derivatives Affinity Against SARS-CoV-2 Main Protease Using Molecular
Docking. Pharmaceutical Sciences and Research. 7(4), 57–64.
Mustafa, R. A. et al. (2016). Systematic Reviews and Meta-Analyses of The
Accuracy of HPV Tests, Visual Inspection with Acetic Acid, Cytology, and
Colposcopy. International Journal of Gynecology and Obstetrics. 132(3).
259 – 265.
Nussbaumer, S., Bonnabry, P., Veuthey, J. L., & Fleury-Souverain, S. (2011).
Analysis of Anticancer Drugs: A review. In Talanta (Vol. 85, Issue 5, pp.
2265–2289). Elsevier B.V.
Pamilih, Heru. (2009). Uji Sitotoksik Ekstrak Etil Asetat Herba Bandotan
(Ageratum conyzoides L.) terhadap Sel Kanker Payudara (T47D) dan Profil
Kromatografi Lapis Tipis. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Purwanto, N., Rismawati, E., dan Sadiyah, E. R. (2015). Uji Sitotoksik ekstrak biji
salak (Salacca zalacca (Gaert) Voss dengan menggunakan metode Brine
Shrimp lethality test (BSLT). Prosiding Penelitian Spesia Unisiba Prodi
Farmasi FMIPA. 616–622.
Putri, E. N. A., & Haryoto (2018). Aktivitas Antikanker Ekstrak Etanol Umbi
Bawang Dayak (Eleutherine americana Merr.) terhadap Sel Kanker
Payudara T47D. The 7th University Research Colloqium. 192-203.
Ribeiro, S. O., Fontaine, V., Mathieu, V., Zhiri, A., Baudoux, D., Stévigny, C., &
Souard, F. (2020). Antibacterial and cytotoxic activities of ten commercially
available essential oils. Antibiotics, 9(10), 1–17.
Ridayani, M. S. (2016). Analisis Implementasi Program Deteksi Dini Kanker
Servik dengan Metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di Puskesmas
Kota Semarang Tahun 2015. Skripsi. Semarang.
Setiawati, D. (2014). Human Papilloma Virus dan Kanker Serviks. Al-Sihah :
Public Health Science. 1(2). 450–459.
Sparkman, O. D., Penton, Z., Fulton, G. (2011). Gas Chromatography and Mass
Spectrometry: a practical guide. Elsevier: Acedemic Press.
Swetha M, & Krithika N. (2018). In Vitro Cytotoxicity and Cell Viability Assay of
Coriandrum sativum L. Seed Powder Extracts. World Journal of
Pharmaceutical Research, 7, 317.
Tianandari, F., Studi D-III Farmasi, P., Farmasi Banda Aceh, J., & Banda Aceh, K.
(2017). Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Buah Ketumbar (Coriandrum sativum
Linn.) Terhadap Artemia Salina Leach dengan Metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT). Jurnal Action (Vol. 2, Issue 2).
Winkle, M.V. (1967). Distillation. New York: Mc Graw Hill International Editions.
Yasmin, H., Abushama, M. F., Abdalgadir, H., Khalid, A., Khalid, H., & Professor,
K. H. (2014). Essential Oils of Common Spices Traditionally Used in
Sudan as Potential Antioxidants Citation. In The Journal of Ethnobiology
and Traditional Medicine. Photon (Vol. 122).

Zarlaha A, Kourkoumelis N, Stanojkovic TP, Kovala-Demertzi D. (2014).


Cytotoxic Activity of Essential Oil and Extracts of Ocimum Basilicum
Against Human Carcinoma Cells. Molecular Docking Study of Isoeugenol
as a Potent COX and LOX inhibitor. Digest Journal of Nanomaterials and
Biostructures. 9(3): 907-917.
Lampiran 1. Skema Kerja

Biji ketumbar 5 kg

Didestilasi uap selama 4 jam

Ampas
Destilasi (fase air + fase minyak)

Dipisahkan dengan corong pisah

Fase air + fase minyak Fase minyak

Dipisahkan
dengan
corong pisah

Fase minyak

Fase minyak
(Minyak atsiri)

Gambar 2. Skema kerja pembuatan mnyak atsiri biji ketumbar (Coriandrum


sativum Linn.)
Lampiran 1. (Lanjutan)

Minyak atsiri

Pemeriksaan Uji sifat fisika dan kimia Uji aktivitas


pendahuluan minyak atsiri sitotoksik

- Bentuk - Uji bobot jenis


- Warna - Indeks bias
- Bau - GC-MS

Gambar 3. Pengujian minyak atsiri biji ketumbar (Coriandrum sativum Linn.)


Lampiran 1.

Kultur sel kanker serviks HeLa

100 µl suspensi sel didistribusikan ke


dalam 96 well plate

 Inkubasi dalam inkubator CO2 selama 24 jam


 Buang media pada masing-masing sumuran
Media baru serta sampel 100 µl
ditambahkan pada tiap sumuran
sehingga diperoleh kadar akhir dengan
konsentrasi tertentu

96 well plate diinkubasi dalam inkubator


CO2 pada suhu 37oC selama 24 jam
 Buang media pada masing-masing
sumuran
 Cuci dengan menggunakan PBS
100 µl MTT ditambahkan ke dalam tiap
sumuran

 Inkubasi dalam inkubator CO2 pada suhu 37oC


selama 4 jam
 DMSO ditambahkan ke dalam tiap sumuran
 96 well plate dibungkus dengan alumunium
foil dan diinkubasi selama 30 menit

Microplate dimasukkan ke ELISA


reader untuk dibaca absorbansi sel
pada panjang gelombang 595 nm

Gambar 4. Skema Uji Sitotoksik Minyak Atsiri Biji Ketumbar (Coriandrum


Sativum Linn.)

Anda mungkin juga menyukai