Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM

FITOKIMIA

PERCOBAAN KE III
ISOLASI FLAVONOID DARI TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

Disusun Oleh :
Diah Lintangati 1708067053
Dianita Ulfi Anggraini 1708067054
Ellisa Septama 1708067055
Evi Nurul Latifah 1708067056
Galuh Putri Prastiwi 1708067057
Lathifah Nur Fitriani 1708067058

Hari, Tanggal Praktikum : Jumat, 10 Mei 2019


Dosen Pembimbing : Andi Wijaya, M.Farm., Apt.

LABORATORIUM FITOKIMIA
AKADEMI FARMASI INDONESIA YOGYAKARTA
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN DAN PERNYATAAN

Laporan Praktikum FITOKIMIA Percobaan Ke III dengan Judul Isolasi


Flavonoid dari Temulawak adalah benar sesuai dengan hasil praktikum yang telah
dilaksanakan. Laporan ini kami susun sendiri berdasarkan data hasil praktikum
yang telah dilakukan.

Yogyakarta, 10 Mei 2019


Dosen Pembimbing, Ketua Kelompok,

Andi Wijaya, M.Farm., Apt Evi Nurul Latifah

Data Laporan (Diisi dan diparaf oleh Dosen/Laboran/Asisten)


Hari, Tanggal Praktikum Hari, Tanggal Pengumpulan Laporan

Jumat, 10 Mei 2019 Jumat, 21 Juni 2019

Nilai Laporan (Diisi oleh Dosen)


No. Aspek Penilaian Nilai
1. Ketepatan waktu pengumpulan (10)
2. Kesesuaian laporan dengan format (5)
3. Kelengkapan dasar teori (15)
4. Cara kerja (10)
5. Penyajian hasil (15)
6. Pembahasan (20)
7. Kesimpulan (10)
8. Penulisan daftar pustaka (5)
9. Upload data via blog/wordpress/scribd/academia.edu
(10)
TOTAL

i
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN DAN PERNYATAAN ............................................ i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii
ISOLASI FLAVONOID DARI TEMULAWAK ................................................... 1
A. Tujuan .......................................................................................................... 1
B. Dasar Teori ................................................................................................... 1
C. Alat dan Bahan ............................................................................................. 6
D. Cara Kerja .................................................................................................... 7
E. Hasil ............................................................................................................. 8
F. Pembahasan ................................................................................................ 10
G. Kesimpulan................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 13
LAMPIRAN .......................................................................................................... 16

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur kimia flavonoid.......................................................................2

Gambar 2. Skema prosedur ekstraksi dengan metode maserasi.............................7

Gambar 3. Skema prosedur isolasi menggunakan KLT preparatif........................7

Gambar 4. Skema prosedur identifikasi dengan KLT............................................8

Gambar 5. Hasil KLT preparatif.............................................................................9

iii
PERCOBAAN III

ISOLASI FLAVONOID DARI TEMULAWAK

A. Tujuan
Mengetahui langkah-langkah isolasi, mampu melakukan isolasi flavonoid
dari temulawak dan mengetahui isolat yang diperoleh.

B. Dasar Teori

1. Temulawak

Temulawak (Curcuma xanthorriza) merupakan salah satu jenis tanaman


unggulan yang memiliki banyak manfaat sebagai tanaman obat
(Hadipoentyanti et al., 2007). Tanaman ini termasuk tanaman tahunan
yang tumbuh merumpum. Tiap rumpun tanaman terdiri atas beberapa
tanaman anakan dan tiap tanaman memiliki 3-9 helai daun. Warna daging
rimpangnya kuning dengan cita rasa pahit serta berbau tajam (Rukmana,
1995).

a. Klasifikasi

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermathophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Wijayakusuma, 2007).

b. Kandungan

Menurut Hayani (2006) dari hasil analisis secara kualitatif diketahui


bahwa di dalam rimpang temulawak terdapat alkaloid, flavonoid,
fenolik, saponin, triterpenoid dan glikosida. Rimpang temulawak
mengandung antioksidan. Komponen senyawa yang bertindak sebagai

1
antioksidan dari temulawak adalah fenol dan kurkumin (Jayaprakasha
et al., 2006).

Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam


rimpang temulawak merupakan senyawa alelokimia yang dapat
menghambat pembelahan sel. Oleh karena itu rimpang temulawak
mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi bahan bioherbisida
alami (Thi et al., 2008).

Flavonoid merupakan senyawa bahan alam yang mengandung dua


cincin aromatik benzena yang dihubungkan oleh 3 atom karbon, atau
suatu fenilbenzopiran (C6-C3-C6). Bergantung pada posisi ikatan dari
cincin aromatik benzena pada rantai penghubung tersebut, kelompok
flavonoid dibagi menjadi 3 kelas utama, flavonoid, isoflavonoid, dan
neoflavonoid (Grotewold, 2006).

Gambar 1. Struktur kimia flavonoid (Redha, 2010).

Flavonoid sering dijumpai dalam bentuk glikosidannya. Apabila


suatu senyawa terdapat banyak glikosidannya maka senyawa tersebut
cenderung bersifat lebih polar. Sehingga pada proses ekstraksi senyawa
metabolit sekunder akan lebih terekstrak dengan pelarut polar, senyawa
yang bekerja kurang spesifik karena terikat dengan gugus gula dan pada
proses pemisahan senyawa dengan KLT akan cenderung tertahan pada
fase diamnya (Saifuddin, 2006).

Kuersetin adalah senyawa kelompok flavonol terbesar, kuersetin dan


glikosidanya berada dalam jumlah sekitar 60-75% dari flavonoid.
Kuersetin dipercaya dapat melindungi tubuh dari beberapa jenis

2
penyakit degenerative dengan cara mencegah terjadinya proses
peroksidasi lemak (Waji, 2009).

c. Manfaat

Rimpang temulawak berkhasiat sebagai laktagoga, kolagoga,


antiinflamasi, tonikum, dan diuretik (Dalimartha, 2000). Temulawak
mampu menghambat pembelahan sel-sel tumor dan pembentukan
jaringan kista di paru-paru dan jaringan perut, serta memiliki aktivitas
antiproliferasi terhadap kanker payudara MCF-7. kurkumin juga dapat
menghambat pembentukan sel kanker (Choi et al., 2004).

Senyawa flavonoid sangat penting bagi tanaman pada pertumbuhan


dan perkembangannya seperti penarikan perhatian hewan pada prroses
penyerbukan dan penyebaran benih, stimulan fiksasi nitrogen pada
bakteri Rhizobium, peningkat pertumbuhan tabung serbuk sari, serta
resorpsi nutrisi dan mineral dari proses penuaan daun. Senyawa
flavonoid juga memiliki kemampuan untuk bertahan tanaman dari
herbivora dan penyebab penyakit, serta senyawa ini membentuk dasar
untuk melakukan interaksi alelopati antar tanaman (Andersen et al.,
2006). Selain itu flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol
yang memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi (Sayuti et al.,
2015).

Menurut Yasni et al (1994), α-kurkumene merupakan salah satu


komponen zat aktif yang dapat menurunkan trigliserida. Kurkumin
berwarna kuning rasa yang tajam dengan bau yang khas, memiliki sifat
antiseptik dan dapat digunakan sebagai pewarna alami pada bahan
makanan (Yulinas et al., 2005). Selain kurkumin, senyawa fenol
berfungsi sebagai antioksidan karena mampu meniadakan radikal bebas
dan radikal peroksida sehingga dapat mencegah kanker (Kelloff et al.,
2000).

3
2. Maserasi

Maserasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut dengan beberapa kali


pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Secara teknologi
merupakan ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada
keseimbangan (Ferdiansyah, 2006). Metode maserasi dipilih karena
metode ini murah dan mudah dilakukan, karena senyawa yang terkandung
tidak tahan pemanasan (Yustina, 2008).

Perendaman sampel dengan maserasi akan terjadi kontak sampel


dengan pelarut yang sangat lama. Terdistribusinya pelarut organik yang
terus menerus ke dalam sel tumbuhan mengakibatkan perbedaan tekanan
antara di dalam dan di luar sel. Sehingga, pemecahan dinding dan mebran
sel dan metabolit sekunder yang berada dalam sitoplasma akan terlarut
dalam pelarut organik. Hal ini membuat ekstraksi senyawa berlangsung
sempurna karena lama perendaman yang dilakukan (Braja, 2008).

Kelebihan dari metode maserasi ini adalah sederhana, relatif murah,


tidak memerlukan peralatan yang rumit, terjadi kontak antara sampel dan
pelarut yang cukup lama dan dapat menghindari kerusakan komponen
senyawa yang tidak tahan pemanasan. Kekurangan dari metode ini adalah
membutuhkan waktu yang lama (Voight, 1995).

Menurut penelitian Fauzana (2010) hasil rendemen ekstrak rimpang


temulawak dengan waktu maserasi kurang dari 18 jam menghasilkan
rendemen yang rendah yaitu dibawah 12,60%. Lebih lanjut dilaporkan
bahwa semakin lama waktu maserasi yaitu dari 4 jam hingga 24 jam, hasil
rendemen ekstrak semakin meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh
Amelinda et al (2018) menyebutkan bahwa waktu maserasi berpengaruh
sangat nyata terhadap rendemen, kadar total fenolik, kadar total kurkumin
dan aktivitas antioksidan ekstrak rimpang temulawak, dimana perlakuan
terbaik adalah perlakuan waktu maserasi 24 jam dengan rendemen sebesar
205,88%.

4
Farmakope Herbal Indonesia (2008) menyebutkan bahwa ekstraksi
temulawak dengan refluks kurang praktis dan efisien karena membutuhkan
peralatan khusus, waktu yang relatif lebih lama, energi, dan bahan kimia
yang cukup banyak. Oleh karena itu, diperlukan alternatif ekstraksi yang
lebih sederhana, cepat, efisien, dan tidak mahal, namun tetap memenuhi
kaidah-kaidah analisis. Ekstraksi secara sonikasi sangat tepat diterapkan
pada analisa dalam jumlah massif dengan waktu yang terbatas. Sedangkan
maserasi merupakan cara yang sangat sederhana dan tidak membutuhkan
peralatan khusus sehingga dapat diterapkan di semua laboratorium. Selain
itu, maserasi mungkin akan memberi hasil yang lebih baik karena akan
mengurangi terjadinya dekomposisi atau degradasi komponen karena
pengaruh suhu (Sidik, 1985).

Prinsip teknik pemisahan secara maserasi adalah prinsip kelarutan like


dissolves like yang mana pelarut polar akan melarutkan senyawa polar,
sedangkan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar.
Sehingga pemilihan pelarut sangat berpengaruh terhadap hasil ekstraksi.
Pelarut yang digunakan harus dapat menarik komponen aktif yang
diinginkan. Faktor yang harus diperhatikan dalam memilih pelarut antara
lain: selektivitas, sifat pelarut, kemampuan mengekstraksi, tidak toksik,
mudah diuapkan dan harga relatif murah (Gamse, 2002). Pelarut yang
sering digunakan untuk ekstraksi antara lain : etil asetat, etanol, aseton,
dan air (Simpen, 2008).

3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dapat digunakan untuk tujuan


analitik dan preparatif. Kromatografi lapis tipis analitik digunakan untuk
menganalisa senyawa-senyawa organik dalam jumlah kecil. KLT
preparatif digunakan untuk memisahkan senyawa dengan sampel dalam
jumlah besar berdasarkan fraksinya (Sastrohamidjojo, 2007).

Uji kualitatif flavonoid dilakukan menggunakan analisa KLT. Ekstrak


etanol daun benalu mangga dilarutkan dengan etanol 96% kemudian
ditotolkan pada lempeng KLT. Lempeng dimasukkan dalam chamber yang

5
berisi eluen n-heksan : etila asetat (1:9). Bercak diamati dibawah sinar UV
366 nm, kemudian disemprot dengan reagen atau pereaksi spesifik.
Pereaksi yang sering digunakan untuk identifikasi flavonoid sebagai
pereaksi semprot dalam KLT adalah AlCl3 dan sitroborat yang akan
memberikan warna kuning (Yulianti et al., 2014.)

Fase diam dalam KLT berupa silika gel (biasanya berupa plat silika
gel GF 254) yang mampu mengikat senyawa yang akan dipisahkan.
Sedangkan fase geraknya berupa berbagai macam pelarut atau campuran
pelarut. Proses pengembangan atau elusi ialah proses pemisahan campuran
cuplikan akibat pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan fase
diam. Jarak hasil pemisahan senyawa pada kromatogram biasanya
dinyatakan atau harga Rf KLT dapat digunakan untuk perhitungan
kualitatif dalam pengujian sampel dengan menggunakan harga Rf dimana
harga Rf dinyatakan dengan (Sastrohamidjojo, 2007).

Rf =

Angka Rf berjarak antara 0,00 sampai 1,00 dan hanya ditentukan dua
desimal. hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai
berjangka 0 sampai 100 (Stahl, 1985).

C. Alat dan Bahan

Alat Bahan
1. Seperangkat alat maserasi 1. Simplisia Temulawak
2. Seperangkat alat KLT 2. Etanol
3. Beaker glass 3. Etil asetat
4. Stirer 4. Heksan
5. Rotavapour 5. Standar kuersetin
6. Cawan porselin

6
D. Cara Kerja

Timbang 40 g serbuk
Rimpang Temulawak

Dimasukkan ke beaker glass

Tambah 200 ml etanol 70%

Aduk dengan stirer ± 1 jam

Didiamkan selama 7 hari

FILTRAT

Diuapkan dengan rotavapour

Ekstrak kental ditampung pada cawan

Gambar 2. Skema prosedur ekstraksi dengan metode maserasi

Ekstrak kental ditotolkan


5-10x pada Silika GF 254

Elusi pada fase gerak


heksan:etil asetat (4:1)

Deteksi sinar UV 366 nm

Ditandai dan dikerok


BERCAK Dilarutkan dalam etanol

LARUTAN
ISOLAT
(diuapkan)

ISOLAT

Gambar 3. Skema prosedur isolasi menggunakan KLT preparatif

7
Isolat
Penotolan pada
Silika gel GF 254
5-10x Pembanding kuersetin
dalam etanol

Elusi pada fase gerak


heksan:etil asetat (4:1)

Deteksi sinar UV 254 nm

Catat harga Rf

Bandingkan dengan
Rf standar kuersetin

Gambar 4. Skema prosedur identifikasi dengan KLT

E. Hasil

Minggu ke 1
Nama simplisia : Curcumae Rhizoma
Metode ekstraksi : Maserasi
Pelarut : Alkohol 70%
Jumlah Pelarut : 200 mL
Durasi Pengadukan : 1 jam
Durasi Maserasi : 7 hari

Minggu ke 2
Pemerian ekstrak
Aroma : Bau khas temulawak
Warna : Coklat kekuningan
Bentuk/tekstur : Cairan kental

8
Rendemen ekstrak : Berat cawan kosong : 36,09 gram
Berat cawan + ekstrak : 42,82 gram
Berat ekstrak : 6, 73 gram

Hasil pengamatan dengan kromatografi

Fase diam : Silika GF 254

Fase gerak : Heksan : etil asetat = 4:1

Pembanding : Kuersetin

Deteksi : Sinar UV 254

1. Hasil KLT Preparatif


Jarak tempuh bercak : 2 cm
Jarak yang ditempuh pelarut :8 cm

Harga Rf =

2. Hasil KLT Identifikasi


Tidak diperoleh hasil harga Rf dari sampel maupun standar kuersetin.

Bercak sampel
yang dikerok

Paling Bercak Bercak


berpendar standar sampel
kuersetin
n

(a) (b) (c)

Gambar 5. Hasil KLT preparatif

Keterangan :

a) Pengamatan sebelum dikerok dibawah sinar UV 366 nm.


b) Setelah dikerok (KLT preparatif).
c) KLT identifikasi noda flavonoid atau isolat dan noda kuersetin.

9
F. Pembahasan

Praktikum kali ini dilakukan isolasi dan identifikasi flavonoid dari


rimpang temulawak. Rimpang temulawak mengandung senyawa metabolit
sekunder antara lain alkaloid, flavonoid, fenolik, saponin, triterpenoid,
glikosida (Hayani, 2006). Senyawa flavonoid memiliki kerangka dasar 15
atom karbon yang terdiri atas 2 cincin benzen (C6) terikat pada rantai propana
(C3) sehingga membentuk susunan C6-C3-C6.

Proses ekstraksi dari serbuk rimpang temulawak menggunakan metode


maserasi. Metode ini didasarkan pada perendaman sampel dengan pelarut
yang sesuai, pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga
sel yang mengandung senyawa aktif sehingga senyawa aktif akan larut dalam
pelarut dan tersedak keluar. Peristiwa tersebut terjadi terus-menerus sampai
terjadi keseimbangan konsentrasi di dalam dan luar sel (Voight, 1995).
Maserasi ini dilakukan pada suhu ruangan.

Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektifitas


yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa yang akan di isolasi.
Flavonoid merupakan senyawa polar, dengan prinsip like dissolve like maka
digunakan pelarut yang juga bersifat polar. Etanol 70% digunakan sebagai
pelarut karena memiliki sifat yang polar sehingga flavonoid akan dapat
terlarut. Kelarutan zat aktif akan meningkat dengan dilakukannya
pengadukan, dalam maserasi ini pengadukan dilakukan menggunakan stirrer
selama 1 jam.

Kelebihan dari metode maserasi adalah sederhana, relatif murah dan


perlatan yang digunakan tidak rumit, terjadi kontak antara sampel dan pelarut
yang cukup lama dan dapat menghindari kerusakan komponen senyawa yang
tidak tahan panas. Sedangkan kekurangan dari metode ini membutuhkan
waktu yang lama dan penyarian yang kurang sempurna (Voight, 1995).

Ekstrak yang diperoleh dari hasil maserasi didiamkan selama 7 hari


sehingga pelarut akan masuk ke dalam sel dan zat aktif akan keluar.
Perendaman ini menyebabkan terjadinya proses difusi, yaitu perpindahan dari

10
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah sehingga konsentrasi di luar dan di
dalam sel akan sama, apabila konsentrasi sudah sama maka maserasi
dinyatakan selesai. Ekstrak kemudian disaring dengan kertas saring untuk
memisahkan dari kotoran dan padatan, diperoleh filtrat yang berwarna coklat
kekuningan.

Filtrat hasil ekstraksi tersebut dipekatkan dengan rotary evaporator.


Prinsip dari rotary evaporator adalah proses pemisahan ekstrak dari pelarut
dengan pemanasan yang diatur dengan mempercepat perputaran dari labu alas
bulat. Pelarut dapat menguap pada suhu 5-10 oC dibawah titik didihnya
karena adanya penurunan tekanan. Pompa vakum menyebabkan uap dari
pelarut akan naik ke kondensor dan menjadi cairan yang kemudian
tertampung dalam wadah. Rendemen yang dihasilkan yaitu 16,825% (6,73
gram dari serbuk rimpang temulawak sebanyak 40 gram).

Isolasi rimpang temulawak dilakukan dengan kromatografi lapis tipis


(KLT) preparatif. KLT preparatif digunakan untuk memisahkan campuran
senyawa dari sampel dalam jumlah besar berdasarkan fraksinya yang
selanjutnya fraksi tersebut digunakan untuk analisa berikutnya. Fase diam
dalam KLT ini menggunakan plat silica gel GF 254 dengan ukuran panjang
10 cm. Sedangkan fase geraknya berupa campuran heksan : etil asetat (4:1).
Fase gerak dilakukan penjenuhan terlebih dahulu sebelum digunakan agar
mempercepat proses bergeraknya sampel.

Penotolan dilakukan dalam bentuk garis memanjang pada plat silica


GF 254 sebagai fase diam sebanyak 5-10 kali, setelah kering elusi dalam fase
gerak. Deteksi dilakukan menggunkan lampu UV 366 nm dan akan
menampakkan warna yang disebabkan oleh adanya interaksi antara sinar UV
dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom pada noda tersebut.
Noda atau bercak paling berpendar yang akan dikerok dan dilakukan
identifikasi senyawa.

Proses identifikasi senyawa flavonoid dilakukan dengan cara


pengerokan pada bagian yang paling berpendar. Hasil kerokan dilarutkan
dalam etanol 96% kemudian dilakukan penotolan pada plat silica gel GF 254

11
bersama larutan kuersetin dibagian yang berbeda sebagai pembanding
standar. Plat yang telah ditotoli lalu dielusi dalam larutan heksan : etil asetat
(4:1).

Identifikasi menggunakan KLT menunjukkan bahwa temulawak


mengandung flavonoid yang dibuktikan dengan adanya noda berwarna hijau
kekuningan pada pengamatan dibawah sinar UV 254 nm. Harga Rf dari
sampel maupun standar kuersetin tidak diperoleh karena berdasarkan
pengamatan bercak pada plat silika belum terjadi pemisahan antara sampel
dengan pelarut, hal ini disebabkan adanya perbedaan kepolaran fase diam dan
fase gerak. Perbandingan fase gerak yang digunakan bersifat non polar
sehingga zat aktif yang bersifat polar tidak dapat naik. Standar kuersetin juga
tidak naik, hal ini dimungkinkan karena larutan standar yang digunakan
sudah rusak dan seharusnya dibuat baru.

G. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan


bahwa temulawak mengandung flavonoid yang dibuktikan dengan adanya
bercak berwarna hijau kekuningan, akan tetapi tidak diperoleh harga Rf
karena belum terjadi pemisahan antara sampel dengan pelarut.

12
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, O. M., Markham, K. R. 2006. Flavonoid: Chemistry, Biochemistry,and


Application. United States of America: Taylor and Francis Group.
Amelinda, Ega., Widarta, I. W. R., Darmayanti, L. P. T. 2018. Pengaruh Waktu
Maserasi Terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Rimpang Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. Vol 7(4):
165-174.
Braja, M. 2008. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Ficus elastic nois ex lume Terhadap
Artemia salina leach dan Profil Kromatografi Lapis Tipis. Skripsi. Surakarta:
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Choi, M. A., Kim S. H., Chung W. Y., Hwang J. K., and Park, K. K. 2004.
Xanthorrhizol, A Natural Sesquiterpenoid from Curcuma xanthorrhiza, Has
an Anti-metastatic Potential in Experimental Mous Lung Metastasisi Model. J.
Biochem. Res. Comm. 326(1): 210-217.
Dalimartha, Setiawan. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Jilid 2. Jakarta: Tubrus
Agriwidya.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakopr Herbal Indonesia.
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Fauzana, D. L. 2010. Perbandingan Metode Maserasi, Remaserasi, Perkolasi dan
Reperkolasi Terhadap Rendemen Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb).
Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Ferdiansyah, L. A. 2006. Ekstrak Daun Mindi (Melia Adedrach Linn) Kering
Secara Maserasi Menggunakan Pelarut Etanol 90%. Malang: FTP
UNIBRAW.
Gamse, T. 2002. Liquid-Liquid Extraction and Solid-Liquid Extraction. Institute
of Thermal Process and Environmental Engineering Graz University of
Techology.
Grotewold, E. 2006. The Science of Flavonoid. Springer, United States of
America. Hlm 71-73.
Hadipoentyanti, E., Syahid, S. F. 2007. Respon Temulawak (Curcuma
xanthorriza Robx.) Hasil Rimapang Kultur Jaringan Generasi Kedua
Terhadap Pemupukan. Jurnal Littri. 13(3) : 106-110.
Hayani, E. 2006. Analisis Kandungan Kimia Rimpang Temulawak. Temu Teknis
Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Hlm. 309-312.
Jayaprakasha, G. K., Rao, L. J., Sakariah, K. K. 2006. Antioxidant Activities of
Curcumin, Demethoxcurcumin and Bisdemothoxycurcumin. Food Chemistry.
98: 720-724.

13
Kelloff, G. J., Crowell, J. A., Steele, V. E., Libert, R. A., Malone, W. A., Boone C.
W., Kopelobich, L., Hawk, E. T., Liberman, J. A. 2000. Cancer
Chemoprevention: Development of Diet-derived Chemopreventive Agent.
Symposium on Diet, Natural Products and Cancer Prevention: Progress and
Promise. J Nutr. American Society for Nutririras Science 130(2): 467-471.
Koirewoa, Yohanes Aditya., Fatimawali., Wiyono, W. I. 2010. Isolasi dan
Identifikasi Senyawa Flavonoid dalam Daun Beluntas (Pluchea indica L.).
Manado: Universitas Sam Ratulangi.
Redha, A. 2010. Flavonoid : Struktur, Sifat Antioksidatif dan Perannya Dalam
Sistem Biologis. Jurnal Belia. 9:196-202.
Rukmana, R. 1995. Temulawak Tanaman Obat dan Rempah. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.14-17.
Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Sastrohamidjojo, H. 2007. Kromatografi. Yogyakarta: UGM Press.
Sayuti, Kesuma., Rina, Yenrina. 2015. Antioksidan Alami dan Sintetik. Padang:
Andalas University Press.
Sidik. 1985. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb). Jakarta: Yayasan
Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam.
Simpen, I. N. 2008. Isolasi Chaseus Nu Shell Liquida dari Kayu Biji Jambu Mete
(Anacardium occidentale L) dan Kajian Beberapa Sifat Fisiko-Kimianya.
Jurnal Kimia 2 (2): 71-76. ISSN 1992-0075.
Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatorafi dan Mikroskopi, diterjemahkan
oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. ITB: Bandung. 3-17.
Thi, H. L., Phoung Lan P. T., Chin, D.V., Noguchi, H. K. 2008. Allelopathic
Potensial of Cucumber (Curcumis sativus) on Barnyardgrass (Echinochioa
crus-galli). Weed Biology and Managemen 8(2): 129-132.
Voight, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh
Soendani N. S. Yogyakarta: UGM Press.
Waji, R. A., Sugrani, A. 2009. Flavonoid (Quercetin). Laporan Kimia Organik
Bahan Alam Program S2 Kimia. Makasar: Universitas Hasanuddin.
Wijayakusuma, M. 2007. Penyembuhan dengan Temulawak. Jakarta: Sarana
Pustaka Prima. Hlm. 23-7.

14
Yasni, S. K., Imaizumi, K., Sin, M. Sugono, Nonaka. G., Sidik. 1994.
Identification of An Antive Priciple in Essential Oils an Hexane-solube
Fractions of Curcuma xanthorrhiza Roxb. Showing Triglyceride-lowering
Action in Rats. Food Chem. Toxicol. 32(3): 273-278.
Yulianti, Rizki., Dahlia, A., Ahmad, A. R. 2014. Penetapan Kadar Flavonoid
Total dari Ekstrak Etanolik Daun Benalu Mangga. Jurnal Fitofarmaka
Indonesia, Vol 1(1).
Yulinas, E. M., Sinaga, O. 2005. Pengaruh Pemberian Tepung Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dalam Ransum Terhadap Kualitas Ayam
Broiler Umur 6 Minggu. Jurnal Agribisnis Peternakan 1(2): 62-66.
Yustina, L. 2008. Daya Antibakteri Campuran Ekstrak Etanol Buah Adas
(Foeniculum vulgare Mill.) dan Kulit Batang Pulasari (Alyxia reinwartii),
http://usd.ac.id/06/publ_dosen/far/yustina.pdf, diakses 1 September 2015.

15
LAMPIRAN

Serbuk Temulawak Pengadukan dengan stirrer

Proses penyaringan ekstrak Hasil ekstrak setelah disaring

Pengentalan ekstrak dengan rotary evaporator Hasil ekstrak setelah dikentalkan

16
Penjenuhan fase gerak heksan:etil asetat Sampel ektrak untuk KLT

Proses elusi sebelum KLT preparatif Hasil setelah dielusi

Pengamatan dibawah sinar UV 366nm Pengerokan bagian yang


paling berpendar

17
Proses elusi sebelum KLT identifikasi Hasil setelah dielusi

Pengamatan dibawah sinar UV 254 nm

18
Pertanyaan dan Jawaban dalam Diskusi:

1. Mengapa dalam KLT identifikasi tidak terbentuk bercak-bercak pemisahan


dari senyawa ? bercak seperti apa yang bisa dikatakan baik (terjadi
pemisahan) ?
Jawaban:
Pada KLT ini memang belum terjadi pemisahan senyawa ditandai dengan
bercak yang cenderung menyatu dan tidak ada jarak antara bercak satu
dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kepolaran
dari senyawa target dengan fase gerak. Perbandingan fase gerak yang
digunakan bersifat non polar sedangkan zat aktif flavonoid memiliki sifat
polar sehingga bercak tidak dapat naik.
Eluen yang digunakan dalam KLT seharusnya memiliki sifat kepolaran
yang sama dengan senyawa target. Eluen yang baik adalah eluen yang dapat
memisahkan senyawa dalam jumlah yang banyak yang ditandai dengan
munculnya noda atau bercak. Noda yang terbentuk tidak berekor dan jarak
antara noda satu dengan yang lainnya jelas (Koirewoa et al., 2012).

19

Anda mungkin juga menyukai