Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

PERCOBAAN III

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI FLAVONOID PADA TEMULAWAK


(Curcuma xanthorrhiza)

DOSEN PEMBIMBING : FARRA AZAHRA.,M Pharm.,Apt

KELOMPOK C6

KELAS IV C

ANGGOTA :
1. SUJIYATMI (1708067105)
2. TRI HARTOYO (1708067106)
3. WIDAYATININGSIH (1708067101)
4. YESI APRILLIA ANJANI (1708067108)

PROGAM STUDI DIPLOMA III FARMASI

AKADEMI FARMASI INDONESIA YOGYAKARTA

2019
HALAMAN PENGESAHAN DAN PERNYATAAN

Laporan Praktikum Fitokimia Isolasi Flavonoid dari Temulawak adalah


benar sesuai dengan hasil praktikum yang telah dilaksanakan.

Laporan ini saya susun sendiri berdasarkan data hasil praktikum yang
telah dilakukan.

Yogyakarta, Juli 2019

Dosen Pembimbing, Ketua Kelompok

Fara Azzahra, M.Farm., Apt.


(…………..……………..)
PERCOBAAN III

I. JUDUL PRAKTIKUM
ISOLASI FLAVONOID DARI TEMULAWAK
II. TUJUAN PRAKTIKUM
Mengetahui langkah- langkah isolasi, mampu melakukan
isolasi dan identifikasi flavonoid dari temulawak.

Data Laporan (Diisi dan diparaf oleh Dosen/Laboran/Asisten)

Hari,Tanggal Praktikum Hari, Tanggal Pengumpulan


Laporan
Rabu, 26 Juni dan 03 Juli 2019 Rabu, 24 Juli 2019

Nilai Laporan (Diisi oleh Dosen)

NO Aspek Penilaian Nilai


1. Ketepatan waktu pengumpulan (10)
2. Kesesuaian laporan dengan format (15)
3. Kelengkapan dasar teori (15)
4. Penyajian hasil (15)
5. Pembahasan (20)
6. Kesimpulan (15)
7. Penulisan daftar pustaka (10)

TOTAL

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Temulawak (Curcuma xanthorhiza) adalah salah satu tumbuhan obat keluarga

Zingiberaceae yang banyak tumbuh dan digunakan sebagai bahan baku obat

tradisional di Indonesia (Sidik et al,1998 dan Prana, 2008). Tumbuhan temulawak

secara empiris banyak digunakan sebagai obat tunggal maupun campuran. Terdapat

lebih dari 50 resep obat traditional menggunakan temulawak (Achmad et al, 2007).

Pengujian khasiat rimpang temulawak dapat diketahui melalui bukti empiris

melalui pengujian secara in vitro, pengujian praklinis kepada binatang dan uji klinis

terhadap manusia (BPOM, 2004). Secara empiris temulawak diketahui memiliki

banyak manfaat salah satu potensi sebagai anti oksidan (WHO, 1999). Komponen

aktif yang bertanggung jawab sebagai anti oksidan dalam rimpang temulawak adalah

kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin, flavonoid, fenol

(Masuda, 1992 dan Jayaprakhasha, 2006). Selain itu rimpang temulawak juga

mengandung pati, kurkuminoid, serat kasar, abu, protein, mineral, minyak atsiri yang

terdiri dari d-kamfer, sikloisoren, mirsen, tumerol, xanthorrizol, zingiberen,

zingiberol (Wijayakusuma, 2007).

Hasil uji praklinik rimpang temulawak dapat dipergunakan sebagai obat

penyakit kelainan pada hati (lever), kantong empedu dan pancreas (Fatmawati, 2008).
Disamping itu temulawak juga dapat menambah nafsu makan, menurunkan kadar

kolesterol dalam darah, meningkatkan system imunitas dalam tubuh, berkhasiat anti

bakteri, anti diabetik, anti hepatotoksik, anti inflamasi, anti oksidan, anti tumor,

diuretika, depresan, dan hipolipidemik (Raharjo dan Rostiana, 2003), dan juga anti

mikroba , anti hyperlipidemia dan pencegah kolera (Hwang, 2006). Khasiat lainya

yang dimiliki oleh komponen kimia adalah anti kanker (Darusman et al , 2006;

Hwang et al ,2000).

Flavonoid merupakan salah satu senyawa golongan fenol alam terbesar yang

terdapat dalam semua tumbuhan hijau (Markham, K.R 1988). Menurut (Pourmorad, F

2006, h. 1143) mengemukkan bahwa salah satu golongan senyawa polifenol ini

diketahui memiliki sifat sebagai penangkap radikal bebas, penghambat enzim

hidrolisis, oksidatif, dan juga bekerja sebagai antiinflamasi. Flavonoid hampir

terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk buah, akar, daun, dan kulit luar

batang. Flavonoid merupakan senyawa alam yang berpotensi sebagai antioksidan

yang dapat menangkal radikal bebas yang berperan pada timbulnya penyakit

degeneratif melalui mekanisme perusakan sistem imunitas tubuh, oksidasi lipid dan

protein (Rais, I.R 2015, h. 103).

Untuk mendapatkan senyawa kimia yang diinginkan digunakan metode

ekstraksi yang merupakan metode penyarian zat berkhasiat atau zat aktif dari bagian

tanaman dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dilakukan

bertujuan untuk mengambil senyawa kimia yang terkandung dalam sampel. Prinsip
ekstraksi didasarkan pada perpindahan masa komponen zat yang terlarut ke dalam

pelarut sehingga terjadi perpindahan pada lapisan antar muka dan berdifusi masuk ke

dalam pelarut (Harborne, J.B 1987). Pelarut yang digunakan pada penelitian ini

adalah etanol 96% sebagai pelarut polar. Dalam hal penyarian, etanol memiliki

kelebihan dibandingkan dengan air dan metanol. Senyawa kimia yang mampu disari

dengan etanol lebih banyak dari pada penyari metanol dan air (Azizah dan Salamah

2013, h. 24). Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah maserasi,

karena metode ini lebih sederhana, mudah dan tanpa pemanasan. Karena jika

menggunakan pemanasan dapat membuat kadar flavonoid berkurang.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana memahami prinsip dan cara melakukan isolasi flavonoid dari Temulawak

beserta identifikasi kualitatif hasil isolasi dengan metode kromatografi lapis tipis?

C. Tujuan Penelitian

Dapat memahami prinsip dan melakukan isolasi flavonoid dari Temulawak beserta

analisis kualitatif hasil isolasi dengan metode kromatografi lapis tipis

D. Manfaat

Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk rekan-

rekan yang sedang menempuh studi Diploma III Farmasi supaya mendapatkan

gambaran tentang isolasi dan identifikasi flavonoid dari Temulawak.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Temulawak
1. Morfologi temulawak
Klasifikasi tanaman Temulawak sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma Xanthorrhiza ROXB

Temulawak merupakan salah satu tanaman temu-temuan dengan tinggi

mencapai 2 meter. Herbal ini berbatang semu dan berwarna hijau atau coklat gelap.

Setiap batang memiliki 2-9 helai daun yang berbentuk bundar memanjang sampai
lanset dengan warna hijau dan bergaris coklat keunguan. Setiap helaian daun

dihubungkan dengan pelepah dan tangkai daun yang panjang.

2. Kandungan Temulawak

Temulawak mengandung minyak atsiri yang tersusun atas senyawa

seskuiterpenoid dengan xanthorrhizol dan arkurkumen sebagai komponen utama dan

beberapa komponen lain seperti 1,8-cineol, kurzeneron, p-cimen-8-ol, β-pinen, α-

pinen, kamfen, myrcen, limonen, β-ocimen, p-cimen, terpinolen, α-p-dimetil stiren,

kamfer, 2- nonanol, α-elemen, β-kariofilen, terpen-4-ol, isoborneol, α-terpineol,

isoborneol, kariofilen oksida, humulen oksida, dan germakron (Lim, 2016: 374).

Menurut Hayani (2006) dari hasil analisis mutu rimpang temulawak secara kuantitatif

diperoleh kadar kurkuminnya sebesar 2,29 % sedangkan secara kualitatif diketahui

bahwa di dalam rimpang temulawak terdapat alkaloid, flavonoid, fenolik, saponin,

triterpennoid dan glikosida.

3. Khasiat Temulawak

Berdasarkan penelitian, rimpang temulawak memliki beberapa efek

farmakologi seperti antibakteri/antijamur, antidiabetik, analgesik, antelmintik,

antihepatotoksik, antiinflamasi, antioksidan, antitumor, 9 penekan syaraf pusat,

diuretik, hipolipidemik, hipotermik, insektisida, dan koleretik (Nurmalina & Valley,

2012: 335-340). Efek terapi dari rimpang temulawak diduga karena adanya dua zat

aktif utama yang terkandung berupa kurkumin dan xanthorrhizol yang kadarnya
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan tumbuh tanaman (Nurcholis dkk,

2012: 153-159).

B. Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang

paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman (Rajalakshmi dan S.

Narasimhan, 1985). Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolik dengan

struktur kimia C6-C3-C6 (White dan Y. Xing, 1951; Madhavi et al., 1985;

Maslarova, 2001). Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A, satu cincin

aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung oksigen dan

bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan dasar pembagian flavonoid ke dalam sub-sub

kelompoknya (Hess, tt). Sistem penomoran digunakan untuk membedakan posisi

karbon di sekitar molekulnya (Cook dan S. Samman, 1996).

C. Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan

beberapa kali pengadukan pada suhu ruangan. Prosedurnya dilakukan dengan

merendam simplisia dalam pelarut yang sesuai dalam wadah tertutup. Pengadukan

dilakukan dapat meningkatkan kecepatan ekstraksi. Kelemahan dari maserasi adalah

prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Ekstraksi secara menyeluruh dapat

menghabiskan sejumlah besar volume pelarut yang dapat berpotensi hilangnya

metabolit. Beberapa senyawa juga tidak terekstraksi secara efisien jika kurang terlarut
pada suhu kamar (27C). Ekstraksi secara maserasi dilakukan pada suhu kamar (27C),

sehingga tidak menyebabkan degradasi metabolit yang tidak tahan panas

(Departemen Kesehatan RI, 2006

D. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode pemisahan

komponen menggunakan fasa diam berupa plat dengan lapisan bahan adsorben inert

dan fase geraknya berupa cairan atau gas. KLT merupakan salah satu jenis

kromatografi analitik. KLT sering digunakan untuk identifikasi awal, karena banyak

keuntungan menggunakan KLT, di antaranya adalah sederhana dan murah. KLT

termasuk dalam kategori kromatografi planar, selain kromatografi kertas.

Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit,

baik penyerap maupun cuplikannya. KLT dapat digunakan untuk memisahkan

senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida – lipida dan hidrokarbon

yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat berguna untuk

mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari

kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi, dan isolasi senyawa

murni skala kecil (Fessenden,2003).

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah suatu teknik yang sederhana yang

banyak digunakan, metode ini menggunakan empeng kaca atau lembaran plastik

yang ditutupi penyerap atau lapisan tipis dan kering. Untuk menotolkan karutan
cuplikan pada kempeng kaca, pada dasarnya menggunakan mikro pipet atau pipa

kapiler. Setelah itu, bagian bawah dari lempeng dicelup dalam larutan pengelusi di

dalam wadah yang tertutup (Soebagio,2002).


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. WAKTU DAN TEMPAT

Praktikum “isolasi flavonoid dari temulawak” dilakukan pada hari

Rabu, 16 juni dan 03 juli 2019 di Laboratorium Fitokimia Farmasi

Akademi Farmasi Indonesia Yogyakarta.

B. ALAT DAN BAHAN


ALAT
1. Seperangkat alat destilasi
2. Seperangkat alat KLT
3. Beaker glass
4. Stirer
5. Rotavapor
6. Cawan porselin
BAHAN
1. Rimpang temulawak
2. Etanol
3. N- Heksan
4. Standar kuersetin
5. Etil Asetat
C. CARA KERJA
1. Ekstraksi

Haluskan 40 gram rimpang temulawak

Masukkan dalam beaker glass 500ml

Tambahkan 200ml etanol

aduk campuran tersebut selama 1 jam menggunakan stirer

saring campuran

Uapkan dengan rotavapor hingga kurang lebih 10 ml

pindahkan ke cawan porselin


2.Isolasi dengan KLT preparatif

Totolkan ekstrak pada plat silica GF 254 sepanjang


5x10 cm sebanyak 5-10 kali

Gunakan pengembang heksan : etil asetat (1: 4

Deteksi dengan lampu UV 366 nm

Tandai bercak dengan pita

Kerok bercak dan larutkan dalam etanol

Uapkan etanol
3.Identifikasi

Ambil sedikit hasil ekstrasi dengan ujung spatel kecil, larutkan dalam
etanol 70%

larutan dianalisa secara kualitatif dengan KLT preparatif dengan kondisi

1. fase diam : Silika gel GF 254

2. fase gerak : Heksan : etil asetat = 1: 4

3. Cuplikan : Lar. sampel & pembanding kuersetin / Rutin dlm etanol

4. deteksi : UV 254

Hitung harga Rf dan dibandingkan dengan harga Rf standar Kuersetin.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL
1. MINGGU PERTAMA

Nama Simplisia : Curcuma xanthorrhiza

Metode Ekstraksi : Maserasi

Pelarut : Etanol 70%

Jumlah Pelarut : 200 ml

Durasi Pengadukan : 1 jam (60 menit)

2. MINGGU KEDUA

a. Pemerian ekstrak

a) Aroma : Khas aromatik temulawak

b) Warna : Coklat tua

c) Bentuk/tekstur : Cairan Kental

b. Rendemen ekstrak

Nilai rendemen ekstrak dihitung berdasarkan rumus :


𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐸𝑘𝑠𝑟𝑎𝑘
Rendemen = 𝑥 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝐾𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Penimbangan ekstrak diperoleh hasil :

- Berat cawan = 34,15 gram

- Berat cawan + ekstrak = 39,50 gram

- Berat ekstrak = 39,50 gram – 34,15 gram = 5,35 gram

Perhitungan rendemen ekstrak diperoleh hasil :

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐸𝑘𝑠𝑟𝑎𝑘
Rendemen = 𝑥 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝐾𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔

5,35 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑥100% = 13,375%
40 𝑔𝑟𝑎𝑚

Hasil pengamatan dengan kromatografi preparatif

a) Pelarut : Etanol 96%

b) Warna : Kuning kecoklatan

c) Fase diam : Silika Gel GF 254

d) Fase gerak : Heksan : Etil asetat (1:4)

e) Jumlah fase gerak : 10 ml (2 ml Heksan dan 8 ml Etil


asetat)

f) Pembanding : Standar kuersetin

g) Deteksi : UV 366 nm
Hasil pengamatan dengan kromatografi

a) Fase diam : Silika gel GF 254

b) Fase gerak : Heksan : Etil asetat (1:4)

c) Pembanding : Standar Kuersetin

d) Deteksi : UV 366

e) Rf : Quersetin = 0,775 ; spot 4 = 6,2( yang dikerok)

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑇𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝐴𝑛𝑎𝑙𝑖𝑡


f) Rumus perhitungan Rf : 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐹𝑎𝑠𝑒𝐺𝑒𝑟𝑎𝑘

Hasil pengamatan diperoleh jarak

- Fase gerak : 8 cm

- Standar kuersetin : 6,2 cm

- Spot 1 : 0,8 cm

- Spot 2 : 3,3 cm

- Spot 3 : 5,5 cm

- Spot 4 : 6,2 cm
Hasil pengamatan setelah dikerok diperoleh jarak

- Fase gerak : 8 cm

- Standar kuersetin : 6,2 cm

- Spot 1 : 6,2 cm

- Spot 2 : 6,9 cm

Perhitungan Rf

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑇𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝐴𝑛𝑎𝑙𝑖𝑡


𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐹𝑎𝑠𝑒𝐺𝑒𝑟𝑎𝑘

6,2
Rf standar kuersetin : =0,775
8

𝑜,8
Rf spot 1 : = 0,1
8

3,3
Rf spot 2 : = 0,41
8

5,5
Rf spot 3 : = 0,68
8

6,2
Rf spot 4 : = 0,77
8

6,2
Rf standar kuersetin : =0,775
8
Hasil setelah dikerok

6,2
Rf spot 1 : = 0,77
8

6,9
Rf spot 2 : = 0,86
8

Hasil perhitungan Rf yang paling mendekati Rf standar adalah spot 1

dengan nilai Rf 0,77.


NO TAHAPAN GAMBAR KETERANGAN

1. Proses Maserasi Jenis ekstraksi yang digunakan

adalah maserasi. Serbuk rimpang

temulawak di masukkan dalam

beaker glass 500ml ,ditambakan

etanol 200ml lalu diaduk dengan

stirrer selama 1 jam. Hasil

campuran disaring, kemudian

diuapkan dalam Rotary

Evaporator

2. Proses Identifikasi Dalam identifikasi KLT dihasilkan

Kromatografi Lapis 4 spot, terlihat jelas garis garis spot

Tipis(KLT) dengan yang terbentuk, kemudian di

standar quercetin hitung harga Rf tiap spot.

3. Hasil setelah diamati Di amati di bawah sinar UV,

di bawah UV terlihat jelas 4 spot terbentuk,

diantaranya spot 1, spot 2,spot3,

dan spot 4. Harga Rf yang paling

mendekati dengan Hrga Rf

standar quersetin adalah spot no 4.


4. Hasil Identifikasi KLT Setelah pengerokan dari

setelah proses identifikasi sebelumnya, di

pengerokan dapatkan 2 spot yang terlihat

diamati di bawah sinar UV. Dari

spot 1 dan spot 2, yang paling

mendekati dengan harga Rf

standar quersetin adalah spot 1.

B. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini bertujuan untuk mengetahui langkah-langkah isolasi, mampu

melakukan isolasi flavonoid dari temulawak dan megidentifikasi isolat yang

diperoleh. Bahan yang digunakan adalah serbuk simplisia temulawak. Untuk

mendapatkan ekstrak kental temulawak dilakukan dengan cara dingin yaitu ekstraksi

maserasi.

Ekstraksi merupakan salah satu proses yang penting dalam memproduksi ekstrak

tanaman obat dan istilah ini digunakan untuk mengambil senyawa tertentu dengan

menggunakan pelarut yang sesuai (Srijanto et al, 2004).

Cara kerja maserasi adalah mengambil zat aktif yang dilakukan dengan cara

merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai .Selama proses

maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari setiap hari. Metode
ekstraksi yang digunakan adalah maserasi disertai pengadukan. Pada prinsipnya

metode maserasi dengan pengadukan merupakan perendaman bahan dalam pelarut

yang cocok disertai dengan adanya pengadukan endapan yang diperoleh dipisahkan

dan filtratnya dipekatkan (Sembiring et al, .2006). Pelarut – pelarut tersebut ada yang

besrsifat polar contohnya air dan ethanol, ada juga pelarut yang bersifat non polar

seperti aseton, etil asetat.

Pada penelitian ini rendemen ekstrak temulawak yang diperoleh dari proses

maserasi,menggunakan pelarut ethanol 70%. Pelarut etanol besifat polar dan dapat

mengekstraksi senyawa polar lebih banyak pada bahan baku yang digunakan daripada

menggunakan pelarut aseton dan etil asetat (Triantoro, Susanti ,.2007). Ethanol

mempunyai polaritas tinggi sehingga dapat mengekstrak oleoresin lebih banyak

dibandingkan pelarut organik lainnya seperti heksan. Ethanol mudah melarutkan

senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak seperti karbohidrat dan senyawa organik

lainnya (Anomim, 1962).

Proses maserasi sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam

karena selain murah dan mudah dilakukan, dengan perendaman sampel tumbuhan

akan terjadi pemecahan dinding dan membrane sel akibat perbedaan tekanan antara

didalam dan diluar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan

terlarut dalam pelarut. Pelarut yang mengalir kedalam sel akan menyebabkan

protoplasma membangkak dan bahan kandungan sel akan larut sesuai dengan

kelarutannya (Lenny, 2006).


Pelarut yang digunakan tidak hanya mengekstraksi senyawa flavonoid

melainkan juga mengekstraksi zat-zat lain yang terkandung dalam

temulawak,sehingga menyebabkan warna kecoklatan pada hasil proses ini. Setelah

didiamkan selama 1minggu, proses yang dilakukan untuk mendapatkan randemen

pada ekstrak temulawak yaitu penguapan dengan rotary evaporator.

Rotary evaporator adalah alat laboratorium yang digunakan untuk melakukan

ekstraksi, penguapan pelarut yang efisien. Komponen utamanya adalah pipa vakum,

pengontrol, labu evaporasi, kondensator dan labu penampung hasil kodensasi

(Rahayu, 2009).

Prinsip kerja Rotary Evaporator adalah proses pemisahan ekstrak dari cairan

penyarinya dengan pemanasan yang dipercepat oleh putaran dari labu, cairan penyari

dapat menguap 5-10º C di bawah titik didih pelarutnya disebabkan oleh karena

adanya penurunan tekanan.

Dengan bantuan pompa vakum, uap larutan penyari akan menguap naik ke

kondensor dan mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelarut murni

yang ditampung dalam labu penampung. Prinsip ini membuat pelarut dapat

dipisahkan dari zat terlarut di dalamnya tanpa pemanasan yang tinggi (Rachman,

2009).
Larutan temulawak disaring dengan kertas saring dan diperas sebelum

dimasukkan ke dalam rotavapour. Hal ini bertujuan untuk mengisolasi larutan dari

padatan, sehingga didapatkan larutan ekstrak temulawak yang berwarna kuning

kecoklatan yang siap diuapkan. Larutan dimasukkan dalam rotavapour, diuapkan

selama ± 90 menit pada suhu 60ºC dengan kecepatan 80 rpm diperoleh ekstrak kental

temulawak berwarna kuning kehijauan kental.

Pemisahan senyawa flavonoid temulawak dilakukan dengan metode

kromatografi lapis tipis (KLT). Kromatografi Lapis Tipis merupakan suatu metode

pemisahan suatu senyawa berdasarkan perbedaan distribusi dua fase yaitu fase diam

dan fase gerak. Fase diam yang digunakan ialah plat silika yang bersifat polar,

sedangkan eluen yang digunakan sebagai fase gerak adalah campuran heksana dan

etil asetat. Heksana yang digunakan bersifat nonpolar, sedangkan etil asetat bersifat

semi polar. Perbandiangan kedua larutan fase gerak yang digunakan adalah 1 : 4,

yaitu sebanyak 2 ml heksana dan 8 ml etil asetat. Eluen yang digunakan dalam fase

gerak lebih berisfat polar dibandingkan dengan fase diam, sehingga senyawa

flavonoid yang dipisahkan terangkat mengikuti aliran eluen, karena senyawa

flavonoid bersifat polar.

Kromatografi Lapis Tipis preparatif, ekstrak kental hasil ekstraksi dilarutkan

dengan etanol 96% kemudian ditotolkan menggunakan pipa kapiler pada jarak 1 cm

dari garis bawah dan 1 cm dari garis atas sebanyak 5 kali pada silika gel yang

berukuran 5 cm x 10 cm GF254 secara horizontal, dan sebagai larutan pembanding


digunakan larutan standar kuersetin yang ditotolkan sebanyak 3 kali. Penggunaan

bahan silika karena pada umumnya silika digunankan untuk memisahkan senyawa

asam-asam amino, fenol, alkaloid, asam lemak, sterol dan terpenoid. Plat KLT silika

gel GF254 diaktifasi dengan cara dioven pada suhu 100℃ selama 1 jam untuk

menghilangkan air yang terdapat pada plat KLT (Sastrohamidjojo, 2007). Standar

kuersetin dipilih sebagai pembanding karena termasuk senyawa flavonol yaitu

flavonoid dan harganya murah. Setelah dielusi dengan menggunakan eluen fase

gerak yaitu campuran heksana dan etil asetat, maka senyawa flavonoid akan terangkat

ke atas mengikuti fase gerak sehingga menimbulkan sebuah noda. Noda yang

terangkat inilah yang terindentifikasi sebagai flavonoid. Hasil KLT identifikasi

kemudian diangin-anginkan dan diperiksa di bawah sinar UV pada panjang

gelombang 366 nm.

Setelah dideteksi di bawah sinar UV noda tersebut menghasilkan warna coklat

gelap. Noda tersebut lalu ditandai kemudian dikerok dan dilarutkan didalam pelarut

etanol 96%. Proses selanjutnya adalah KLT identifikasi dengan menggunakan silika

gel ukuran 2 cm x 10 cm. Menggunakan cara yang sama, kemudian diamati noda

yang terbentuk pada silika gel dengan sinar UV pada panjang gelombang 254 nm.

Kuersetin yang dideteksi oleh sinar UV pada Panjang gelombang 254 akan

cenderung meredup/ menjadi gelap. Setelah dideteksi sinar UV, noda tersebut

menghasilkan warna kuning gelap dibagian tengah dan berwarna kuning terang

terang dibagian pinggir. Dari hasil pengamatan diperoleh beberapa spot, dimana ada 4
spot yang paling mendekati dengan standar baku pembanding kuersetin. Harga Rf 4

spot tersebut secara berturut-turut adalah 0,1; 0,41; 0,68; dan 0,775. Warna noda yang

dihasilkan berwarna serupa dengan warna yang dihasilkan oleh larutan standar

kuersetin. Hal ini membuktikan bahwa pada temulawak terdapat senyawa flavonoid.

Selanjutnya noda kuersetin dan noda KLT identifikasi ditandai dan diukur

panjangnya. Harga Rf merupakan hasil dari jarak substansi dibagi jarak pelarut. Hasil

harga Rf standar kuersetin adalah 0.775, sedangkan harga Rf temulawak yang

mendekati Rf standar adalah pada spot 4 dengan harga Rf 0,775. Spot yang harga Rf

nya mendekati dengan standar kuersetin kemudian dikerok ,lalu di lakukan

identifikasi KLT seperti sebelumnya ,dihasilkan 2 spot yang terlihat jelas Harga 2

spot berturut-turut adalah 0,775 dan 0,86. Dari kedua spot yang Harga Rf nya paling

mendekati dengan standar kuersetin adalah spot no 2dengan harga Rf 0,775.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Langkah-langkah isolasi flavonoid :

a. membuat ekstrak dari rimpang temulawak.

b. melakukan isolasi KLT (Kromatografi Lapis Tipis) preparatif

dengan menggunakan :

fase diam = kuersetin + ekstrak

fase gerak = heksan : etil asetat ( 1 : 4 )

pembanding = kuersetin

deteksi = UV 366

c. mengidentifikasi / menganalisis secara kualitatif dengan KLT

serta menghitung harga Rf spot yang muncul dibandingkan

dengan harga Rf standar kuersetin.

2. Identifikasi isolat yang diperoleh menunjukkan adanya flavonoid

pada temulawak, yaitu dengan perhitungan harga Rf, spot nomor 4

dengan hasil 0,775 yang mendekati harga Rf standar kuersetin

0,775.Sedangkan untuk identifikasi ke 2 spot yang mendekati dengan

standar kuersetin adalah spot no 1 dengan Harga Rf 0.775 . Hal ini

menunjukkan bahwa temulawak mengandung flavonoid.


DAFTAR PUSTAKA

Lim, T.K. (2016). Edible Medicinal and Non-Medicinal Plants Volume 12. New
York: Springer

Nurcholis, W., dkk. (2012). Variasi Bioaktif dan Bioaktivitas Tiga Nomor Harapan
Temulawak pada Lokasi Budidaya Berbeda. J. Agron. Indonesia. 40(2): 153-159

Nurmalina, R. & Valley, B. (2012). 24 Herbal Legendaris untuk Kesehatan Anda.


Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Murfian,Anggi.2016.PENGARUH PEMBERIAN TEMULAWAK INSTAN
(Curcuma xanthorrhiza roxb) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL
SERUM DARAH TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR
HIPERKOLESTEROLEMIA.
https://core.ac.uk/download/pdf/83146643.pdfdiakses tanggal 3 juli

Fessenden R.J dan J.S Fessenden., 2003, Dasar-dasar kimia organik. Jakarta,
Erlangga

Soebagio., 2002, Kimia Analitik, Universitas Negeri Makassar Fakultas


MIPA,Makassar

Hayani, E. 2006. Analisis Kandungan Kimia Rimpang Temulawak. Departemen


Pertanian, Bogor
Cook, N. C. and S. Samman. (1996). Review Flavonoids-Chemistry, Metabolism,
Cardioprotective Effect, And Dietary Sources, J. Nutr. Biochem (7): 66-76

Rajalakshmi, D dan S. Narasimhan. (1985). Food Antioxidants: Sources and Methods


of Evaluation dalam D.L. Madhavi: Food Antioxidant, Technological,
Toxilogical and Health Perspectives. Marcel Dekker Inc., Hongkong: 76-77

White, P.J. and Y. Xing. (1954). Antioxidants from Cereals and Legumes dalam
Foreidoon Shahidi: Natural Antioxidants, Chemistry, Health Effect and
Applicatons. AOCS Press, Champaign, Illinois: 25-63

Sastrohamidjojo, H. 2007. Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti. Yogyakarta :


Liberty Yogyakarta.

Azizah, B. dan Salamah, N., 2013. Standarisasi Parameter Non Spesifik dan
Perbandingan Kadar Kurkumin Ekstrak Etanol dan Ekstrak Terpurifikasi
Rimpang Kunyit. Pharmaciana, 3(1).

Wijayakusuma M.2007. Penyembuhan dengan temulawak. Jakarta: Sarana Pustaka


Prima, hlm.23-7.

Anda mungkin juga menyukai