Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA FARMASI ANALISA GRUP C


“Perhitungan Kadar kafein Dalam kopi
menggunakan metode Spektrometer UV-VIS”
Dosen pengampu : WAN SYURYA TRI DHARMA

Disusun Oleh :

Nama :Agnes Sohilait


NPM :1843050057

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Praktikum


 Berapa kadar kafein dalam kopi bubuk lokal dengan metode spektrofotometri UV-Vis?
 Apakah kadar kafein dalam kopi bubuk sesuai dengan SNI 01-3542-2004 yaitu 0,45-2 % b/b
 Bagaimana perhitungan secara teori dalam menkonsumsi kadar kafein dalam kopi bubuk
lokal tersebut ditinjau dari Farmakope Indonesia?

1.2 Latar Belakang

Kopi merupakan minuman yang banyak digemari masyarakat luas dari berbagai kalangan. Saat
ini pula, kopi merupakan minuman terbesar kedua yang dikonsumsi orang di seluruh dunia, setelah
air (Sofiana, 2011). Penikmat Kopi biasanya meminum kopi 3-4 kali dalam satu hari (Maramis, dkk.,
2013). Kopi memiliki banyak manfaat bagi kesehatan jika digunakan dalam batas wajar, seperti
mengurangi derita sakit kepala, aroma kopi menghilangkan stress, kafein kopi mencegah gigi
berlubang, melegakan penderita asma, memperkaya antioksidan tubuh, melindungi kulit, mencegah
penyakit parkinson, merangsang kerja otak, dan lain-lain (Sofiana, 2011). Sekalipun memiliki
banyak manfaat, masalah utama dari menkonsumsi kopi adalah kadar kafein yang terkandung di
dalamnya (Mulato, 2001). Kafein memang memiliki efek farmakologis yang bermanfaat secara
klinis, seperti menstimulasi susunan syaraf pusat, dengan efek menghilangkan rasa letih, lapar dan
mengantuk, juga meningkatkan daya konsentrasi dan kecepatan reaksi, memperbaiki kerja otak dan
suasana jiwa, serta memperkuat kontraksi jantung. Namun pada penggunaan kafein secara
berlebihan dapat menimbulkan debar jantung, gangguan lambung, tangan gemetar, gelisah, ingatan
berkurang, dan sukar tidur (Tjay dan Rahardja, 2007).
Kafein adalah senyawa alkaloid turunan xantine (basa Purin) yang secara alami banyak terdapat
pada kopi. Pada biji kopi kafein yang terkandung berkisar1-2,5%. Pada satu cangkir kopi dalam 100
ml mengandung 80-100 mg kafein, tergantung dari banyaknya kopi yang digunakan (Tjay dan
Rahardja, 2007). Kopi bubuk merupakan salah satu kopi yang banyak menjadi pilihan masyarakat,
baik yang lanjut usia maupun muda mudi lebih memilih kopi bubuk dibanding kopi jenis lain karena
rasanya yang khas. Oleh karena itulah banyak warung kopi yang menjual kopi bubuk buatan lokal
(Maramis dkk, 2013). Dan untuk menjamin mutu dan keamanan kopi bubuk yang beredar di pasaran,
Badan Standarisasi Nasional (BSN) telah menetapkan standar untuk kadar kafein dalam kopi bubuk
berkisar 0,45-2 % b/b (SNI 01-3542-2004).
Sehingga jika ada kopi yang mengandung kadar kafein yang 2 tinggi perlu dilakukan
dekafeinisasi, untuk menekan aktivitas kafein di dalam tubuh (Sofiana, 2011). Penetapan kadar
kafein dalam beberapa produk minuman dan bukan minuman telah banyak dilakukan oleh peneliti
sebelumnya dengan berbagai metode, seperti penetapan kadar kafein pada minuman bersoda jenis
kola secara KCKT (Levita dkk, 2004), Wanyika, dkk., (2010) menetapkan kadar kafein pada teh dan
kopi instan bermerek dengan menggunakan HPLC dan spektrofotometer UV-Vis. Tautua, dkk.,
(2014) menetapkan kadar kafein pada minuman ringan dan penambah energi dengan metode
spektrofotometri ultra violet. Ling, dkk., (2001) menetapkan kadar kafein pada campuran kopi
dengan metode HPLC. Gebeyehu dan Bikila, (2015) menetapkan kadar kafein dan anti oksidan
pada kopi dengan metode
UV-Vis. Penetapan kadar kafein pada kopi hitam dengan metode spektrofotometri UV-Vis (Aptika,
dkk., 2013), Arwangga, dkk., (2016) menetapkan kadar kafein pada kopi dengan metode
spektrofotometri UV-Vis. Salihović, dkk., (2014) menetapkan kadar kafein dalam daun teh hijau dan
hitam dengan metode UV- Vis. Maramis, dkk., (2013) menetapkan kadar kafein pada kopi bubuk
dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan penetapan kadar kafein pada minuman
berenergi dengan metode densitometri (Putri, 2013). Dari beberapa metode tersebut, metode
spektrofotometri merupakan metode yang relatif cepat, murah, dan mudah pengerjaannya dalam
menentukan kadar kafein (Alpdogan,dkk., 2002). Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian terhadap penetapan kadar kafein pada kopi bubuk lokal yang beredar di kota
Palembang dengan metode spektrofotometri UV-Vis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Kopi
Kopi adalah sejenis minuman yang berasal dari proses pengolahan dan ekstraksi biji tanaman
kopi. Saat ini kopi merupakan komoditas nomor dua paling banyak diperdagangkan setelah
minyak bumi, dengan tingkat produksi kopi dunia setidaknya mencapai 7 juta ton per tahun. Saat
ini pula, kopi merupakan minuman terbesar kedua yang dikonsumsi orang di seluruh dunia,
setelah air. Finlandia merupakan negara yang konsumsi per kapitanya paling tinggi, dengan rata-
rata konsumsi per orang sekitar 14000 cangkir setiap tahunnya. Kata kopi berasal dari bahasa
Arab qahwah, yang berarti kekuatan, karena pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan
berenergi tinggi. Istilah ini kemudian diadopsi oleh negara-negara lainnya melalui perubahan
lafal menjadi cafe (Perancis), caffe (Italia), kaffe (Jerman), koffie (Belanda), coffee (Inggris) dan
coffea (Latin). Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kopi (Sofiana,
2011). Dalam penggunaan dalam batas wajar, kopi memiliki beberapa manfaat positif bagi
kesehatan, seperti mengurangi derita sakit kepala, aroma kopi menghilangkan stress, kafein kopi
mencegah gigi berlubang, melegakan penderita asma, memperkaya antioksidan tubuh,
melindungi kulit, mencegah penyakit parkinson, mencegah diabetes, merangsang kerja otak, dan
lain-lain (Sofiana, 2011). Kopi bubuk adalah biji kopi yang disangrai (roasted) kemudian
digiling, dengan atau tanpa penambahan bahan lain dalam kadar tertentu tanpa mengurangi rasa
dan aromanya serta tidak membahayakan kesehatan (SNI 01-3542-2004). Kopi mengandung
kurang lebih 24 zat, yang terpenting adalah kafein, hidrat arang , tannin, zat zat asam, zat zat
pahit, lemak, dan minyak terbang (Tjay dan Rahardja, 2007).
1.2. Kafein
1.2.1. Struktur Kimia
Kafein mempunyai nama kimia 1,3,7- trimetil xantin atau 1,3,7- trimetil 2,6,dioksi purin.
Rumus molekulnya C8H10N4O2 dengan berat molekul 194.19 dan mempunyai struktur seperti
dalam gambar 1

Gambar 1. Struktur kimia kafein (Depkes, 1995)

1.2.2. Sifat Fisika Kafein


Kafein berupa hablur bentuk jarum halus, mengkilat, tidak berwarna, rasa pahit, tidak berbau,
jika dipanaskan akan menyumblin tanpa penguraian pada suhu 178-180oC dan pada tekanan 1
atm. Kafein akan larut dalam 50 bagian air, 6 bagian air suhu 80oC, 1.5 bagian air mendidih, 75
bagian alkohol, 25 bagian alkohol suhu 60oC, 6 bagian kloroform dan 600 bagian eter. Berat
molekul 194, 19 g/mol (Wilson dan Gisvold, 1982, dalam Fitri, 2008).

1.2.3. Sifat Kimia Kafein


Kafein merupakan basa lemah, tidak berbentuk garam yang stabil dan dengan asam mineral
segera terhidrolisa dalam air. Kelarutan kafein dalam air akan meningkat dengan adanya asam
organik seperti benzoat, salisilat, sinamat atau sitrat. Karena itu bentuk campuran ini sering
ditemui dalam sediaan farmasi (Clarke, 1971).

1.2.4. Mekanisme Kerja


Mekanisme kerja kafein pada sel saraf berkontribusi pada efek kafein tersebut. Aktivitas sel
saraf dipengaruhi oleh senyawa adenosin. Adenosin adalah senyawa nukleotida yang berfungsi
mengurangi aktivitas sel saraf saat menempel pada sel tersebut. Senyawa kafein juga menempel
pada reseptor yang sama tetapi tidak memperlambat aktivitas sel saraf sebaliknya menghalangi
adenosin untuk berfungsi. Kafein mengikat senyawa adenosin di otak, sehingga dampaknya
aktivitas otak meningkat dan menyebabkan hormon efinefrin atau adrenalin disebar. Hormon
tersebut akan menaikkan detak jantung, meninggikan tekanan darah, menambah penyaluran
darah ke otot-otot, dan mengeluarkan glukosa dari hati (Kuschingsky dan Lullman, 1973).

1.2.5. Farmakodinamik
Kafein mempunyai efek relaksasi otot polos , terutama otot polos bronchus, merangsang
susunan saraf pusat, otot jantung, dan meningkatkan diuresis. Pada jantung, kadar rendah kafein
dalam plasma akan menurunkan denyut jantung, sebaliknya kadar kafein yang lebih tinggi
menyebabkan tachicardi, bahkan pada individu yang sensitif mungkin menyebabkan aritmia
yang berdampak kepada kontraksi ventrikel yang premature. Pada pembuluh darah, kafein
menyebabkan dilatasi pembuluh darah termasuk pembuluh darah koroner dan pulmonal, karena
efek langsung pada otot pembuluh darah. Sirkulasi Otak, Resistensi pembuluh darah otak naik
disertai pengurangan aliran darah dan PO 2 di otak, ini diduga merupakan refleksi adanya
blokade adenosine oleh Xantin (Katzung,1995).
Pada sistem kardiovaskular, kafein memiliki efek kronotropik (frekuensi kontraksi jantung)
dan inotropik (kekuatan kontraksi jantung) positif pada jantung, pada konsentrasi rendah terjadi
peningkatan rilis katekolamin yang disebabkan penghambatan reseptor adenosin prasinap
sehingga konsumsi minuman yang mengandung kafein biasanya dapat meningkatkan ketahanan
vaskular perifer dan tekanan darah. Kafein dapat menstimulasi pusat vasomotor dan stimulasi
langsung miokard, sehingga akan menyebabkan kenaikan tekanan darah (Tan dan Kirana, 1984).

1.2.6. Farmakokinetik
Kafein cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal atau parenteral. Sediaan bentuk cair
atau tablet tidak bersalut akan diabsorpsi secara cepat dan lengkap. Kafein didistribusikan
keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Volume distribusi kafein adalah
antara 400 dan 600 ml/kg eliminasi kafein terutama melalui metabolisme dalam hati. Sebagian
dieksresikan bersama urin dalam bentuk utuh. Kafein didalam plasma akan mencapai konsentrasi
maksimum pada waktu 1 jam dan waktu paruh plasma kofein antara 3-7 jam, nilai ini akan
menjadi 2 kali lipat pada wanita hamil tua dan wanita yang menggunakan pil kontrasepsi jangka
panjang. Pada penderita sirosis hati ( pembentukan jaringan ikat di jaringan hati ) atau udem paru
akut, kecepatan eliminasi berlangsung lambat sekitar 60 jam, dan untuk bayi premature waktu
paruhnya 50 jam (Katzung, 1995; Tan dan Kirana, 1984).
1.3.Proses Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat kimia menjadi
komponen-komponen yang terpisah. Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu dengan pelarut air dan dengan pelarut organik. Untuk melakukan proses ekstraksi secara
sempurna, pemilihan pelarut harus selektif dan terbaik untuk 6 bahan yang akan diekstraksi, dan
pelarut tersebut harus terpisah dengan cepat setelah pengocokan. Pemilihan pelarut untuk
ekstraksi dilakukan berdasarkan kepolaran zat, untuk zat- zat yang polar hanya larut dalam
pelarut polar dan zat-zat non polar hanya larut dalam pelarut non polar. Bahan- bahan organik
tidak selalu larut dalam air, oleh karena itu dapat dipisahkan menggunakan corong pemisah
(Djamal, 2010).

1.4. Spektrofotometri UV-Vis


1.4.1. Teori Spektrofotometri UV Spektrofotometri merupakan metode analisis yang didasarkan
pada besarnya nilai absorbsi suatu zat terhadap radiasi sinar elektromagnetik. Prinsip kerja
spektrofotometri adalah dengan menggunakan spektrofotometer yang pada umumnya terdiri dari
unsur- unsur seperti sumber cahaya, monokromator, sel untuk tempat zat yang diperiksa,
dektektor, penguat arus, dan alat pencatat. Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah
ultraviolet ( panjang gelombang 190 nm – 350 nm) atau pada daerah cahaya tampak yaitu pada
panjang gelombang 350 nm – 780 nm. Penggunaan spektrofotometri ultraviolet dan sinar tampak
pada senyawa organik umumnya berdasarkan transisi n – atau – * dan memerlukan adanya gugus
kromofor di dalam molekul (Day dan Underwood, 1999). Menurut Dachriyanus (2004)
dinyatakan bahwa spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan
intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan
cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke
tingkat energi yang lebih tinggi. Spektrofotometri UV-Vis pada umumnya digunakan untuk: 1.
Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan ausokrom dari senyawa
organik. 2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum
suatu senyawa. 3. Mampu menganalisa senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan
hukum Lambert-Beer.

1.4.2. Penggunaan Spektrofotometri UV-Vis

Analisa Kualitatif
Analisa kualitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis hanya dipakai untuk data sekunder
atau data pendukung. Pada analisa kualitatif dengan metode kualitatif dengan metode
spektrofotometri UV-Vis yang dapat ditentukan ada dua yaitu : pemeriksaa kemurnian spektrum
UV-Vis dan penentuan panjang gelombang maksimum.

Analisa Kuantitatif
Analisa kuantitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis
dapat digolongkan atas tiga macam pelaksanan pekerjaan yaitu : analisa kuantitatif zat tunggal,
analisa kuantitatif campuran dua macam zat (analisi dua komponen), dan analisa kuantitatif
campuran tiga macam zat atau lebih (analisis multi komponen).
Analisa kuantitatif zat tunggal dilakukan pengukuran harga A pada panjang gelombang
maksimum atau dilakukan pengukuran %T pada panjang gelombang minimum, karena
perubahan absorbanuntuk setiap satuan konsentrasi adalah paling besar pada panjang gelombang
maksimum, sehingga diperoleh kepekaan analisis yang maksimal, selain itu pita serapan di
sekitar panjang gelombang maksimum datar dan pengukuran ulang dengan kesalahan yang kecil
dengan demikian akan memenuhi hukum Lambert-Beer.
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

3.2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah
spektrofotometer UV-Vis Mini Shimadzu 1240, alat destilasi, neraca analitik, chamber, lampu
UV 254, beker gelas, labu ukur, corong pisah, corong gelas, pipet volumetri, lampu Bunsen dan
peralatan pendukung lainnya.

3.2.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kafein baku standar, kloroform (CHCl3),
aquadestilasi, natrium karbonat (Na2CO3), dan kopi bubuk A, B, C, D, E, F, G, H, I, dan J.

3.3. Cara Kerja


3.3.1. Pengambilan Sampel

-
Pengambilan dan pengumpulan sampel sebanyak
sepuluh sampel. Dengan menggunakan Teknik
total sampling.

Sampel yang memiliki merk yang sama diambil


satu macam yang mewakili

Penyiapan Larutan Baku Standar

20 mg standar kafein ditimbang seksama,


dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, dilarutkan
dengan aquades lalu dicukupkan sampai tanda
batas dengan aquades

dikocok homogen, sehingga


diperoleh larutan dengan
konsentrasi 200 ppm, larutan ini
disebut larutan induk baku standar.
3.3.1. Penentuan Panjang Gelombang Serapan

Maksimum 10 Penentuan panjang gelombang


serapan maksimum dilakukan dengan cara
memipet 10 ml larutan induk baku standar ke
dalam labu ukur 100 ml

dilarutkan dengan aquades sampai tanda batas,


sehingga diperoleh larutan baku 20 ppm.

kemudian diukur serapannya pada


panjang gelombang antara 270-300
nm.

Kurva kalibrasi dilakukan dengan membuat


serangkaian larutan baku standar dengan
konsentrasi 0, 10, 20, 30 dan 40 ppm.

Mempipet masing- masing sejumlah 0, 5,


10, 15 dan 20 ml ke dalam labu ukur 100
ml

Dilarutkan dengan aquades sampai


tanda batas. Kemudian diukur
serapannya pada panjang gelombang
serapan maksimum dan sebagai blangko
digunakan aquades.
3.3.1. Preparasi Sampel

2 gram sampel kopi dimasukkan ke dalam


beker gelas dan dilarutkan dengan aquades
mendidih sebanyak 100 ml, disaring

filtrat ditambah 2 gram Na2CO3, lalu


dipanaskan sampai setengah campuran,
didinginkan

dimasukkan ke dalam corong pisah, dan


diekstraksi dengan kloroform berturut– turut
sebanyak 25 ml sebanyak empat kali

lalu filtrat ditampung dalam erlenmeyer.


Kemudian pelarut kloroform diuapkan dengan
alat destilasi sehingga didapat ekstrak kafein

Ekstrak kafein yang dihasilkan selanjutnya


dimasukan ke dalam labu ukur 100 ml dan
dilarutkan dengan aquades sampai tanda batas.

Kemudian dilakukan pengenceran dengan


cara dipipet 2 ml larutan tersebut ke dalam
labu ukur 50 ml dan dilarutkan dengan
aquades sampai tanda batas.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
SOAL

Larutan standar dibuat dengan cara menimbang kafein sebanyak 20mg kemudian dilarutkan
dengan aquades dan dimasukkan pada labu ukur 100 ml sampai tanda batas sehingga diperoleh
larutan baku induk.
Pada larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 0,5,10,15,dan 20ml ke dalam labu ukur
100 ml sampai ttanda batas.
Tentukan konsentrasi masing-masing larutan standar.
4.2 Pembahasan
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kadar kafein dalam 1 gram pada sampel kopi bubuk
lokal merek A, B, C, D, berturut-turut sebesar 10,20,30,40ppm
2. Dari sepuluh sampel kopi bubuk lokal, sembilan di antaranya memenuhi syarat SNI 01-
3542-2004 yaitu dengan kadar kafein antara 0,45-2 % b/b, sedangkan satu di antaranya
tidak memenuhi karena melebihi dari 2 %, yaitu sebesar 2,15%.
3. 3. Secara teori, kadar kafein dalam satu cangkir kopi bubuk lokal (per 6 gram / sekali
sajian) A, B, C, D, E, F, G, H, I, dan J berturut-turut adalah 65,9580 mg, 67,5030 mg,
77,9790 mg, 60,7320 mg, 73,2750 mg, 57,0738 mg, 113,5194, 114,0420 mg, 128,7816
mg, dan 98,3628 mg. Jika menkonsumsi kopi bubuk tersebut sebanyak 3-4 kali sajian
dalam satu hari maka kadar kafein masih masuk dosis lazim ditinjau dari Farmakope
Indonesia, yaitu 300-600 mg.

5.2. Saran
1. Untuk praktikum selanjutnya dapat dilakukan penetapan kadar pada beberapa sampel
tersebut dengan metode yang lain, seperti metode HPLC, Densitometri, dan lain-lain.
2. Untuk praktikum selanjutnya juga dapat ditentukan kadar kafein pada minuman atau
makanan yang mengandung kafein
DAFTAR PUSTAKA

Alpdogan, G., Karabina, K., Sungur, S. 2002. Derivative Spectrofotometric Determination of Caffeine
In Some Beverages. Turkish Journal of Chemistry, Vol. 26 : 295-302.

Aptika, N.M.D., Tunas, I.K dan Sutema, I.A.M.P., 2015, Analisis Kadar Kafein pada Kopi Hitam di
Bukian Gianyar Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis Chemistry Laboratory, Vol. 2 No. 1 :
30-37.

Budiman, H., Rahmawati, F. Dan Sanjaya, F., 2015, Isolasi dan Identidikasi Alkaloid Pada biji Kopi
Robusta (Coffea robusta Lindl. Ex De Will) dengan Cara Kromatografi Lapis Tipis, www.
ejournal.stikesmukla.ac.id/index.php/cerata/article/.../7 (diakses 15 Desember 2015

Clarke, E. G. C. 1971. Isolation and Identification of Drugs. London : The Pharmaceutical Press.

Dachriyanus. 2004. Analisa Senyawa Organik Secara Spektroskopi. Andalas University Press, Padang.

Day, R.A and Underwood, A.L. 1999. Analisa Kimia Kuantitatif, Edisi VI. Erlangga. Jakarta.

Djajanegara, I., 2009. Pemakaian Sel HeLa dalam Uji Sitotoksisitas Fraksi Kloroform dan Etanol
Ekstrak Daun Annona squamosal. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 7(1), 7-11.

Departemen Kesehatan, Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia (Edisi IV). Jakarta : Departemen
Kesehatan RI

Anda mungkin juga menyukai