Anda di halaman 1dari 15

UJI KADAR KAFEIN PADA

MINUMAN BERENERGI

DISUSUN OLEH :
Kelompok 2
ADINDA SALSABILA BR.TARIGAN
ANI MARLINA
ADHEN
MELDA FITRIAH

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


HARAPAN IBU JAMBI
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konsumsi minuman energi menunjukkan pertumbuhan yang cukup pesat
sejak tahun 1997. Banyak orang memilih untuk mengembalikan energi yang
hilang selama aktifitasnya dengan minuman berenergi. Bahkan tidak sedikit orang
yang mengkonsumsinya setiap hari. Beberapa minuman energi mengandung
kafein. Berdasarkan fungsinya dalam metabolisme, kafein lebih cocok bertindak
sebagai stimulan daripada sumber energi (Anonim, 2006a).
Minuman berenergi yang beredar di Indonesia termasuk dalam golongan
suplemen makanan dengan ijin edar SD (Suplemen yang diproduksi dalam
negeri). Namun, sebelum ada Surat Keputusan Kepala Balai POM tahun 2004
tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan, minuman berenergi
memiliki ijin edar MD (Makanan yang diproduksi dalam negeri).
Menurut Balai POM, minuman berenergi yang ada di Indonesia
mengandung kafein sejumlah 50 mg per botol dan hanya diperbolehkan untuk
mengkonsumsi sebanyak tiga botol per hari (Marlinda, 2001).
Saat ini, banyak metode analisis telah dikembangkan untuk menetapkan
kadar kafein. Pada penetapan kadar kafein dalam minuman, berbagai macam
metode analisis seperti titrimetri, spektrofotometri dan KCKT telah banyak
dilaporkan. Namun masih banyak kekurangan pada metode analisis tersebut. Pada
titrimetri penetapan kadar harus melalui isolasi terlebih dahulu.
Keberadaansenyawa lain akan mengganggu hasil titrasi sehingga hasil yang
diperoleh tidak tepat. Metode KCKT merupakan metode yang sensitif dan dapat
digunakan untuk penetapan kadar senyawa yang berupa campuran secara
bersamaan. Metode ini membutuhkan biaya operasional yang cukup mahal untuk
mengoperasikannya. Metode spektrofotometri merupakan metode yang cepat dan
sederhana untuk menetapkan kadar kafein, namun metode ini tidak dapat
digunakan untuk sampel yang kompleks sehingga harus dilakukan isolasi terlebih
dahulu.
Saat ini spektrofotometri UV berkembang seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, sehingga dapat digunakan untuk menetapkan kadar campuran,
salah satunya melalui derivatisasi. Karena adanya kebutuhan akan analisis yang
cepat dan selektif, spektrofotometri derivatif dijadikan metode pilihan dalam
penentuan kadar kafein. Hal ini dikarenakan metode ini dapat menetapkan kadar
kafein dengan cepat dan selektif tanpa adanya isolasi terlebih dahulu. Metode
spektrofotometri derivatif aplikasi peak to peak didasarkan pada pengukuran pada
daerah panjang gelombang yang mempunyai nilai ekstremum (amplitudo peak-
to-peak ) pada derivat kafein baku dan sampel.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kafein

(1,3,7 Trimetil Xantine; C8H10N4O2; BM 194,9)

Kafein berbentuk anhidrat atau hidrat yang mengandung satu molekul


air. Kafein mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 101,0%
C8H10N4O2, dihitung terhadap zat anhidrat ( Anonim, 1995 ).
Pemerian. Serbuk putih atau bentuk jarum mengkilat putih, biasanya
menggumpal; tidak berbau; rasa pahit. Titik lebur antara 235ºC - 237ºC
(Anonim, 1995 ). Kafein memiliki kelarutan 1:60 dengan air, 1:1 dengan air
panas, 1:130 dengan etanol, 1:7 dengan kloroform. Sedikit larut dalam eter
namun mudah larut dalam larutan asam encer. Dalam larutan asam encer,
kafein memberikan serapan absorbsi maksimum pada 273 nm ( A1 = 504)
(Clarke, 1986 ). Sama artinya dengan serapan jenis (A1% 1cm) di dalam
Farmakope Indonesia IV yaitu serapan dari larutan 1% zat terlarut dalam sel
dengan ketebalan 1 cm.

Kafein adalah zat kimia yang tergolong dalam jenis alkaloid. Selain
pada kopi, kafein banyak ditemukan dalam minuman, teh, cola, coklat,
minuman berenergi, maupun obat-obatan. Kandungan kafein pada secangkir
kopi sekitar 80-125 mg, sedangkan satu kaleng softdrink cola mengandung
sekitar 23- 37 mg, teh mengandung sekitar 40 mg, dan satu ons coklat
mengandung sekitar 20 mg kafein (Anonim, 2006b ).
Kafein merupakan alkaloid kristal xanthine berwarna putih dan rasanya
pahit yang bisa digunakan sebagai perangsang syaraf (psychoactive stimulant) dan
juga memiliki efek diuretik (gampang beser) pada manusia dan hewan. Kafein
ditemukan oleh ahli kimia Jerman, Friedrich Ferdinand Runge, pada tahun 1819.
Dia menamainya dengan istilah "kaffein", yaitu sebuah senyawa kimia yang ada
pada kopi, yang dalam logat Inggris menjadi caffeine. Kafein juga dinamai
"guaranine" karena ditemukan pada guarana, "mateine" ketika ditemukan pada
mate, dan "theine" ketika ditemukan pada teh. Semua nama ini merupakan
sinonim dari kafein.

Pada manusia, kafein merupakan perangsang sistem saraf pusat


(central nervous system-CNS), memiliki efek sementara menghilangkan
kantuk dan mengembalikan kesadaran. Banyak minuman yang mengandung
kafein, misalnya kopi, teh, minuman ringan dan minuman energi. Kafein
merupakan zat psychoactive yang paling bayak dipakai diseluruh dunia, tapi
tak seperti zat lainnya, kafein legal dan tidak dibawah kendali Undang-undang.
Di Amerika Utara, 90% orang dewasa mengkonsumsi kafein setiap hari.
Badan Pangan dan Obat-obatan Amerika mendaftarkan kafein sebagai
"Multiple Purpose Generally Recognized Safe Food Substance". Suatu studi
tahun 2008 menyatakan bahwa perempuan yang mengkonsumsi 200 milligram
atau lebih kafein perhari memiliki dua kali risiko keguguran daripada wanita
yang tidak mengkonsumsi kafein, namun studi lain tahun 2008 menyatakan
tidak ditemukan hubungan antara keguguran dan konsumsi kafein.

B. Minuman Energi
Minuman berenergi termasuk dalam golongan food supplement atau
makanan tambahan. Produk ini dimasukkan ke dalam kelompok “produk
berbatasan “ antara obat dan makanan / minuman. Meskipun termasuk makanan
yang dijual bebas, produk minuman berenergi ini berisi zat-zat yang biasa terdapat
dalam obat-obatan (Rafira, 2005).
Kandungan zat aktif yang umum dijumpai pada produk minuman
berenergi ini antara lain kafein, taurin, vitamin B, guarana, ginseng dan vitamin C
( Anonim, 2006a). Kelebihan produk minuman berenergi adalah manfaatnya yang
cepat terasa karena mengandung zat pemanis buatan (sorbitol, aspartam, siklamat)
yang mudah diserap tubuh. Sumber lain yang juga mempengaruhi kecepatan
reaksi adalah kandungan kafein dan taurin di dalamnya (Marlinda, 2001).
Kombinasi taurin dan kafein dalam minuman berenergi akan merangsang
sistem saraf pusat untuk memicu reaksi katabolisme di otot. Mekanismenya melalui
pengaktifan kerja saraf yang menghasilkan percepatan jantung untuk memompa darah
dan oksigen, sembari menstimulasi peningkatan kadar gula darah (Anonim, 2006a).

C. Kafein dalam minuman berenergi


Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara tegas menetapkan kadar
kafein dalam minuman berernergi maksimal 50 mg. Jika lebih dari itu maka dalam
jangka panjang pengkonsumsinya bisa terkena penyakit ginja, jantung, darah tinggi,
diabetes, stroke, dan risiko abortus untuk wanita hamil. Secara jangak panjang
konsentrasi kafein yang terakumulasi di dalam tubuh dalam jumlah yang melebihi batas
dapat menimbulkan gangguan kesehatan.

D. Spektrofotometri
Spektrofotometri adalah salah satu teknik analisis fisika kimia yang didasarkan
pengabsobsian energi cahaya oleh suatu sistem kimia sebagai fungsi dari panjang
gelombang radiasi (Day dan Underwood, 2002).
Spektrofotometri uv-vis adalah pengukuran serapan cahaya di daerah
ultraviolet (200 – 350 nm) dan sinar tampak (350 – 800 nm) oleh suatu senyawa.
Serapan cahaya uv atau cahaya tampak mengakibatkan transisi elektronik, yaitu
promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital
keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi.
Panjang gelombang cahaya uv atau cahaya tampak bergantung pada mudahnya
promosi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk
promosi elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek.
Molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap pada panjang
gelombang yang lebih panjang. Senyawa yang menyerap cahaya dalam daerah tampak
(senyawa berwarna) mempunyai elektron yang lebih mudah dipromosikan dari pada
senyawa yang menyerap pada panjang gelombang lebih pendek.
BAB III

PROSEDUR ANALISA KADAR

A. Alat dan Bahan


Bahan yang digunakan adalah Kalium iodat, Asam sulfat 2N, Kalium
iodida 10%, Natrium tiosulfat, indikator amilum 1%, kloroform, larutan NaCl
jenuh, dan akuades. Sementara itu untuk sampel yang dianalisis adalah minuman
berenergi sediaan sachet sebanyak 3 sampel yang diambil secara acak (random)
dari seluruh pedagang yang ada di jalan.
Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik,
pipet volumetrik 10 mL, labu ukur 100 ml, erlenmeyer 250 ml, buret, statif dan
klem, beaker gelas 250 mL, pipet tetes, corong pisah, botol akuades, dan penangas
air.

B. Prosedur Kerja
Preparasi Sampel
1. Memipet sampel sebanyak 10 mL dan masukkan ke dalam labu pemisah
2. Menambahkan kloroform sebanyak 50 mL dan mengocoknya selama 5 menit
3. Mendiamkan selama beberapa menit sampai terlihat jelas batas pisah kedua
cairan.
4. Mengalirkan cairan yang berada di bawah batas pisah melalui corong gelas
yang telah diberi kertas saring ke dalam labu ukur 100 mL.
5. Mengulangi ektraksi dengan menambahkan kloroform sebanyak 40 mL dan
mengocoknya selama 1 menit.
6. Mendiamkan selama beberapa menit sampai terlihat jelas batas pisah kedua
cairan.
7. Mengalirkan cairan yang berada di batas pisah melalui corong pisah yang telah
diberi kertas saring ke dalam labu ukur 100 mL sebelumnya.
8. Mengencerkan cairan ekstrak tadi dengan kloroform sampai batas garis.
Pengenceran
1. Memipet 2 mL larutan contoh dari labu ukur 100 mL ke dalam labu ukur 10
mL
2. Mengimpitkan sampai batas garis dengan kloroform

Pembuatan Larutan Baku


1. Larutan baku induk
Menimbang ± 50 mg standar kafein, add 100 mL (500 ppm).
2. Larutan baku kerja
Memipet 10,0 mL larutan 1, add 50 mL (100 ppm)

Pembuatan Deret Standar


Membuat deret larutan standar yang mengandung 4, 6, 8, 10, 12 ppm dari larutan
baku kerja 100 ppm.
a. Dari 100 ppm dipipet sebanyak 4 mL ke dalam labu ukur 100 mL (4 ppm)
b. Dari 100 ppm dipipet sebanyak 6 mL ke dalam labu ukur 100 mL (6 ppm)
c. Dari 100 ppm dipipet sebanyak 8 mL ke dalam labu ukur 100 mL (8 ppm)
d. Dari 100 ppm dipipet sebanyak 10 mL ke dalam labu ukur 100 mL (10 ppm)
e. Dari 100 ppm dipipet sebanyak 12 mL ke dalam labu ukur 100 mL (12 ppm)

Pengukuran
Mengukur larutan sampel, standar, dan blanko pada λ maksimum.

C. Pembahasan
Kafein merupakan alkaloid kristal xanthine berwarna putih dan rasanya
pahit yang bisa digunakan sebagai perangsang syaraf (psychoactive stimulant) dan
juga memiliki efek diuretik (gampang beser) pada manusia dan hewan.
Analisis kadar kafein ini dilakukan dengan metode spektrofotometri
UV/VIS. Sampel yang digunakan adalah minuman berenergi. Tahapan analisis
yang dilakukan yaitu :
1. Preparasi sampel
Sebelum kadar kafein ditentukan menggunakan spektrofotometer, perlu
dilakukan adanya preparasi sampel. Preparasi yang dilakukan adalah dengan
proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik. Pelarut yang digunakan
adalah CHCl3 (kloroform). Pemilihan pelarut yang digunakan didasarkan pada
sifat kafein yang mudah larut dalam pelarut organik terutama kloroform.
Kloroform ini dipilih karena mudah larut dengan komponen-komponen organik,
mudah menguap sehingga mudah dipisahkan, kloroform bersifat tidak mengalami
pembakaran di udara. Selain itu, kloroform merupakan pelarut yang efektif untuk
senyawa-senyawa alkaloid, sehingga kloroform ini cocok untuk kafein yang
merupakan senyawa alkaloid. Selain kelarutan, pemilihan pelarut ini juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu titik didih, toksisitas, serta reaktifitas
pelarut dengan komponen yang akan diekstrak.
Karena pelarut yang digunkan adalah pelarut organik maka seluruh
peralatan yang digunakan harus kering, karena adanya air akan mengganggu
pembacaan pada instrument. Air dapat menyerap radiasi uv pada panjang
gelombang yang cukup rendah sehingga bisa saja transparan terhadap radiasi
pengukuran, tetapi senyawa-senyawa organik banyak yang tidak larut dalam air
termasuk kloroform, sehingga akan menyebabkan penyerapan radiasi pengukuran
oleh pelarut.
Untuk proses ekstraksi, mula-mula sampel dipipet sebanyak 10 mL ke
dalam corong pisah, kemudian ditambahkan CHCl3 (kloroform) sebagai pelarut
untuk pengekstrak. Kloroform yang digunakan sebanyak 50 mL, kemudian
campuran antara sampel dengan kloroform tersebut diekstraksi selama 5 menit.
Dengan waktu 5 menit ini diharapkan semua kafein yang terdapat dalam sampel
akan terekstrak. Jumlah kloroform yang digunakan sebaiknya lebih besar, karena
lebih besar volume pelarut yang digunakan dibanding jumlah bahan yang
diekstrak maka rendemen yang dihasilkan juga semakin besar (Nurlita Soraya,
2008). Semakin banyak pelarut yang ditambahkan maka semakin besar
kemampuan pelarut untuk melarutkan bahan sehingga semakin banyak komponen
bahan yang dapat diekstrak oleh pelarut. Rendemen hasil ekstraksi akan terus
meningkat hingga larutan menjadi jenuh. Setelah titik jenuh larutan tercapai, maka
tidak akan terjadi peningkatan rendemen dengan penambahan pelarut.
Setelah diekstrak menggunakan kloroform sebanyak 50 mLkemudian
didiamkan selama beberapa saat hingga terlihat batas pisah kedua cairan. Setelah
terpisah kemudian bagian cairan yang berada pada lapisan bawah diturunkan ke
dalam labu ukur 100 mL melalui corong gelas yang telah dilapisi dengan kertas
saring. Penggunaan kertas saring ini bertujuan agar larutan akhir yang diperoleh
berwarna bening, karena warna larutan yang keruh akan mengganggu pembacaan
pada instrument. Setelah seluruh caiaran yang berada di bagian bawah sudah
dialirkan semuanya ke dalam labu ukur kemudian ke dalam corong pisah
ditambahkan lagi kloroform sebanyak 40 mL, kemudian diekstrak kembali. Jadi
ekstraksi dilakukan sebanyak dua kali.
Proses pemisahan antara pelarut dengan komponen contoh ini dipengaruhi
oleh beberapa factor yaitu sifat dari pelarut dan senyawa yang diekstrak,
perbedaan ion, polaritas, ikatan hydrogen, serta sifat hidrofobik dan hidrofilik
senyawa. Setelah proses ekstraksi selesai dan larutan didiamkan beberapa saat,
kemudian terlihat batas pisah antara kedua lapisan. Lapisan bawah adalah
kloroform yang telah mengandung analit (kafein) sedangkan bagian atas adalah
bagian yang tidak larut dalam kloroform yaitu zat-zat lain yang terdapat dalam
sampel sebagai pengotor yang dapat mempengaruhi hasil analisis.
2. Pengenceran
Proses pengenceran yang dilakukan dengan cara memipet larutan contoh
kafein dalam labu ukur 100 mL sebanyak 2 mL ke dalam labu ukur 10 mL.
Sehingga pengenceran yang dilakukan adalah sebanyak 5 kali. Pengenceran ini
dilakukan dengan tujuan agar konsentrasi larutan contoh yang terdapat dalam
sampel tidak terlalu pekat yang akan menimbulkan over range dalam pembacaan
menggunakan spektrofotometer. Karena apabila over range ini terjadi maka
konsentrasi analit yang diukur tidak akan terbaca oleh alat. Alat hanya akan
mengukur absorbansi larutan contoh.
3. Pembuatan larutan baku
Larutan baku dibut dengan cara menimbang 50 mg kafein satndar berupa
serbuk putih, kemudian diencerkan ke dalam labu ukur 100 mL dan diimpitkan
hingga tanda batas dengan menggunakan kloroform (500 ppm). Kemudian dipipet
lagi sebanyak 10 mL ke dalam labu ukur 50 mL (100 ppm) sebagai larutan baku
kerja yang dapat digunakan dalam pembuatan deret standar.
4. Pembuatan deret standar
Pembuatan deret standar dilakukan dengan memipet larutan baku kerja
sebanyak 4 mL, 6 mL, 8 mL, 10 mL, dan 12 mL ke dalam labu ukur 100 mL.
Sehingga konsentrasi standar yang dibuat adalah 4, 6 ,8 ,10, dan 12 ppm.
Pembuatan deret standar ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi kafein yang
akan diukur, apakah terletak dalam rentangan deret standar tersebut atau tidak.
Selain itu dengan pembuatan deret standar akan diketahui tingkat ketelitian dalam
pembuatan standar.
5. Pengukuran
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada
daerah uv (ultraviolet). Hal ini dikarenakan kafein yang akan diukur akan
menyerap pada daerah panjang gelombang antara 200-350 nm. Selain itu larutan
yang akan diukur merupakan larutan yang bening sehingga akan terukur jika
menggunakan sinar uv dengan menggunakan sumber lampu deuterium.
Pengukuran sampel dilakukan dengan menggunakan kuvet sebagai tempat larutan
yang akan diukur. Setiap penggantian larutan yang akan diukur kuvet ini dibilas
sebanyak tiga kali menggunakan larutan yang akan diukur untuk menghilangkan
sisa larutan yang diukur seselumnya.
Mula-mula pengukuran dilakukan dengan mengukur zero base yang
dilakukan dengan mengukur blanko. Blanko yang digunakan hanya terdiri dari
pelarut yaitu kloroform. Pengukuran zero base ini berfungsi untuk menghilangkan
serapan yangberasal dari pelarut. Blanko yang digunakan berfungsi untuk
mengetahui besarnya serapan yang disebabkan oleh zat bukan analat, baik hanya
pelarut untuk melarutkan atau mengencerkan ataupun pelarut dan pereaksi tertentu
yang ditambahkan. Selisih nilai serapan analat dengan nilai serapan blanko
menunjukkkan serapan yang disebabkan oleh komponen alat.
Setelah pengukuran zero base kemudian dilanjutkan dengan mencari
panjang gelombang maksimum dengan cara mengukur salah satu deret standar
yang telah dibuat kemudian dibaca panjang gelombang maksimumnya.
Berdasarkan hasil pembacaan dengan menggunakan standar 6 ppm diperoleh nilai
λ maksimum adalah 276 nm. Setelah pngukuran λ maks ditemukan, selanjutnya
adalah mengukur deret standar yang telah dibuat. Berdasarkan hasil pengukuran
deret standar 4, 6, 8, 10, dan 12 ppm diperoleh hubungan antara nilai absorbansi
dengan konsentrasi zat yang diukur (koefisien korelasi) adalah 0,9999. Hal ini
menunjukkan bahwa standar yang dibuat memiliki linieritas yang baik dan
ketelitian yang baik. Karena semakin harga r (koefisien korelasi) mendekati 1
maka semakin baik.
Setelah pengukuran standar kemudian dilakukan pengukuran terhadap
sampel. Berdasarkan hasil pengukuran yang pertama diperoleh nilai absorbansi
sebesar 1,858, namun konsentrasi yang dihasilkan berada diluar deret standar
(terjadi over range). Setelah dilakukan pengenceran 5 kali dan dilakukan
pembacaan kembali, maka konsentrasi yang terbaca adalah 7,1763 ppm dengan
absorbansi 0,379.
Setelah diperoleh konsentrasi pembacaan sampel, kemudian dilakukan
perhitungan konsentrasi sebenarnya terhadap kadar kafein yang terdapat dalam
minuman berenergi tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan
diperoleh kadar kafein yang terkandung dalam contoh minuman berenergi tersebut
adalah 53,83 mg/150 mL. sedangkan dalam label yang terdapat dalam contoh
adalah 50mg/150 mL. Apabila kafein yang terdapat dalam contoh benar-benar 50
mg, maka seharusnya konsentrasi pembacaan yang terukur adalah 6,666 mg/L.
Hal ini berarti kadar kafein yang terdapat dalam contoh tersebut melebihi standar
yang ditetapkan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang secara tegas
menetapakan batas kadar kafein dalam minuman berenergi maksimal 50 mg
(www.bioalami.blogspot.com).
Selain dilakukan pengukuran terhadap sampel dilakukan pula pengukuran
standar 6 ppm sebanyak 6 kali untuk menghitung % recovery atau % perolehan
kembali. Berdasarkan hasil pengukuran % recovery satndar yang diperoleh adalah
96,77- 97,99%. Ini menunjukkan bahwa standar tersebut memiliki nilai perolehan
kembali yang baik karena masuk ke dalam persyaratan yang ditentukan. Untuk
konsentrasi menengah criteria kcermatan yang dipersyaratkan adalah 96-105%.
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan hasl analisis kadar kafein dapat disimpulkan bahwa


pengukuran kafein secara spektrofotometri uv/vis ini dapat dilakukan dengan
menggunakan metode ekstraksi dengan menggunkan pelarut organic (kloroform)
dengan manggunakan λ maksimum 276 nm. Berdasarkan hasil pengukuran
dikethui kadar kafein dalam contoh minuman berenergi tersebut adalah 7,1763
mg/L sehingga berdasarkan perhitungan konsentrasi yang sebenarnya adalah
53,83 mg/150 mL.

Sedangkan dalam label pada kemasan contoh kadar kafeinnya adalah 50


mg/150 mL. hal ini mengindikasikan adanya kecurangan yang dilakukan oleh
produsen, karena kadar kafein melebihi standar yang ditetapkan oleh BPOM yaitu
50 mg.
DAFTAR PUSTAKA

Marlinda, I, 2001, Bahaya Minuman Berenergi,


http://www.indomedia.com/Intisari/online/kesehatan/410kes1.htm
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta
Anonim, 2006a, Benarkah Minuman Energi Selalu Berenergi?, http://www.info-
sehat.com/content.php?s_sid=794.
Herliani, An an. 2008. Spektrofotometri. Cianjur. VEDCA Cianjur Soraya,
Nurlita. 2008. Isolasi Kafein Dari Limbah Teh Hitam CTC Jenis
Powdery secara Ekstraksi. Bogor : Fateta, IPB.
Novita L, Aritonang. Penetapan Kadar Kafein Pada Minuman Berenergi Sediaan
Sachet Yang Beredar Di Sekitar Pasar Petisah Medan. Universitas
Sari Mutiara Indonesia Volume I, Nomor 1, Tahun 2017, Hal 37-42
Susanti, N. P. M., dkk. 2012. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan
Refluks Terhadaap Rendemen Andrografolid Dari Herba Sambiloto
(Andrographis Paniculata (Burm.F.) Ness). Universitas Udayana, 22-
34.

Anda mungkin juga menyukai