Anda di halaman 1dari 51

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kopi merupakan tanaman yang mengandung kafein yang dapat diolah

menjadi minuman yang nikmat. Sekarang ini kopi menjadi minuman paling populer

di dunia setelah air dan teh (Cornelis, 2019). Selain itu, kopi merupakan salah satu

hasil perkebunan yang memegang peranan penting sebagai sumber pendapatan

negara (Aprillia, dkk, 2018).

Kopi mempunyai berbagai macam jenis, namun yang paling banyak diminati

yaitu jenis Arabika dan Robusta. Kopi Arabika merupakan kopi yang paling banyak

dikembangkan di Indonesia. Kopi ini memiliki aroma dan cita rasa yang kuat.

Berbeda halnya dengan kopi robusta, kopi Robusta merupakan salah satu jenis kopi

yang banyak dibudidayakan oleh penduduk karena kopi Robusta lebih mudah di

budidayakan daripada kopi Arabika (Apratiwi, 2016).

Kopi mempunyai banyak manfaat untuk kesehatan, namun masalah yang

dihadapi oleh pecinta kopi adalah kandungan kafein di dalamnya. Hasil penelitian

sebelumnya menyebutkan bahwa kopi mengandung sedikit nutrisi, tetapi

mengandung lebih dari ribuan bahan kimia alami seperti karbohidrat, lipid, senyawa

nitrogen, vitamin, mineral, alkaloid, dan senyawa fenolik. Beberapa di antaranya

berpotensi menyehatkan dan beberapa yang lain berpotensi bahaya. Salah satu

senyawa alkaloid yang berpotensi berbahaya untuk kesehatan adalah kafein

(Wachamo, 2017). Kafein memiliki efek farmakologis yang berguna secara klinis,

seperti merangsang sistem saraf pusat, dan memiliki efek kelelahan, lapar,

meningkatkan konsentrasi, tetapi penggunaan kafein yang berlebihan dapat

1
menyebabkan jantung berdebar, ketidaknyamanan perut, dan tremor. Kafein yang

terkandung dalam biji kopi berkisar 1,5% - 2,5% (Tjay & Rahadja, 2007).

Kafein adalah alkaloid psikostimulan purin yang berbentuk bubuk putih atau

bentuk jarum mengkilap, biasanya menggumpal, tidak berbau, rasanya pahit, dan

memiliki titik lebur 235° - 237°. Kafein sedikit larut dalam air, etanol, dan eter.

Namun, kafein mudah larut dalam kloroform dan lebih larut dalam asam encer

(Soraya, 2008). Jumlah kafein dalam kopi yang beredar di pasaran bervariasi karena

adanya campuran lain. Oleh karena itu, Badan Standardisasi Nasional telah

menetapkan standar kandungan kafein dalam bubuk kopi berada dalam kisaran

0,455% - 2% b/b (SNI 01-3542-2004), sehingga jika terdapat kandungan kafein

yang tinggi maka perlu dilakukan dekafeinasi untuk menghambat aktivitas kafein

dalam tubuh (Sofiana, 2011).

Dari penelitian sebelumnya tentang kandungan kadar kafein pada kopi

menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Hasil analisis kadar kafein pada kopi

memberikan data analisis yang berbeda, hal ini terjadi karena kandungan kafein

dalam kopi dipengaruhi oleh letak geografis dan jenis tanaman kopi. Beberapa dari

kopi bubuk yang dianalisa memenuhi syarat SNI dan ada beberapa yang tidak

memenuhi (Maramis, dkk., 2013; Aptika, dkk., 2015; Fatoni 2015 dan Arwangga,

dkk., 2016).

Suwiyarsa et al., (2018) melakukan penelitian analisis kadar kafein pada kopi

bubuk lokal yang beredar di kota Palu, dengan menggunakan Spektrofotometri UV-

Vis. Hasil penelitian kadar kafein dari enam sampel kopi bubuk lokal jenis arabika

menunjukkan, empat diantaranya memenuhi syarat SNI 01-3542-2004 yaitu sampel

2
A 0,83%, sampel C 1,60%, sampel E 1,29%, dan sampel F 1,72%, sedangkan dua

sampel lain tidak memenuhi syarat yaitu sampel B 2,06%, dan sampel D 2,63%.

Susanti et al. (2019) melakukan perbandingan metode Spektrofotometri UV-

Vis dan HPLC pada penetapan kadar kafein dalam kopi menunjukkan metode

Spektrofotometri UV-Vis direkomendasikan sebagai metode pilihan pada

penetapan kadar kafein dalam sampel kopi.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti tertarik ingin

menganalisis berapa kandungan kafein pada kopi yang beredar di Sungai Penuh

menggunakan Spektrofotometer UV-Vis, apakah memenuhi standar kadar kafein

menurut SNI 01-3542-2004 yaitu 0,45 – 2,00 % b/b.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, permasalahan yang dapat

diajukan yaitu:

1. Bagaimanakah perbandingan kadar kafein dalam kopi bubuk yang beredar

di kota Sungai Penuh?

2. Apakah kopi bubuk yang beredar di kota Sungai Penuh telah memenuhi

standar kafein menurut SNI?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perbandingan kadar kafein dalam kopi bubuk yang

beredar di kota Sungai Penuh.

2. Untuk mengetahui apakah kopi bubuk yang beredar di kota Sungai Penuh

telah memenuhi standar kafein menurut SNI.

3
1.4 Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya

yang tertarik pada masalah yang sama.

2. Memberikan informasi mengenai kadar kafein pada kopi bubuk yang

beredar di kota Sungai Penuh.

4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Kopi

2.1.1 Pengertian Kopi

Kopi merupakan minuman yang paling disukai banyak orang, baik pria

maupun wanita. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak mengenal kopi. Kopi

adalah minuman yang berasal dari pengolahan dan esktraksi biji pabrik kopi. Selain

rasa dan aromanya yang nikmat, kopi juga dipercaya dapat mengurangi resiko

kanker, diabetes, batu empedu dan penyakit jantung (Siti et al, 2014).

Selain itu, tanaman kopi (Coffea sp) merupakan komoditas ekspor utama

yang dikembangkan di Indonesia karena memiliki nilai ekonomi yang relatif tinggi

di pasar dunia. Permintaan kopi Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu

seperti kopi Robusta yang memiliki keunggulan rasa yang kuat dan kopi Arabika

yang memiliki rasa yang unik dan nikmat (Hilmawan, 2013). Hal tersebut jelas

sangat menguntungkan bagi petani kopi maupun negara. Kebanyakan kebun kopi

di Indonesia dikelola langsung oleh masyarakat dengan kisaran 96 % total area di

Indonesia, dan 2 % dikelola oleh negara, serta 2 % lagi dikelola swasta (Kusmiati

dan Windiarti 2011).

Permintaan masyarakat terhadap kopi akan terus meningkat seiring dengan

pertambahan penduduk, sehingga peluang pasar tetap menjanjikan (Cahyono,

2011). Kopi dikenal dengan kandungan kafeinnya yang tinggi. Kafein itu sendiri

adalah metabolit sekunder dari golongan alkaloid yang berasal dari tanaman kopi

dan memiliki rasa yang pahit. Peran utama kafein dalam tubuh adalah

meningkatkan aktivitas psikomotor, sehingga dapat menjaga tubuh dan

memberikan efek fisiologis berupa peningkatan energi. Kafein tidak hanya terdapat

5
pada tanaman kopi, tetapi juga pada daun teh dan biji kakao (Netherland Nutritions

Center, 2013).

2.1.2 Klasifikasi Tanaman Kopi

Gambar 1. Tanaman Kopi (Hamni, 2013).

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheobionita

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Astridae

Ordo : Rubiaceace

Genus : Coffea

Spesies : Coffea sp

2.1.3 Morfologi Tanaman Kopi

a. Akar

Tanaman kopi termasuk jenis tanaman berkeping dua (dikotil) dan berakar

tunggang (Panggabean, E. 2011). Akar kopi memiliki akar yan tumbuh tegak lurus

dengan pangkal hingga 45 cm. Menurut Subandi (2011), akar kopi tidak dalam

karena lebih dari 90% berat akar berada pada lapisan tanah 0-30 cm. Pada akar

utama, beberapa akar kecil tumbuh menyamping (meluas), sering disebut akar

6
lebar. Rambut akar, bulu-bulu akar, dan tudung akar tumbuh pada akar yang luas

ini (Panggabean, 2011).

b. Batang dan cabang

Batang yang tumbuh dari biji disebut batang utama. Saat tanaman masih

muda, batang utama dapat terlihat dengan jelas. Setiap ruas tumbuh daun yang

saling berhadapan, kemudian tumbuh dua macam cabang yaitu cabang orthotrop

(cabang yang tumbuh secara vertikal) dan cabang plagiotrop (cabang yang tumbuh

secara horizontal).

c. Daun

Daun kopi berbentuk lonjong dengan ujung agak runcing. Daun tumbuh pada

batang, cabang dan ranting yang tersusun berdampingan. Susunan daun berselang-

seling di ranting. Daun muda berwarna perunggu, sedangkan pada daun tua

berwarna hijau tua (Rahardjo, 2012). Menurut Subandi 2011, jika intensitas cahaya

terlalu rendah, daun kopi akan menjadi lebih lebar, tipis dan lembek.

d. Bunga

Bunga pada tanaman kopi adalah bunga majemuk yang mempunyai bentuk

kisoma dan payung, kebanyakan 3-5 bunga, sehingga membentuk komposisi semu

yang berbunga banyak (Van Steinn et al., 2008).

2.1.4 Jenis-Jenis Tanaman Kopi

1. Kopi Arabika (Coffea Arabica)

Tanaman kopi arabika di Indonesia sangat bagus jika dikembangkan di daerah

antara 800-1500 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata adalah 15-

24ºC. Ketika suhu mencapai 25ºC maka dapat mengurangi aktivitas fotosintesis,

sehingga hasil yang kurang maksimal saat pemanenan. Pada tanaman kopi arabika

7
rentan terhadap penyakit karat daun. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa tamanan

ini terletak di area di bawah 800 meter di bawah permukaan laut (Najiyati dan

Danarti, 1997).

Berikut ciri-ciri kopi Arabika yaitu:

1. Berdaun kecil

2. Mempunyai daun dengan panjang 12-15 cm, dan lebar 6 cm

3. Mempunyai biji yang lebih besar

4. Memiliki aroma dan cita rasa yang lebih enak dibandingkan kopi lainnya

(Anonim, 2013).

Kopi arabika dikenal dengan dua jenis cabang, yaitu orthotropic

orthogeotropic (tumbuh secara vertical) dan plagiotropic (tumbuh secara

horizontal). Selain itu, kopi arabika memiliki warna kulit abu-abu, bila tipis menjadi

pecah-pecah dan kasar saat tua (Hiwot, 2011).

Daun kopi arabika berwarna hijau tua dengan lapisan lilin yang halus.

Daunnya mempunyai panjang empat hingga enam inci dan juga berbentuk oval atau

persegi panjang. Menurut Hiwot (2011), daun kopi arabika juga merupakan daun

sederhana dengan batang pendek, dan umur daun kopi arabika kurang dari satu

tahun. Pohon kopi arabika memiliki susunan daun bilateral, artinya dua daun

tumbuh dari batang yang saling berhadapan (Roche dan Robert, 2007).

Bunga kopi arabika memiliki mahkota kecil dengan kelopak hijau,

pangkalnya ditutupi dengan dua ovula. Benang sari pada bunga ini terdiri dari 5-7

tangkai yang pendek. Arabika umumnya mulai berbunga setelah berumur 2 tahun.

Pada awalnya, bunga tumbuh dari ketiak daun yang terletak di batang utama atau

cabang reproduksi. Banyak bunga akan tumbuh di bawah ketiak daunnya yang ada

8
di cabang primer. Bunga ini berasal dari kuncup sekunder dan di reproduksi yang

menjadi kuncup bunga. Kuncup tersebut kemudian berkembang menjadi bunga

secara bersamaan dan berkelompok (Budiman, 2012).

2. Kopi Robusta (Coffea Canephora)

Kopi robusta (Coffea canephora) muncul di Indonesia pada tahun 1900-an.

Tidak seperti Arabika, Robusta tahan terhadap karat daun, dan membutuhkan

kondisi pertumbuhan dan pemeliharaan yang ringan, sementara produksinya jauh

lebih tinggi. Inilah yang membuat kopi ini dapat bersaing dengan kopi lainnya. Saat

ini, luas perkebunan kopi di Indonesia relatif besar 90% terdiri dari kopi Robusta,

yang menghasilkan pertumbuhan tanaman kopi Robusta tumbuh baik di daerah

dataran rendah (Prastowo et al., 2010). Kopi Robusta bisa beradaptasi lebih baik

daripada kopi Arabika (Rukmana, 2014).

Tanaman kopi robusta tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu

yang relatif cepat. Kopi ini biasanya sudah diproduksi ketika mencapai usia 2,5

tahun. Sedangkan produksi dan umur ekonomis kopi robusta berkisar antara usia 5-

15 tahun. Namun, tingkat produksi kopi robusta sangat dipengaruhi oleh faktor-

faktor berikut: Tingkat perawatan dan kondisi sekitarnya (Haryanto, 2012). Secara

morfologi, kopi robusta memiliki ciri-ciri buah berbiji, berbentuk lonjong, dengan

biji lebih pendek dari arabika (8-16mm) tetapi diameternya lebih besar (15-18mm).

Secara umum, kopi robusta memiliki bobot yang lebih ringan dibandingkan dengan

kopi arabika (0,4 g per biji). Kopi robusta lebih beraroma pahit daripada arabika.

(Van der vossen et al., 2000).

9
2.1.5 Kandungan Kimia Kopi

1. Kafein

Kafein adalah senyawa alkaloid yang dikenal sebagai Trimetilxantin. Kafein

di dalam kopi tidak selalu berdampak buruk bagi kesehatan, karena dosis kafein

yang cukup dan tidak berlebih aman untuk dikonsumsi (Rahayu, 2007).

2. Trigonelin

Trigonelin adalah senyawa alkaloid yang berasal dari enzim metilasi niasin

(Farah, 2012). Senyawa trigonelin dapat menjadi pengahambat in vitro sel kanker

invasif, regenerasi dendrit dan akson hewan percobaan, serta meningkatkan daya

ingat. Demetilasi trigonelin selama pembakaran menghasilkan niasin dan niasin

(Farah, 2012). Selain itu, dengan asam klorogenat dan fenol bersifat antibakteri dan

bekerja dengan cara menghancurkan dinding sel bakteri terdiri dari perbedaan kutub

antara lipid DNA dengan gugus biobase yang merusak dinding sel, Senyawa ini

dapat masuk ke dalam sel bakteri (Yaqin dan Numilawati, 2015).

3. Asam Klorogenik

Asam klorogenat adalah ester dari asam sinamat dan asam quinik. Kandungan

tertinggi ada di biji kopi, mendekati 14%, senyawa ini berperan dalam menentukan

kualitas dan rasa kopi. Selain itu, ester asam klorogenat dalam bentuk asam kafeik,

Asam ferulik dan asam p-koumaric memiliki fungsi sebagai antioksidan (Farah,

2012). Bekerja dengan menghancurkan dinding sel bakteri melalui perbedaan

polaritas antara lipid yang membentuk DNA dan gugus alkohol, yang merusak

dinding sel, senyawa dapat masuk ke dalam sel bakteri (Yaqin dan Nurmilawati,

2015).

10
2.1.6 Manfaat Kopi

Adapun beberapa manfaat mengkonsumsi kopi (Bonnie, 2010) antara lain:

1. Nutrisi otak

Kafein dalam kopi memiliki peran dalam menjaga fungsi otak tetap terjaga.

Banyak pecandu kopi mengatakan tidak dapat berkonsentrasi pada pekerjaan tanpa

minum kopi.

2. Pereda Stress

Stres dan kopi berjalan beriringan. Manfaat kopi yang nyata untuk kesehatan

adalah menghilangkan stres. Stres kerja, stres kuliah, dan sebagainya. Itu bisa

diatasi dengan minum kopi. Jangankan minum kopi, menghirup kopi saja dapat

merelaksasi otak sehingga stress menjadi reda.

3. Mengobati Diabetes

Kandungan asam klorogenat dalam kopi dapat menghambat penyerapan gula

dalam saluran pencernaan. Kopi dapat menurunkan diabetes hingga 50%. Asam

klorogenat dalam kopi juga dapat membentuk insulin.

4. Keindahan Kulit

Selain bisa diminum dan memberikan manfaat Kesehatan. Kopi juga berguna

untuk kecantikan kulit tanpa diolah menjadi minuman. Biasanya wanita

menggunakannya dalam bentuk lulur dan masker. Ada banyak salon yang

menawarkan perawatan spa kopi.

5. Melindungi Gizi

Kopi memiliki kemampuan antibakteri dan anti lengket, sehingga dapat

mencegah bakteri penyebab kerusakan gigi. Mengonsumsi secangkir kopi dalam

11
sehari dapat mencegah kanker mulut. Hal tersebut terjadi karena komposisi di

dalam kopi dapat mencegah pertumbuhan sel kanker dan kerusakan DNA.

6. Meningkatkan Stamina

Kafein dalam kopi diduga dapat meningkatkan stamina. Efek kafein adalah

untuk merangsang kerja jantung sehingga dapat meningkatkan suplai darah ke otot-

otot yang menjaga tubuh agar tidak kehabisan energi terlalu cepat.

7. Mengurangi Resiko Liver

Kopi juga telah terbukti mencegah sirosis hati, dan penyakit hati lainnya. Ini

karena kandungan antioksidan dan kafein di setiap biji kopi.

8. Pencegahan Kanker

Dalam bubuk kopi banyak terdapat berbagai fitokimia yang bersifat

antioksidan yang mampu mengatasi kanker.

2.1.7 Jenis Olahan Kopi

Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM no. 21 tahun 2016 tentang kategori

pangan, terdapat beberapa macam olahan kopi antara lain:

1. Kopi Bubuk

Kopi bubuk adalah kopi olahan yang dibuat melalui proses penyangraian,

kemudian digiling.

2. Kopi Instan

Kopi instan adalah kopi olahan yang dibuat dengan cara penyangraian ekstraksi

biji kopi dengan air.

3. Kopi Dekafein

Kopi dekafein adalah kopi olahan yang dimana tidak terdapat lagi kandungan

kafein di dalamnya.

12
4. Kopi Instan Dekafein

Kopi instan dekafein adalah jenis kopi olahan yang kandungan kafeinnya telah

dihilangkan melalui proses ekstrasi tertentu.

5. Minuman Kopi Gula, Kopi Gula Susu dan Kopi Gula Krimmer

Minuman kopi gula adalah penggabungan dari kopi bubuk dengan gula,

minuman kopi gula susu adalah penggabungan dari kopi bubuk dengan gula dan

susu, sedangkan minuman kopi gula krimmer adalah penggabungan dari kopi

bubuk dengan gula dan krimmer.

2.2 Tinjauan Kafein

2.2.1 Kafein (1,3,7 - Trimethylpurine - 2,6 - dione)

Kafein adalah zat psikoaktif yang dapat ditemukan di banyak sumber, seperti:

kopi, teh, soda, dan cokeat. Indonesia dikenal sebagai penghasil kopi terbesar ke -

4 dengan outputnya adalah 350.000 ton dan nilai outputnya adalah 367 juta dolar

AS, peringkat keempat di dunia (Yahmadi, 2005). Konsumsi kopi telah meningkat

selama 10 tahun terakhir sebesar 98%. Salah satu alasannya adalah pengaruh gaya

hidup dan banyaknya tempat tinggal dan kafe menjadi tren tempat nongkrong anak

muda yang membantu meningkatkan jumlah konsumen kopi (Swastika, 2012).

Kafein diketahui memiliki efek adiktif dan memiliki efek positif pada tubuh

manusia seperti peningkatan kegembiraan, peningkatan kegembiraan, ketenangan

dan kebahagiaan (Wilson, 2018). Selain itu, kafein memiliki efek farmakologis

yang bermanfaat secara klinis seperti stimulasi susunan saraf pusat, relaksasi otot

polos terutama otot polos bronkus, dan stimulasi otot jantung (Farmakologi UI,

2002).

13
Selain efek positifnya, kafein juga memiliki efek negatif pada tubuh manusia.

Penggunaan kafein yang berlebihan dapat menyebabkan kecanduan jika

dikonsumsi dalam jumlah banyak dan teratur (Wilson, 2018). Selain itu, konsumsi

kafein yang berlebihan dapat memiliki efek negatif seperti detak jantung yang tidak

normal, sakit kepala, tremor, kecemasan, kehilangan memori, dan dapat

menyebabkan gangguan perut dan pencernaan (Özpalas dan Özer, 2017).

Meskipun hanya ada sedikit kafein dalam kopi, kafein memiliki peran sebagai

senyawa stimulan yang hampir identik dengan alkohol. Perbedaannya pada rasanya

yang pahit, bisa digunakan sebagai obat. Senyawa ini juga mempengaruhi kerja

sistem saraf pusat, otot dan ginjal. Kafein Memiliki efek langsung pada sistem saraf

pusat dalam mempengaruhi kantuk, Peningkatan persepsi panca indera, percepatan

daya pikir, peningkatan energi tubuh. Di dalam tubuh, kafein memiliki efek

antagonis pada fungsi tubuh adenosin (senyawa di otak yang membantu tertidur

dengan cepat) membuat seseorang sulit untuk tertidur setelah minum kopi.

2.2.2 Monografi Kafein

Di dalam Farmakope Indonesia Edisi ke-3 kafein juga dikenal dengan nama

coffeinum dengan rumus senyawa kimia (C8H10N4O2) dan BM 194,19. Berikut

monogrofi dari kafein berdasarkan Farmakope Indonesia edisi ke-3 tahun 1979:

a. Pemerian

Serbuk atau hablur bentuk jarum bentuk jarum mengkilat biasanya

menggumpal; putih; tidak berbau; rasa pahit.

b. Kelarutan

Agak sukar larut dalam air dan dalam etanol (95%) P; mudah larut dalam

kloroform P; sukar larut dalam eter P.

14
c. Jarak Lebur

Antara 235˚C dan 237,5˚C; penetapan dilakukan menggunakan zat yang telah

dikeringkan pada suhu 80˚C selama 4 jam.

d. Penyimpanan

Dalam wadah tertutup baik.

e. Khasiat dan Penggunaan

Stimulan syaraf pusat, kardiotonikum.

Rumus struktur kafein yaitu:

(1,3,7-trimethilxantin)

Gambar 2. Struktur Kafein (Sabarni, 2019).

2.3 Tinjauan Spektrofotometri UV-Vis

2.3.1 Pengertian Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri UV-Vis ialah pengukuran interaksi antara sinaran

elektromagnet dan molekul atau atom bahan kimia. Spektrofotometri UV-Vis juga

merupakan teknik analisis spektroskopi yang menggunakan sumber radiasi

elektromagnetik dekat-ultraviolet dan cahaya tampak menggunakan instrument

spektrofotometer. Sinar ultraviolet memiliki panjang gelombang 200-400 nm,

sedangkan sinar tampak memiliki panjang gelombang 400-800 nm (Dachriyanus,

2017). Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi electron yang cukup besar

15
dalam molekul yang dianalisis sehingga UV-Vis lebih banyak digunakan untuk

analisis kuantitatif (Helwandi, 2016). Ketika cahaya mengenai sampel, sebagian

diserap, sebagian dihamburkan, dan sebagian ditransmisikan. Dalam

spektrofotometri, cahaya datang atau cahaya yang disinari pada permukaan material

dan cahaya setelah melewati material tidak dapat diukur, yang dapat diukur adalah

It/I0 atau I0/I t (rasio cahaya yang datang terhadap cahaya yang melewati sampel)

(Gandjar & Rohman, 2007).

Pemilihan metode ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangannya antara

lain:

a. Kelebihan

1. Langkah kerja yang sederhana.

2. Biaya yang lebih ekonomis.

3. Dapat menganalisis larutan dengan konsentrasi kecil.

4. Hasil yang didapatkan lebih akurat.

b. Kekurangan

1. Senyawa yang dianalisis harus mempunyai gugus kromofor

2. Mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi

3. Memiliki panjang gelombang yang berada daerah ultraviolet atau visible

(Dewa, 2016).

Menurut Dachriyanus (2004), spektrum UV-Vis memiliki rentang bentuk

yang luas sehingga hanya sedikit informasi tentang struktur yang dapat diperoleh.

Tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran kuantitatif. Konsentrasi analit

dalam larutan dapat ditentukan dengan mengukur absorbansi pada panjang

gelombang tertentu menggunakan hukum Lambert-Beer.

16
2.3.2 Hukum Lamber-Beer

Menurut Lambert-Beer, penyerapan sebanding dengan konsentrasi (jumlah

molekul suatu zat). Kedua pernyataan ini dapat digabungkan dalam hukum

Lambert-Beer untuk mendapatkan bahwa penyerapan sebanding dengan

konsentrasi dan ketebalan sel, ditulis sebagai persamaan:

A= a x b x c (g/L)

Keterangan:

A: absorbans

a: koefisien eksitasi

b: Panjang sel/kuvet (cm)

c: konsentrasi analit (g/L)

2.3.3 Bagian-Bagian Spektrofotometer UV-Vis

Alat spektrofotometer memiliki empat bagian utama, yaitu sumber cahaya,

monokromator, kuvet, dan detektor. Cahaya dari sumber cahaya akan melewati

monokromator sampai cahaya memiliki panjang gelombang tertentu. Radiasi yang

dipancarkan difokuskan pada detektor, yang mengubah radiasi menjadi sinyal

listrik (Helwandi, 2016).

Gambar 3. Bagian-Bagian Spektrofotometer UV-Vis (Seran, 2011)

17
1. Sumber radiasi atau lampu

Sumber radiasi di sini adalah dua lampu terpisah yang mampu secara

bersamaan menutupi seluruh spektrum sinar UV dan sinar tampak. Persyaratan

sumber cahaya yang digunakan dalam spektrofotometri adalah intensitas emisi

yang cukup tinggi, stabilitas jangka pendek, dan distribusi spasial emisi yang

seragam pada wilayah spektral tertentu (Helwandi, 2016).

Adapun jenis-jenis sumber radiasi antara lain:

a. Lampu deuterium

Lampu digunakan dalam rentang panjang gelombang dari 190 nm hingga 380

nm (ultraviolet dekat), karena sumber radiasi deuterium memberikan spektrum

lurus energi radiasi dalam rentang panjang gelombang ini. Sumber radiasi

deuterium memiliki masa manfaat kurang lebih 500 jam (Helwandi, 2016).

b. Lampu tungsten

Lampu ini merupakan campuran dari filamen tungsten dan gas yodium

(halogen), sehingga lampu ini disebut sebagai sumber radiasi “tungsten-iodine”.

Untuk daerah pengukuran 350-2000 nm, karena di daerah ini sumber radiasi "Iodine

Tungsten" memberikan energi radiasi dalam bentuk kurva, oleh karena itu cocok

untuk kolorimetri. Umur layanan sekitar 1000 jam (Helwandi, 2016).

c. Lampu xenon

Lampu yang digunakan pada rentang panjang gelombang 200-1000 nm.

Lampu xenon akan memiliki sensitivitas terbaik pada panjang gelombang 500 nm

(Helwandi, 2016).

18
2. Monokromator

Fungsi monokromator adalah untuk memperoleh radiasi monokromatik dari

sumber radiasi yang memancarkan radiasi polikromatik. Monokromator terdiri dari

beberapa instrument yaitu:

a. Filter optik

Filter ini digunakan untuk menyerap warna komplementer sehingga cahaya

tampak yang ditransmisikan berwarna terang sesuai dengan warna filter yang

digunakan. Filter yang baik didasarkan pada interferensi cahaya yang saling

menguatkan (constructive interferensi) atau interferensi cahaya yang saling

meniadakan (interferensi destruktif) (Helwandi, 2016).

b. Prisma

Merupakan pelat kuarsa yang membiaskan cahaya yang melewatinya.

Besarnya pembiasan tergantung pada panjang gelombang cahaya, sehingga cahaya

putih dapat dibagi menjadi warna-warna penyusunnya (Helwandi, 2016).

c. Kisi difraksi

Potongan kecil dari kaca cermin di mana banyak garis bergerak yang sama

dipotong menjadi beberapa bagian, kisi beberapa ribu per milimeter, untuk

membentuk struktur yang terlihat seperti sisir kecil (Helwandi, 2016).

d. Kuvet

Kuvet adalah wadah sampel yang akan dianalisis. Dari bahan yang digunakan,

ada dua macam kuvet yaitu kuvet silika leburan dan kuvet kaca. Kuvet silika yang

menyatu dapat digunakan dalam rentang pengukuran 190-1100 nm. Kuvet kaca

digunakan pada daerah pengukuran 380-1100 nm karena bahan kaca menyerap

radiasi UV (Helwandi, 2016).

19
e. Detektor

Fungsi detektor adalah mengubah sinyal radiasi yang diterima menjadi sinyal

elektronik. Beberapa jenis detektor: detektor fotosel, detektor tabung foton vakum,

detektor tabung pengganda foton, dan detektor PDA (photodiode array). Detektor

PDA memiliki jumlah elemen 128 – 1024, PDA baru dibuat di tengah dengan dioda

kontinu 25,6 mm dan jarak 25 mm, sehingga mereka tidak hanya mampu

mendeteksi dan mengukur penyerapan pada panjang gelombang maksimum, tetapi

juga pada rentang yang lebar. jangkauan Dan mengukur panjang gelombang

serapan, gelombang dengan akurasi yang kurang lebih sama. (Helwandi, 2016).

2.3.4 Prinsip Kerja Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer bekerja berdasarkan prinsip penyerapan panjang

gelombang cahaya tertentu oleh bahan yang diperiksa. Setiap zat memiliki

absorbansi pada panjang gelombang tertentu. Panjang gelombang dengan

absorbansi tertinggi digunakan untuk mengukur kadar zat yang diperiksa.

Banyaknya cahaya yang diserap oleh suatu zat sebanding dengan konsentrasi zat

tersebut. Untuk memastikan keakuratan pengukuran, bandingkan kadar yang akan

diukur dengan kadar yang diketahui (standar). Setelah memasuki kekosongan

(Kemenkes RI, 2010).

20
BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember-Mei 2023 di

Laboratorium Kimia Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Perintis Indonesia,

Padang.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, corong

pemisah, spatel, kertas saring, batang pengaduk, pipet tetes, pipet volume, labu ukur

(100 mL, 50 mL, 10 mL), tabung reaksi, gelas ukur, beker glass, erlenmeyer, alat

evaporasi, chamber, lampu UV 254, dan seperangkat alat spektrofotometer UV-

Visibel.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel kopi bubuk lokal

jenis Arabika, aquadest, kalsium karbonat (CaCO3), kloroform (CHCl3), methanol

(p.a), Plat KLT Silica gel 60 F254, kafein baku standar, Bromothymol Blue (BTB),

Kalsium Klorida (CaCl2), Natrium Hidroksida (NaOH 0,1 N), Hidrogen Peroksida

(H2O2), Asam Klorida (HCl), Amonium Hidroksida ( NH4OH).

3.3 Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan yaitu 3 produk kopi bubuk lokal jenis Arabika yang

diambil di kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi.

3.4 Ekstraksi & Preparasi Sampel

Masukkan 20 gram sampel kopi ke dalam gelas, larutkan dengan 750 mL

aquadest mendidih, saring, tambahkan 7,5 gram CaCO3 ke dalam filtrate.

21
Kemudian disaring dan masukkan ke dalam corong pisah, lalu difraksinasi empat

kali berturut turut dengan kloroform 125 mL. Tunggu selama 15 menit, maka akan

terbentuk lapisan fase air dan fase kloroform. Fase kloroform dipisahkan dan

diletakkan dalam wadah yang berbeda. Kemudian gabungkan fase kloroform dan

diuapkan dengan evaporator sampai terbentuk ekstrak kafein. Kemudian

dimasukkan ke dalam labu 50 mL, cukupkan hingga tanda batas dengan methanol

(Suryani & Sasmita, 2016).

3.5 Uji Kualitatif

3.5.1 Identifikasi Kafein dengan KLT

Larutan kafein standar sebagai pembanding dan larutan sampel ditotolkan

pada lempeng KLT, dan masukkan ke dalam chamber dengan fase gerak kloroform,

methanol (p.a), dan aquadest (100:13,5:10), (Fatoni, 2015). Kemudian diukur dan

dicatat bercak dari titik penotolan. Tentukan nilai Rf.

3.5.2 Identifikasi Kafein dengan Pereaksi

1. Larutan sampel + CaCl2 + Bromothymol Blue (BTB) + NaOH 0,1 N terjadi

warna biru terang.

2. Larutan sampel + H2O2 + HCl + NH40H (Reaksi Murexide) terjadi warna

violet.

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Pembuatan Larutan Baku Standar Kafein

Masukkan 100 mg kafein standar ke dalam labu ukur 100 mL, larutkan

sampai tanda batas dengan aquadest dan kocok sampai homogen, hingga diperoleh

larutan dengan konsentrasi 1000 ppm, dipipet 5 mL larutan dalam labu ukur 100

mL dan diperoleh larutan dengan konsentrasi 50 ppm.

22
3.6.2 Penentuan Kurva Kalibrasi

Kurva kalibrasi diperoleh dengan memipet larutan baku standar 50 ppm

sebanyak 0,8 mL; 1,2 mL; 1,6 mL; 2 mL; 2,4 mL ke dalam labu ukur 10 mL,

dilarutkan sampai tanda batas dengan methanol pa untuk membuat rangkaian

larutan standar pada konsentrasi 4, 6, 8, 10, dan 12 ppm. Kemudian, ukur

serapannya pada panjang gelombang serapan maksimum yaitu 272 nm.

3.6.3 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Baku Standar

Diambil dari salah satu deret konsentrasi yang telah dibuat yaitu 8 ppm.

Kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang antara 200 nm – 400 nm.

3.6.4 Penetapan Kadar Kafein Pada Sampel

Kemudian dipipet 0,1 mL larutan, masukkan dalam labu ukur 10 mL dan

tambahkan methanol sampai tanda batas dan ukur serapannya pada panjang

gelombang serapan maksimum pada Panjang gelombang 272 nm, methanol

digunakan sebagai blanko.

3.7 Perhitungan Penetapan Kadar

3.7.1 Perhitungan Persamaan Regresi Linear

Sebelum melakukan perhitungan kadar, hitung persamaan regresi linear

dengan rumus :

Y = a + bx

∑Y−b∑X
a=
𝑛∑𝑋 2 −(∑𝑋 2 )

𝑛∑XY− ∑X ∑Y
b= 𝑛

𝑛∑X1Y1−(∑X1)(∑Y1)
r = √{𝑛∑𝑋12 − (∑𝑋1)2 }{𝑛∑𝑌12 − (∑𝑌1)2}

23
Keterangan:

Y: Variabel terikat (absorbansi)

X: Variabel bebas (konsentrasi)

a: Konstanta (intersep)

b: Koefisien regresi / slop

n: Banyak data

r: Koefisien korelasi

3.7.2 Perhitungan Kadar Kafein

Setelah melakukan perhitungan persamaan regresi linear, lalu hitung kadar

dengan menggunakan rumus:


𝐶 𝑋 𝐹𝑝 𝑋 𝑉
Kadar =
𝐵𝑠

Keterangan:

C: konsentrasi (µg/ Ml)

Fp: faktor pengenceran

V: volume air yang ditambahkan (Ml)

Bs: berat sampel (g)

3.8 Analisa Data

Teknik analisis pada penelitian ini menggunakan analisis perbandingan.

Analisis perbandingan bertujuan untuk membandingkan rata-rata antara dua atau

lebih kelompok sampel data. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan antara

kadar Kafein Kopi Bubuk Lokal variasi kopi Arabika. Data yang diperoleh

merupakan data primer dan berskala ratio , sehingga dilakukan analisis kuantitatif

dengan uji statistik parametrik (One-Way ANOVA) menggunakan program SPSS

25 dengan derajat kesalahan (α) sebesar 5%.

24
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

1. Hasil uji Reaksi warna sampel ekstrak Kopi (Coffea sp.) merk Radjea, Saliho,

Berlian positif terhadap adanya kandungan kafein (Lampiran 9, Tabel 2,

Gambar 13).

2. Berdasarkan Hasil uji kualitatif Kafein dengan metode Kromatografi Lapis

Tipis (KLT) terhadap sampel ekstrak kopi (Coffea sp.) diperoleh hasil bahwa

sampel positif mengandung Kafein. Ekstrak Kopi yang dideteksi dengan sinar

UV 254 nm didapatkan dari ekstrak kopi Radjea, Saliho, Berlian dengan nilai

Rf sebesar 0,6 (Lampiran 9, Tabel 3, Gambar 15).

3. Hasil pemeriksaan panjang gelombang serapan maksimum Kafein yang

diukur pada rentang panjang gelombang 200 – 400 nm adalah 272 (Lampiran

10, Gambar 16).

4. Hasil pembacaan absorban dan kurva kalibrasi pada konsentrasi 4 µg/mL

didapatkan absorban 0,202; konsentrasi 6 µg/mL didapatkan absorban 0,285;

konsentrasi 8 µg/mL didapatkan absorban 0,365; konsentrasi 10 µg/mL

didapatkan absorban 0,455; konsentrasi 12 µg/mL didapatkan absorban 0,553

(Lampiran 11, Tabel 4, Gambar 17).

5. Hasil perhitungan koefisien korelasi r = 0,9991; koefisien regresi b= 0,0436;

a = 0,0232 (Lampiran 12).

6. Berdasarkan hasil uji kuantitatif Kafein pada ekstrak kopi (Coffea sp.) dengan

Spektrofotometri UV-Vis didapatkan kadar rata-rata kafein dari ekstrak kopi

R adalah sebesar 2,963 mg/g; kadar rata-rata kafein dari ekstrak kopi S adalah

25
sebesar 2,337 mg/g; kadar rata-rata kafein dari ekstrak kopi B adalah sebesar

1,306 mg/g (Lampiran 14, Tabel 7).

7. Hasil Analisa data menggunakan (One-Way ANOVA) program SPSS

25.00 dengan derajat kesalahan (α) sebesar 5% didapatkan perbedaan yang

signifikan antara kadar Kafein ketiga sampel kopi (p<0,05) (Lampiran 15,

Tabel 8, 9, 10,11).

4.2 Pembahasan

Pada penelitian ini digunakan tiga sampel bubuk kopi lokal dengan merek

yang berbeda yaitu kopi Radjea, kopi Saliho, kopi Berlian. Bubuk kopi lokal ini

dipilih karena memiliki aroma dan rasa yang khas, dan memiliki rasa yang enak,

mudah didapat dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat terutama kalangan orang

tua, serta harga yang cukup murah.

Proses ekstraksi dilakukan dengan cara melarutkan sampel yang ditambah

dengan aquadest panas dan CaCO3 , dengan tujuan untuk membantu pendesakan

kafein dalam kopi sehingga larut dalam air atau untuk mengikat bahan-bahan yang

terkandung dalam kopi. Mendidihkan larutan dimaksudkan untuk memisahkan

kafein dan zat-zat lain dalam kopi karena CaCO3 larut dalam keadaan panas. CaCO3

akan mengendap apabila dingin sehingga larutan perlu disaring dalam keadaan

panas (Maramis et al, 2013).

Penarikan kafein dalam kopi bubuk lokal dilakukan fraksinasi dengan

kloroform karena kafein larut dalam 6 bagian kloroform. Metode Fraksinasi ini

dilakukan dalam corong pisah dengan menambahkan 4 x 125 ml kloroform pada

masing-masing fraksinasi. Sehingga diperoleh fraksi kloroform.

26
Menurut Misfadhila (2016) adanya penambahan CaCO3 berfungsi untuk

memutuskan ikatan kafein dengan senyawa lain, sehingga kafein akan ada pada

basa bebas. Kafein dalam basa bebas tadi akan larut dalam kloroform, karena

kloroform merupakan pelarut pengekstraksi yang tidak bercampur dengan pelarut

semula. Fraksinasi dilakukan pengocokan sampai terjadi kesetimbangan

konsentrasi zat yang di ekstraksi pada dua lapisan yang terbentuk. Terbentuknya

dua lapisan disebabkan karena berat jenis antara kedua larutan tersebut berbeda

(Rahardjo, 2012). Lapisan bawahnya diambil (fase kloroform) dan dipisahkan

dalam suatu wadah. Dilakukan empat kali pengulangan.

Fraksi kloroform digabungkan, lalu diuapkan dengan rotary evaporator.

Kloroform akan menguap, sehingga didapatkan ekstrak kafein yang tertinggal.

Proses penguapan berjalan dengan proses vakum sehingga kloroform dapat

menguap dengan mudah, bahkan sebelum mencapai titik didihnya. Dengan

demikian proses penguapan dapat berjalan dengan cepat.

Penentuan panjang gelombang serapan maksimum kafein di ukur

menggunakan Spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 200-400 nm.

Hasil yang diperoleh dari pengukuran panjang gelombang kafein pada konsentrasi

8 ppm dalam pelarut methanol pa pada 272 nm. Panjang gelombang inilah yang

digunakan untuk mengukur serapan pada kurva kalibrasi dan penetapan kadar pada

detektor. Panjang gelombang tersebut mendekati pada panjang gelombang pada

Farmakope edisi V yaitu 275 nm (Depkes RI, 2014).

Analisa kualitatif dilakukan dengan metode Kromatografi bertujuan untuk

membuktikan apakah sampel mengandung kafein. Keuntungan dari sistem KLT

antara lain: dengan jumlah yang sangat kecil dapat dipisahkan dengan jelas, hasil

27
pemisahan lebih baik, dan butuh waktu singkat dengan sedikit alat. Berdasarkan

hasil analisa kualitatif pada plat Kromatografi Lapis Tipis (KLT), untuk

pembanding kafein murni dan sampel ekstrak kopi yang sudah ditotolkan terdapat

noda ketika dilihat dibawah lampu UV 254 nm, dengan nilai Rf masing-masing

yang diperoleh untuk pembanding kafein murni sebesar 0,58 dan esktrak kopi

sebesar 0,58. Menurut Depkes RI, 2008 jika zat uji yang diidentifikasi dan baku

pembanding itu sama, maka terdapat kesesuaian nilai Rf. Nilai Rf adalah

perbandingan jarak yang ditempuh suatu senyawa dengan jarak yang ditempuh oleh

pelarut. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel ekstrak kopi

memiliki nilai Rf yang sama dengan senyawa pembandingnya. Hal ini

menunjukkan bahwa sampel ekstrak kopi positif mengandung kafein.

Analisa kualitatif dengan reaksi warna dengan menggunakan reaksi murexide

pada pembanding dan sampel ekstrak kopi yang akan diamati perubahan warna

menjadi warna violet; pada penambahan CaCl2 , BTB, dan juga NaOH 0,1 N pada

pembanding dan sampel ekstrak kopi yang akan diamati perubahan warna menjadi

warna biru terang. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel

ekstrak kopi memiliki warna yang sama dengan senyawa pembandingnya. Hal ini

menunjukkan bahwa sampel ekstrak kopi positif mengandung kafein.

Analisa kuantitatif menggunakan standar kafein murni dan dibuat deret 5 seri

konsentrasi yaitu 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, 10 ppm, 12 ppm. Masing-masing

konsentrasi dilakukan pengukuran dengan Spektrofotometri UV-Vis pada panjang

gelombang 272 nm. Diperoleh persamaan regresi linear yaitu y = 0,0232 + 0,0436x

dengan nilai koefisien korelasi 0,9991. Menurut Hermita (2004), nilai koefisien

korelasi yang baik hampir mendekati 1. Hal ini berarti bahwa perbandingan kadar

28
dengan parameter yang diukur memiliki linearitas yang baik. Artinya, parameter

yang diukur sesuai dengan deret konsentrasi yang dibuat.

Setelah didapatkan panjang gelombang serapan maksimum dan persamaan

regresi linear peneliti juga menghitung uji batas deteksi (limit of detection, LOD)

merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih

memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko. Batas deteksi

merupakan parameter uji batas sedangkan batas kuantitasi (limit of quantitation,

LOQ) merupakan parameter pada analisa renik dan diartikan sebagai kuantitas

terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan

seksama (Harmita, 2015). Nilai Batas deteksi dan batas kuantitasi yang didapatkan

pada penelitian ini yaitu BD 0,44058002 µg/mL dan BK 1,46860092 µg/mL.

Penetapan kadar kafein dalam sampel kopi bubuk lokal menggunakan

persamaan regresi linear. Kadar kafein rata-rata yang diperoleh pada sampel kopi R

sebesar 2,963 mg/g atau 0,2963 % b/b; sampel kopi S sebesar 2,337 mg/g atau

0,2337 % b/b; sampel kopi B sebesar 1,306 mg/g atau 0,1306 % b/b. Jadi kadar

kafein dari ketiga sampel kopi kurang memenuhi persyaratan menurut SNI karena

kurang dari 0,45 – 2 % b/b.

Lalu dilanjutkan dengan uji keseksamaan. Uji keseksamaan atau uji presisi

merupakan ukuran derajat kesesuaian antara hasil individu dari rata-rata jika

prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari

campuran yang homogen (Harmita, 2006). Hasil percobaan yang dilakukan didapat

nilai koefisien variasi pada sampel kopi R sebesar 1,54 % dan nilai standar deviasi

(SD) sebesar 0,0455. Hasil percobaan yang dilakukan didapat nilai koefisien variasi

pada sampel kopi S sebesar 1,01 % dan nilai standar deviasi (SD) sebesar 0,02371.

29
Hasil percobaan yang dilakukan didapat nilai koefisien variasi pada sampel kopi B

sebesar 1,86 % dan nilai standar deviasi (SD) sebesar 0,0360. Syarat uji

keseksamaan yaitu menghasilkan nilai koefisien variasi ≤ 2%. Hasil yang

didapatkan menunjukkan ketelitian yang tepat pada sampel kopi Radjea, kopi

Saliho, dan kopi Berlian. Karena masuk dalam kriteria nilai KV yang

diperbolehkan.

Untuk membuktikan perbedaan kadar yang signifikan peneliti melakukan uji

analisa ANOVA satu arah. Uji ANOVA satu arah merupakan analisa statistik yang

ingin melihat perbedaan (variasi), misalnya variasi rata-rata yang disebabkan oleh

satu faktor (baik terkontrol ataupun random) (Rohman, 2014). Pada Analisa

ANOVA jika sampel memilki nilai signifikansi ≤0,05 maka sampel dikatakan tidak

memiliki perbedaan yang signifikan, begitu pula saat sampel memiliki nilai

signifikansi ≤0,05 maka sampel memiliki perbedaan yang signifikan. Pada

penelitian ini hasil yang didapatkan pada uji ANOVA yaitu nilai signifikansi sebesar

0,000 yang artinya ≤ 0,05, yang menunjukkan bahwa kadar pada sampel

mempunyai perbedaan yang signifikan.

Uji ANOVA dilanjutkan dengan uji Duncan. Pada penelitian ini ketiga sampel

kopi didapatkan hasil angka yang terletak di subsheet yang berbeda. Hal tersebut

menyatakan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara ketiga sampel kopi (kopi

Radjea, kopi Saliho, kopi Berlian). Apabila angka tersebut berada di subsheet yang

sama maka sampel tidak memiliki perbedaan yang signifikan, begitu juga apabila

angka muncul pada subsheet yang berbeda maka sampel ketiga kopi memiliki

perbedaan yang signifikan.

30
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Berdasarkan hasil uji statistik ANOVA satu arah program SPSS 25.00

diketahui bahwa terdapat perbedaaan signifikan (p<0,05) antara kadar

kafein ketiga sampel kopi bubuk lokal variasi Arabika.

2. Pada persyaratan kafein menurut SNI 01-3542-2004 adalah 0,45 – 2,00%

b/b. Jadi kafein pada ketiga sampel kopi tidak memenuhi persyaratan

menurut SNI karena kurang dari 0,45 – 2 %b/b.

5.2 Saran

Disarankan untuk penelitian dengan hal yang sama yaitu pada saat melakukan

proses fraksinasi dengan corong pisah larutan kopi harus dalam keadaan panas.

31
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Kopi Berkelanjutan. http://ditjenbun.pertanian.go.id/pascapanen/


halkomentar-203-kopiberkelanjutan-2.html.
Aptika, N. M. D., Tunas, I. K, & Sutema, I. A. M. P. 2015. Analisis Kadar Kafein
pada Kopi Hitam di Bukian Gianyar Menggunakan Spektrofotometri UV-
Vis. Chemistry Laboratory, 2(1), 30-37.

Apratiwi, N. 2016. Studi Penggunaan UV-Vis Spectroscopy Untuk Identifikasi


Campuran Kopi Luwak Dengan Kopi Arabica. Skripsi. Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Aprilia, F. A., Ayuliansari, Y. P, T. Azis, M. Camelina, W., dan Putra, M. 2018.


Analisis Kandungan Kafein dalam Kopi Tradisional Gayo dan Kopi
Lombok Menggunakan HPLC dan Spektrofotometri UV-Vis. Biotika. 16
(2) : 38-39.
Arwangga, A. F., Asih I. A. R. A., & Sudiarta, I. W. 2016. Analisis Kandungan
Kafein pada Kopi di Desa Sesaot Narmada Menggunakan Spektrofotometri
UV-Vis. Denpasar: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana.

Budiman, H., 2012. Prospek Tinggi Bertanam Kopi Pedoman Meningkatkan


Kualitas Perkebunan Kopi. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia 2016, Peraturan kepala
badan pengawas obat dan makanan republik indonesia nomor 21 tahun
2016 tentang kategori pangan, BPOM RI, Jakarta.

Bonnie K. Bealer, Bennet Alan, dan Weinberg, 2010, The Miracle of Caffeine:
Manfaat Tak Terduga Kafein Berdasarkan Penelitian Paling Mutakhir,
Qanita PT Mizan Pustaka, Bandung.

Cahyono, B. 2011. Sukses Perkebunan Kopi. Pustaka Mina. Jakarta. Hal:22.

Cornelis, C. M. 2019. The Impact of Caffeine ang Coffee on Human Health.


Nutrients Journal, 11, 416.

Dachriyanus D. 2017. Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi.


Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi. Sumatera Barat:
Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK).

Dachriyanus, D. 2004. Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi.


Sumatera Barat: Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (LPTIK).
Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

32
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dewa, Kopi. 2016. Perbedaan Kopi Arabika dan Robusta. Diakses tanggal 23
maret 2020. http://kopidewa.com/cerita-kopi/arabika-robusta.
Farah, A. 2012. Coffe Constituens in Coffe : Emerging Health Effects and Disease
Revention. First Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd.

Farmakologi UI. 2002. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: Gaya Baru. Fatoni,
A. 2015. Analisa Secara Kualitatif dan Kuantitatif Kadar Kafein dalam
Kopi Bubuk Lokal yang Beredar di kota Palembang Menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis. Palembang: Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi
Bhakti Pertiwi.
Gandjar, I. G., & Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 222-226, 242-244, 253-256, 378-379.
Hamni. 2013. Potensi Pengembangan Teknologi Proses Produksi Kopi Lampung.
Jurnal Mechanical, 4(1) : 15-16.
Harmita. 2006. Analisis Kuantitatif Bahan Baku dan Sediaan Farmasi, Departemen
Farmasi FMIPA Universitas Indonesia, Jakarta.
Harmita. (2015). Analisis Fisikokimia : Potensiometri & Spektroskopi, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Haryanto. 2012. Prospek Tinggi Bertanam Kopi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Helwandi, I., R. 2016. Validasi Metode Spektrofotometri UV-Vis Analisis Tiga


Panjang Gelombang untuk Penetapan Kadar Tablet Prednison yang
Mengandung Zat Pewarna. [Skripsi]. Surabaya: Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga.
Hermita. (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara
Perhitungannya. I(3), 117-135.
Hilmawan, 2013. Kopi. Bogor (ID) : Pusat Perpustakaan Dan Penyebaran
Teknologi Pertanian.
Hiwot, H. 2011. Growth and Physiological Response of Two Coffea Arabica L.
Population under High and Low Irradiance. Thesis . Addis Ababa
University.

KEMENKES RI. 2010. Pedoman Pemeriksaan Kimia Klinik. Jakarta: Menteri


Kesehatan RI.
Kusmiati, A. dan R. Windiarti. 2011. Analisis Wilayah Komoditas Kopi di
Indonesia. J-SEP. 5(2): 47-58.

33
Maramis, R. K., Citraningtyas, G., & Wehantow, F. 2013. Analisis Kafein dalam
Kopi Bubuk Lokal di kota Manado Menggunakan Spektrofotometri UV-
Vis. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi. 2(4), 122-3520.
Misfadhila, S., Zulharmita, Dan D. H. Siska (2016). Pembuatan kafein salisilat
secara semisintesis dari bubuk kopi olahan tradisional kerinci. Vol . 8 (2):
175-188.
Najiyati, S. dan Danarti. 1997. Budidaya Kopi dan Pengolahan Pasca Panen.
Penebar Swadaya. Jakarta.

Nalurita, S. et al. 2014. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis


Kopi Indonesia. Jurnal Agribisnis Indonesia Vol 2 No 1, Juni 2014: pp. 63-
74.
Netherlands Nutrition Centre. 2013. Caffeine Fact Sheet. www.voedingscentrum.
nl.
Özpalas, B. dan Özer, E. A. 2017. Effects of Caffeine on Human Health. Nevşehir
Billim ve Teknoloji Dergisi Cilt, 6: 297-305.
Panggabean E. 2011. Buku Pintar Kopi. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Prastowo, B. Karmawati, E. Rubijo. Siswanto. Indrawanto, C. Munarso,S.J. 2010.


Budidaya dan Pasca Panen Kopi. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan. Bogor.

Rahardjo P. 2012. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta.
Jakarta: Penerbar Swadaya.
Rahayu, Tuti., dan Rahayu, Triastuti., 2007, Optimasi Fermentasi Cairan Kopi
Dengan Inokulan Kultur Kombucha. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi,
Vol. 8, No. 1: 15-29.

Roche, D dan Robert, 2007. A Family Album Getting to The Roots of Coffee’s Plants
Heritage. (www.roastmagazine.com). Diakses pada tanggal 15 Maret 2013.

Rohman, A. (2014). Spektroskopi Inframerah dan Kemometrika untuk Analisis


Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Rukmana. 2014. Untung Selangit Dari Agribisnis Kopi. Lily Publisher.


Yogyakarta.
Sabarni, S., & Nurhayati, N. 2019. Analisis Kadar Kafein Dalam Minuman Kopi
Khop Aceh Dengan Metode Spektroskopik. Lantanida Journal, 6(2), 141.
https://doi.org/10.22373/lj.v6i2.3624.

Seran, E. 2011. Wordpress. Diakses tanggal 25 Mei 2022 dari


https://wanibesak.wordpress.com/.

Sofiana, N. 2011. Fakta Tentang Kopi. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

34
Soraya, N. 2008. Isolasi Kafein Dari Limbah Teh Hitam CTC Jenis
Powder Secara Ekstraksi. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Subandi, M. 2011. Budidaya Tanaman Perkebunan (Bagian Tanaman Kopi).


Bandung: Gunung Djati Press.
Suryani, N., & Sasmita, E. 2016. Kadar Kafein Pada Kopi Kemasan Dan Uji
Organoleptis Terhadap Aroma Serta Rasa. 02(02), 9-14.

Susanti, H., Araaf, N. P., & Kusbandari, A., 2019, Perbandingan Metode
Spektrofotometri UV dan HPLC pada Penetapan Kadar Kafein dalamKopi,
Majalah Farmasetika, 4, pp. 28-33.
Suwiyarsa, I. N., Nuryanti, S., and Hamzah, B., 2018, Analisis Kadar Kafein dalam
Kopi Bubuk Lokal yang Beredar di Kota Palu, Jurnal Akademika Kimia,
7(4). Pp. 189-192.

Swastika KD. 2012. Efek kopi terhadap kadar gula darah post prandial pada
mahasiswa semester VII Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
tahun 2012. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/38931 - Diakses
2 September 2016

Tjay, T. H, & Rahadja, K. 2007. Obat obat penting, khasiat penggunaan dan efek
efek sampingnya ( Edisi IV). Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Van Der Vossen, H. A. A. M., dan Wessel, M. 2000. Plant Resources of South East
Asia. The Netherlands: Backhuys Publisher : 66-74.
Van Steinn CGGJ. 2008. Flora, Cetakan ke -7. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Wachamo, H. L. 2017. Review on Health Benefit and Risk of Caffeine
Consumption. Medical & Aromatic Plants Journal, 11:416.
Wilson, C. 2018. The Clinical Toxicology of Caffeine: A Review and Case Study.
Elsivier (Toxicology Reports), 5: 1140-1152.

Yahmadi, M. 2005. Pemasaran Kopi Indonesia di Pasaran Global. Buletin No. 6.


AEKI: Jawa Timur.
Yaqin, M. A., dan Numilawati, M. 2015. Pengaruh Ekstrak Kopi Robusta (Coffea
robusta) sebagai Penghambat Pertumbuhan Staphylococcus aureus. Jurnal
Seminar Nasional XII. Pendidikan Biologi FKIP UNS 2015. SP-018-6: 867-
872.

35
36
Lampiran 1.

37
Lampiran 2.

38
Lampiran 3.

39
Lampiran 4.

40
Lampiran 5.

41
Lampiran 6.

42
Lampiran 7.

43
Lampiran 8.

44
Lampiran 9.

45
Lampiran 10.

46
Lampiran 11.

47
Lampiran 12.

48
Lampiran 13.

49
Lampiran 14.

50
Lampiran 15.

51

Anda mungkin juga menyukai