Anda di halaman 1dari 16

1

bermanfaat bagi organ hidup manusia. Dari abad ke-20 hingga sekarang,

produksi kopi dunia terus meningkat, melibatkan Amerika Tengah,

Amerika Selatan, Afrika, Asia dan termasuk Indonesia yang berkontribusi

sekitar 3%-4% dari produksi dunia (Minah et al. 2017).

Minuman tanpa alkohol seperti kopi, teh dan cokelat adalah tiga

jenis minuman yang umum dikonsumsi. Sejak abad ke-20 hingga

sekarang, produksi kopi dunia telah meningkat hingga lima kali lipat.

Selain sebagai minuman, kopi juga menjadi komoditas ekspor

yang signifikan, memberikan keuntungan ekonomi bagi

negara-negara produsen. Tanaman kopi juga memiliki dampak

sosial positif dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk di

perkebunan kopi yang besar. Secara umum, perbedaan perawakan tiga

jenis kopi di uraikan sebagai berikut :

Jenis Coffea arabica mempunyai habitus pohon sebagai berikut :

1. habitus tanaman perdu dengan rata-rata ketinggian mencapai 2-3

m., batang tegak, monopodial. Daun tunggal, lonjong dengan

panjang 8-15 cm lebar 4-7 cm. Bunga majemuk, bentuk payung

dengan kelopak lonjong. Buah bulat telur, diameter 0,5 sampai 1

cm dan bentuk biji bola. Dibandingkan dengan Coffea canephora

dan Coffea liberica, daun dari Coffea arabica mempunyai ukuran

lebih kecil dan perawakan perdu yang lebih pendek. Hal ini

memudahkan dalam pengenalan sesaat dari Coffea arabica

dibanding jenis lainnya (Gambar 2.1).


2

2. Jenis Coffea canephora mempunyai habitus perdu, tahunan dan

jika tidak dipangkas dapat tumbuh menjulang 5 meter. Batang

berkayu keras dengan daun tunggal bulat telur (Panjang sekitar 5-

15 cm dan lebar 4-6.5 cm). Bunga majemuk dengan mahkota

bunga berbentuk bintang. Buah mempunyai diameter 5 mm, warna

buah hijau saat muda dan merah saat matang.

3. Jenis Coffea liberica mempunyai habitus pohon dan buah kopi

yang relatif lebih besar dengan kulit buah yang lebih tebal

dibanding jenis kopi lainnya. Daun Coffea liberica juga relative

berukuran besar jika dibandingkan dengan dua jenis kopi lainnya.

Banyak masyarakat mengalami kesulitan untuk membedakan,

‘liberica’ dan ‘dewevrei’ (dewevrei dikenal juga sebagai kopi

‘excelsa’). Banyak yang menyatakan kedua kopi tersebut sama.

Sejatinya, kedua jenis tersebut adalah varietas yang berbeda dari

spesies Coffea liberica.

Gambar 2.1. Coffea arabica


3

2.1.1. Kopi Arabika (Coffea Arabica L.)

Secara global, kopi arabika merupakan varietas kopi dengan

tingkat produksi dan pangsa pasar pangan yang sangat tinggi, mencapai

sekitar 70%. Umumnya dianggap sebagai varietas kopi dengan rasa

terbaik di antara jenis kopi lainnya, kopi arabika memiliki kandungan

kafein yang lebih rendah daripada varietas kopi lainnya, menjadikannya

relatif aman bagi mereka yang memiliki masalah asam lambung. Selain

itu, banyak penggemar kopi yang menikmati berbagai rasa seperti

buahbuahan atau tanaman lain ketika menikmati secangkir kopi arabika,

karena kemampuannya menyerap aroma sekitar (Wulandari et al. 2023)

2.1.2. Klasifikasi Tanaman Kopi Arabika (Coffe Arabica L.)

Sitematika tanaman kopi menurut Rahardjo (2012), adalah

sebagai berikut

Kingdom : Plantae

Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae

Genus : Coffea

Spesies : Coffea Arabica L.

Tanaman kopi memiliki kestabilan yang baik karena memiliki

akar tunggang, yang hanya dimiliki oleh tanaman kopi yang berasal

dari bibit semai. Tanaman ini memiliki struktur batang vertikal dengan
4

cabang-cabangnya dan dapat tumbuh hingga setinggi 12 meter.

Pertumbuhan cabang pada batang utama atau cabang reproduksi

disebut sebagai cabang primer. Bunga pada tanaman kopi biasanya

muncul setelah tanaman berumur sekitar dua tahun. Kulit buah kopi

pada tahap awal berwarna hijau, kemudian perlahan berubah menjadi

kuning dan akhirnya mencapai warna merah tua, yang menandakan

bahwa buah kopi siap untuk dipanen (Melviani, Nastiti, dan Noval

2021)

2.1.3. Kandungan Kopi

Kopi merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang

tersebar luas di dunia dan terus mengalami peningkatan

produktivitasnya dari tahun 1980 hingga 2013, dengan rata-rata

perkembangan sekitar 2,21%. Indonesia menduduki peringkat kedua

dalam produksi kopi dunia, berkontribusi signifikan dalam

menyediakan kopi berkualitas bagi konsumen global. Biji kopi

mengandung berbagai komponen kimia yang dipengaruhi oleh faktor

lingkungan, tingkat kematangan, dan kondisi penyimpanan.

Kandungan biji kopi mencakup protein, minyak aromatis, asam-asam

organik, serta mineral seperti magnesium, besi, natrium dan kalium.

Biji kopi juga mengandung komponen gizi seperti protein, asam amino,

karbohidrat, lipid dan mineral, sementara komponen non-gizi

melibatkan senyawa bioaktif untuk cita rasa dan pengawet, seperti

kafein dan asam klorogenat. Kafein, sejenis alkaloid xantina dengan

rasa pahit, berfungsi sebagai obat perangsang psikoaktif dan diuretik


5

ringan (Rizaldi 2022). Ditemukan oleh kimiawan Jerman, Friedrich

Ferdinand Runge, pada tahun 1819, kafein secara alami ada dalam biji

kopi, daun teh, guarana, mate dan buah kola. Fungsi kafein pada

tumbuhan melibatkan peran sebagai pestisida alami untuk melawan

serangga tertentu yang dapat merusak tanaman. Komponen kimia

lainnya dalam kopi, seperti asam klorogenat, memiliki manfaat

antioksidan, antivirus, hepatoprotektif dan berperan dalam aktivitas

antispasmodik (Rislianti, Rijai, dan Aryati 2021)

2.1.4 Ampas Kopi

Ampas kopi yang dihasilkan selama proses pembuatan kopi mulai dari

biji kopi hingga menjadi minuman kopi yang disajikan merupakan

jenis limbah. Limbah ini mengandung zat kimia yang sulit

terdegradasi, seperti alkaloid, tanin, dan polipenolik (Sumadewi, 2020:

130). Dampak yang dapat terjadi dengan mudah adalah bau yang tidak

menyenangkan jika tidak dikelola dengan baik, yang pada akhirnya

dapat menyebabkan pencemaran lingkungan (Herawaty .,2021) .

Gambar 2.2. Ampas Kopi


6

Dalam penilaian studi eksperimental (Louise, 2005: 326), pada

abad ke-17, Paracelsus menyatakan bahwa 'semua zat kimia bersifat

beracun, tidak ada yang tidak beracun. Yang membedakan adalah dosis

yang memisahkan racun dari obat'. Limbah ampas kopi mengandung

beberapa zat berbahaya seperti Alkaloid, Tanin, dan Polipenolik, yang

dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Alkaloid

Alkaloid memiliki kemampuan untuk memodifikasi DNA, merusak

sel secara selektif dan menyebabkan locoism. Beberapa molekul

alkaloid, baik yang berasal dari alam maupun yang disintesis, dapat

berperan sebagai narkotik (Tadeusz, 2007: 3).

2. Tanin

Menurut Cheryl (2016: 42), Tanin dianggap sebagai 'antinutrien'

karena dapat mengurangi penyerapan zat besi dan menyebabkan

penurunan nitrogen endogen. Tanin juga dapat menghambat proses

pencernaan dengan kemampuannya mengikat makromolekul lain,

termasuk protein makanan dan enzim endogen.

3. Polipenolik

Polipenolik dapat memberikan efek positif dalam kultur sel, tetapi

dapat menjadi beracun ketika diterapkan pada manusia (Louise, 2005:

326). Ampas kopi, yang biasanya dianggap sebagai limbah atau

sampah di kedai kopi, sebenarnya memiliki berbagai kegunaan yang

dapat dimanfaatkan. Beberapa kegunaan ampas kopi yang dapat

dijelaskan berdasarkan pengalaman penulis adalah :


7

1. Sebagai pupuk organik

Ampas kopi dapat digunakan sebagai pupuk organik yang

ekonomis dan ramah lingkungan. Ini membantu meningkatkan

asupan nitrogen, fosfor dan potassium yang diperlukan oleh

tanaman, menyuburkan tanah dan mendukung pertumbuhan

tanaman yang sehat.

2. Sebagai bahan scrub untuk lulur tubuh

Ampas kopi dapat digunakan sebagai bahan scrub untuk

lulur tubuh, memberikan manfaat eksfoliasi dan penyegaran pada

kulit.

3. Sebagai masker untuk wajah atau kulit

Ampas kopi dapat diaplikasikan sebagai masker untuk

wajah atau kulit, memberikan manfaat untuk membersihkan dan

menyegarkan kulit.

4. Menghilangkan bau

Ampas kopi dapatdigunakan untuk menghilangkan bau,

terutama di bagian dalam mobil, dengan cara menampungnya

dalam suatu wadah.

Banyak orang mungkin tidak menyadari bahwa ampas kopi

dapat bermanfaat untuk tanaman. Sebagai pupuk organik, ampas kopi

dapat disebar di permukaan tanah, kebun dan pot tanaman,

memberikan zat-zat secara perlahan. Kandungan mineral seperti

magnesium, sulfur dan kalsium dalam ampas kopi juga memberikan


8

manfaat tambahan bagi tanaman, membantu menyuburkan tanah dan

memberikan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman (Naina Rizki

Kenarni 2022).

2.1.5 Minyak Jelantah

Limbah minyak jelantah seringkali dibuang begitu saja tanpa

pemanfaatan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam upaya untuk

memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas, limbah minyak

jelantah ini dimanfaatkan untuk pembuatan oli kendaraan guna

memperoleh manfaat oksigen. Pengertian minyak jelantah adalah

minyak yang telah digunakan lebih dari dua atau tiga kali dalam

penggorengan dan dianggap sebagai limbah karena memiliki potensi

merusak lingkungan dan dapat menyebabkan sejumlah penyakit. Sebuah

penelitian menyimpulkan bahwa individu yang memasak dan

mengonsumsi makanan yang digoreng dengan minyak jelantah memiliki

risiko lebih tinggi terkena tekanan darah tinggi dibandingkan dengan

mereka yang secara rutin mengganti minyak gorengnya untuk memasak.

(Yuliana, Makkulawu, dan Amal 2023).

Dari segi komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung

senyawa-senyawa bersifat karsinogenik yang terbentuk selama proses

penggorengan. Oleh karena itu, penggunaan minyak jelantah secara

berkelanjutan dapat berdampak negatif pada kesehatan manusia karena

mengandung senyawa-senyawa karsinogenik, yang pada akhirnya dapat

mengurangi kecerdasan generasi berikutnya. Penggunaan berulang

minyak jelantah yang mengandung zat radikal bebas bersifat


9

karsinogenik seperti peroksida, epioksida, dan sebagainya, dapat

menimbulkan risiko kanker usus berdasarkan hasil percobaan pada

binatang (Grace Sipahelut, Mailoa, dan C. D. Tuhumury 2022)

Minyak bekas hasil penggorengan merupakan minyak nabati yang

sudah digunakan untuk proses menggoreng dan seringkali dibuang

setelah mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan. Pemanasan

selama penggunaan minyak dapat mengubah sifat fisiko-kimia minyak

tersebut. Pemanasan ini dapat mempercepat hidrolisis trigliserida dan

meningkatkan kandungan asam lemak bebas (FFA) dalam

minyak(Risma dan Tobing 2022)

Kandungan FFA dan air dalam minyak bekas dapat memberikan

dampak negatif pada reaksi transesterifikasi, karena metilester dan

gliserol sulit untuk dipisahkan. Minyak bekas penggorengan memiliki

kekentalan yang lebih tinggi daripada minyak segar karena terbentuknya

dimer dan polimer asam serta gliserida selama pemanasan saat

digunakan. Berat molekul dan panjang rantai asam menurun seiring

dengan peningkatan berat jenis dan nilai angka penyabunan.

Perbandingan komposisi asam dalam minyak segar dan minyak bekas

penggorengan dalam tabel menunjukkan bahwa hampir semua asam yang

terdapat dalam minyak bekas penggorengan memiliki kandungan yang

lebih tinggi dibandingkan dengan minyak segar (Maulana et al. 2023).

Ketaren (2005) menyatakan bahwa indikator pertama dari

kerusakan minyak goreng adalah pembentukan akrolein di dalamnya.


10

Akrolein ini dapat menyebabkan sensasi gatal pada tenggorokan ketika

mengonsumsi makanan yang telah digoreng menggunakan minyak yang

telah digunakan berulang kali. Penurunan drastis pada titik asap dan

penyimpanan yang tidak tepat dapat mengakibatkan minyak menjadi

berbau tengik. Bau tersebut muncul karena penyimpanan yang kurang

benar dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan pemecahan ikatan

trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas (FFA) atau asam

lemak jenuh. Selain itu, minyak jelantah juga sangat disukai oleh jamur

aflatoksin, yang dapat menghasilkan racun aflatoksin yang berpotensi

menyebabkan penyakit pada hati. Dampak penggunaan minyak jelantah

ini dapat diuraikan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rukmini

(2007) tentang regenerasi minyak jelantah dengan arang sekam yang

mampu mengurangi kerusakan organ tubuh. Hasil penelitian pada tikus

wistar yang diberi pakan mengandung minyak jelantah yang sudah tidak

layak pakai menunjukkan kerusakan pada sel hepar (hati), jantung,

pembuluh darah, dan ginjal (Diah JuliantariD, Wrasiati, dan Wartini

2018)

Gambar 2.3. Minyak Jelantah


11

2.2. Lilin Aromaterapi

Lilin adalah hasil dari kombinasi ester asam lemak dengan alkohol

monovalen pada suhu tinggi, memiliki bobot molekul yang besar . Pada

suhu ruangann lilin berbentuk padatan yang mudah meleleh, tetapi tahan

terhadap hidrolisis. Lilin ini biasanya terdiri dari parafin dengan sumbu tali

di tengahnya yang digunakan sebagai sumber cahaya. Bahan baku utama

untuk pembuatan lilin adalah parafin padat, campuran hidrokarbon padat

yang diekstrak dari minyak mineral (Arbianzah 2019). Parafin, dengan

rumus empiris CnH2n+2, dapat berwujud padat dengan titik cair rendah dan

berupa serbuk lembut. Sesuai dengan standar SNI 0386 – 1989 – A / SII

0348 – 1980, lilin yang baik memiliki keadaan fisik yang seragam, tanpa

retakan, cacat, atau patah, dan memiliki warna yang merata. Ciri-ciri umum

lilin mencakup :

1. Secara umum, lilin memiliki sifat tidak berbau, tidak berasa,

dengan tekstur sedikit licin. Warnanya bervariasi antara putih

hingga kekuningan, memiliki nyala terang saat terbakar, dan tidak

menghasilkan cairan yang berfluoresensi saat dilebur.

2. Titik leleh lilin berada dalam rentang 51-58ºC.

3. Lilin tidak larut dalam air dan etanol 95%, tetapi dapat larut dalam

chloroform dan eter (Profil industri lilin, BBIHP).

Aromaterapi merupakan bentuk terapi yang menggunakan minyak

essensial atau sari minyak murni untuk meningkatkan kesehatan,

membangkitkan semangat, menyegarkan, dan menenangkan jiwa serta raga


12

(Astuti, 2015). Beberapa minyak essensial telah terbukti efektif sebagai

sedatif penenang ringan yang dapat meredakan insomnia yang disebabkan

oleh stres, kegelisahan, ketegangan dan depresi.. Lilin aromaterapi menjadi

alternatif untuk menerapkan aromaterapi melalui inhalasi, yaitu menghirup

uap aroma dari beberapa tetes minyak atsiri dalam air panas. Lilin

aromaterapi menghasilkan aroma yang memberikan efek terapi ketika

dibakar. Bahan utama dalam pembuatan lilin adalah paraffin wax, padatan

yang berasal dari bahan tambang dan dapat meleleh pada suhu 50- 60ºC.

(Lestari, Vidayanti dan Jumari 2020)

Mekanisme kerja aromaterapi dalam tubuh terjadi melalui dua

sistem fisiologis, yaitu sistem sirkulasi tubuh dan sistem penciuman. Bau,

sebagai molekul yang mudah menguap ke udara, memasuki rongga

hidung melalui penghirupan dan direkam oleh otak sebagai bagian dari

proses penciuman. Proses penciuman terdiri dari tiga tahapan, dimulai

dengan molekul bau diterima oleh epitallium olfaktori, suatu reseptor

dengan 20 juta ujung saraf. Selanjutnya, bau tersebut dikirim sebagai

pesan ke pusat penciuman di bagian belakang hidung. Di pusat ini, sel

neuron menginterpretasikan bau dan mengirimkannya ke sistem limbik,

pusat emosi seperti nyeri, kebahagiaan, kemarahan, ketakutan, depresi dan

emosi lainnya. Respon kemudian dikirim ke hipotalamus untuk diproses.

Minyak atsiri atau minyak essensial memiliki molekul yang mudah

menguap atau volatil. Senyawa-senyawa ini membawa unsur aromatik

dari minyak tersebut ke puncak hidung melalui proses penghirupan. Di

hidung, rambut getar berfungsi sebagai reseptor yang meneruskan pesan


13

elektrokimia ke susunan saraf pusat. Pernapasan yang dalam dapat

meningkatkan jumlah bahan aromatik yang masuk ke dalam tubuh

(Maulana,2023)

2.3. Simplisia

Menurut Lady et al. (2020) simplisia yaitu bahan tanaman yang

masih belum mengalami perubahan bentuk dan hanya dikeringkan saja.

Selama ini banyak masyarakat yang telah menggunakan simplisia baik

berupa akar, herbal, biji, daun dan batang, untuk memenuhi kebutuhan

kesehatan yaitu sebagai obat untuk mengobati berbagai macam penyakit.

Menurut Widaryanto dan Azizah dalam buku Perspektif Tanaman Obat

Berkhasiat, simplisia dapat digolongkan menjadi tiga jenis, berdasarkan

bahan bakunya, yaitu :

1. Simplisia Nabati

Simplisia nabati ialah simplisia yang dibuat dari tanaman, baik

keseluruhan, bagian organ ataupun eksudat tanaman. Eksudat ialah

bagian isi sel yang keluar secara spontan atau sengaja dikeluarkan dari

selnya dengan berbagai teknik, atau zat nabati yang yang diekstrak

dari tanaman. Contoh bagian organ tanaman yang dapat dimanfaatkan

untuk membuat simplisia ialah herbal (seluruh bagian tanaman), akar,

umbi, rimpang, batang, daun, bunga, buah, biji, pati, getah, dammar,

minyak, malam dan kulit kayu.


14

2. Simplisia Hewani

Simplisia hewani adalah simplisia yang bahan dasarnya dari

hewan. Simplisia jenis ini dapat berupa hewan utuh atau zat yang

dihasilkan oleh hewan dan belum berwujud senyawa kimia murni,

seperti madu (Mel depuaratum) dan minyak ikan (oleum iecoris

asselli).

3. Simplisia Pelikan atau Mineral

Simplisia pelikan adalah simplisia yang berwujud bahan mineral atau

pelikan, masih belum mengalami proses pengolahan atau sudah diolah

namun masih dengan teknik yang sederhana dan masih belum

berbentuk zat kimia murni, sebagai contoh adalah serbuk tembaga dan

seng.
15

2.3. Kerangka teori

Pengambilan ekstrak
ampas kopi dengan Ekstrak ampas kopi
menggunakan metode
evaporasi
Memiliki efek sebagai
penwangi pada
pembuatan lilin
aromaterapi dengan
konsentrasi 2%,3%
dan 5%

Menggunakan bahan
minyak jelantah
3%, 3%, 2%

Memiliki efek
Lilin aromaterapi
:Relaksasi

Pengujian

Uji organoleptik Uji kesukaan Uji titik leleh Uji Waktu Bakar
16

2.4. Kerangka Konsep

Sediaan lilin aromaromaterapi Variabel Bebas


kombinasi dari : Ekstrak ampas
kopi dan minyak jelantah

Lilin aromaterapi Variabel Terikat

Pengujian

Uji organoleptik Uji kesukaan Uji titik leleh Uji waktu bakar

Gambar 2.4. Proses Pembuatan lilin aromaterapi

2.5. Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah :

Ha : Limbah ampas kopi dan minyak jelantah dapat diformulasikan

menjadi Lilin Aromaterapi.

Ha : Mutu lilin aromaterapi terbaik berdasarkan SNI yang ditentukan dari

titik leleh,waktu bakar,serta penampakan visual lilin yang tidak

retak dan tidak cacat.

Anda mungkin juga menyukai