Anda di halaman 1dari 45

I.

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kopi bubuk merupakan salah satu jenis kopi yang banyak digemari

masyarakat (Maramis et al., 2013). Kopi bubuk berasal dari biji kopi yang

disangrai kemudian digiling, dengan atau tanpa penambahan bahan lain dalam

kadar tertentu tanpa mengurangi rasa dan aroma serta tidak membahayakan

kesehatan (Standar Nasional Indonesia, 2004). Proses pengolahan biji kopi

dilakukan secara tradisional dengan alat-alat sederhana untuk menghasilkan kopi

bubuk (Evizal, 2013). Setiap daerah yang ditumbuhi tanaman kopi memiliki

komposisi kimia yang berbeda menurut cara pengolahan dan lingkungan

tumbuhnya kopi (Oktadina et al., 2013).

Jenis kopi yang sering dibudidayakan di Indonesia adalah kopi arabika

(Coffea arabica) dan kopi robusta (Chanephora var. robusta). Selain kedua jenis

kopi tersebut Indonesia juga terdapat jenis kopi lain yaitu kopi luwak, kopi yang

bukan berasal dari spesies kopi khusus namun berasal dari buah kopi arabika atau

kopi robusta yang dimakan oleh hewan luwak (Krishnakumar et al., 2002).

Proses penyangraian dilakukan menggunakan suhu tinggi (200 – 250 °C)

yang dapat menyebabkan perubahan komposisi kimia biji kopi seperti karbohidrat

dan asam amino yang berperan penting dalam reaksi Maillard serta pembentukan

citarasa dari kopi (Belitz & Grosch, 1987). Reaksi Maillard menghasilkan zat

berbahaya seperti akrilamida atau 5-hidroksimetil-furfural. Akrilamida merupakan

zat berbahaya dan berpotensi menyebabkan kanker sekitar 2 % kasus tiap tahun

1
didunia. Menurut World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa rata-rata

asupan akrilamida melalui makanan berada pada rentang 0,3 – 0,8 μg/kg BB/hari.

Sedangkan menurut Office of Environmental Health Hazard Assesment

(OEAHHA) salah satu devisi Environmental Protection Agency (EPA)

menetapkan bahwa 0,2 µg/hari akrilamida tidak bersifat kanker. Akrilamida

bersifat karsinogenik yang menyebabkan perubahan struktur kimia DNA serta

menyebabkan kerusakan sel-sel saraf. Akrilamida biasanya digunakan untuk

menjernihkan air minum, produksi plastik, dan bahan pewarna (Harahap, 2006).

Analisis akrilamida dalam produk pangan telah banyak dilakukan.

Penelitian sebelumnya analisis akrilamida dalam kopi serbuk (tubruk) dan kopi

instan secara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) oleh Prabowo et al., (2016)

menggunakan fase gerak asam fosfat : asetonitril : akuabides (1:5:94 v/v/v)

dengan pelarut asam fosfat, fase diam kolom sunfire C18 (150 × 4,6 mm id, 5 µm),

laju alir 0,15 mL/menit, dengan detektor UV, panjang gelombang 202 nm, dan

volume injeksi 20 µL, bahwa adanya kandungan akrilamida sebanyak 7,03 ±

0,001 µg/g pada kopi serbuk (tabruk) dan kopi instan sebanyak 5,71 ± 0,03 µg/g.

Mengingat efek buruk adanya bahaya akrilamida pada proses

pemanggangan kopi, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui

kadar akrilamida dalam kopi bubuk tradisional dan kopi luwak yang beredar

menggunakan dua metode yang berbeda yaitu Kromatografi cair kinerja tinggi

(KCKT) dengan detektor UV dan Kromatografi gas-spektrometri massa (KG-

MS).

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat kandungan akrilamida dalam kopi bubuk tradisional dan

kopi luwak yang dianalisis dengan metode Kromatografi cair kinerja tinggi

(KCKT) dan Kromatografi gas-spektrometri massa (KG-MS)?

2. Berapa kadar akrilamida dalam kopi bubuk tradisional dan kopi luwak

yang dianalisis secara kuantitatif dengan metode Kromatografi cair kinerja

tinggi (KCKT) dan secara kualitatif dengan metode Kromatografi gas-

spektrometri massa (KG-MS)?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis adanya akrilamida secara kuantitatif dalam kopi

bubuk tradisional dan kopi luwak dengan metode Kromatografi cair

kinerja tinggi (KCKT).

2. Untuk menganalisis adanya akrilamida secara kualitatif dalam kopi bubuk

tradisonal dan kopi luwak dengan metode Kromatografi gas-spektrometri

massa (KG-MS).

1.4 Hipotesis Penelitian

Terdapat kandungan akrilamida dalam kopi bubuk dan kopi luwak yang

dianalisis secara kuantitatif menggunakan Kromatografi cair kinerja tinggi

(KCKT) dan secara kualitatif menggunakan Kromatografi gas-spektrometri massa

(KG-MS).

1.5 Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi tentang cara

analisis kandungan akrilamida pada kopi bubuk dan kopi luwak serta

3
menjadi bahan masukan bagi peneliti selanjutnya untuk pengujian

akrilamida lebih lanjut.

2. Untuk mengembangkan metode penentuan akrilamida dalam kopi bubuk

dan kopi luwak dengan menggunakan metode Kromatografi cair kinerja

tinggi (KCKT) dan Kromatografi gas–spektrometri massa (KG-MS).

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kopi

Kopi merupakan spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk dalam

famili Rubiaceae dan genus Coffea, tumbuh tegak, bercabang dan bila dibiarkan

dapat tumbuh mencapai tinggi 12 meter. Di dunia perdagangan dikenal beberapa

jenis golongan kopi, akan tetapi yang paling sering dibudidayakan adalah kopi

arabika (Coffea arabica) dan kopi robusta (Coffea canephora var. robusta)

(Nurhakim & Rahayu, 2014).

2.1.1 Taksonomi Kopi

Adapun klasifikasi tanaman kopi (Coffea sp) Menurut (Rahardjo, 2017),

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Superdivisi : Spermatophyta (Tumbuhann penghasil biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (Tumbuhan berkeping dua/ dikotil)

Sub kelas : Asteridae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae (suku kopi-kopian)

Genus : Coffea

Spesies : Coffea sp

5
2.1.2 Morfologi Tumbuhan

Menurut (Aksi Agraris Kanisius, 1988), morfologi tanaman kopi adalah

sebagai berikut:

1. Akar

Tanaman kopi memiliki akar tunggang, tegak lurus ke bawah, dengan

sistem perakaran yang dangkal, bagian akar berada di kedalaman 0-30 cm berguna

untuk tegaknya tanaman dan menolong bila terjadinya kekeringan. Bagian pusat

akar muncul percabangan akar menyamping (5 – 8 akar samping), dan tumbuh

cenderung ke bawah 3 cm. Pada bagian tersebut muncul akar serabut yang merata

dan masuk lebih dalam yang berfungsi sebagai menyerap makanan. Sistem

perakaran kopi yang kuat akan menghasilkan tanaman yang kuat.

2. Batang

Kopi merupakan spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk famili

Rubiaceae dari genus Coffea, tumbuh tegak, bercabang dan bila dibiarkan dapat

tumbuh mencapai tinggi 12 meter. Batang kopi tegak lurus dan pada setiap ruas

muncul daun yang berhadapan kemudian berkembang menjadi cabang yang

berbeda-beda. Cabang yang tumbuh tegak lurus atau vertikal disebut cabang

orthotrop atau wiwilan atau cabang air, sedangkan cabang yang tumbuh ke

samping atau horizontal disebut plagiotrop, cabang ini tempat tumbuh bunga atau

buah.

3. Daun

Daun tanaman kopi berhadapan di bagian batang, cabang, dan ranting.

Daun pada cabang vertikal tumbuh berselang-seling, sedangkan daun pada cabang

6
horizontal tumbuh pada ruas yang sama dan tidak berselang-seling. Besar kecilnya

daun tergantung jenis kopi. Daun berbentuk bulat oval dengan ujung meruncing

sampai bulat. Daun tua berwarna hijau tua, daun yang masih muda berwarna

perunggu.

4. Bunga

Bunga kopi bertangkai pendek, saat mekar berwarna putih, sebelum mekar

berupa kuncup putih kehijauan berukuran panjang 5 mm. Bunga memiliki sekitar

3 – 8 helai mahkota, tergantung jenis kopinya. Bunga mekar setelah 7 – 14 hari

diguyur hujan dan selama belum diguyur hujan, bunga tidak akan mekar dan

kuncup bunga tidak berkembang. Dari berwarna hijau berubah menjadi

kekuningan selama 2 bulan atau lebih. Pada fase ini, bunga kopi dinamakan bunga

lilin karena bentuknya seperti lilin.

5. Buah

Bagian inilah yang dimanfaatkan sebagai bahan minuman. Berbentuk

bulat seperti kelereng, diameter 1 cm. Saat masih muda, kulit kopi berwarna hijau

kemudian menjadi kuning, dan setelah masak berwarna merah. Biji kopi berada

pada bagian paling dalam buah kopi berwarna coklat kehijauan. Biji kopi

mengandung senyawa volatil dan nonvolatil, senyawa volatil berpengaruh pada

aroma kopi, sedangkan non volatil berpengaruh pada mutu kopi. Selain kafein dan

asam klorogenat biji kopi juga mengandung mineral, trigonelline, lemak, protein,

asam humid, asam amino, dan asam alifatis.

7
2.1.3 Penyebaran Tanaman Kopi

Kopi di Indonesia dimulai saat penjajahan Belanda. Saat itu gubernur

Belanda di Batavia mendapat kiriman kopi dari gubernur Belanda di Malabar,

tepatnya tahun 1696. Pengiriman kopi pertama ke Indonesia gagal karena banjir

melanda kota Batavia. Pengiriman kedua dilakukan pada tahun 1699 sebagai

ekspor kopi pertama di Indonesia. Perdangan kopi mulai dimonopoli oleh VOC

(Vereenidge Oostindische Compagnie) yang berarti Persekutuan Perusahaan

Hindia Timur adalah kongsi dagang asal Belanda yang memonopoli aktivitas

perdagangan di Asia dan menyatukan perdagangan rempah-rempah dari wilayah

timur. Budidaya kopi di bawah VOC (Vereenidge Oostindische Compagnie) pun

diperluas hingga wilayah Bali, Sulawesi, di dataran tinggi Sumatera Barat, dan

Sumatera Utara. Perkebunan kopi di Indonesia mengalami kerusakan parah akibat

serangan hama dan menyebabkan musnah beberapa kultivar yang ada. Sehingga

tahun 1900, dikenal kopi robusta ke wilayah Indonesia untuk menggantikan

tanaman kopi yang musnah. Jenis kopi robusta yang tahan terhadap serangan

hama dan cocok untuk dibudidayakan di dataran rendah (Nurhakim & Rahayu,

2014). Saat ini, jenis tanaman kopi yang paling sering dibudidayakan secara

komersial di Indonesia yaitu kopi arabika (Coffea arabica), dan kopi robusta

(Canephora var. robusta) (Suhono & Tim LIPI, 2010).

2.1.4 Jenis-Jenis Kopi

Kopi adalah jenis tanaman tropis, yang dapat tumbuh dimana saja,

terkecuali pada tempat-tempat terlalu tinggi dengan temperatur yang sangat dingin

atau daerah-daerah tandus yang memang tidak cocok bagi tempat tumbuh

8
tanaman kopi (Aksi Agraris Kanisius, 1988). Di dunia perdagangan dikenal

beberapa jenis golongan kopi dengan famili Rubiaceae. Famili tersebut memiliki

banyak genus hampir 70 spesies, tetapi hanya ada dua spesies yang ditanam dalam

skala luas diseluruh dunia yang memiliki nilai ekonomis dan diperdagangkan

secara komersial yaitu kopi arabika (Coffea arabica) dan kopi robusta (Coffea

canephora var. robusta) (Rahardjo, 2017).

2.1.4.1 Kopi Arabika (Coffea arabica)

Kopi arabika tumbuh di daerah dengan ketinggian 700 – 1.700 m dpl, suhu

16 – 20 °C. Kualitas bijinya jauh lebih baik dari kopi robusta dan liberika. Kopi

arabika memiliki daun yang tipis. Aromanya kopi yang kuat dan wangi. Kopi

yang paling banyak dan paling dahulu dikembangkan. Tetapi jenis ini sangat tidak

tahan terhadap penyakit HV (Hemileia vastatrix) atau penyakit karat daun karena

tempat tumbuhnya di dataran tinggi sehingga lebih lama memasuki proses

pembungaan. Penurunan tingkat produksi kopi arabika akibat rentan terhadap

serangan hama menyebabkan meningkatnya harga kopi arabika (Nurhakim &

Rahayu, 2014).

2.1.4.2 Kopi Robusta (Coffea canephora var. robusta)

Kopi robusta pertama kali ditemukan di Kongo pada tahun 1889 dengan

harga lebih murah dari pada kopi arabika dan mulai masuk ke indonesia pada

tahun 1900. Kopi robusta dengan bau yang khas memiliki rasa lebih cokelat, lebih

pahit, namun sedikit asam. Memiliki tekstur lebih kasar dibandingkan arabika.

Produksi kopi robusta lebih tinggi daripada kopi arabika dan liberika. Namun,

kualitas buahnya lebih rendah dari kopi arabika dan liberika. Keunggulan lain dari

9
kopi robusta diantaranya lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit HV

(Hemileia vastatrix). Tumbuh di dataran rendah dengan ketinggian kurang dari

400 - 700 m dpl. Namun, dapat ditanam pada ketinggian kurang dari 400 m dpl

dengan temperatur 21 °C – 24 °C (Nurhakim & Rahayu, 2014).

2.1.4.3 Kopi Luwak (Civet coffee)

Kopi luwak (Civet coffee) adalah salah satu produk kopi khas Indonesia

yang dihasilkan dari feses hewan luwak, setelah hewan tersebut mengkonsumsi

buah kopi matang yang berwarna merah (Krishnakumar et al., 2002). Indonesia

merupakan negara pertama penghasil kopi luwak sejak zaman penjajahan kolonial

Belanda. Keistimewaan citarasa dan keunikan proses produksinya menyebabkan

kopi luwak semakin diminati kalangan penikmat kopi lokal maupun mancanegara

(Towaha & Tjahjana, 2015).

Secara fisik kopi luwak sebenarnya hampir sama dengan kopi non luwak

perbedaannya adalah kopi luwak berasal dari buah kopi masak optimal yang

dipilih langsung oleh hewan luwak. Dalam pencernaan luwak biji kopi mengalami

proses fermentasi alami pada tingkat suhu optimal dengan bantuan mikroba dan

enzim pada pencernaan luwak. Pada proses fermentasi terjadi perubahan

komposisi kimiawi biji kopi dan pembentukan senyawa prekursor citarasa seperti

asam amino dan gula reduksi. Sekresi hormon endogen pencernaan luwak

meresap kedalam biji kopi sehingga kopi luwak menjadi berbeda dengan kopi

biasa (Fuferti et al., 2013). Kopi luwak ada dua jenis berdasarkan buah kopi yang

dimakan yaitu kopi luwak arabika dan kopi luwak robusta sedangkan berdasarkan

10
proses produksinya, yaitu kopi luwak alami (kopi luwak liar) dan kopi luwak

budidaya kandang (kopi luwak kandang) (Rahardjo, 2017).

2.1.5 Pemanggangan Kopi

Biji-biji kopi hijau belum memiliki aroma kopi, untuk hasil aroma kopi

yang menyenangkan biji-biji tersebut harus diolah dengan cara penyangraian

menggunakan suhu tinggi (200 – 250 °C) dan penggilingan (Belitz & Grosch,

1987). Perubahan komposisi utama yang terjadi saat penyangraian, dimana

senyawa aroma dan rasa terbentuk melalui reaksi Maillard (reaksi pencoklatan

non enzimatik) menyebabkan terjadinya penurunan protein dan asam amino, asam

klorogenat, sukrosa, arabino galaktan, gula pereduksi, dan air. Sedangkan

sebagian besar polimer karbohidrat, lemak, kafein, dan garam anorganik bertahan

selama proses penyangraian (Parliment, 2000). Beberapa studi menyebutkan tidak

hanya senyawa yang diinginkan terbentuk namun senyawa yang tidak diinginkan

juga terbentuk melalui reaksi Maillard dan pemanggangan merupakan salah satu

cara pembentukan akrilamida dalam biji kopi dimana hasil reaksi antara asam

amino dan gula reduksi menyebabkan pembentukan akrilamida (Bagdonaite &

murkovic, 2004).

Perubahan sifat fisik dan kimia terjadi selama proses penyangraian seperti

pengembangan, penguapan air, terbentuknya senyawa volatil, karamelisasi

karbohidrat, pengurangan serat kasar, denaturasi protein, terbentuknya gas CO2

sebagai hasil oksidasi dan terbentuknya aroma yang karakteristik pada kopi.

Sedangkan penggilingan adalah proses pemecahan butir-butir biji kopi yang telah

disangrai untuk mendapatkan kopi bubuk dengan ukuran tertentu (Marcone,

11
2004). Proses penggilingan dibedakan menjadi dua yaitu secara tradisional dan

modern. Cara tradisional biasa dilakukan oleh petani dengan cara menumbuk kopi

sangrai dengan lumpang sedangkan cara modern dilakukan oleh industri dengan

menggunakan mesin yang dilengkapi alat pengatur ukuran partikel kopi sesuai

dengan yang diinginkan (Najiyati & Danarti, 1997).

2.2 Akrilamida

Akrilamida adalah senyawa kimia yang terbentuk secara alami pada

makanan yang kaya karbohidrat pada pemanasan suhu tinggi diatas 120 °C.

Akrilamida adalah senyawa neurotoksik yang diklasifikasikan sebagai genotoksik

dan karsinogen pada manusia. Jalur utama pembentukan akrilamida adalah reaksi

antara asam amino dan gugus karbonil dari gula pereduksi, yang dikenal sebagai

reaksi Maillard. Akrilamida banyak ditemukan dalam banyak jenis makanan,

terutama pada keripik kentang, biskuid, roti, sereal, dan kopi (Harahap, 2005;

Lingnert et al., 2002; Zyzak et al., 2003).

2.2.1 Sifat Fisikokimia

Akrilamida C3H5NO (sinonim: 2-propenamida, etilen karboksiamida,

akrilikamida, asam propeonik amida, vinilamida) merupakan suatu senyawa kimia

kristalin bening hingga putih tidak berwarna dengan bobot molekul 71,08 dan

tidak berbau. Senyawa ini sangat mudah larut dalam air, larut dalam aseton,

etanol, metanol dan dimetil eter. Tidak larut dalam heksan, kloroform, dan

diklorometana. Titik leleh akrilamida pada suhu 84,5 °C dan titik didih pada suhu

87 °C (2 mmHg), 105 °C (5 mmHg), 125 °C (25 mmHg), tekanan penguapan

0,009 kPa (25 °C); 0,004 kPa (40 °C); dan 0,09 kPa (50 °C) (Friedman, 2003;

12
Harahap, 2006; Lingnert et al., 2002). Rumus struktur akrilamida terlihat pada

(Gambar 1).

Gambar 1. Rumus Bangun Senyawa Akrilamida (Lingnert et al., 2002)

2.2.2 Kegunaan Umum

Akrilamida dikenal sebagai senyawa antara dalam pembuatan

poliakrilamida. Dimana akrilamida merupakan suatu polimer akrilamida yang

digunakan sebagai produksi kertas, industri tekstil, sebagai flokulan dan koagulan

dalam proses pengolahan air minum dan limbah, bahan pengikat, pengatur

viskositas pada pemrosesan minyak mentah serta gel pada kosmetik (Friedman,

2003).

2.2.3 Farmakokinetika

Akrilamida dapat diabsorpsi secara oral, melalui membran mukosa saluran

nafas (inhalasi), dan lewat kontak dengan kulit utuh (rute dermal). Menurut FAO

(Food and Agriculture Organization) dan WHO (World Health Organization),

absorpsi akrilamida diperkirakan cepat lewat rute oral. Kelarutan akrilamida yang

tinggi menjadi salah salah satu alasan bagi distribusinya yang cepat keseluruh

tubuh. Di dalam tubuh akrilamida didistribusi melalui cairan tubuh dan

dimetabolisme oleh cairan enzim sitokom P450 lalu diekskresikan melalui urin

dan empedu. Waktu paruh eliminasi akrilamida pada tikus sekitar 2 jam,

13
sedangkan waktu paruh eliminasinya pada manusia belum diketahui secara jelas

(Friedman, 2003; Harahap, 2006).

2.2.4 Bahaya Akrilamida

Akrilamida adalah senyawa yang bersifat racun dalam makanan yang

dihasilkan ketika proses pemanasan suhu yang tinggi pada makanan seperti

keripik kentang, biskuid, dan kopi. Menurut IARC (International Agency for

Research on Cancer); U.S. Environmental Protection Agency (EPA); Food and

Drug Adminstration (FDA); serta The National Toxicology Program menunjukan

bahwa akrilamida dapat menyebabkan kanker atau berpotensi sebagai kersinogen

pada manusia jika dikonsumsi secara berlebihan, senyawa ini juga memiliki efek

neurotoksik dan genotoksik pada hewan. Akrilamida juga terbukti toksik terhadap

pertumbuhan dan reproduksi pada tikus dan mencit serta dapat menyebabkan

tumor pada saraf pusat, kelenjer susu, kelenjer tiroid, uterus, dengan dosis letal

50-500 mg/kg BB setiap harinya (friedman, 2003).

Akrilamida dapat menyebabkan kanker sekitar 2% (100 - 700 dari 45.000)

kasus tiap tahun di Swedia, bentuk monomernya bersifat racun terhadap sistem

saraf pusat, sedangkan bentuk polimer tidak bersifat toksik sehingga akrilamida

berbahaya untuk dikonsumsi. Menurut Office of Environmental Health Hazard

Assesment (OEAHHA), salah satu divisi Environmental Protection Agency

(EPA) di California, Amerika Serikat menetapkan bahwa 0,2 µg/hari akrilamida

tidak bersifat kanker. Penelitian dari negara Swedia, Switzerland serta Amerika

berdasarkan data Food Safety Programme World Health Organization 2002,

14
menemukan bahwa terdapat konsentrasi akrilamida rata-rata pada bubuk kopi

sebanyak 200 µg/kg dari tiga sampel yang diuji (Harahap, 2006).

2.2.5 Metode Analisis

Analisis Akrilamida dalam produk pangan telah banyak dilakukan.

Penelitian sebelumnya analisis akrilamida dalam kopi serbuk (tubruk) dan kopi

instan dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) oleh Prabowo et

al., (2016) menggunakan fase gerak asam fosfat : asetonitril : akuabides (1:5:94

v/v/v) dengan pelarut asam fosfat, fase diam kolom sunfire C 18 (150 × 4,6 mm id,

5 µm), laju alir 0,15 mL/menit, dengan detektor UV, panjang gelombang 202 nm,

dan volume injeksi 20 µL. Kopi serbuk memiliki kandungan akrilamida 7,03 ±

0,001 µg/g dan kopi instan memiliki kandungan akrilamida sebesar 5,71 ± 0,03

µg/g.

Akrilamida memiliki berat molekul 71,08 dengan kelarutan yakni 215 g/L

air pada suhu 25 °C. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa akrilamida

merupakan suatu senyawa dengan kepolaran yang tinggi dan bila ditinjau dari

struktur molekulnya, akrilamida memiliki gugus kromofor yaitu ikatan rangkap

terkonjugasi (CH2=CH-CO-NH2) dan gugus auksokrom yaitu gugus yang

memiliki pasangan elektron bebas sehingga dapat menyerap sinar UV. Analisis

akrilamida menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi dengan detektor UV

yang memiliki validitas dan sensitivitas yang baik, tidak memerlukan tahap

derivatisasi terlebih dahulu, waktu analisisnya cepat dengan tingkat akurasi yang

tinggi (Harahap et al., 2005). hal ini mendasari penggunaan Kromatografi cair

15
kinerja tinggi fase terbalik dengan detektor UV untuk analisis akrilamida dalam

sampel.

Gas kromatografi-spektrometer massa (GC-MS) adalah salah satu metode

paling sensitif untuk analisis akrilamida. Metoda ini telah digunakan untuk

menentukan konsentrasi akrilamida dalam bahan makanan yang berbeda (Pittet et

al., 2004). Analisis akrilamida dalam kopi dan kopi produk dengan metode GC-

MS oleh Soares et al., (2006) menggunakan metode pembersihan SPE (Solide

Phase Extraction). Metode ini menggunakan dua tahap pemurnian yaitu yang

pertama dengan larutan etanol dan Carrez untuk mengendapkan polisakarida dan

protein, dan yang kedua dengan kolom ekstraksi fase padat (SPE) yang terbukti

efisien dalam menghilangkan gangguan kromatografi. Kadar akrilamida pada kopi

Espresso berada pada kisaran 11,4 – 36,2 µg dan 200,8 – 229,4 µg untuk sampel

kopi dan sereal. Hasilnya menunjukan bahwa kadar akrilamida pada produk kopi

sereal meningkat secara signifikan.

Metode standar adisi yang digunakan karena mampu meminimalkan

kesalahan yang disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan (matriks) sampel

dan standard, untuk menghindari gangguan-gangguan, baik gangguan kimia atau

gangguan spektra. Dalam metode ini dua atau lebih sejumlah volume tertentu dari

sampel dipindahkan ke dalam labu takar. Satu larutan diencerkan sampai volume

tertentu, kemudian diukur absorbansinya tanpa ditambah dengan zat standard,

sedangkan larutan yang lain sebelum diukur absorbansinya ditambah terlebih

dahulu dengan sejumlah tertentu larutan standard dan diencerkan seperti pada

larutan pertama (Gandjar & Rohman, 2007).

16
2.2.6 Mekanisme Terbentuknya Akrilamida dalam Makanan yang

Dipanggang

Banyak senyawa hasil reaksi Maillard yang penting untuk karakteristik

warna, rasa dan aroma pada makanan yang dipanaskan. Namun beberapa senyawa

ini ada yang tidak bermanfaat atau bahkan bersifat toksik bila dikonsumsi. Salah

satu hasil reaksi Maillard yang toksik adalah akrilamida. Reaksi Maillard dalam

berbagai penelitian disimpulkan sebagai jalur utama bagi pembentukan akrilamida

(Zyzak et al., 2003). Reaksi Maillard merupakan suatu reaksi kompleks yang

terjadi antara senyawa karbonil (umumnya gula pereduksi) dengan suatu amina

(biasanya berupa asam amino, peptida atau protein). Rekasi ini pertama

dikemukankan oleh Louis-Camille Maillard pada tahun 1912 (Lingnert et al.,

2002).

Mekanisme pembentukan akrilamida dalam reaksi Maillard berawal dari

interaksi antara senyawa karbonil dengan asam amino asparagin selama proses

pemanasan berlangsung. Hasil interaksi ini yakni basa Schiff yang

terdekarboksilasi, lalu mengalami hidrolisis menjadi 3-aminopropionamida, yang

kemudian bagian amonianya tereliminasi membentuk akrilamida. Basa Schiff

yang terdekarboksilasi ini juga membentuk akrilamida secara langsung lewat

reaksi eliminasi imina (Zyzak et al., 2003). Skema pembentukan akrilamida dapat

dilihat pada (Gambar 2).

17
Gambar 2. Mekanisme pembentukan akrilamida melalui reaksi Maillard (Zyzak et
al., 2003).

2.2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akrilamida dalam

Makanan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan akrilamida dalam

makanan diantaranya yaitu (Lingnert et al., 2002):

a. Prekursor (senyawa asal)

Karbohidrat dan asam amino merupakan senyawa kimia utama pada kopi

sebagai prekursor reaksi Maillard yang berperan penting dalam menimbulkan

aroma pada kopi. Akrilamida terbentuk dari berbagai senyawa prekursor yang

banyak ditemukan pada makanan seperti asam amino atau protein, karbohidrat

terutama glukosa, fruktosa, dan lipida (minyak dan lemak). Semakin banyak asam

lemak tak jenuh maka semakin tinggi kadar akrilamida diakibatkan pembentukan

18
akrilamida pada lipid melalui mekanisme oksidasi asam lemak. Semakin banyak

gula pereduksi dan asam amino atau protein maka semakin tinggi kadar

akrilamida dalam makanan (Lingnert et al., 2002).

b. Waktu dan suhu pemanasan

Sudah banyak penelitian yang mengemukakan adanya korelasi antara suhu

dan lama pemanasan dengan kandungan akrilamida. Semakin tinggi suhu dan

semakin lama pemanasan, semakin rendah kadar akrilamida yang terbentuk.

Beberapa peneliti mengemukakan bahwa akrilamida tidak terbentuk dibawah suhu

120 °C. Menurut Bagdonaite & Murkovic, (2004) bahwa biji kopi yang

dipanggang untuk waktu yang lebih lama dan suhu yang lebih tinggi memiliki

lebih sedikit akrilamida dibandingkan dengan yang dipanggang pada waktu yang

cepat dan suhu yang lebih rendah, hal ini disebabkan karena perbedaan komposisi

kimia dari spesies kopi.

c. Kadar air

Akrilamida sedikit ditemukan bahkan tidak terdeteksi pada makanan yang

diolah dengan kadar air yang tinggi seperti dikukus. Akrilamida juga tidak

ditemukan pada bahan makanan mentah atau bahan baku. Kadar air yang rendah

juga berkorelasi dengan semakin tingginya suhu yang digunakan untuk mengolah

bahan makanan. Dengan kadar air yang rendah pada bahan makanan maka tidak

perlu suhu yang tinggi untuk mengolah makanan tersebut sehingga mengurai

potensi terbentuknya akrilamida pada makanan.

19
d. pH

Pencoklatan makanan pada saat pemanasan diperoleh ketika pH melebihi 5

dan meningkat seiring bertambahnya pH. Semakin tinggi pH maka semakin tinggi

kadar akrilamida yang terbentuk (Lingnert et al., 2002).

e. Jenis kopi

Manurut Bagdonaite et al., (2008) menyatakan bahwa spesies kopi dapat

mempengaruhi tingkat akrilamida pada biji kopi yang dipanggang. Secara

signifikan lebih tinggi kadar akrilamida pada kopi Robusta (Coffea canephora

robusta) dari pada kopi Arabika (Coffea arabica).

2.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi cair kinerja tinggi merupakan metode pemisahan dengan

kecepatan dan efisiensi tinggi mengidentifikasi serta menetapkan secara kualitatif

dan kuantitatif bahan dalam jumlah yang sangat kecil. KCKT mempunyai

kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang

sensitif. Dengan teknologi ini, kromatografi cair dapat menghasilkan pemisahan

yang cepat dalam banyak hal, dengan keunggulan zat-zat yang tidak menguap

atau tidak tahan panas dapat dikromatografi tanpa peruraian atau tanpa perlu

membuat derivat yang dapat menguap (Gandjar & Rohman, 2007).

Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa

organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian

(impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap

(nonvolatil). KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-

senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan protein-

20
protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat

dan lain-lain (Gandjar & Rohman, 2007).

2.3.1 Jenis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Pemisahan dengan KCKT dapat dilakukan dengan fase normal (jika fase

diamnya lebih polar dibanding dengan fase geraknya) atau fase terbalik (jika fase

diamnya lebih non polar dibanding dengan fase geraknya). Berdasarkan pada

kedua pemisahan ini, sering kali KCKT dikelompokkan menjadi KCKT fase

normal dan KCKT fase terbalik. Selain klasifikasi diatas, KCKT juga dapat

dikelompokkan berdasarkan pada sifat fase diam, yaitu kromatografi adsorpsi,

kromatografi terikat, kromatografi penukar ion, kromatografi pasangan ion,

kromatografi ekslusi ukuran, dan kromatografi afinitas (Gandjar & Rohman,

2007).

Kromatografi (partisi) fase terikat menggunakan fase diam dari silika yang

dimodifikasi secara kimiawi atau fase terikat. Sejauh ini yang digunakan untuk

memodifikasi silika adalah hidrokarbon-hidrokarbon non-polar seperti dengan

oktadesilsilana, oktasilana, atau dengan fenil. Fasa diam yang paling populer

digunakan adalah oktadesilsilana (ODS atau C18) dan kebanyakan pemisahannya

adalah fase terbalik dan sebagai fase geraknya adalah campuran metanol atau

asetonitril dengan air atau dengan larutan bufer (Gandjar & Rohman, 2007).

2.3.2 Komponen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Komponen KCKT pada dasarnya terdiri atas: wadah fase gerak, pompa,

alat untuk memasukkan sampel (tempat injeksi), kolom, detektor, wadah

21
pembuangan fase gerak, dan suatu komputer atau integrator atau perekam

(Gandjar & Rohman, 2007). Instrumen dasar KCKT terlihat pada (Gambar 3).

Gambar 3. Instrumen dasar KCKT (Gandjar & Rohman, 2007)

2.3.2.1 Wadah Fase Gerak

Wadah fase gerak harus bersih dan lembam, seperti wadah pelarut kosong

ataupun labu laboratorium. Wadah ini biasanya dapat menampung fase gerak

antara 1 sampai 2 liter pelarut. Fase gerak sebelum digunakan harus disaring

terlebih dahulu untuk menghindari partikel-partikel kecil. Selain itu, adanya gas

dalam fase gerak juga harus dihilangkan, sebab adanya gas akan berkumpul

dengan komponen lain terutama di pompa dan detektor sehingga akan

mengacaukan analisis (Gandjar & Rohman, 2007).

2.3.2.2 Sistem Pompa

Pompa yang digunakan adalah pompa yang mempunyai syarat

sebagaimana syarat wadah pelarut yakni pompa harus lembam terhadap fase

22
gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat,

teflon dan batu nilam. Pompa yang digunakan mampu mengalirkan fase gerak

dengan kecepatan alir 3 mL/menit tekanan 5000 psi dan mampu mengalirkan fasa

gerak 3 mL/menit. Untuk tujuan preparatif, pompa harus mampu mengalirkan

fase gerak dengan kecepatan 20 mL/menit. Tujuan penggunaan pompa untuk

menjamin proses penghantaran fase gerak secara cepat, tepat, reprodusibel,

konstan, dan bebas dari gangguan. Ada 2 jenis pompa dalam Kromatografi cair

kinerja tinggi (KCKT) yaitu pompa dengan tekanan konstan dan pompa dengan

aliran fase gerak konstan yang sering digunakan (Gandjar & Rohman, 2007).

2.3.2.3 Injektor

Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase

gerak yang mengalir dibawah tekanan menuju kolom menggunakan alat

penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi

dengan keluk sampel (sample loop) internal atau eksternal (Gandjar & Rohman,

2007). Suatu injektor lengkung, yang pas dengan lengkung bervolume tetap antara

1 dan 200 µl (20 µl sering digunakan sebagai baku) (Watson, 2009).

Pada pengisian sampel, sampel digelontor melewati keluk sampel dan

kelebihannya dikeluarkan ke pembuangan. Pada saat penyuntikan, katup diputar

sehingga fase gerak mengalir melewati keluk sampel dan menggelontor sampel ke

kolom. Presisi penyuntikan dengan keluk sampel ini dapat mencapai nilai RSD

0,1%. Saat ini, KCKT pada umumnya sudah menggunakan autosample injeksi.

Sampel disusun dalam sebuah rak sampel, kemudian secara otomatis sampel

23
diambil dengan syringe spuit Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) (Gandjar

& Rohman, 2007).

2.3.2.4 Kolom

Suatu kolom yang biasanya berupa tabung baja yang terbuat dari stainless

steel dan dikemas biasanya dengan gel silika tersalut-oktadesilsilan (salut-ODS)

dengan diameter partikel rata-rata (3, 5, atau 10 µm). Kolom dihubungkan pada

injektor dan detektor dengan tabung berdiameter dalam yang sempit, lebih kurang

0,2 mm, untuk meminimalkan volume yaitu ruang kosong didalam sistem ketika

kromatografi tidak terjadi dan pelebaran pita dapat terjadi melalui difusi

longitudinal (Watson, 2009).

2.3.2.5 Detektor

Detektor untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan dalam aliran yang

keluar dari kolom. Detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan

suara yang rendah, kisar respons linier yang luas, dan memberi tanggapan atau

respon untuk semua tipe senyawa. Suatu kepekaan yang rendah terhadap aliran

dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat diperoleh.

Detektor yang paling banyak digunakan ialah detektor UV/Vis. Detektor ini

didasarkan pada adanya penyerapan radiasi ultravolet (UV) dan sinar tampak

(Vis) pada panjang gelombang 190 - 800 nm oleh struktur atau gugus kromofor

(Gandjar & Rohman, 2007).

2.3.2.6 Sistem Pengolah Data (Recorder/ Integrator)

Alat pengumpul data seperti komputer, integrator, perekam dihubungkan

dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektronik yang dihasilkan oleh

24
detektor lalu mengalurkannya sebagai suatu kromtogram yang selanjutnya dapat

dievaluasi oleh seorang pengguna. Rekorder saat ini jarang digunakan karena

tidak dapat mengintegrasikan data, sementara itu integrator ataupun komputer

mampu mengintegrasikan puncak-puncak dalam kromatogram. Komputer

mempunyai keuntungan lebih karena secara elektronik mampu menyimpan

kromatogram untuk evaluasi dikemudian hari (Gandjar & Rohman, 2007).

2.4 Kromatografi gas (KG)

Kromatografi gas (KG) merupakan metode pemisahan dan deteksi

senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatu campuran. Kegunaan umum

KG adalah untuk pemisahan dinamis dan identifikasi semua jenis senyawa

organik yang mudah menguap dan juga untuk analisis kualitatif dan kuantitatif

senyawa dalam suatu campuran. Kromatografi gas ada dua macam yaitu:

kromatografi gas-cair (KGC) dan kromatogradi gas-padat (KGP). Pada

kromatografi gas-cair, fasa diam yang digunakan cairan yang diikat pada suatu

pendukung sehingga solut akan larut dalam fase diam dan mekanisme sorpsi-nya

adalah partisi. Sedangkan Kromatografi gas-padat (KGP) fase diam padatan

(kadang-kadang polimetrik) dan mekanisme sorpsi-nya adalah adsorpsi (Gandjar

& Rohman, 2007).

Prinsip kerja kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana

solut-solut yang mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui

kolom yang mengandung fasa diam dengan kecepatan yang tergantung rasio

distribusinya (Gandjar & Rohman, 2007). Diagram skematik pada Kromatografi

gas terlihat pada (Gambar 4).

25
Gambar 4. Diagram skematik pada Kromatografi gas (Gandjar & Rohman, 2007).

Menurut Gandjar & Rohman, (2007), komponen pada kromatografi gas

sebagai berikut:

1. Fase gerak / gas pembawa pada Kromatografi gas

Fase gerak atau disebut dengan gas pembawa karena tujuannya adalah

mambawa sampel (solute) menuju kolom dan tidak berpengaruh pada selektifitas.

Syarat gas pembawa adalah murni dan tidak reaktif, gas pembawa keadaan murni

agar tidak berpengaruh pada detektor dan disimpan dalam tangki bertekanan

tinggi (biasanya merah untuk hidrogen dan abu-abu untuk nitrogen). Gas

pembawa biasanya mengandung gas helium, nitrogen, hidrogen dan campuran

argon dan metana. Pemilihan gas pembawa tergantung pada penggunaan spesifik

dan jenis detektor yang digunakan. Helium merupakan tipe gas pembawa yang

sering digunakan karena memberikan efsiensi kromatografi yang lebih baik

26
(mengurangi pelebaran pita) dan Helium akan efisien pada kecepatan alir 40

mL/menit (Gandjar & Rohman, 2007).

2. Sistem injeksi sampel pada Kromatografi gas

Komponen utama selanjutnya dalah ruang suntik atau inlet. Fungsinya

adalah untuk menghantarkan sampel ke aliran gas pembawa menuju kolom.

Sampel dimasukan ke dalam ruang suntik melalui gerbang suntik yang biasanya

berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau pemisah karet. Ruang suntik

harus dipanaskan tersendiri (terpisah dari kolom) dan biasanya 10 - 15 °C lebih

tinggi daripada suhu kolom maksimum dan seluruh sampel akan menguap setelah

sampel disuntikkan (Gandjar & Rohman, 2007).

Pada kolom kapiler, sampel yang diperlukan sangat sedikit bahkan sampai

0,01 µL karenanya berbeda dengan kolom kemas yang memerlukan 1 - 100 µL

sampel. Karena pengukuran secara akurat sulit dilakukan jika sampel yang

disuntikkan terlalu kecil (pada kolom kapiler), maka ditempuh suatu cara untuk

mengecilkan ukuran sampel setelah penyuntikan yaitu menggunakan teknik

pemecah suntikan (split injection). Sampel yang banyaknya diketahui,

disuntikkan ke dalam aliran gas pembawa atau ke dalam kotak panas yang

berfungsi untuk mengubah sampel cair menjadi fase gas tanpa terfraksinasi atau

terdekomposisi. Sebelum masuk ke kolom, gas pembawa ini dibagi menjadi 2

aliran. Satu aliran akan masuk ke kolom dan satunya lagi akan dibuang. Aliran

relatif dalam kedua aliran ini dikendalikan dengan sejenis penghambat sepeti

katup jarum pada aliran yang dibuang. Laju alir diukur dan ditentukan nisba

(rasio) pemecahannya. Jika 1 µL sampel dimasukkan ke dalam pemecah aliran

27
yang mempunyai nisbah pemecah 1:100, maka sebanyak 0,01 µl sampel masuk ke

kolom sedangkan sisanya dibuang (Gandjar & Rohman, 2007).

3. Kolom pada Kromatografi gas

Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena di

dalamnya terdapat fase diam, sehingga merupakan komponen yang sentral. Kolom

berfungsi sebagai pemisah mengandung fase diam yang biasanya berupa adsorben

(kromatografi gas, padat) atau caira. Kolom tersebut terbuat dari logam, gelas,

atau silika. Semakin sempit diameter kolom, maka semakin efisieni pemisahan

kolom semakin besar atau puncak kromatogram yang dihasilkan semakin tajam

dan umumnya kolom dengan diameter 0,2 dengan sampel yang sangat kompleks.

Ada dua jenis kolom pada Kromatografi gas yaitu kolom kemas dan kolom

kapiler (Gandjar & Rohman, 2007).

4. Fasa diam pada Kromatografi gas

Fase diam yang dipilih berdasarkan polaritas dari sampel yang akan

diujikan. Fase diam yang polar akan lebih berinteraksi dengan senyawa yang lebih

polar, sebaliknya fase diam yang non polar akan lebih berinteraksi dengan

senyawa yang lebih non polar. Semakin tipis lapisan penyalut sebagai fase diam,

maka semakin tinggi suhu operasionalnya. Untuk lapisan solut < 1 µm, suhu

operasional dapat mencapai 460 °C, sementara itu suhu minimnya dapat mencapai

-60 °C (Gandjar & Rohman, 2007).

5. Detektor

Detektor merupakan perangkat yang berada di ujung kolom tempat

keluarnya fase gerak yang membawa sampel yang telah dipisahkan menjadi

28
komponennya. Detektor yang berfungsi mengubah sinyal gas pembawa dan

komponen-komponen didalamnya menjadi sinyal elektronik (Gandjar & Rohman,

2007).

Detektor spektrometer massa dimana spektrometer massa jika digunakan

sebagai detektor maka akan mampu memberikan informasi data struktur kimia

senyawa tidak diketahui. Dengan menggunakan spektrometer massa untuk

memonitor ion tunggal atau beberapa ion yang karakteristik dalam analit, maka

batas deteksi ion-ion ini akan ditingkatkan (Gandjar & Rohman, 2007).

6. Pengaturan suhu

Kromatografi gas berdasarkan pada dua sifat senyawa yang dipisahkannya

yakni kelarutan senyawa dan titik didih senyawa. Karena titik didih senyawa

berhubungan dengan suhu maka suhu merupakan faktor utama dalam

kromatografi gas. Walaupun suhu kolom dapat berkisar antara 100 – 400 °C tetapi

tetap harus dikendalikan karena pada suhu tertentu fase diam berada dalam fase

padatnya (Gandjar & Rohman, 2007).

2.5 Kromatografi gas-Spektrofotometri massa (KG-MS)

Kromatografi gas-spektrofotometri massa (KG-MS) merupakan kombinasi

antara kromatografi gas menggunakan detektor spektrometri massa. Kombinasi

ini merupakan salah satu teknik untuk memisahkan, mengukur dan

mengidentifikasi senyawa organik yang bersifat volatil dan semivolatil dalam

campuran kompleks. Kelebihan dari meode ini yaitu dapat memisahkan senyawa

dengan baik dan dapat langsung di deteksi struktur senyawanya, serta kelemahan

29
ini yang hanya dapat memisahkan senyawa volatil dan semivolatil (Gandjar &

Rohman, 2007).

Spektrometri massa adalah metode analisis, dimana sampel yang akan

dianalisis dapat diubah menjadi ion-ion gas. Pada kromatografi gas hanya terjadi

pemisahan untuk mendapatkan komponen yang diinginkan, sedangkan yang

dilengkapi dengan spektrometri massa (berfungsi sebagai detektor) akan dapat

mengidentifikasi komponen tersebut, karena bisa membaca spektrum bobot

molekul pada suatu komponen. Spektrometri massa merupakan suatu instrumen

yang dapat menyeleksi molekul-molekul gas bermuatan berdasarkan massa atau

beratnya. Spektrometer massa dapat diperoleh dengan mengubah senyawa suatu

sampel menjadi ion-ion yang bergerak cepat yang dipisahkakn berdasarkan

perbandingan massa terhadap muatan (Sastrohamidjodjo, 2001).

30
III. PELAKSANAAN PENELTIAN

III.1 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2018 di

Laboratorium Kimia Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM) Padang

dan UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Padang.

III.2 Alat dan Bahan

III.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu perangkat alat

KCKT (HITACHI®), kolom C18 (Phenomenek®), detektor UV-Vis (Shimadzu®),

satu perangkat alat Kromatografi gas-spektrometri massa (KG-MS) (Shimadzu ®),

timbangan analitik (Precisa XB 220A), batang pengaduk (Iwaki ®), cawan

porselen, labu ukur (Iwaki®), gelas piala (Iwaki®), erlenmeyer (Iwaki®), gelas ukur

(Iwaki®), tabung reaksi (Iwaki®), pipet tetes (Iwaki®), Vortex Mixer (VM 300),

Penguap vakum (IKA RV 10), Ultrasonik (Branson 1800), Waterbath (Memmert).

III.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan untuk analisis adalah empat sampel kopi bubuk

tradisional (dua kopi bubuk biasa dan dua kopi bubuk luwak), Akrilamida

(C3H5NO) (Sigma Aldrich), aseton (CH3COCH3) (PT. Brataco), asetonitril

(C2H3N) (Merck), heksana (C6H14) (Merck), aquabidest (Merck), dan kertas saring.

31
III.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Penyiapan Sampel

Sampel kopi bubuk tradisional diambil dengan cara simple random

sampling. Sampel yang dipilih adalah produk kopi bubuk robusta dengan bentuk

sediaan yang berbeda yaitu dua kopi bubuk biasa dan dua kopi bubuk luwak

dengan cara mencatat 10 merek kopi bubuk biasa yang dijual di kota Padang

Sumatera Barat, kemudian diberi nomor lot dikocok dan diambil dua nomor lot

untuk kopi bubuk biasa. Untuk kopi bubuk luwak dengan cara yang sama yaitu

mencatat 10 merek kopi bubuk luwak yang dijual di Sumatera, kemudian diberi

nomor lot dikocok dan diambil dua nomor untuk kopi bubuk luwak.

3.3.2 Preparasi Sampel

Sejumlah 2,2 g bubuk kopi ditimbang dan dimasukkan ke dalam

mikrotube, kemudian dilakukan penghilangan kandungan lemak dengan

menambahkan 10 mL heksana pada sampel dan dihomogenkan menggunakan

vortex mixer selama 5 menit. Setelah itu, campuran endapan didekantasi hati-hati,

kemudian bagian residunya diambil dan dikeringkan dengan penguap vakum

untuk menghilangkan sisa heksana. Tahap penghilangan kandungan lemak

dilakukan dua kali. Untuk mengekstraksi akrilamida, residu kopi yang telah

dihilangkan kandungan lemaknya ditambahkan aseton sebanyak 20 mL dan 2

tetes aquabides dan di-ultrasonik untuk menghomogenkan selama 20 menit pada

suhu 40 ± 0,1 °C. Lapisan aseton disaring dengan menggunakan kertas saring dan

kemudian diuapkan dengan waterbath. Kemudian residunya ditambahkan dengan

2 mL fase gerak asetonitril dan air (2:98, v/v) dan dikocok untuk melarutkan

32
selanjutnya masing-masing larutan disaring menggunakan acrodisc syringe filter

0,45 µm dan sebanyak 20 µL diinjeksikan ke sistem KCKT (Prabowo et al.,

2012).

3.3.3 Optimasi Kondisi Analisa

Sejumlah 20 µL larutan standar akrilamida dengan konsentrasi 10 µg/mL

diinjeksikan ke dalam sistem KCKT. Fase gerak yang digunakan adalah

asetonitril dan akuabides dengan perbandingan ( 2:98 v/v ) dan laju alir 0,5

mL/menit pada panjang gelombang 200 nm dalam 15 menit. Selanjutnya 20 µL

sampel diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan kondisi fase gerak, laju alir

dan panjang gelombang yang sama. Kemudian dari data yang diperoleh dipilih

kondisi yang memberikan harga efisiensi yang tinggi dan waktu retensi yang

relatif singkat (Can & Arli, 2014).

3.3.4 Pembuatan Standar Adisi

Sebanyak 6 x 2,2 g bubuk kopi ditimbang dan dimasukkan ke dalam enam

mikrotube. Satu larutan sampel tanpa penambahan standar akrilamida dan lima

larutan sampel lainnya dengan penambahan standar akrilamida dengan

konsentrasi 0; 2; 5; 10; 15 dan 20 ppm. Kemudian masing-masing campuran

dilakukan penghilangan kandungan lemak dengan 10 mL heksana dan

dihomogenkan menggunakan vortex mixer selama 5 menit. Setelah itu, campuran

endapan didekantasi hati-hati, kemudian bagian residunya diambil dan

dikeringkan dengan Penguap vakum untuk menghilangkan sisa heksana. Tahap

penghilangan lemak ini dilakukan dua kali. Untuk mengekstraksi akrilamida,

residu kopi yang telah dihilangkan lemaknya ditambahkan aseton 20 mL dan 2

33
tetes aquabides dan di-ultrasonik untuk menghomogenkan selama 20 menit pada

suhu 40 ± 0,1 °C. Lapisan aseton disaring dengan menggunakan kertas saring dan

kemudian diuapkan dengan waterbath. Kemudian residunya ditambahkan dengan

2 mL fase gerak asetonitril : air ( 2:98, v/v ) dan dikocok untuk melarutkan.

Selanjutnya masing-masing larutan disaring menggunakan acrodisc syringe filter

0,45 µm dan sebanyak 20 µL diinjeksikan ke sistem KCKT menggunakan fase

gerak asetonitril : akuabides ( 2:98, v/v ) laju alir 0,5 mL/menit. Tentukan Luas

Area dibawah kurva/ area under curve (AUC) masing-masing larutan dan kadar

akrilamida menggunakan persamaan regresi linier yang diperoleh dari kurva

kalibrasi larutan standar akrilamida (Harmita, 2004).

3.3.5 Pembuatan Standar dan Kurva Baku Akrilamida

Sejumlah lebih kurang 10 mg standar Akrilamida ditimbang dan

dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Larutan induk akrilamida dilarutkan

dengan fase gerak asetonitril : aquabides (2:98, v/v) sampai tanda batas. Larutan

standar akrilamida dengan konsentrasi 2; 5; 10; 15 dan 20 ppm dibuat dengan

mengencerkan larutan induk menggunakan fase gerak. Pipet larutan induk

sebanyak 0,2 mL; 0,5 mL; 1 mL; 1,5 mL; dan 2 mL. Masing-masing larutan

dimasukan ke dalam labu ukur 10 mL. Cukupkan dengan fase gerak asetonitril

dan aquabides (2:98, v/v) sampai tanda batas. Saring dengan acrodisc syringe

filter 0,45 µm. Larutan standar 2; 5; 10; 15 dan 20 ppm, masing-masing

diinjeksikan sebanyak 20 μL ke dalam sistem KCKT. Luas area dibawah kurva

yang diperoleh dihitung dan buat kurva kalibrasi untuk menentukan persamaan

garis regresi linier Y= a + bx (Prabowo et al., 2012).

34
3.3.6 Pengujian Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi dan batas kuantitasi ditentukan dari regersi kurva baku yang

diperoleh. Nilai LOD = 3 × (SD/S) dan LOQ = 10 × (SD/S), standar deviasi (SD)

respon ditentukan berdasarkan standar deviasi residual (simpangan baku residual)

dari garis regresi yang dinyatakan sebagai Sy/x dan S merupakan nilai kemiringan

(slope atau b) pada persamaan garis atau regresi linier y = a + bx (Prabowo et al.,

2012).

3.3.7 Analisis Sampel dengan KCKT

Larutan uji hasil preparasi disaring menggunakan Acrodisc syringe filter

0,45 µm dan diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µL pada kondisi

analisis yang sesuai dan ditentukan luas area puncaknya. Konsentrasi Akrilamida

dalam sampel dihitung menggunakan persamaan kurva kalibrasi menggunakan

detektor UV dengan panjang gelombang 200 nm dalam 15 menit, laju alir lebih

kurang 0,5 mL/menit, fase diam oktadesilsilana (ODS atau C18) (phenomenek)

(150 mm × 4,6 mm id, 5 µm), fase gerak asetonitril : akuabides (2:98). Amati

hasil dan hitung luas area puncak/ area under curve (AUC) pada larutan baku dan

larutan sampel (Can & Arli, 2014).

3.3.8 Analisis Sampel dengan GC-MS

Larutan uji hasil preparasi diinjeksikan ke dalam injektor GC-MS

sebanyak 1 µL dengan mode splitless pada suhu 260 °C. Analsis dilakukan

dengan menggunakan Shimadzu GCMS-QP 2010 plus dilengkapi dengan detektor

spektrometri massa. Sampel dialiri dengan bantuan gas pembawa Helium dengan

kecepatan alir 1,6 mL/menit tekanan 13,7 kPa dan dipisahkan oleh kolom kapiler

35
5% fenil 95% metilpolisiloksan (HP-5) (30 m × 0,25 mm i.d × 0,25 µm ketebalan

film). Sistem ionisasi elektron untuk deteksi GC-MS menggunakan energi ionisasi

sebesar 70 ev. Suhu kolom dijaga pada 65 °C, ditingkatkan hingga 170 °C dengan

kenaikan 15 °C/menit (ditahan selama 1 menit), kemudian ditingkatkan 200 °C

dengan kenaikan suhu 5 °C/menit. Ditingkatkan kembali hingga 250 °C dengan

kenaikan 40 °C/menit dan ditahan selama 15 menit pada suhu 250 ºC. Waktu elusi

tiap sampel 30/menit. Aliran total 60 mL/menit, aliran kolom 0,50 mL/menit,

kecepatan linear 25,90 cm/detik, waktu retensi akrilamida 11,3 menit. Kemudian

keempat sampel kopi bubuk tradisional yang terdiri dari sampel A, B, C, dan D,

masing-masing yang telah dimasukan dalam vial yang berpenutup, dan telah

diinjeksikan sebanyak 1 µL, selanjutnya sampel tersebut diamati dengan

Kromatografi gas-spektrometri massa (Daniali et al., 2010).

3.4 Analisis Data

3.4.1 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Data yang diperoleh dari pengukuran akrilamida dibuat kurva

kalibrasinya. Konsentrasi akrilamida dihitung berdasarkan kurva kalibrasi larutan

standar Sehingga kadar akrilamida dapat dihitung dengan persamaan:

1. Persamaan Regresi Linear

Y = a + bx

( Σy )−( Σ x 2) −( Σx ) (Σxy) n(Σxy)−( Σx )( Σy)


a= b=
2
n ( Σ x )−(Σx) 2
n ( Σ x2 ) −( Σx)2

Keterangan: Y = absorban ( luas area dibawah kurva )

36
a = tatapan regresi ( perpotongan garis terhadap sumbu y )

b = konstanta regresi (slope / kemiringan kurva )

x = konsentrasi ( µg/mL )

2. Penetapan Kadar Akrilamida Pada Sampel

C = Cs × Fp × V

Keterangan: C = konsentrasi sampel (mg)

Cs = konsentrasi yang diperoleh dari persamaan regresi

kurva kalibrasi (µg/mL)

Fp = faktor pengenceran

V = volume (mL)

Rumus perhitungan % kadar akrilamida pada sampel:

Cs× Fp× V
% b/v kadar = ×100 %
W

Keterangan: Cs = konsentrasi yang diperoleh dari persamaan regresi

kurva kalibrasi (µg/ml)

Fp = faktor pengenceran

V = volume (mL)

W = bobot total sampel

3. Batas deteksi (Limit of Detection) dan batas kuantifikasi (Limit of

Quantitation) menurut Gandjar & Rohman, (2007) yaitu:

Rumus standar deviasi (SD) =√ Σ¿ ¿ ¿

37
Keterangan: x = nilai dari masing-masing pengukuran

x = nilai dari masing-masing pengukuran

N = frekuensi penetapan

N – 1 = derajat kebebasan

3× SD
Rumus Limit of Detection (LOD) =
b

Keterangan: SD = standar deviasi/ simpangan baku

b = slope

10× SD
Rumus Limit of Quatitation (LOQ) =
b

Keterangan: SD = standar deviasi/simpangan baku

b = slope

3.4.2 Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (KG-MS)

Analisis data dari akrilamida hasil Kromatografi gas-spektrometri massa

yaitu dengan menghitung nilai fragmentasi (m/z) dari hasil spektrum spektrometri

massa kemudian dibandingkan dengan angka similarity index (SI) pada pustaka

kromatografi gas spektrometri massa. Angka similarity index yang lebih besar

dari 92 % dianggap menyerupai fragmentasi puncak pada puncak kromatografi

gas. Sehingga disimpulkan bahwa puncak tersebut adalah senyawa yang sama

dengan senyawa yang terbaca pada kromatografi gas. Bila ditemukan nilai

similarity index yang sama dari fragmentasi sebuah puncak maka dipilih

38
fragmentasi senyawa dengan berat molekul terendah sabagai fragmentasi puncak

yang dianalisis (Daniali et al., 2010).

39
DAFTAR PUSTAKA

Aak (Aksi Agraris Kanisius). (1988). Budidaya Tanaman Kopi. Yogyakarta:


Yayasan Kanisius.
Belitz, H. D., & Grosch, W. (1987). Food Chemistry: Coffee, Tea, Cocoa (2nded).
Springer: New York.
Bagdonaite, K., & Murkovic, M. (2004). Factors affecting the formation of
acrylamide in coffee. Czech Journal Food Sciences, (22), 22-24.
Bagdonaite, K., Derler, K., & Murkovic. (2008). Determination of acrylamide
during roasting of coffee. Journal Agricultural Food Chemistry, 56(15),
6081-6086.
Can, N. O., & Arli, G. (2014). Analysis of acrylamide in traditional and
nontraditional foods in turkey using hplc-dad with spe cleanup. Journal
of Liquid Chromatography & Related Technologies, 37, 850-863.
Daniali, G., Jinap, S., Zaidul, S. I. M., & Hanifah, N. L. (2010). Determination of
acrylamide in banana based snacks by gas chromatography-mass
spectrometry. International Food Reseach Journal, 17(2), 433-439.
Evizal, R. (2013). Etno-agronomi pengelolaan kopi di Sumberjaya Kabupaten
Lampung Barat (Review). Agrotrop: Journal on Agriculture Science,
3(2), 1-12.

Friedman, M. (2003). Chemistry, biochemistry, and safety of acrylamide a review.


Journal Agricultural and Food Chemistry, 51, 4504-4526.

Fuferti, M. A. Z., Syakbaniah., & Ratnawulan. (2013). Perbandingan karakteristik


fisis kopi luwak (Civet coffee) dan kopi biasa jenis Arabika. Pillar of
Physics, 2, 68-75.

Gandjar, I.G., & Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Cetakan pertama.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harahap, Y., Harmita, & Simajuntak, B. (2005). Optimasi penetapan kadar


akrilamida yang ditambahkan ke dalam kripik kentang simulasi secara
Kromatografi cair kinerja tinggi. Majalah Ilmu Kefarmasian, 2(3), 154-
163.
Harahap, Y. (2006). Pembentukan akrilamida dalam makanan dan analisisnya.
Majalah Ilmu Kefarmasian, 3(3), 107-116.
Harmita. (2004). Petunjuk pelaksanaan validasi metode dan cara perhitungannya.
Majalah Ilmu Kefarmasian, 1(3), 117-135.

40
Krishnakumar, H., Balasubramanian, N. K., & Balakrishnan, M. (2002).
Sequential pattern of behavior in the common palm civet Paradoxurus
hermaphrodites (Pallas). International Journal od Comparative
Psychology, 15, 303-311.
Lingnert, H., Grivas, S., Jagerstad, M., Skog, K., Tornqvist, M., & Aman, P.
(2002). Acrylamide in food: Mechanisms of formation and influencing
factors during heating of foods. Scandinavian Journal of Nutrition,
46(4), 159-172.
Maramis, R. K., Citraningtyas, G., & Wehantouw, F. (2013). Analisis kafein
dalam kopi bubuk di kota Manado menggunakan spektrofotometri UV-
Vis. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi, 2(4), 122-128.
Marcone, M. F. (2004). Compotition and properties of Indonesian palm Civet
coffee (kopi luwak) and ethiopian Civet coffee. Food Research
International, 37, 901-912.
Najiyati, S., & Danarti. (1999). Kopi: Budidaya dan Penanganan Lepas Panen.
Jakarta: Penebar Swadaya.

Nurhakim, Y. I., & Rahayu, S. (2014). Perkebunan Kopi Skala Kecil Cepat
Panen. Jakarta: Infra Pustaka.
Oktadina, F. D., Argo, B. D., & Hermanto, M. B. (2013). Pemanfaatan nanas
(Ananas comosus L. Merr) untuk penurunan kadar kafein dan perbaikan
citarasa kopi (Coffea sp) dalam pembuatan kopi bubuk. Jurnal
Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem, 1(3), 265-273.
Prabowo, M. H., Wibowo, A., & Yuliani, F. (2012). Identifikasi dan analisis
akrilamida dalam kopi serbuk (tubruk) dan kopi instan dengan metode
Kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Ilmiah Farmasi, 9(1), 13-24.
Parliment, T. H. (2000). An overview of coffee roasting. In Parliment, T. H., Ho,
C. T., Schieberle, P (Eds.). Caffeinated Beverage: Health Benefits,
Physiological Effects and Chemistry (pp. 188–201). American
Chemical Society Symposium Series 754; American Chemical Society:
Washington.
Pittet, A., Périsset, A., & Oberson, J. M. (2004). Trace level determination of
acrylamide in cereal-based foods by gas chromatography–mass
spectrometry. Journal of Chromatography A, 1035: 123-130.

Rahardjo, P. (2017). Berkebun Kopi. Jakarta: Penebar Swadaya.


Sastrohamidjodjo, H. (2001). Dasar-Dasar Spektroskopi. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.

41
Soares, C., Cunha, S., & Fernandes, J. (2006). Determination of acrylamide in
coffee and coffee products by GC-MS using an improved SPE clean-up.
Food Additives and Contaminants, 23(12), 1276-1282.
Standar Nasional Indonesia (SNI). (2004). Kopi Bubuk. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional.
Suhono, B., & Tim LIPI. (2010). Ensiklopedia Flora Jilid 1. Bogor: PT. Kharisma
Ilmu.
Towaha, J., & Tjahjana, B. E. (2015). Kopi luwak budidaya sebagai diversifikasi
produk yang mempunyai citarasa khas. Jurnal SIRINOV, 3(1), 19-30.
Watson, D. G. (2010). Analisis Farmasi: Buku Ajar untuk Mahasiswa Farmasi
dan Praktisi Kimia Farmasi (Edisi II). Penerjemah: W. R. Syarief.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Zyzak, D.V., Sanders, R. A., Stojanovic, M., Tallmadge, D. H., Eberhart, B. L.,
Ewald, D. K., Gruber, D. C., Morsch, T. R., Strothers, M. A., Rizzi, G.
P., & Villagran, M. D. (2003). Acrylamide formation mecanism in
heated foods. Journal Agricultural and Food Chemistry, 51, 4782-
4787.

42
LAMPIRAN 1. Skema kerja penelitian

Penyiapan alat

Timbang 2,2 g (sampel) kopi bubuk → masukkan mikrotube + 10 mL heksana pada


sampel (untuk penghilangan kandungan lemak)

Homogenkan dengan Vortex mixer selama 5 menit → didekantasi

Setelah didekantasi→bagian residu dikeringkan dengan Penguap vakum →

(tahap ini dilakukan 2x)

Ekstraksi akrilamida

(1.)Filtrat kopi yang telah dihilangkan (2.) Lapisan aseton (3.) Kemudian residunya
kandungan lemaknya kemudian disaring dengan ditambahkan 2 mL fase gerak
diekstrak dengan cara : kertas saring → asetonitril dan aquabides
uapkan dengan (2:98 v/v) → kocok (untuk
20 mL aseton + 2 tetes aquabides → Waterbath melarutkan) → saring dengan
dihomogenkan menggunakan kertas saring.
ultrasonik 20 menit suhu 40 ± 0,1 °C

KCKT GC-MS

Anaisis data

Gambar 5. Persiapan Sampel

43
LAMPIRAN 1. (Lanjutan)
Pembuatan standar Adisi
Timbang 6 x 2,2 g bubuk kopi → enam mikrotube

Satu larutan sampel tanpa penambahan standar akrilamida dan


lima larutan sampel lainnya dengan penambahan standar
akrilamida dengan konsentrasi 2; 5; 10; 15 dan 20 ppm.

Masing-masing campuran dihilangkan kandungan lemak dengan


10 mL heksana

Vortex mixer selama 5 menit

dekantasi

Bagian Residu dikeringkan dengan


penguap vakum untuk
menghilangkan sisa heksana

Tahap ini dilakukan 2x

Ekstraksi akrilamida

(1.) Filtrat kopi yang telah (2.) Lapisan aseton (3.) Kemudian residunya
dihilangkan kandungan lemaknya disaring dengan ditambahkan 2 mL fase gerak
kemudian diekstrak dengan cara : kertas saring → asetonitril dan aquabides
uapkan dengan (2:98 v/v) → kocok (untuk
20 mL aseton + 2 tetes aquabides → Waterbath melarutkan) → saring dengan
dihomogenkan menggunakan kertas saring.
ultrasonik 20 menit suhu 40 ± 0,1 °C

KCKT GC-MS

Anaisis data

Gambar 6. Pembuatan Standar Adisi

44
LAMPIRAN 1. (Lanjutan)

Pembuatan standar & kurva


baku akrilamida
10 mg standar akrilamida

Masukkan ke dalam labu ukur 100 mL

Larutkan dengan fase gerak asetonitril dan


aquabides (2:98 v/v) sampai tanda batas

Buat larutan standar akrilamida dengan konsentrasi


2 ppm; 5 ppm; 10 ppm; 15 ppm; 20 ppm masing-
masing ke dalam labu ukur 10 mL dengan memipet
larutan induk kemudian cukupkan sampai tanda
batas dengan fase gerak asetonitril dan aquabides
(2:98 v/v).

masing-masing larutan konsentrasi 2 ppm; 5 ppm;


10 ppm; 15 ppm; 20 ppm diinjeksikan sebanyak
20 µL.

Sistem KCKT

Gambar 7. Pembuatan Standar dan kurva Baku Akrilamida

45

Anda mungkin juga menyukai