Anda di halaman 1dari 22

1

A. JUDUL: ANALISIS NILAI TAMBAH PADA RANTAI PASOK KOPI


ROBUSTA OLAH KERING DI DESA MUNDUK TEMU, PUPUAN,
TABANAN

B. LATAR BELAKANG
Kopi adalah salah satu hasil komoditi yang memiliki nilai ekonomis
yang tinggi diantara jenis komoditi perkebunan yang ada di Indonesia. Kopi
tidak hanya berperan penting sebagai sumber devisa melainkan juga
merupakan sumber penghasilan bagi tidak kurang dari satu setengah juta jiwa
petani kopi di Indonesia (Rahardjo, 2012). Menurut Prastowo et al. (2010)
lebih dari 90% dari areal pertanaman kopi Indonesia terdiri atas kopi robusta.
Tanaman kopi robusta juga memiliki kelebihan dari pada jenis kopi jenis
lainnya, jenis kopi ini tahan penyakit, memerlukan syarat tumbuh dan
pemeliharaan yang ringan, dan produksinya jauh lebih tinggi dari pada jenis
kopi yang lainnya. Oleh karena itu kopi robusta lebih cepat berkembang
dibandingkan dengan kopi jenis lainnya.
Kecamatan Pupuan adalah salah satu wilayah penghasil kopi robusta
terbesar di Bali, menurut data Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Tabanan tahun 2016 wilayah Pupuan menghasilkan 84% atau
sekitar 5.170 ton kopi ose jenis robusta dari 6.102 ton total produksi kopi
robusta Kabupaten Tabanan. Daerah Pupuan memang terkenal sebagai salah
satu sentra penghasil kopi jenis robusta di Bali, tidak heran bila hasil kopi
robusta daerah Pupuan kian diminati oleh kalangan penikmat kopi. Pada awal
tahun 2017 Kecamatan Pupuan telah resmi mendapat sertifikat Indikasi
Geografis melalui Kementerian Hukum dan HAM dengan lima jenis kopi yang
ditanam dan diolah petani, yakni Kopi Ose Olah Basah Gerbus Kering, Kopi
Ose Olah Kering, Kopi Ose Olah Madu, Kopi Sangrai dan Kopi Bubuk yang
memiliki cita rasa excellent dengan tingkat keasaman yang kuat dan tanpa
memiliki cacat citarasa.
Desa Munduk Temu merupakan salah satu Desa penghasil kopi jenis
robusta terbesar di Kecamatan Pupuan, dengan luas lahan kopi mencapai 1.213
Ha. Desa Munduk Temu menghasilkan sekitar 445.60 ton kopi ose atau 19%
2

dari total produksi kopi ose robusta Kecamatan Pupuan pada akhir tahun 2017
(UPT Kecamatan Pupuan). Kondisi tanah serta iklim di Desa Munduk Temu
yang sesuai menjadi salah satu faktor penting dalam pengembangan tanaman
kopi robusta. Hampir seluruh masyarakat desa menggantungkan hidupnya dari
hasil perkebunan kopi robusta ini. Pada tahun 2015 hingga 2017 terjadi
penurunan terhadap hasil panen kopi robusta di wilayah Desa Munduk Temu,
ini dikarenakan pengaruh dari cuaca cukup ekstrem yang menyebabkan
penurunan produksi buah kopi pada tanaman. Selain itu, terdapat juga kendala
seperti pola pemasaran produk kopi ose yang belum efekif dan efisien
dikalangan petani sehingga menyebabkan para petani kopi diwilayah Desa
Munduk Temu masih belum memaksimalkan pendapatan mereka dari hasil
panen kopi robusta.
Sistem yang melibatkan proses produksi, pengiriman, penyimpanan,
distribusi, dan penjualan prosuk hingga sampai ke tangan konsumen disebut
dengan manajemen rantai pasok (Wuwung, 2013). Rantai pasok kopi ose
robusta secara umum meliputi petani, tengkulak, pengepul besar yang
kemudian akan dijual ke pabrik pengolahan kopi ose maupun konsumen.
Penelitian mengenai rantai pasok kopi beras di Desa Munduk Temu,
Kecamatan Pupan hingga saaat ini belum dilakukan, sehingga belum diketahui
secara pasti bagaimana aliran kopi ose robusta dari petani hingga sampai ke
tangan konsumen. Rantai pasok yang terbentuk juga belum secara tepat
diketahui apakah menimbulkan nilai tambah yang seimbang antara elemen dari
rantai pasok kopi robusta.
Nilai tambah dalam proses pengolahan produk yaitu selisih antara nilai
produk dengan nilai bahan baku serta input lainnya, tetapi tidak termasuk
tenaga kerja (Hayami, et al., 1987). Proses nilai tambah terbentuk apabila
terdapat perubahan bentuk dari produksi aslinya, sehingga pembentukan nilai
tambah ini penting untuk dilakukan oleh petani guna meningkatkan
pendapatannya. Penelitian lebih lanjut mengenai nilai tambah pada rantai
pasok kopi robusta dengan menggunakan metode Hayami di Desa Munduk
Temu, Pupuan perlu dilakukan sehingga dapat diketahui nilai tambah yang
dihasilkan pada masing-masing elemen rantai pasok kopi robusta.
3

C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana rantai pasok kopi robusta olang kering di Desa Munduk Temu,
Pupuan Tabanan?
2. Berapakah nilai tambah pada masing-masing elemen rantai pasok kopi
robusta di Desa Munduk Temu, Pupuan, Tabanan?
3. Bagaimana alternatif rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan nilai
tambah pada petani kopi robusta di Desa Munduk Temu, Pupuan, Tabanan?

D. TINJAUAN PUSTAKA
D1. Kopi
Kopi adalah spesies tanaman berbentuk pohon dan termasuk dalam
famili Rubiaceae, tanaman ini tumbuh tegak, bercabang dan dapat mencapai
tinggi 12 m. Kopi merupakan komoditas ekspor yang mempunyai nilai
ekonomis yang relatif tinggi di pasaran dunia (Kurniawan, 2013). Iklim
Indonesia sangat baik dan berperan dalam pertumbuhan dan produksi kopi,
hingga saat ini Negara Indonesia merupakan bagian dari Negara pengekspor
kopi dunia, jenis kopi yang banyak diekspor yaitu kopi robusta.
Tanaman kopi merupakan jenis tanaman tropis yang dapat tumbuh di
mana - mana, kecuali tempat yang terlalu tinggi dengan temperatur sangat
dingin atau daerah tandus yang tidak cocok bagi kehidupan tanaman. Indonesia
memiliki 3 jenis kopi yang dikembangkan, yaitu kopi arabika (Coffea arabica),
kopi robusta (Coffea 14 robusta), dan kopi liberika (Coffea liberica). Namun,
pada umumnya penduduk Indonesia lebih banyak menanam kopi jenis robusta,
sedangkan kopi arabika hanya ditanam berkisar 10 % (Herman, 2003).
Secara umum kandungan kimia yang terkandung didalam kopi adalah
Kafein, Ethyphenol, Quinic Acid, Dicaffeoylquinic Acid, Dimethyl Disulfide,
Acetylmethylcarbinol, Putrescine, Trigonelline, Niacin. Kopi jenis robusta
mengandung kafein dalam kadar yang jauh lebih banyak bila dibandingkan
dengan jenis kopi arabika (Kurniawan, 2013).
4

D1.1 Jenis – Jenis Tanaman Kopi


Jenis tanaman kopi yang paling banyak dibudidayakan diantaranya
kopi arabika, kopi robusta, kopi liberika dan kopi hibrida. Pada umumnya
penggolongan tanaman kopi berdasarkan spesies, kecuali pada jenis kopi
robusta. Kopi robusta tidak digolongkan berdasarkan spesies karena kopi jenis
ini merupakan keturunan dari beberapa spesies kopi terutama Coffea
canephora (Najiyati dan Danarti, 2004).
Terdapat 4 jenis kopi yang paling banyak dibudidayakan yakni
(Mulato, 2002) :
1. Kopi Arabika (Coffea Arabica)
Kopi arabika merupakan jenis kopi yang paling banyak
dibudidayakan di dunia maupun di Indonesia khususnya. Kopi arabika
ditanam pada dataran tinggi yang memiliki iklim kering dan terletak pada
ketinggian 1350-1850 m dpl. Di Indonesia kopi arabika dapat tumbuh pada
ketinggian 1000-1750 m dpl dengan suhu berkisaran antara 160 C – 200 C.
Kopi arabika lebih berharga dibandingkan dengan jenis kopi lainnya karena
memiliki tingkat aroma dan rasa yang kuat (Brohan, et al., 2009).
2. Kopi Liberika (Coffea Liberica)
Jenis kopi liberika berasal dari dataran rendah Monrovia tepatnya di
daerah Liberika. Pohon kopi liberika dapat tumbuh dengan baik di daerah
yang memiliki tingkat kelembaban yang tinggi dan temperatur yang panas.
Kopi liberika penyebarannya sangat cepat. Kopi Liberika memiliki kualitas
yang lebih buruk jika dibandingkan dengan jenis kopi arabika baik dari segi
buah maupun tingkat rendemennya rendah.
3. Kopi Robusta (Coffea Canephora)
Kopi robusta juga disebut dengan Coffea Canephora. Nama robusta
dipergunakan dengan tujuan perdagangan, sedangkan canephora
merupakan nama botanis. Jenis kopi robusta berasal dari Afrika, dari pantai
barat hingga ke Uganda. Kopi robusta dapat tumbuh lebih baik di daerah
dengan ketinggian 0-1000 mdpl, dimana tempat tersebut tidak cocok untuk
kopi arabika yang memerlukan ketinggian lebih dari 1000 mdpl untuk
menghindari serangan hama Hemelia vastatrix (HV). Hal ini yang
5

menyebabkan kopi robusta lebih banyak dibudidaya di Indonesia yang


daerahnya didominasi dataran rendah (Rahardjo, 2012). Ciri-ciri kopi
robusta secara umum antara lain memiliki rasa yang lebih pahit, aroma yang
dihasilkan khas manis, warna biji bervariasi, teksturnya lebih kasar daripada
kopi arabika (Anggara dan Marini, 2011). Kopi robusta biasanya digunakan
sebagai kopi instan atu cepat saji. Kopi robusta memiliki kandungan kefein
yang lebih tinggi, rasanya lebih netral dan aroma kopi lebih kuat
dibandingkan kopi lainnya.
4. Kopi Hibrida
Kopi hibrida merupakan turunan pertama dari hasil perkawinan
antara dua spesies atau varietas sehingga mewarisi sifat unggul dari kedua
induknya. Namun keturunan dari jenis kopi hibrida sudah tidak memiliki
sifat yang sama dengan induknya. Oleh karena itu, pembudidayaannya
hanya dengan cara vagetatif seperti teknik okulasi atau sambungan.

D.1.2 Proses Pengolahan Kopi


Terdapat tiga metode yang biasa dilakukan dalam pengolahan kopi
yang telah diapanen yakni metode olah kering, metode olah basah dan
metode olah madu.
1. Pengolahan Kopi dengan Metode Kering
Metode kering atau juga disebut dengan metode alami adalah cara
yang paling lama digunakan, cara ini mudah dikerjakan dan membutuhkan
lebih sedikit mesin. Pemrosesan dilakukan dengan pengeringan pada
seluruh buah. Metode kering ini dipakai sekitar 90% dari produksi kopi di
Brazil, serta sebagian besar kopi yang diproduksi di Ethiopia, Haiti, dan
Paraguay, sebagaimana juga yang diproduksi di India dan Ekuador.
Sebagian besar kopi robusta diproses dengan metode ini. Tetapi, cara ini
tidak dipakai di daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi, dimana
kelembaban atmosfer terlalu tinggi atau sering turun hujan selama
pemanenan. Adapun tahapan metode olah kering yakni :
6

a. Sortasi buah kopi


Proses sortasi biji kopi dilakukan begitu selesai proses pemanenan.
Buah superior atau gelondong merah dipisahkan dengan buah yang
berwarna kuning ataupun hijau sebagai penanda kualitas yang diperoleh
sangat baik dan tidak mempengaruhi cita rasa kopi.
b. Pengeringan buah kopi
Buah kopi yang sudah melalui proses sortasi selanjutnya dijemur di
atas para-para atau lantai jemur secara merata. Ketebalan kopi pada saat
penjemuran tidak lebih dari 4 cm dan dilakukan setidaknya pembalikan biji
kopi sebanyak 2 kali. Proses penjemuran biasanya memerlukan waktu
sekitar 2 minggu untuk mendapatkan biji kopi dengan kadar air 15%. Bila
kadar air masih dirasakan tinggi, dilakukan pengeringan kembali
menggunakan mesin pengeringan
c. Pengupasan kulit buah dan kulit tanduk
Buah kopi yang telah dikeringkan, selanjutnya dilakukan proses
pengupasan kulit buah dan kulit tanduk. Proses pengupasan kulit buah
dilakukan menggunakan mesin pulper. Kadar air biji kopi diusahakan sudah
mencapai 15% sehinggga dapat membantu proses pengupasan kulit buah
dan mengurangi resiko biji pecah. Pengupasan kulit tanduk dapat dilakukan
dengan cara ditumbuk atau menggunakan mesin huller. Kelemahan dengan
cara ditumbuk adalah persentase biji kopi pecah lebih tinggi dibandingkan
menggunakan mesin.
d. Proses sortasi dan pengeringan biji kopi
Proses sortasi dilakukan untuk memisahkan produk yang diinginkan
dengan sisa kulit buah, kulit tanduk, biji pecah dan kotoran lainnya.
Selanjutnya dilakukan pengeringan kembali hingga kadar air mencapai
12%. Apabila kadar air yang didapatkan melebihi angka tersebut, biji kopi
akan mudah terserang jamur. Apabila kurang dari kadar air yang telah
ditentukan, biji kopi akan menyerap air dari udara yang dapat mengubah
cita rasa dan aroma kopi tersebut. Setelah mencapai kadar air
kesetimbangan biji kopi sudah dapat dikemas dan disimpan di dalam
gudang.
7

2. Pengolahan Kopi dengan Metode Basah


Metode basah membutuhkan penggunaan alat yang spesifik dan
kuantitas air yang mencukupi. Memproduksi green coffee yang seragam
dengan sedikit kerusakan. Maka dari itu, kopi yang dihasilkan berdasarkan
metode pembuatan ini, harganya jauh lebih mahal dikarenakan kualitasnya
yang lebih baik. Metode basah ini banyak digunakan untuk kopi berjenis
arabika, dengan pengecualian produksi di Brazil dan negara-negara Arab
yang menggunakan proses kering. Adapun tahapan metode olah basah
yakni:
a. Sortasi buah kopi
Proses sortasi pada buah kopi langsung dilakukan setelah pemetikan
buah kopi pada pohonnya. Buah kopi dipisahkan dari kotoran, buah
berpenyakit dan buah cacat dengan cara manual. Pemisahan gelondong
merah (buah superior) dengan buah yang berwarna kuning atau hijau
berguna untuk membedakan kualitas kopi yang dihasilkan.
b. Pencucian buah kopi
Pencucian atau perambangan dilakukan untuk menghilangkan
kotoran yang masih menempel pada buah kopi seperti sisa ranting, daun dan
serangga yang ikut tercampur pada buah kopi. Pencucian juga digunakan
untuk memisahkan buah kopi mengapung yang menandakan kualitas yang
dimiliki rendah. Pencucian sebaiknya dilakukan menggunakan mesin
washer sehingga tidak membutuhkan waktu yang cukup lama.
c. Pengupasan buah kopi
Proses pengupasan kulit buah kopi sebaiknya dilakukan
menggunakan mesin pengupas (Pulper). Terdapat dua jenis mesin pulper
yang beredar di masyarakat yakni menggunakan mesin dan diputar secara
manual. Selama proses pengupasan buah kopi, air dialirkan secara terus
menerus kedalam mesin pulper. Fungsi dari pengaliran air yaitu melunakan
jaringan kulit buah agar mudah terlepas dari biji kopi. Hasil proses
pengupasan kulit buah yaitu biji kopi yang masih memiliki kulit tanduk.
8

d. Fermentasi biji kopi


Salah satu aspek yang penting dalam pengolahan kopi adalah proses
fermentasi. Fermentasi bertujuan untuk meluluhkan lapisan lendir yang ada
pada permukaan kulit tanduk biji kopi dan membentuk aroma cita rasa khas
kopi arabika. (Arnawa, dkk., 2010). Proses fermentasi dilakukan terhadap
biji kopi yang telah dikupas. Terdapat dua proses fermentasi yaitu dengan
cara merendam biji ke dalam bak fermentasi yang telah berisi air bersih atau
menumpuk biji kopi basah kedalam bak fermentasi, kemudian ditutup
menggunakan karung goni yang harus selalu dibasahi.
Lama proses fermentasi berkisar antara 12 jam sampai 36 jam.
Proses fermentasi dapat diamati dari lapisan lendir yang masih menempel
pada biji kopi, apabila lapisan lendir sudah hilang maka proses fermentasi
dapat dikatakan selesai. Setelah difermentasi, biji kopi selanjutnya dicuci
bersih menggunakan air yang berfungsi untuk menghilangkan sisa-sisa
lapisan lendir yang masih menempel pada biji kopi.
e. Pengeringan biji kopi
Proses pengeringan dilakukan dengan cara dijemur di atas para-para
atau menggunakan lantai penjemuran. Biji kopi yang akan dijemur, disebar
secara merata diatas para-para atau lantai penjemuran. Ketebalan tumpukan
biji kopi sebaiknya tidak lebih dari 4 cm. Biji kopi yang dijemur harus
dibalik secara merata terutama dalam keadaan basah.
Lama proses penjemuran biji kopi berkisar antara 2 minggu sampai
3 minggu dan menghasilkan biji kopi dengan kadar air berkisar antara 16%-
17%, sedangkan kadar air yang diharuskan ialah 12%. Kadar air tersebut
merupakan kadar air kesetimbangan agar biji kopi yang dihasilkan stabil
dan tahan terhadap serangan jamur. Untuk mendapatkan kadar air yang
diinginkan, dilakukan proses pengeringan lanjutan. Biasanya proses
pengeringan lanjutan dilakukan menggunakan mesin pengering hingga
kadar air pada biji kopi mencapai 12%. Pengeringan menggunakan mesin
akan lebih menghemat waktu dan tempat pengeringan namun membutuhkan
biaya lebih untuk membeli mesin dan bahan bakar mesin. Hasil proses
pengeringan biji kopi disebut juga dengan kopi HS.
9

f. Pengupasan kulit tanduk


Setelah biji kopi mencapai kadar air 12%, dilakukan proses
pengupasan kulit tanduk. Proses pengupasan kulit tanduk dapat dilakukan
dengan cara ditumbuk atau menggunakan mesin pengupasan (Huller).
Mesin huller digunakan agar dapat mengurangi resiko kerusakan pada biji
kopi. Hasil proses pengupasan kulit tanduk disebut dengan kopi Ose (green
bean).
g. Sortasi akhir biji kopi
Proses sortasi akhir bertujuan untuk memisahkan kotoran dan biji
pecah. Penggunaan mesin sortasi akan memudahkan untuk memilah kopi
sesuai ukuran yang diinginkan. Setelah proses sortasi, biji kopi selanjutnya
dikemas menggunakan karung goni dan disimpan di dalam gudang sebelum
dipasarkan.

3. Pengolahan Kopi dengan Metode Olah Madu


Proses olah madu umumnya digunakan di banyak negara-negara
Amerika Tengah seperti Costa Rica dan El Salvador. Pengolahan kopi
dengan metode olah madu hampir sama dengan pengolahan metode olah
basah. Namun pada pengolahan ini dilakukan pengupasan kulit kopi
menggunakan pulper dengan menggunakan sedikit air. Biji kopi kemudian
langsung dijemur dalam kondisi masih terdapat lendir atau mucilage. Kulit
daging yang tersisa ini dalam bahasa Spanyol diistilahkan dengan miel yang
berarti madu. Lendir yang masih menempel pada bagian biji kopi
menyebabkan tekstur dari biji kopi terasa seperti madu (Hoffmann. 2014).

D2. Nilai Tambah


Nilai Tambah (value added) merupakan pertambahan nilai dari suatu
komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan atau
penyimpanan dalam suatu produksi. Nilai tambah pada proses pengolahan
suatu komoditas dapat didefinisikan sebagai selisih antara harga produk
dengan harga biaya bahan baku dan input lainnya. (Hayami, et al., 1987).
10

Nilai tambah dapat diartikan sebagai selisih yang diperoleh antara


komoditas yang mendapat perlakuan tertentu dengan nilai pengorbanan yang
diberikan selama proses berlangsung. Menurut Hayami, et al (1987), terdapat
faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah dalam proses pengolahan yaitu:
a. Faktor Teknis
Pada faktor ini hal-hal yang memengaruhi nilai tambah terdiri dari kapasitas
prosduksi, jumlah tenaga kerja, pengemasan dan plabelan, distribusi, serta
jumlah bahan baku yang digunakan.
b. Faktor Pasar
Hal-hal yang mempengaruhi nlai tambah dari segi faktor pasar diantaranya
harga output, upah kerja, transportasi, harga bahan baku, serta nilai input
lain selain tenaga kerja dan bahan baku seperti biaya modal dan gaji tenaga
kerja tang langsung.
Hidayat dkk (2012) menyebutkan perhitungan nilai tambah dapat
dimodifikasi dan disesuaikan dengan jumlah pelaku usaha, jumlah komoditi
yang ditangani, serta siklus kegiatan usaha. Secara garis besarnya nilai tambah
dapat dihitung dengan rumus di bawah ini (Hayami, et al., 1987) :
NT = NP – (NBB + NBP)
dimana :
NT : Nilai Tambah (Rp/kg)
NP : Nilai Produk (Rp/Kg)
NBB : Nilai Bahan Baku (Rp/kg)
NBP : Nilai Bahan Penunjang (Rp/kg)

D3. Manajemen Rantai Pasok


Manajemen rantai pasok adalah suatu kegiatan pengelolaan kegiatan-
kegiatan dalam memperoleh bahan mentah menjadi barang dalam proses atau
barang setengah jadi dan barang jadi yang kemudian dikirim ke konsumen
melalui sisten distribusi (Heizer, 2004). Menurut Turban (2004) terdapat 3
komponen dari suatu manajemen rantai pasok diantaranya upstream supply
chain, internal chain, dan downstream supply chain.
11

Menurut Pudjawan (2005), salah satu aspek fundamental dalam


manajemen rantai pasokan adalah manajemen kinerja dan perbaikan secara
berkelanjutan. Untuk menciptakan manajemen kinerja yang efektif diperlukan
sistem pengukuran yang mampu mengevaluasi kinerja rantai pasok secara
holistik. Sistem pengukuran kinerja diperlukan untuk: (1) Melakukan
monitoring dan pengendalian terhadap supply chain, (2) Mengkomunikasikan
tujuan organisasi kepada fungsi-fungsi pada supply chain, (3) Mengetahui
dimana posisi suatu organisasi relatif terhadap pesaing maupun tujuan yang
hendak dicapai, dan (4) Menentukan arah perbaikan untuk menciptakan
keunggulan dalam bersaing. Dalam sebuah rantai pasok terdapat 3 aliran yang
harus dikelola yaitu : (1) aliran barang yang mengalir dari hulu ke hilir, (2)
aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hulu ke hilir, dan (3) aliran
informasi yang mengalir dari hulu ke hilir atau hilir ke hulu.

E. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui rantai pasok kopi robusta di Desa Munduk Temu, Pupuan,
Tabanan.
2. Mengetahui nilai tambah pada masing-masing elemen rantai pasok kopi
robusta di Desa Munduk Temu, Pupuan, Tabanan.
3. Membuat alternatif rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan nilai
tambah pada petani kopi robusta di Desa Munduk Temu, Pupuan, Tabanan.

F. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bahan Informasi dan perencanaan jaringan distribusi kopi robusta di Desa
Munduk Temu, Pupuan, Tabanan.
2. Sebagai alternatif dalam mengambil kebijakan guna meningkatkan
kesejahteraan petani kopi
12

G. METODE PENELITIAN
G.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Munduk Temu Kecamatan
Pupuan Kabupaten Tabanan Bali. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja
(purposive) dengan mempertimbangkan Desa Munduk Temu merupakan salah
satu sentra penghasil kopi robusta yang berada di Kecamatan Pupuan, Tabanan
Bali. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dari bulan April sampai
dengan bulan Juni 2018 untuk pengumpulan data primer dan sekunder serta
analisis data dan penyusunan skripsi.

G.2. Tahapan Penelitian


Penelitian dilakukan dengan tahapan yaitu identifikasi masalah dan
tujuan, penyusunan kuisioner, penentuan populasi dan sampel, survei rantai
pasok, analisis nilai tambah, dan penyusunan alternatif rekomendasi.
Penelitian ini terfokus pada kopi jenis robusta dimana wilayah Desa Munduk
Temu merupakan sentra dominan produksi kopi robusta. Diagram alir ini
disajikan dalam Gambar 3.

G.3. Analisis Situasi, Identifikasi Masalah dan Tujuan


Tahap Identifikasi masalah pada lokasi penelitian dilakukan dengan
cara observasi dan studi pustaka. Tahap ini dilakukan beberapa wawancara
langsung tentang masalah yang terkait dengan penelitian dengan beberapa
elemen rantai pasok. Peneliti juga melakukan beberapa pengamatan langsung
keadaaan serta teknis kegiatan untuk dapat merumuskan permasalahan dan
tujuan penelitian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data
primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini berupa data yang
diperoleh dari hasil wawancara dan kuisioner untuk perhitungan nilai tambah
dari pihak-pihak yang terlibat dalam system manajemen rantai pasok kopi
robusta di Desa Munduk Temu. Data sekunder dalam penelitian ini berupa
informasi data tahunan tentang tentang hasil produksi kopi robusta, luas lahan
kopi, harga kopi robusta di daerah Pupuan, kepustaan buku, serta jurnal ilmiah
yang terkait.
13

G.4. Penyusunan Kuisioner Penelitian


Penyusunana kuisioner dilakukan berdasarkan parameter penelitian
berupa elemen pembentuk rantai pasok kopi robusta, jumlah dan bahan baku
yang digunakan, jumlah tenaga kerja yang terlibat, besar upah tenaga kerja,
biaya produksi yang dikeluarkan, jumlah dan besar biaya tambahan yang
dikeluarkan, jumlah hasil produksi, harga produk, serta cara menjual produk
yang dihasilkan.

G.5. Penentuan Populasi dan Sampel


Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian seluruh komponen
elemen yang terlibat dalam rantai pasok kopi robusta olah kering di wilayah
Desa Munduk Temu Pupuan Bali secara umum terdiri dari petani kopi,
tengkulak, pengepul besar, maupun pabrik pengolahan kopi. Teknik
pengambilan sampel secara sensus dilakukan saat peneliti mengambil seluruh
kelompok tani kopi di Desa Munduk Temu. Purposive sampling dilakukan
ketika peneliti memiliki kebebasan dalam menentukan responden yang
digunakan berdasarkan pertimbangan tertentu. Pengambilan sampel untuk
elemen rantai pasok kopi robusta ditingkat petani dilakukan secara Random
sampling yang mewakili masing-masing dari kelompok tani, sedangkan
pengambilan sampel setelah petani dilakukan dengan cara Snowball sampling.
Metode Snowball sampling digunakan dalam penelitian survei untuk
menemukan, memilih, dan mengambil sampel dalam suatu rantai hubungan
(Nurdani, 2014).
Terdapat 12 kelompok tani kopi yang terbagi kedalam 3 subak abian di
Desa Munduk Temu. Kelompok tani tersebut kemudian distratifikasikan
menjadi tiga bagian berdasarkan ketiga subak yang ada. Subak pertama terdiri
dari 5 kelompok tani, subak kedua terdiri dari 3 kelompok tani, dan subak
ketiga terdiri dari 4 kelompok tani. Dari ketiga subak tersebut akan diambil
sampel sebanyak 5 orang petani kopi dari setiap kelompok tani, sehingga
diperoleh 60 orang sampel petani yang terpilih. Penarikan sampel untuk
mendapatkan sampel terpilih disajikan dalam Gambar 1.
14

Populasi Subak Desa


Munduk Temu

3 Subak Abian

Subak (1) Subak (2) Subak (3)

5 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok


Tani Tani Tani

Random
5 Orang Setiap Kelompok Tani……………………..
Sampling
(Kopi Robusta Olah Kering)

60 Sampel Petani
Terpilih
Snowball
…………………………………… Sampling
Sampel Elemen Rantai
Pasok Terpilih

Gambar 1. Diagram alir penarikan sampel


G.6. Survei Rantai Pasok Kopi Robusta
Tahap survei rantai pasok, bertujuan unutk mengetahui alur rantai pasok
kopi robusta yang terbentuk di Desa Munduk Temu Pupuan Tabanan.
Identifikasi dari elemen rantai pasok kopi robusta di Desa Munduk Temu
Pupuan Bali terdiri dari :
1. Aliran Barang, berupa aliran kopi robusta dari pihak produsen hingga
ketangan konsumen.
2. Aliran Uang, berupa harga produk yang dihasilkan berupa kopi robusta.
3. Aliran Informasi, berupa periode penanaman maupun pemanenan dari
petani dan tata cara penentuan harga oleh pelaku dari elemen rantai pasok.
15

G.7. Analisis Nilai Tambah


Tahapan analisis nilai tambah memiliki input berupa hasil produksi
(output), bahan baku (input), tenaga kerja, harga bahan baku dan harga
produk, upah tenaga kerja, serta jumlah input lain yang digunakan. Analisis
nilai tambah menggunakan metode Hayami yang akan menghasilkan nilai
tambah yang diterima dari tiap elemennya. Metode Hayami menghitung nilai
tambah dengan cara menjumlahkan nilai tambah yang diperoleh untuk
kegiatan produksi dengan kegiatan pemasaran. Kelebihan metode ini pada
kemudahan pemahaman dan penggunaannya, serta memberikan informasi
cukup lengkap untuk pelaku maupun investor serta pekerja. Besarnya nilai
tambah dari pengolahan kopi dapat dihitung dengan menggunakan
komponen-komponen struktur produksi pada Tabel 2. (Hayami, et al., 1987).
Tabel 2. Analisis Nilai Tambah Metode Hayami
No. Variabel Satuan Nilai
I. Output, Input, Harga
1. Output Kg (1)
2. Input Kg. (2)
3. Tenaga Kerja HOK. (3)
4. Faktor Konversi (4) = (1)/(2)
5. Koefisien T. Kerja HOK/Kg (5) = (3)/(2)
6. Harga Output Rp (6)
7. Upah T.Kerja Rp/HOK (7)
II. Penerimaan dan Keuntungan
8. Harga Bahan Baku Rp/Kg (8)
9. Sumbangan Input Lain Rp/Kg (9)
10. Nilai Output Rp/Kg (10) = (4) x (6)
11. a. Nilai Tambah Rp/Kg (11a) = (10)-(9)-(8)
b. Rasio Nilai Tambah % (11b) = (11a/10) x 100%
12. a. Pendapatan T. Kerja Rp/Kg (12a) = (5) x (7)
b. Pangsa T. Kerja % (12b) = (12a/11a) x 100%
13. a. Keuntungan Rp/Kg (13a) = (11a) – (12a)
b. Tingkat Keuntungan % (13b) = (13a/11a) x 100%
III. Balas Jasa Faktor Produksi
14. Margin Rp/Kg (14) = (10) – (8)
a. Pendapatan T. Kerja % (14a) = (12a/14) x 100%
b. Sumbangan Input Lain % (14b) = (9/14) x 100%
c. Keuntungan Perusahaan % (14c) = (13a/14) x 100%
Sumber : Hayami, et al., 1987
16

Keterangan :
a. Output : Jumlah produk yang dihasilkan dalam satu kali produksi dan
dihitung dalam satuan kg.
b. Input : Jumlah bahan baku yang digunakan dalam satu kali produksi dan
dihitung dalam satuan kg.
c. Tenaga Kerja : Jumlah tenaga kerja dalam sekali produksi yang dihitung
dalam satuan HOK (hari orang kerja).
d. Faktor Konversi : Faktor yang digunakan untuk mengkonversi atau
mengubah nilai dari satu satuan ukuran ke satuan lainnya.
e. Koefisien Tenaga Kerja : Satuan jam orang per satuan pengukuran.
f. Harga Output : Rata – rata harga jual kopi di daerah penelitian.
g. Sumbangan Input Lain : Semua bahan selain bahan baku yang digunakan
selama proses produksi berlangsung. Satuan pengukuran untuk sumbangan
input lain adalah rupiah per kg bahan baku.
h. Nilai Output : Nilai output yang dihasilkan dari satu satuan input dan
diukur dalam satuan rupiah per kg produk olahan.
i. Nilai Tambah : Selisih antara nilai output dengan sumbangan input lain dan
harga bahan baku.
j. Rasio Nilai Tambah : Persentase nilai tambah dari nilai output dan
dinyatakan dalam persen (%).
k. Pendapatan Tenaga Kerja : Besarnya upah yang diterima tenaga kerja yang
dihitung dalam satuan rupiah per kg.
l. Pangsa Tenaga Kerja : Persentase pendapatan tenaga kerja dari nilai tambah
dan dinyatakan dalam persen (%).
m. Keuntungan : Bagian yang diterima oleh pengusaha atau perusahaan dalam
satuan rupiah per kg.
n. Tingkat Keuntungan : Persentase keuntungan dari nilai tambah dan
dinyatakan dalam persen (%).
Margin : Selisih antara nilai output dengan harga bahan baku.
17

G.9 Penyusunan Alternatif Rekomendasi


Tahapan ini membahas permasalahan nilai tambah pada tingkat petani
kopi robusta Desa Munuduk Temu Pupuan, penyusunan alternatif rekomendasi
dilakukan melalui bantuan pakar yang sesuai dengan bidang penelitian yang
dilakukan. Pakar berjumlah 5 orang yang terdiri dari Akademisi, perwakilan
Dinas Pertanian dan Perkebunan, perwakilan dari Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP), Praktisi, dan Barista Kopi.
Penyusunan alternatif rekomendasi bertujuan untuk memberikan
alternatif rekomendasi kepada petani kopi robusta Desa Munduk Temu
Pupuan. Metode yang digunakan dalam penyusunan alternatif rekomendasi
peningkatan nilai tambah yakni dengan metode Analytical Hierarchi Process
(AHP). Konsep metode AHP pertama kali diperkenalkan oleh DR. Thomas L.
Saaty dari Wharton School of Business pada tahun 1971-1975, yang
merupakan suatu konsep untuk merubah nilai-nilai kualitatif menjadi nilai
kuantitatif sehingga keputusan-keputusan yang diambil bisa lebih obyektif.
Metode AHP mula-mula dikembangkan di Amerika pada tahun 1970 dalam
hal perencanaan kekuatan militer untuk menghadapi berbagai kemungkinan
(contingency planning). Kemudian dikembangkan di Afrika khususnya di
Sudan dalam hal perencanaan transportasi. (Supriyono,et al.,2007)
Analytical Hierarchi Process (AHP) adalah sebuah teori pengukuran
melalui perbandingan dan bergantung pada penilaian dari para ahli untuk
mendapatkan skala prioritas (Saaty, 2008). Skala inilah yang memberikan
ukuran dalam kondisi relatif. Perbandingan dibuat dengan menggunakan skala
penilaian mutlak yang mewakili seberapa besar satu elemen mendominasi
yang lain dengan baik terhadap atribut yang diberikan. Penilaian tersebut
mungkin tidak konsisten, kemudian AHP memperhatikan bagaimana cara
mengukur inkonsistensi dan meningkatkan penilaian untuk memperoleh
konsistensi yang lebih baik.
Dalam penyusunan Hirarki dibutuhkan sebuah bagan alir yang
dipergunakan dalam struktur pemecahan sebuah masalah terdiri dari tiga
tingkatan yaitu hasil keputusan yang diperoleh diletakan pada tingkat pertama,
berbagai multi kriteria yang mendukung alternatif pemecahan diletakan pada
18

tingkat kedua, serta beberapa alternatif yang mungkin menjadi pemecahannya


diletakkan pada tingkat ketiga (Marimin, 2004). Contoh skema Hierarki dapat
dilihat pada Gambar 2.

Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3


(Goal Level) (Level 1) (Alternative)

Kriteria 1

Alternatif 1

Kriteria 2

Tujuan Alternatif 2
Kriteria 3

Alternatif 3

Kriteria 4

Gambar 2. Skema hierarki untuk memecahkan masalah

Setiap pakar akan diberikan kuesioner AHP untuk diisi bobot


perbandingan berpasangan serta saran yang dapat diberikan kepada petani kopi
robusta Desa Munduk Temu. Selanjutnya komponen pada setiap kuesoner
AHP akan ditarik kesimpulan untk rekomendasi keputusan yang terbaik yang
dapat digunakan oleh petani kopi di Desa Munduk Temu.
19

Gambar 3. Diagram alir penelitian


20

DAFTAR PUSTAKA

Anggara, A. dan Marini, S., 2011. Kopi Si Hitam Menguntungkan Budi Daya dan
Pemasaran. Cahaya Atma Pustaka. Yogyakarta.
Arnawa, I.K., Mertaningsih, E., Budiasa, I.M., Sukarna, I.G. 2010. Peningkatan
Kualitas dan Kuantitas Kopi Arabika Kintamani Dalam Upaya
Meningkatkan Komoditas Ekspor Sektor Perkebunan. Jurnal Ngayah. 1 (1)
: 63-70.
Brohan, M., Huybrighs, T., Wouters, C. and Bruggen, B. V. 2009. Influence of
storage conditions of aroma compounds in coffee pads using static
headspace GC-MS. Food Chemistry. 116 : 480-483.
Ciptadi, W. dan Nasution, M.Z. 1985. Pengolahan Kopi. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tabanan. 2017. Luas Areal
dan Produksi Komoditi Perkebunan Kopi Robusta Kecamatan Pupuan.
Tabanan.
Hayami, Y., Kawagoe, Y., Morookadan, M., Siregar. 1987. Agricultural Marketing
ang Processing in Up Land Java A Perspective From A Sunda Village :
CGPRT Centre. Bogor.
Heizer, J., and B. Render. 2014. Operation Management. Prenyice hall Inc, New
Jersey.
Herman. 2003. Membangkitkan Kembali Peran Komoditas Kopi Bagi
Perekonomian Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hidayat, S., Marimin, A. Suryani, Sukardi, Yani, M. 2012. Modifikasi metode
hayami untuk perhitungan nilai tambah pada rantai pasok agroindustri
kelapa sawit. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 22 (1) : 22-31.
Hoffmann J. 2014. The World Atlas of Coffee “From Beans to Brewing – Coffee
Exploired, Explained and Enjoyed”. Firefly Books.
Kurniawan, B. 2013. Berbagai macam kopi di dunia. Makalah, Universitas
Sumatera Utara. Medan.
21

Marimin, Taufik D; Suharjito; Syarif H; Ditdit N. Utama; Retno A dan Sri M.


2013.Teknik dan Analisis Pengambilan Keputusan Fuzzy dalam
Manajemen Rantai Pasok. PenerbitIPB Press. Bogor.
MPIG Kopi Robusta Pupuan. 2016. Buku Persyaratan Pendaftaran Indikasi
Geografis, Pupuan.
Mulato, S. 2002. Simposium Kopi 2002 dengan tema Mewujudkan perkopian
Nasional Yang Tangguh melalui Diversifikasi Usaha Berwawasan
Lingkungan dalam Pengembangan Industri Kopi Bubuk Skala Kecil Untuk
Meningkatkan Nilai Tambah Usaha Tani Kopi Rakyat. Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia, Denpasar.
Najiyati, S dan Danarti. 2004. Budidaya Tanaman Kopi dan Penanganan Pasca
Panen : Penebar Swadaya. Jakarta.
Nurdani, N. 2014. Teknik sampling snowball dalam penelitian lapangan. ComTech.
5 (2) : 1110 – 1118.
Prastowo, B., E. Karmawati, Rubijo, Siswanto, C. Indrawanto dan S.J. Munarso.
2010. Budidaya dan Pasca Panen Kopi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Bogor.
Pujawan, I.N. 2005. Supply Chain Management Edisi Pertama. Guna Widya,
Surabaya.
Rahardjo, P. 2012. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Saaty, Thomas L. 2008. Decision making with the analytic hierarchy process,
International Jurnal. Services Sciences, Vol. 1, No. 1, pp.83-98.
Supriyono, Wisnu, A.W., dan Sudaryo. 2007. Sistem Pemilihan Pejabat Struktural
Dengan Metode AHP. Proseding Seminar Nasional III SDM Teknologi
Nuklir, Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir (STTN) BATAN, Yogyakarta.
21-22 November.
Turban, E., and Aronson. 2004. Decision Support and Intelegent Systems 6 th ed.
Prentice Hall Inc, New Jersey.
UPT Pertanian Kecamatan Pupuan. 2017. Luas Area dan Produksi Kopi Robusta.
Pupuan.
22

Wuwung, S.C. 2013. Manajemen rantai pasokan produk cengkeh pada Desa
Wawona Minahasa Selatan. EMBA. 1 (3) :230 – 238.

Anda mungkin juga menyukai