BANGSAL INTERNE
“VOMITUS, DEHIDRASI, HIPONATREMIA, DEMAM DENGUE &
DEMAM TIFOID”
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
DI RUMAH SAKIT OTAK DR. Drs. MUHAMMAD HATTA
Periode 28 Desember – 20 Februari 2021
Oleh:
KELOMPOK IV
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Study Bangsal Interne mengenai
penyakit DHF dan Demam Thypoid yang dilakukan di Rumah Sakit Otak DR. Drs. M. Hatta
Bukittinggi pada tanggal 28 Desember 2020 - 9 Januari 2021. Laporan ini dibuat untuk
Yayasan Perintis Padang dan ditulis berdasarkan teori serta hasil pengamatan selama
Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan, bimbingan, arahan, serta
masukan dari berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan laporan studi kasus
ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik dalam segi penyusunan maupun
tata bahasanya sehingga penulis berharap saran, kritikan dan masukannya demi
kesempurnaan laporan studi kasus ini. Semoga laporan studi kasus ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Vomitus atau muntah didefinisikan sebagai keluarnya isi lambung dengan kekuatan
bagaikan menyemprot melalui mulut. Hal ini dapat terjadi sebagai reflek protektif untuk
mengeluarkan bahan toksik dari dalam tubuh atau untuk mengurangi tekanan dalam organ
intestinal yang dibawahnya didapatkan obstruksi, kejadian ini biasanya didahului nausea dan
retching. Karena pengeluaran isi lambung dengan kekuatan yang cukup kuat sehingga dapat
menyebabkan dehidrasi.
Dehidrasi diartikan sebagai kurangnya cairan di dalam tubuh karena jumlah yang
keluar lebih besar dari pada jumlah yang masuk. Jika tubuh kehilangan banyak cairan, maka
tubuh akan mengalami dehidrasi (Rismayanthi, 2012). Bahaya dehidrasi diantaranya adalah
penurunan kemampuan kognitif karena sulit berkonsentrasi, risiko infeksi saluran kemih dan
terbentuknya batu ginjal. Konsumsi cairan dalam jumlah yang cukup dan tidak menahan air
kemih adalah cara yang paling efektif untuk mencegah infeksi saluran kemih, serta
menurunnya stamina dan produktivitas kerja melalui gangguan sakit kepala, lesu, kejang
hingga pingsan. Kehilangan cairan lebih dari 15% akan berakibat fatal (Alim, 2012).
Kurangnya cairan di dalam tubuh dapat memicu terjadinya hyponatremia. Hiponatremia,
didefinisikan sebagai kadar natrium plasma < 135 mmol/L merupakan gangguan
keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit yang paling sering ditemukan dalam praktik klinis.
Hiponatremia terjadi pada 15-20% perawatan kegawatdaruratan di rumah sakit dan mengenai
hampir 20% pasien yang berada dalam kondisi kritis.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vomitus
2.1.1 Definisi
Muntah adalah suatu aktivitas yang tidak menyenangkan akibat dari ekspulsi isi
lambung lewat mulut. Muntah pada bayi dan anak dapat terjadi secara regurgitasi dari isi
lambung sebagai akibat refluks gastroesofageal atau dengan menimbulkan reflek emetic yang
menyebabkan mual, kontraksi dari diafragma, interkostal dan otot abdomen anterior serta
ekspulsi dengan kekuatan isi lambung. Secara klinis terdapat dua tipe muntah yaitu yang akut
dan kronis/berulang. Belum ada batasan yang jelas untuk muntah kronis walaupun analog
dengan batasan mengenai diare kronik, orang cenderung memberi batas 2 minggu untuk
mengatakan kronik. Problema di klinik lebih banyak mengenai muntah yang kronis/berulang
atau muntah yang akut apabila menimbulkan komplikasi. Muntah dalam hal yang
menguntungkan merupakan proteksi tubuh terhadap ingesti bahan toksik yang segera
dimuntahkan. Muntah sebenarnya merupakan kejadian yang sangat komplek pada manusia,
yang terdiri dari tiga aktivitas yang saling terkait, nausea, retching, dan pengeluaran isi
lambung (expulsion).
Definisi Postoperative Nausea and Vomiting (PONV) Mual adalah rasa tidak nyaman di
perut bagian atas. Muntah adalah dorongan dari dalam perut yang tidak disadari dan
pengeluarannya melalui esofagus sampai ke mulut. Muntah biasanya disertai dengan mual
tetapi mual tidak selalu menimbulkan muntah. Faktor resiko PONV dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain : faktor pasien, faktor prosedur dan faktor anestesi.
Vomitus Mual dan muntah dapat diklasifikasikan sebagai sederhana atau kompleks.
Perawatan mual dan muntah sederhana biasanya membutuhkan minimal terapi. Baik obat
tanpa resep maupun resep yang bermanfaat dalam pengobatan mual dan muntah sederhana,
biasanya efektif dalam jumlah kecil, dosis yang jarang diberikan. Vomitus sederhana hanya
membutuhkan terapi simptomatis seperti pemberian antasida. Penatalaksanaan mual dan
muntah kompleks, terjadi penurunan kondisi yang progresif, terjadi dehidrasi dan
mempengaruhi kesadaran. misalnya pada pasien yang menerima kemoterapi sitotoksik,
mungkin memerlukan terapi kombinasi.
2.1.2 Etiologi dan Patofisiologi
Tiga fase emesis yang berurutan adalah mual, retching, dan muntah. Mual, kebutuhan
mendesak untuk muntah, berhubungan dengan stasis lambung. Retching adalah gerakan otot
perut dan dada sebelum muntah. Akhir fase emesis adalah muntah, pengeluaran kuat isi
lambung karena GI retroperistaltik.
Muntah dipicu oleh impuls aferen ke pusat muntah, inti sel di dalamnya medula. Impuls
diterima dari pusat sensorik, seperti kemoreseptor zona pemicu (CTZ), korteks serebral, dan
aferen viseral dari faring dan GI sistem. Saat tereksitasi, impuls aferen diintegrasikan oleh
pusat muntah dalam impuls eferen ke pusat salivasi, pusat pernapasan, dan faring,
gastrointestinal (GI), dan otot perut sehingga menyebabkan muntah.
2.1.3 Pengobatan
Tujuan pengobatan: mencegah atau menghilangkan mual dan muntah. Idealnya tercapai
tanpa efek samping atau dengan efek samping yang dapat diterima secara klinis.
Pilihan pengobatan untuk mual dan muntah termasuk modalitas obat dan nondrug dan
bergantung pada kondisi medis terkait. Untuk pasien dengan keluhan sederhana, mungkin
terkait dengan konsumsi makanan atau minuman, penghindaran atau moderasi diet asupan
mungkin lebih disukai. Pasien dengan gejala penyakit sistemik bisa membaik secara dramatis
saat kondisi dasar mereka membaik. Pasien yang mengalami gejala ini hasil dari perubahan
labirin yang dihasilkan oleh gerakan, dapat memperoleh manfaat dengan cepat dengan asumsi
posisi fisik yang stabil. Muntah psikogenik mungkin mendapat manfaat dari intervensi
psikologis.
Pengelolaan Farmakologi
Perawatan mual atau muntah sederhana biasanya membutuhkan minimal terapi. Untuk
kebanyakan kondisi, antiemetik agen tunggal lebih disukai; Namun, bagi mereka pasien yang
tidak menanggapi terapi tersebut dan mereka yang menerima kemoterapi yang sangat
emetogenik, biasanya diperlukan rejimen multi-agen. Perawatan mual dan muntah sederhana
biasanya membutuhkan terapi minimal. Kedua obat tanpa resep dan resep berguna dalam
pengobatan mual sederhana dan muntah biasanya efektif dalam dosis kecil yang jarang
diberikan.
2.2 Dehidrasi
2.2.1 Definisi
Dehidrasi diartikan sebagai kurangnya cairan di dalam tubuh karena jumlah yang keluar
lebih besar dari pada jumlah yang masuk. Jika tubuh kehilangan banyak cairan, maka tubuh
akan mengalami dehidrasi (Rismayanthi, 2012). Bahaya dehidrasi diantaranya adalah
penurunan kemampuan kognitif karena sulit berkonsentrasi, risiko infeksi saluran kemih dan
terbentuknya batu ginjal. Konsumsi cairan dalam jumlah yang cukup dan tidak menahan air
kemih adalah cara yang paling efektif untuk mencegah infeksi saluran kemih, serta
menurunnya stamina dan produktivitas kerja melalui gangguan sakit kepala, lesu, kejang
hingga pingsan. Kehilangan cairan lebih dari 15% akan berakibat fatal.
a) Mata cekung mungkin merupakan ciri normal pada beberapa anak. Tanyakan
kepada ibu apakah mata anak sama seperti biasanya atau lebih cekung dari
biasanya.
b) Mencubit kulit dinilai dengan menjepit kulit perut di antara ibu jari dan telunjuk
tanpa memutar. Pada orang tua, tanda ini tidak dapat diandalkan karena penuaan
normal mengurangi elastisitas kulit.
Jika tetap atau menjadi lesu : ukur kadar glukosa darah dan / atau obati hipoglikemia
Mengembangkan kram / kelemahan otot dan distensi abdomen: obati hipokalemia
sedang dengan sirup kalium klorida 7,5% (1 mmol K + / ml) PO selama 2 hari:
Anak di bawah 45 kg: 2 mmol / kg (2 ml / kg) sehari (sesuai berat badan, dosis
harian dibagi menjadi 2 atau 3 dosis)
Anak-anak 45 kg ke atas dan dewasa: 30 mmol (30 ml) 3 kali sehari Perawatan ini
sebaiknya hanya diberikan sebagai pasien rawat inap 3.
Mengembangkan edema peri-orbital atau perifer: kurangi kecepatan infus seminimal
mungkin, auskultasi paru-paru, evaluasi ulang stadium dehidrasi dan perlunya
rehidrasi IV berkelanjutan. Jika IV rehidrasi masih diperlukan, lanjutkan rehidrasi IV
tidak lagi diperlukan, chan
Mengembangkan sesak, batuk dan krepitasi bibasal terdengar pada auskultasi paru:
dudukkan pasien, kurangi kecepatan infus seminimal mungkin dan berikan satu dosis
furosemid IV (1 mg / kg pada anak-anak; 40 mg pada orang dewasa). Pantau pasien
dengan cermat selama 30 menit dan kaji penyakit jantung atau ginjal yang mendasari.
Setelah pasien stabil, kaji kembali derajat dehidrasi dan perlunya melanjutkan
rehidrasi IV. Jika rehidrasi IV masih diperlukan, mulai ulang setengah dari kecepatan
infus sebelumnya dan pantau dengan cermat. Jika rehidrasi IV tidak lagi diperlukan,
ganti ke pengobatan oral dengan oralit.
2.2.2.2 Dehidrasi
Berikan oralit sesuai WHO Treatment Plan B yang setara dengan 75 ml / kg ORS yang
diberikan selama 4 jam.
Umur <4 4 to 12 to 2 to 5 to ≥ 15
Bulan 11 Bulan 23 Bulan 4 Tahun 14 Tahun Tahun
Dorong asupan cairan tambahan yang sesuai usia, termasuk menyusui pada anak
kecil. Berikan oralit tambahan setelah setiap buang air besar (lihat di bawah).
Pantau kerugian yang sedang berlangsung dengan cermat. Kaji kondisi klinis dan
derajat dehidrasi secara berkala untuk memastikan kelanjutan pengobatan yang tepat.
2.2.2.3 Tidak Dehidrasi
Mencegah dehidrasi:
Dorong asupan cairan yang sesuai dengan usia, termasuk menyusui pada anak kecil.
Berikan oralit sesuai dengan rencana perawatan WHO A setelah feses longgar.
2.3 Hiponatremia
2.3.1 Definisi
Hiponatremia, didefinisikan sebagai kadar natrium plasma < 135 mmol/L merupakan
gangguan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit yang paling sering ditemukan dalam
praktik klinis. Hiponatremia terjadi pada 15-20% perawatan kegawatdaruratan di rumah sakit
dan mengenai hampir 20% pasien yang berada dalam kondisi kritis.
Manifestasi klinis hiponatremia dapat ditemukan dalam spektrum yang luas, mulai dari
tidak bergejala sampai pada kondisi yang berat atau mengancam nyawa serta dikaitkan
dengan peningkatan mortalitas, morbiditas dan lama perawatan di rumah sakit pada pasien
dengan kondisi-kondisi tersebut. Namun, tatalaksana pasien tetap problematik. Prevalensi
hiponatremia yang memiliki variasi begitu luas pada berbagai kondisi serta fakta bahwa
pengelolaan hiponatremia dilakukan oleh klinisi dengan latar belakang yang beragam
mengakibatkan pendekatan diagnostik dan tatalaksananya berbeda-beda di berbagai institusi
dan spesialisasi.
Berdasarkan latar belakang ini, the European Society of Intensive Care Medicine
(ESICM), the European Society of Endocrinology (ESE) dan the European Renal Association
– European Dialysis and Transplant Association (ERA-EDTA), yang dipersembahkan oleh
European Renal Best Practice (ERBP) mengembangkan Panduan Praktik Klinis pendekatan
diagnostik dan tatalaksana hiponatremia sebagai kerjasama diantara tiga perkumpulan yang
mewakili para spesialis yang berminat terhadap hiponatremia. Selain pendekatan metodologi
dan evaluasi yang ketat, kami ingin memastikan bahwa dokumen/data yang digunakan dalam
panduan ini terfokus pada luaran pasien yang penting dan memiliki kegunaan untuk dokter
dalam praktik sehari-hari.
2.3.4 Klasifikasi
Berdasarkan derajat berat nilai biokimiawi
Infeksi dengue merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus Dengue
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Infeksi dengue
menyebabkan derajat keparahan penyakit berbeda, mulai dari asimptomatik, flulike syndrome
pada DD dan dapat mengalami perdarahan serta kebocoran plasma yang merupakan bentuk
dari DBD, bahkan DBD dapat disertai syok yang termasuk dalam Dengue Shock Syndrom
(DSS).
Demam dengue dan DBD disebabkan oleh virus dengue yang merupakan anggota
genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Terdapat 4 virus dengue yang terdiri dari DEN-
1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4. Manusia yang terinfeksi oleh salah satu jenis serotipe akan
menghasilkan kekebalan seumur hidup. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan
sering terjadi.
Endemisitas infeksi dengue terdapat pada banyak negara di Asia Tenggara serta
Pasifik Barat. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang padat, hampir
60% penduduk tinggal di Pulau Jawa terjadi KLB infeksi dengue. Penyebaran infeksi
dengue sudah menyebar dari perkotaan bahkan pendesaan oleh karena kepadatan serta
perpindahan penduduk tinggi.
Faktor yang berhubungan dengan terjadinya kasus demam dengue, yaitu :
1. Agent
Infeksi dengue disebabkan oleh 4 serotipe virus yang berbeda. Apabila manusia
terinfeksi lagi oleh serotipe virus dengue yang berbeda dari sebelumnya akan
menghasilkan derajat penyakit yang lebih parah dari sebelumnya.
2. Lingkungan
Kepadatan penduduk disertai dengan sanitasi yang buruk dapat meningkatkan kejadian
demam dengue. Kondisi perumahan yang padat lebih memudahkan vektor nyamuk
untuk menularkan virus dengue ke manusia lain oleh karena jarak terbangnya hanya
mampu sejauh 50-100m. Curah hujan, perubahan suhu serta kelembapan akan
meningkatkan kasus demam dengue disebabkan nyamuk akan lebih sering bertelur
sehingga vektor nyamuk akan meningkat
3. Penjamu
Umur
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap infeksi virus
dengue. Proporsi terbanyak pada kasus dengue banyak menyerang anak-anak sebesar
1,6 kali lebih besar daripada dewasa. Perbedaan umur tidak signifikan terdapat beratnya
infeksi dengue pada penelitian sebelumnya.
Status gizi
Teori nutrisi mempengaruhi derajat berat ringan penyakit dan berhubungan dengan
teori imunologi bahwa pada gizi yang baik mempengaruhi peningkatan antibodi
sehingga reaksi antigen-antibodi terbentuk cukup baik sehingga terjadi infeksi dengue
yang lebih berat.
Jenis kelamin
Kasus infeksi dengue tidak memiliki perbedaan bermakna pada wanita maupun pria.
Penelitian sebelumnya menunjukan perempuan lebih beresiko 3,333 kali lebih besar
menderita DBD daripada laki-laki.
2.4.4 Patogenesis dan patofisiologi infeksi virus dengue
Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang
berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag. Sebelum timbul gejala
akan terjadi viremia yang berlangsung selama 2 hari dan berakhir setelah lima hari timbul
gejala panas. Makrofag akan menjadi antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi sel T-
Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper
mengaktifasi sel T-sitotoksik yang bertugas untulk melisiskan makrofag yang sudah
memfagosit virus serta mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Proses tersebut
akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala
sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.
Virus yang masuk ke dalam tubuh manusia akan berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung selama 5-7
hari. Infeksi tersebut akan menyebabkan munculnya respon tubuh berupa humoral maupun
selular, yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinin dan antibodi komplemen. Antibodi
yang muncul pada umumnya adalah immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M
(IgM), pada infeksi primer antibodi tersebut mulai terbentuk sedangkan pada infeksi
sekunder antibodi yang telah ada akan meningkat Antibodi terhadap virus dengue dapat
ditemukan dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai
ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari. Infeksi primer IgG meningkat sekitar demam hari
ke-14 sedangkan pada infeksi sekunder IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu,
diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan setelah mendeteksi IgM setelah hari ke-
5, diagnosis dini infeksi sekunder dapat ditegakan dengan peningkatan IgM dan IgG yang
cepat (Gambar 1).
Gambar 1. Respon Primer dan Sekunder Infeksi Virus Dengue Dikutip dari Patogenesa dan
Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue, Buletin Ilmu Kesehatan Anak
Universitas Airlangga
Demam berdarah menurut (WHO, 2015) adalah, penyakit seperti flu berat yang
mempengaruhi bayi, anak-anak dan orang dewasa, tapi jarang menyebabkan kematian.
Dengue harus dicurigai bila demam tinggi (40 ° C / 104 ° F) disertai dengan 2 dari gejala
berikut: sakit kepala parah, nyeri di belakang mata, nyeri otot dan sendi, mual, muntah,
pembengkakan kelenjar atau ruam. Gejala biasanya berlangsung selama 2-7 hari, setelah
masa inkubasi 4-10 hari setelah gigitan dari nyamuk yang terinfeksi.
Dengue yang parah adalah komplikasi yang berpotensi mematikan karena plasma
bocor, akumulasi cairan, gangguan pernapasan, pendarahan parah, atau gangguan organ.
Tanda-tanda peringatan terjadi 3-7 hari setelah gejala pertama dalam hubungannya dengan
penurunan suhu (di bawah 38 ° C/ 100 ° F) dan meliputi: sakit parah perut, muntah terus
menerus, napas cepat, gusi berdarah, kelelahan, kegelisahan dan darah di muntah. 24-48 jam
berikutnya dari tahap kritis dapat mematikan; perawatan medis yang tepat diperlukan untuk
menghindari komplikasi dan risiko kematian
a. Derajat I : Demam disertai gejala klinik khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
dalam uji tourniquet positif, trombositopenia, himokonsentrasi.
b. Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
c. Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, ditandai oleh nadi cepat dan lemah,
tekanan darah turun (20 mm Hg) atau hipotensi disertai dengan kulit dingin dan
gelisah.
d. Derajat IV : Kegagalan sirkulasi, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak Terukur.
Menurut (Vyas et. Al 2014), gejala awal demam berdarah dengue yang mirip dengan
demam berdarah. Tapi setelah beberapa hari orang yang terinfeksi menjadi mudah marah,
gelisah, dan berkeringat. Terjadi perdarahan: muncul bintik-bintik kecil seperti darah pada
kulit dan patch lebih besar dari darah di bawah kulit. Luka ringan dapat menyebabkan
perdarahan.
Syok dapat menyebabkan kematian. Jika orang tersebut bertahan, pemulihan dimulai
setelah masa krisis 1-hari.
Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi mejadi kriteria diagnosis klinis dan kriteria
diagnosis laboratoris.
1. Demam Dengue
a. Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik
b. Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan atau melena; maupun berupa uji
torniket positif
c. Nyeri kepala, myalgia, arthralgia, nyeri retroorbital
d. Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah
e. Leukopenia <4.000/mm3
f. Trombositopenia <100.000/mm3
g. Trombositopenia <100.000/mm3
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti
perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnosis
DBD.
Diagnosis klinis diperkuat dengan deteksi genome virus dengue dengan pemeriksaan
reverse transcription polymerase chain reaction (RT- PCR), antigen dengue pada
pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari
negatif menjadi positif) pada pemeriksaan serologi berpasangan.
Trombosit atau keping darah merupakan bagian darah berbentuk cakram bulat, oval,
bikonveks, berdiameter 1-4 mikrometer dan volume 7- 8 fl. Jumlah normal trombosit pada
tubuh ialah 150.000-400.000/µl dan bertahan hidup selama 10 hari.54 Trombosit dibentuk
dari fragmentasi sitoplasma megakariosit matang dalam sumsum tulang pada orang dewasa.
Produksi trombosit diatur oleh hormon trombopoietin yang diproduksi oleh hepar dan ginjal.
Trombosit dapat dibagi menjadi 3 zona yaitu zona daerah tepi yang berperan dalam
adhesi dan agregasi, zona “sol gel” yang menunjang struktur dan mekanisme interaksi
trombosit serta zona organel yang berperan dalam pengeluaran isi trombosit. Aktivitas
trombosit berperan penting dalam proses awal pembekuan darah yang akan berakhir dengan
pembentukan sumbat trombosit (platelet plug). Sekitar 30-40% terkonsentrasi didalam limpa
dan sisanya berada dalam darah.
Trombosit berperan dalam sistem pembekuan darah dengan melekat pada permukaan
pembuluh darah yang rusak oleh respon kolagen yang terpajan di lapisan subendotel.
Trombosit mengeluarkan beberapa zat (serotonin dan histamin) yang menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah. Fungsi lain trombosit ialah mengubah bentuk dan kualitas
yang akan menggumpal dan lengket menambal daerah yang luka.
Kerusakan vaskular yang akan menimbulkan kebocoran plasma merupakan ciri pada
pasien DBD. Fungsi hemostasis trombosit diperlukan untuk memperbaiki keadaan ini.
Peningkatan pemakaian trombosit akan memperburuk keadaan trombositopenia pada pasien
DBD.
Penurunan jumlah trombosit masih dalam batas normal pada fase awal demam.
Trombositopenia mulai terjadi pada hari ke 4 demam dan mencapai titik terendah pada hari
ke 6 demam. Jumlah Trombosit akan meningkat pada hari ke 7 dan mencapai normal pada
hari ke 9 atau 10.
Gambar 4. Perjalanan kadar trombosit pada DBD Dikutip dari Blood group AB is
associated with increased risk for severe dengue disease in secondary infections,
Journal of Infectious Disease
Hitung jumlah trombosit yang rendah tidak selalu disertai perdarahan. Hal ini
menunjukan bahwa ada faktor lain penyebab perdarahan pada pasien DBD selain
trombositopenia. Penyebab perdarahan yang lain pada DBD adalah vaskulopati,
trombopati, dan koagulopati. Pada pasien DBD terjadi kerusakan kapiler, penurunan
berbagai faktor koagulasi, disfungsi trombosit dan koagulasi intravaskular menyeluruh.
Indikator koagulasi intravaskular menyeluruh adalah terjadinya penurunan kadar fibrinogen
dan plasmin, peningkatan fibrinolisis, peningkatan kadar fibrin degradation products
(FDP).
Platelet large cell ratio merupakan salah satu penanda terjadinya aktivasi trombosit.
Platelet large cell ratio merupakan proporsi jumlah trombosit yang berukuran lebih dari
12fl (normal P-LCR adalah <30% dari jumlah keseluruhan trombosit). Ukuran trombosit
tergantung pada tingkat pergantian trombosit. Aktivitas sitokin (terutama IL-3 dan IL-6)
pada proses perkembangan yang diawali megakariosit berperan penting dalam produksi
trombosit yang lebih besar.
Platelet large cell ratio menandakan bahwa sumsum tulang aktif dan melepaskan
trombosit imatur yang tinggi daripada biasanya. Trombosit imatur atau sering disebut
reticulated platelet (retPLTs) atau immature platelet fraction (IPF) merupakan trombosit
yang baru saja dilepas oleh megakariosit dan masih mengandung ribonucleic acid (RNA).
Trombosit tersebut memiliki ukuran yang lebih besar dan bersifat lebih reaktif dibandingkan
dengan trombosit matur. Trombosit imatur disebut reticulated platelet disebabkan karena
analog dengan retikulosit sel darah merah. Reticulated platelet memiliki usia hidup yang
lebih pendek (<1hari) dibandingkan trombosit matur yang bertahan hidup 7-10 hari
sehingga dapat dijadikan penanda aktivitas megakariopoiesis. Reticulated platelet dapat
digunakan untuk membedakan kerusakan sumsum tulang dari destruksi perifer dalam
trombositopenia. Penelitian sebelumnya didapatkan bahwa dapat digunakan sebagai
prediktor awal kesembuhan sumsum tulang setelah kemoterapi dan transplantasi.
Pasien dengan infeksi dengue pada titik tertentu akan menyebabkan IPF meningkat
meskipun jumlah trombosit menurun. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kombinasi
patogenesis, yaitu destruksi trombosit perifer akan menurunkan jumlah trombosit sehingga
menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi trombosit lebih banyak sehingga
menghasilkan IPF. Peningkatan P-LCR terjadi pada keadaan trombositopenia, salah satunya
yang dialami oleh infeksi dengue.
2.4.8 Tatalaksana
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/ gejalanya tidak spesisifk, oleh karena itu
masyarakat diharapkan untuk waspada jika melihat tanda/ gejala yang mungkin merupakan
gejala awal perjalanan penyakit DBD .Tanda/ gejala awal penyakit DBD ialah demam tinggi
mendadak tanpa sebab yang jelas, teus-menerus badan lemah, dan anak tampak lesu.Pertama-
tama ditentukan terlebih dahulu adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok, muntah terus-
menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak hitam, maka pasien perlu dirawat
(tatalaksana disesuaikan). Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet :
apabila uji tourniquet positif lanjutkan dengan pemeriksaan trombosit, apabila trombosit
<100.000 pasien diawat untuk observasi. Apabila uji tourniquet postif dengan jumlah
trombosit >100.000 atau normal atau uji tourniquet negative, pasien boleh pulang dengan
pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun.Nilai gejala klinis dan lakukan
pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setiap kali selama anak masih demam. Bila terjadi
penurunan kadar Hb dan atau peningkatan kadar Ht, segera rawat. Bila klinis menunjukkan
tanda-tanda syok seperti anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, muntah, lemah,
dianjurkan segera dibawa berobat ke dokter atau ke puskesmas, dan rumah sakit.
Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DBD deajat I)
atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD derajat II) dapat
dikelola seperti pada bagan dibawah.Apabila pasien masih dapat minum, berikan minum
banyak 1-2 liter/ hari atau 1 sendok makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat
diberikan adalah air putih, the manis, sirup, jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik
diberikan bila suhu >38,5oC.pada anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti
konvulsif. Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus-menerus, sebaiknya diberikan
infuse NaCl 0,9% : Dekstrosa 5% (1:3) dipasang dengan tetesan rumatan sesuai dengan berat
badan. Disamping itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setaip 6-12
jam.Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui
pmbesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan berhubungan dengan
perdarahan saluran cernaa. Diuresis diukur tiap 24 jam dan awasi perdarahan yang terjadi.
Kadar Hb, Ht, dan trombosit diperiksa tiap 6-12 jam. Apabila pada tindak lanjut telah terjadi
perbaikan klinis dan laboratories, anak dapat dipulangkan: tetapi bila kadar Ht cenderung
naik dan trombosit menurun, maka infuse cairan ditukar dengan ringer laktat dan tetesan
disesuaikan.
Pada DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus-menerus selama <7hari
tanpa sebab yang luas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah
trombosit <100.000 dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien datang, berikan
cairan kristaloid ringer laktat/Nacl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/ Nacl 0,9% 6-
7 mL/kgBB/jam2.
Sindrom syok dengue ialah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil,
lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, tangan kaki dingin, dan tidak ada
produksi urin2.
(1) Segera beri infus kristaloid 20ml/kgBB secepatnya, dan oksigen 2 liter/menit. Untuk
DSS berat (DBD derjat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur), diberikan ringer
laktat 20mL/kgBB bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tidap 15 menit hematokrit
dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
(2) Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum
dilanjutkan20mL/kgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 1-20mL/kgBB,
maksimal 30mL/kgBB. Obsevasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15
menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit, dan gula darah.
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat
badan pasien, serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang
terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak
umur yang sama, kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari table berikut2:
10 100 per kg BB
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah,
letargi/ lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi
menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar
hematokrit atau kadar hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan
intravena.
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu
makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok
teratasi, jumlah trombosit >50.000 dan cenderung menigkat, serta tidak dijumpai distress
pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A, B, dan C. Penyakit ini menjadi penyakit
penting pada negara miskin dan berkembang yang memiliki populasi penduduk yang banyak
serta sanitasi dan pengelolaan makanan yang buruk. Penyakit ini juga berbahaya bagi
wisatawan-wisatawan yang mengunjungi daerah yang endemik (Crump, 2010).
Demam tifoid kasusnya terdapat di berbagai daerah di dunia seperti China (Dong et
al., 2010), Belanda (Van Wolfswinkel et al., 2009), Inggris (Clark et al., 2010), Asia
Tenggara, Timur Tengah, Amerika Selatan, Zimbabwe, Australia, Prancis Barat, Thailand,
Pantai Gading, India, Florida, Spanyol, Turki dan Nigeria (Khan et al., 2008).
Penyakit demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella enterica, khususnya serotip Typhi (Salmonella typhi) yang merupakan
bakteri gram negatif. Gejala yang hampir sama dengan penyakit demam tifoid juga dapat
disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B (Schotmulleri) dan
Salmonella paratyphi. C (Hirschfeldii) meskipun beberapa peneliti menyebutkan gejala
tersebut dengan nama yang berbeda yaitu demam paratifoid (Zulfiqar A, 2006).
Di dalam organ hati, bakteri menginvasi kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
bakteri dikeluarkan melalui feses dan sebagian akan masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terus berulang, oleh karena makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis bakteri Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental,
dan koagulasi (Djoko W, 2009).
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari. Gejala klinis yang muncul
pada penyakit ini sangat bervariasi dari gejala ringan sampai berat. Pada minggu pertama
gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut
yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, diare, perasaan tidak
enak diperut, batuk, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan suhu badan yang meningkat.
Sifat demam yang khas dari demam tifoid adalah muncul perlahan-lahan dan terutama
tinggi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas
berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan
denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah
serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis (Djoko W, 2009).
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan hematologi, uji widal, uji TUBEX, uji
typhidot, uji IgM dipstick, dan kultur darah. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu
menegakkan diagnosis, menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil
pengobatan.
a. Pemeriksaan Hematologi
Pada pemeriksaan darah akan ditemukan leukopenia, meskipun pada beberapa kasus
tidak jarang pula akan ditemukan kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat
ditemukan walaupun tanpa infeksi sekunder. Selain itu juga dapat ditemukan anemia ringan
dan trombositopenia, serta laju endap darah yang meningkat. Pada pemeriksaan dari hitung
jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia ataupun limfopenia. (Djoko W, 2009)
b. Kimia klinik
SGOT dan SGPT pada demam tifoid akan ditemukan meningkat, tetapi biasanya
akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Namun, kenaikan SGOT dan SGPT tidak
diperlukan penanganan khusus. (Handoyo I, 1996).
c. Uji Widal
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi
bakteri Salmonella yang telah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal
adalah untuk melihat apakah terdapat aglutinin dalam serum penderita demam tifoid yaitu
: aglutinin O (dari tubuh kuman), aglutinin H (flagela kuman), dan aglutinin Vi (simpai
kuman). Aglutinin O dan H merupakan penanda yang biasanya digunakan untuk
mendiagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
bakteri ini. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari uji widal, yaitu
pengobatan dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid, gangguan pembentukan antibodi,
waktu pengambilan darah, karakteristik daerah (endemik atau non endemik), dan riwayat
vaksinasi. Menurut hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Surya H dkk. pada tahun 2006
didapatkan sensitivitas dari uji Widal adalah 53,1% dan spesivisitasnya 65% (Surya et al.,
2007).
d. Uji TUBEX
Uji TUBEX adalah uji semi kuantitatif kolometrik yang prosesnya cepat (dalam
beberapa menit) dan prosedurnya mudah untuk dikerjakan. Hasil positif dari uji TUBEX
akan didapatkan infeksi Salmonella serogrup D dengan mendeteksi antibodi anti-S.typhi
09, namun pada infeksi oleh S. paratyphi akan menunjukkan hasil yang negatif. Pada
penelitian yang dilaksanakan oleh Surya H dkk pada tahun 2006, sensitivitas dari uji Tubex
mencapai 100%, dan spesivisitasnya 90% (Surya et al., 2007).
e. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat menunjukkan adanya antibodi IgM dan antibodi IgG yang
terdapat pada protein membran luar dari Salmonella typhi. Hasil positif dari uji ini dapat
didapatkan setelah 2-3 hari terjadinya infeksi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98% dan spesifisitasnya
76,6%.
Uji IgM Dipstick mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap Salmonella typhi pada
spesimen serum. Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam satu hari), serta dilakukan tanpa
peralatan khusus apapun. Tapi hasil yang didapatkan hanya akurat apabila pemeriksaan
dilakukan setelah satu minggu timbulnya gejala (Gasem dkk, 2002).
g. Kultur Darah
Kultur darah merupakan standar baku emas dalam pemeriksaan kasus demam tifoid
sampai saat ini. Kultur darah adalah uji laboratorium untuk memeriksa bakteri dalam
sampel darah pasien. Namun ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan uji ini menjadi
tidak akurat, yaitu pasien yang sudah mendapatkan terapi antibiotik sebelumnya, volume
darah yang kurang (< 5 cc) dan riwayat vaksinasi sebelumnya (Djoko W , 2009)
a. Istirahat
Bedrest atau berbaring di tempat tidur bertujuan untuk mencegah komplikasi dari
demam tifoid. Istirahat yang cukup juga akan mempercepat proses penyembuhan
(Djoko W, 2009).
c. Antibiotik
Ada beberapa jenis obat antibiotik yang sering diresepkan untuk penderita demam tifoid,
diantaranya :
Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan obat yang masih menjadi pilihan utama dalam terapi
demam tifoid. Dosis yang diberikan yaitu 4 x 500 mg per hari secara oral atau
intravena dan diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas (Moehario et al., 2009).
Kotrimoksazol
Dosis yang diberikan untuk obat ini adalah 2 x 2 tablet yang diberikan selama dua
minggu. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol (Djoko
W, 2009).
Sefalosporin generasi ketiga
Golongan sefalosporin generasi ketiga yang efektif untuk demam tifoid adalah
seftriakson , dengan dosis yang diberikan adalah 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
diberikan selama setengah jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari
(Moehario et al., 2009).
Azitromisin
Kedua obat ini memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam menurunkan demam
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang disarankan adalah 50-150/kilogram
berat badan selama dua minggu (Djoko W, 2009).
Golongan floroquionolon
Obat golongan ini memiliki beberapa jenis bahan sediaan yaitu norfloksasin (2 x 400
mg / hari selama 14 hari), siprofloksasin (2 x 500 mg / hari selama 6 hari), ofloksasin (
2 x 400 mg / hari selama 7 hari), perofloksasin ( 400 mg / hari selama 7 hari ) dan
fleroksasin diberikan dengan dosis 400 mg / hari selama 7 hari ( Thaver et al., 2008).
1. Komplikasi Intestinal
a. Perforasi usus
Perforasi usus biasanya timbul di minggu ketiga gejala dengan keluhan nyeri perut
hebat terutama di kuadran kanan bawah yang menyebar ke seluruh perut dan disertai
dengan tanda-tanda ileus. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan bising usus
melemah (pada 50% penderita), nadi cepat, tekanan darah turun, dan dapat terjadi
syok. (Djoko W, 2009)
b. Perdarahan intestinal
Bila terdapat luka yang terbentuk pada lumen yang sampai mengenai pembuluh darah
oleh karena terinfeksinya plak Peyeri usus maka dapat mengakibatkan perdarahan
intestinal yang dapat menimbulkan syok. Penanganan dapat dengan memberikan
transfusi atau perlu dipertimbangkan untuk pembedahan (Djoko W, 2009).
2. Komplikasi Ekstra-intestinal
a. Komplikasi hematologi
b. Hepatitis tifosa
Pembengkakan hati pada kasus demam tifoid ditemukan pada 50% kasus. Biasanya
terjadi karena pasien dengan status malnutrisi dan sistem imun yang kurang (Djoko W,
2009).
c. Pankreatitis tifosa
Pankreatitis tifosa dapat terjadi karena mediator pro inflamasi dari bakteri yang
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada demam tifoid (Djoko W, 2009).
d. Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita dan gejalanya biasanya sakit dada, gagal
jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Komplikasi ini disebabkan oleh
kerusakan miokardium oleh bakteri Salmonella typhi (Djoko W, 2009)
BAB III
TINJAUAN KASUS
Pasien muntah dirumah lebih kurang 5 hari, mutah tiap habis makan, banyak tidur,
demam, sakit kepala, BAB dan BAK normal.
b. Pemeriksaan Umum
Kepala : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Mata : Palpebra ( normal),
Konjungtiva Anemis tidak temukan kelainan (normal)
Sklera Ikterik tidak ditemukan kelainan ( normal)
Pupil isokor tidak ditemukan kelainan (normal)
Thorak : Jantung ( corona) S1, S2 reguler (normal)
Abdomen : Distensi tidak ditemukan kelainan (normal),
bising usus dan nyeri tekan tidak ditemukan kelainan (normal)
HEMATOLOGI
3.5 Diagnosa
Pasien masuk dengan diagnose vomitus, dehidrasi yang disertai hiponatremia. Pada masa
rawatan pasien dilakukan pemeriksaan penunjang dengan diagnosa utama DHF/ dengue
haemorrhagic fever dan demam typhoid disertai bells spalcy ( lemah mendadak pada sebagia
otot wajah).
3.6 PENATALAKSANAAN
3.6.1 Terapi/Tindakan yang diberikan di IGD
- IVFD NACL 0,9% / 12 jam
- Ranitidin injeksi 2 x 50 mg iv
- Ondansetron injeksi 2 x 4 mg iv
- Capcam 1 2 x 1
3.6.2 Terapi/Tindakan yang diberikan di Bangsal Interne
- Paracetamol 3 x 650 mg
- Ranitidin inj 50 mg 2x 1
- NACL 3%
- Betahistin 6 mg 2 x 1
- Ondansetron 4 mg injeksi 2 x 1 ampul
- Mecobalamin 2 x 500 mg
- Amlodipin 10 mg 1 x 1
- Kalnex 500 mg 2 x 1
- Dexamethason 2 x 1
- Sumagesik
- RL
- Alprazolam 0,5 mg
- Dekstrosa 5 %
- Dulcolax supp 1 x
- Inj. Citicolin
- Amlodipine 1x1
3.7 Follow Up Pemakaian Obat
8 12 18 24
am am pm pm
Inj. (20.
Ceftriaxone 00)
i.v
2 x 500
KA-EN 1 B +
KCl 14 mEq
3.8 FOLLOW UP
Tanggal S O A P
12/1/2021 23.00 IGD IGD IGD IGD
Ibu mengatakan anggota KU : sedang Ketidakseimbangan Kebutuhan cairan dan
gerak lemah sejak pagi TD : - cairan dan elektrolit elektrolit terpenuhi
Nafsu makan menurun Kesadaran : CM Observasi TTV
Pasien tampak letih Nadi : 82x/menit Anjurkan banyak minum
Nafas : 24x/menit Beri lingkungan yang
Suhu : 36°C nyaman
GCS : E4M6V5 Kolaborasi
Motorik :
5 5
5 5
13/1//2021 07.30 Keempat anggota gerak KU : sedang Tetraparesis periodik IVFD KA-EN 1 B + KCl
lemah sejak 1 hari yang TD : - hypokalemia / paralisis 14 mEq / kolf = 12 gtt /
lalu. Nadi : - periodik hipokalemia mikro
Sekarang tidak bisa Nafas : - Inj. Ceftriaxone 2 x 500 mg
digerakkan Suhu : 37°C i.v
Demam (-) GCS : E4M6V5 Setelah habis cairan 935 cc,
Muntah (-) BB : 11 kg cek ulang elektrolit
Anak malas makan Motorik :
5 5
5 5
DISKUSI
Terdapat terapi tanpa indikasi medis - Pasien telah mendapatkan terapi yang sesuai -
dengan kondisi medis.
Terdapat obat lain yang efektif - Obat yang diberikan sudah efektif dalam
proses pengobatan pasien. Dimana terapi
obat yang diberikan telah sesuai dengan
kondisi pasien yang dapat dilihan pada -
follow up harian pasien.
Frekuensi pengguna tidak tepat - Frekuensi obat yang diberikan telah tepat
-
Terjadi interaksi obat - Tidak terjadi interaksi obat yang terlihat dari -
pasien.
Dosis obat dinaikan atau diturunkan - Tidak ada dosis obat yang dinaikkan / -
terlalu cepat diturunkan
Obat tidak tersedia - Tidak ada obat yang tidak tersedia, semua -
obat yang di butuhkan pasien tersedia di
apotek rumah sakit
Pasien tidak bisa menelan obat atau - Pasien mampu mengkonsumsi obat dengan -
menggunakan obat baik
Pasien tidak patuh atau memilih untuk - Pasien patuh dalam menggunakan obat, -
tidak menggunakan obat obat-obat untuk pasien rawat inap
disediakan dalam bentuk UDD untuk satu
kali pakai, sehingga ketidakpatuhan pasien
dapat teratasi.
Terdapat kondisi yang tidak diterapi - Tidak ada kondisi yang tidak mendapatkan -
terapi
Pasien membutuhkan obat lain yang - Pasien tidak membutuhkan obat lain yang -
sinergis sinergis.
PEMBAHASAN
Dari hasil pemeriksaan fisik pada tanggal 28 Desember 2020 diperoleh keadaan
umum pasien sedang, kesadaran compos mentis, frekuensi nadi 60x/ menit, frekuensi nafas
20x/menit, suhu 36,20C, tekanan darah 100/60 mmHg. Hasil pemeriksaan pada tanggal 28
desember 2020, glukosa darah random 143 mg/dl, ureum 56 mg/dl, natrium 129 mmol/L,
Kalium 3,4 mmol/L, klorida 92 mmol/L . Terapi yang diberikan kepada pasien di IGD adalah
IVFD NACL 0,9 % tiap 12 jam/ kolf. Ranitidine injeksi 2 x 1 (I.V) Ondansetron 2 x 4 mg
(I.V), Capcam 1 2 x 1 dan Nacl 3 % /12 jam.
dilakukan pengobatan untuk hiponatremia, cairan garam hipertonik (NaCl 3 %), merupakan
pengobatan yang paling umum untuk hiponatremia, yang akan menyebabkan penurunan
12jam/kolf .
= [ IV Na – S 1 Na ] / (BW + IV Vol )
= 384 / 26
= 14,7692 mEq/L
= 1,4769 mEq/100 ml
= 7 mEq/L
= 473,9593 ml
Jadi Nacl 3% yang harus diperlukan untuk menaikkan 7 mEq adalah 473,9593 ml dalam 2 –
4 jam pertama.
Kemudian dilakukan uji Na kedua, didapat hasilnya yaitu 130 mm/L. Dan dihari
seterusnya dilakukan uji Na kembali yaitu 127 mm/L. Dari hasil pemeriksaan diatas
Pada tanggal 29 desember 2020 jam 18.00 WIB, dilakukan pemeriksaan trombosit
dan didapat hasil pemeriksaan yaitu 50.000 µL. dan pada tanggal 30 desember 2020 jam
15.00 WIB dilakukan uji trombosit kembali, didapat hasilnya yaitu 45.000 µL. kemudian
dilakukan uji trombosit kembali pada tanggal 31 desember 2020 jam 08.00 WIB didapat
hasilnya masih 45.000 µL. dapat disimpulkan pasien mengalami DHF karena trombosit
pasien kurang dari nilai normal trombosit yaitu 150.000 – 400.000 µL. kemudian dilakukan
penatalaksaannya, diberikan obat anti nyeri yaitu Paracetamol 650 mg dan cairan elektrolit
NaCl 9 %. Dan pada tanggal 2 Desember 2020 jam 14.00 WIB dilakukan uji trombosit ulang
Pasien juga diberikan injeksi ranitidin untuk menghambat sekresi asam lambung
pasien. Ranitidin memiliki mekanisme kerja menghambat kerja histamin secara kompetitif
pada reseptor H-2 dan mengurangi sekresi asam lambung. Ranitidin dipilih karena obat
antiulcer yang paling banyak digunakan dalam terapi gastritis yang memiliki durasi yang
lebih lama 5-10 kali lebih potensial dari obat antagonis H-2 lainnya (Tjay dan Rahardja,
2007). Ranitidin dosis 50 mg/2 ml diberikan 2 x 1 amp digunakan untuk menetralisir dan
mencegah peningkatan asam lambung yang dapat dipicu dari stress ulcer.
BAB V
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa dari data anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan labor, pasien didiagnosa menderita vometus, dehidrasi yang disertai
dengan hiponatremia. Dan selama perawatan didapatkan diagnosa berkelanjutan yaitu DHF,
Demam Tifoid, Cephalgia, Bells palsy. Obat yang diberikan, sudah sesuai dengan indikasi
terapi pasien. Akan tetapi dalam tahap terapi penyembuhan, pasien mengalami henti nafas
(meninggal) pada tanggal 4 Januari 2021 jam 12.05 WIB. Jadi diagnosa kelanjutannya belum
menemukan penyebab akhir dari diagnosa pasien.
5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York
Indrayani A Yoeyoen, Tri Wahyudi, 2018, InfoDATIN: Situasi Penyakit Demam Berdarah di
Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kemenkes RI, Halaman 1
Pudjiadi Antonius H. dkk. 2009. Infeksi Virus Dengue : Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit IDAI. Halaman141-149
Rismayanthi C. 2012. Hubungan Antara Status Gizi dan Tingkat Kebugaran Jasmani. Jurnal
Pendidikan. 42(1):29 – 38
World Health Organization. 2013. Pocket Book of Hospital Care for Children: Guidelines for
The Management of Common Childhood Illness (2nd Ed). Retrieved December 28, 2014,
from http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/81170/1/9789241548373_en g.pdf
Lampiran 1.
A. Parasetamol
Komposisi :
Tiap tablet mengandung:
Parasetamol 500 mg
Indikasi:
1. Mengurangi nyeri pada kondisi: sakit kepala, nyeri otot, sakit gigi, nyeri pasca
operasi minor, nyeri pada trauma ringan.
2. Menurunkan demam yang disebabkan oleh berbagai penyaki kondisi demam,
parasetamol hanya bersifat simtomatik yaitu meredakan keluhan demam
(menurunkan suhu tubuh) dan tidak mengobati penyakit demam itu sendiri.
Kontraindikasi :
1. Parasetamol jangan diberikan kepada penderita hipersensitif/ alergi terhadap
parasetamol
2. Penderita gangguan fungsi hati berat
Efek Samping :
Penggunaan jangka lama dan dosis besar dapat menyebabkan kerusakan hati dan
reaksi hipersensitifitas