Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

LAYANAN KEFARMASIAN KLINIK


(DEF4148T)

SIROSIS

DISUSUN OLEH:
Rizcha Anastasia
Viana Khalimatus S.
Andre Christianto
Astri K. Tarigan
Arinal Muna A.
Dhenik SwastikaW.
Fachrunnisa Nindya A.
Dina Sulastyo M.
Meylinda Kartika S.
Argandita Fairuz S.
Mia Nur Diana
Kholida Zhahara
Yusuf Jauhar

(135070500111008)
(135070500111009)
(135070500111010)
(135070500111018)
(135070501111008)
(135070501111007)
(135070501111006)
(135070501111018)
(135070501111019)
(135070501111028)
(135070501111029)
(135070507111012)
(135070500111002)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016

LEMBAR PENGESAHAN
SIROSIS

OLEH :
Rizcha Anastasia

(135070500111008)

Viana Khalimatus S.

(135070500111009)

Andre Christianto

(135070500111010)

Astri K. Tarigan

(135070500111018)

Arinal Muna A.

(135070501111008)

Dhenik SwastikaW.

(135070501111007)

Fachrunnisa Nindya A.

(135070501111006)

Dina Sulastyo M.

(135070501111018)

Meylinda Kartika S.

(135070501111019)

Argandita Fairuz S.

(135070501111028)

Mia Nur Diana

(135070501111029)

Kholida Zhahara

(135070507111012)

Yusuf Jauhar

(135070500111002)

Malang,18 September 2016

Ketua Kelompok

Fasilitator

Andre Christianto

Rudy Salam, S.Farm.,Apt.

NIM. 135070500111010

NIK. 85061207110047
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dimana atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Layanan Kefarmasian
Klinik Kaus Sirosis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada segenap pihak
yang telah membantu dalam penyeleaian laporan ini. Penulis menyadari dalam
penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan. Sehingga kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan.

Malang, 18 September 2016


Penyusun

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ii
Kata Pengantar.iii
Daftar Isi .iv
1. Pendahuluan Sirosis ..1
2. Etiologi Sirosis ..2
3. Patofisiologi Sirosis ..2
4. Manifetasi Klinis Sirosis ...3
5. Pembahasan Case Study 6
5.1 Analisis Data Lab ....8
5.2 Pelaksanaan Terapi Farmakologi dan Non Farmakologi ...11
5.2.1

Hepatic Encephalopathy ....11

5.2.2

Hiponatremia 13

5.2.3

Pneumonia 14

5.2.4

Drug Related Problem ..15

5.3 Monitoring dan Evaluasi ..17


Daftar Pustaka .23

Layanan Kefarmasian Klinis


Sirosis
1. Pendahuluan
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung secara progresif, ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif (Sudoyo, 2007). Sirosis
hepatis merupakan penyakit kronis pada hepar dengan inflamasi dan fibrosis
hepar yang mengakibatkan distorsi struktur hepar dan hilangnya sebagian besar
fungsi hepar. Perubahan besar yang terjadi karena sirosis adalah kematian sel-sel
hepar, terbentuknya sel-sel fibrotik - (sel mast), regenerasi sel dan jaringan parut
yang menggantikan sel-sel normal. Perubahan ini menyebabkan hepar kehilangan
fungsi dan distorsi strukturnya (Baradero, Dayrit & Siswadi, 2008).
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi
arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodulnodul
regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal (Price &
Wilson, 2005).
Sirosis dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatik dan pada kasus lebih
lanjut menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertahap. Di negara barat
penyebab sirosis hepatis yang tersering adalah akibat dari konsumsi alkohol,
sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil
penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis
sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya
tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (Sudoyo, 2007)
2. Etiologi Sirosis
Terdapat berbagai macam penyebab sirosis, diantaranya adalah alkohol, virus
hepatitis B, C, dan D, kelainan metabolik, gangguan imunitas, malnutrisi,
kriptogenik, dll. Namun, penyebab sirosis yang paling sering ditemukan di
Indonesia adalah akibat virus hepatitis B dan C (Doubatti, 2009).
1

Menurut diagnosis awal, sirosis yang dialami pasien berasal dari infeksi
hepatitis B dan C post necrotic. Jalur penularan HBV dapat terjadi melalui cairan
tubuh penderita atau jarum suntik bekas penderita. HBV bereplikasi dalam liver
dan menyebabkan disfungsi hepatik yang pada akhirnya berujung pada hepatitis
kronis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler. Hepatitis C ditularkan melalui
produk darah yang terkontaminasi atau instrumen yang dapat menembus kulit dan
mukus seperti jarum suntik atau pisau cukur yang terkontaminasi (Dipiro, 2008).
Penyebab lain yang dapat memicu kondisi sirosis pasien adalah paparan
terhadap pestisida, hal ini berkaitan dengan riwayat pekerjaan pasien yang pernah
menjadi petani. Pestisida merupakan bahan berbahaya yang banyak digunakan
dalam

agrikultur.

Paparan

terhadap

pestisida

secara

berkepanjangan

mempengaruhi fungsi normal bermacam-macam fungsi organ, salah satunya


adalah hepar. Fibrosis kronis hepar merupakan akibat yang paling sering ditemui
dari paparan pestisida (Frazzetto, 2012).

3. Patofosiologi Sirosis
Hati mempunyai kapasitas regenerasi yang sangat besar, kemampuan ini dapat
rusak oleh senyawa toksik atau virus, misalnya etanol dan virus hepatitis. Stres
pada hati, seperti penyalahgunaan etanol pada manusia, mengakibatkan jejas pada
hati dan setelah sekian lama menjadi sirosis dan fungsi hati terganggu. Lemak hati
(fatty liver) atau steatosis akibat etanol, merupakan tahap awal dari jejas hati,
ditandai dengan deposisi lipid pada hepatosit. Steatosis diikuti dengan inflamasi
hati (steatohepatitis), kematian hepatosit, dan deposisi kolagen yang akan
menghasilkan fibrosis (Lyrawati, 2012 ).
Progresi penyakit hati pada pasien dengan Hepatitis C yang berkembang
menjadi sirosis tergantung pada pasien maupun virusnya. Walaupun mekanisme
bagaimana HCV menyebabkan kerusakan hati belum sepenuhnya dimengerti,
beberapa mekanisme diusulkan antara lain menurunnya pembersihan HCV oleh
system imun, stres oksidatif, steatosis hepatik, peningkatan penyimpanan besi
(Fe), dan peningkatan apoptosis hepatosit.9 Karena hanya sedikit pasien yang
2

terinfeksi HCV berkembang ke arah sirosis, faktor-faktor selain klirens virus,


seperti respon imun individu terhadap virus, usia ketika terjadi infeksi, jenis
kelamin, kandungan Fe hati, dan genotipe HCV, semua berimplikasi sebagai kofaktor yang mempengaruhi perkembangan sirosis (Lyrawati, 2012 ). Hepatitis
menyebabkan nekrosis pada jaringan hati, dimana Hepatosit dikelilingi dan
dipisahkan oleh jaringan parut biasanya mengkerut dan berbentuk tidak teratur
dan banyak nodul. Ketika kerusakan hati terjadi, sel-sel hepatosit di daerah yang
cedera mulai menyerupai fibroblas, mengekspresikan protein kontraktil, dan
menjadi sumber utama kolagen dan protein matriks lain yang berkembang selama
fibrosis, akhirnya menyebabkan jaringan parut hati permanen yang menjadi
karakteristik sirosis (Dipiro, 2008).
Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
fungsi sel hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara akut akan berakibat
nekrosis atau degenerasi lemak. Sedangkan kerusakan kronikakan berakibat
sirosis hepatic. Pemberian bermacam obat-obatan hepatotoksik secara berulang
kali dan terus menerus. Mula-mula akan terjadi kerusakan setempat, kemudian
terjadi kerusakan hati yang merat, dan akhirnya dapat terjadi sirosis hepatis.
4. Manifestasi Klinis Sirosis
Menurut Smeltzer & Bare (2008) manifestasi klinis dari sirosis hepatis antara
lain:
1

Pembesaran Hati
Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan selselnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi
tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi
sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga
mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada
perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah
jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat
dipalpasi, permukaan hati akan teraba berbenjol-benjol (noduler).

Obstruksi Portal dan Asites


Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati
yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah
dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena porta dan
dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan perlintasan
darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa
dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini
menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ
tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja
dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita
dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan pasien secara
berangsur-angsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein dan
menumpuk dirongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan
melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan.
Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri
superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat
dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.

Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik
juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem
gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke
dalam pembuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya,
penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen
yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan
distensi pembuluh darah diseluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung
dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami
pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan

membentuk varises atau hemoroid tergantung pada lokasinya. Karena


fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi
akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan
menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi
untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus
gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis
ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada
lambung dan esofagus.
4

Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati
yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi
predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan
akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.

Defisiensi Vitamin dan Anemia


Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang
tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi
vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik
yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan
fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan
gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis
hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk
akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk
melakukan aktivitas rutin sehari-hari.

Kemunduran Mental

Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan


ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan
neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum
pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola
bicara.

5. Pembahasan Case Study


5.1 Analisis Gejala
1

Asites
Asites terjadi karena pengaturan volume cairan ekstraseluler yang tidak
normal sehingga mengakibatkan retensi air dan natrium pada plasma.
Menurut kondisi pasien, abdomen membesar sejak 3 bulan yang lalu yang
menandakan terjadinya asites dan diperkuat lagi dengan nilai kadar
natrium pasien yaitu 130 mmol/L (normal : 136-145 mmol/L).

Ikterus
Feses pasien berwarna kuning kecoklatan dan urine berwana seperti teh
sejak 3 hari yang lalu. Hal tersebut menandakan pasien mengalami ikterus
yaitu suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati
sehingga bilirubin tidak dapat terkonjugasi di dalam darah dan
menyebabkan ikterus (penguningan). Warna feses dan urine pasien gelap
diakibatkan karena terjadi peningkatan pembentukkan urobilinogen
(akibat peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan
konjugasi serta ekskresi), yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan
eksresi dalam feses dan urin. Urin dan feses berwarna lebih gelap juga
dapat menandakan adanya perdarahan minor di dalam tubuh.

Ensefalopati Hepatikum

Ensefalopati hepatikum merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat


disfungsi hati, dimana kadar amoniak dalam tubuh meningkat yang dapat
menembus blood brain barrier sehinnga menyebabkan gangguan
kesadaran (gangguan tidur, penurunan kesadaran, hingga koma). Pada
kasus ini pasien mengeluh susah tidur sejak 3 hari yang lalu. Mulai tidur
pukul 01.00 dan bangun pukul 03.00, kemudian tidak bias tidur lagi. Hal
tersebut menandakan gejala dari ensefalopati hepatikum.
4

Pembesaran hati
Pasien mengeluhkan mual sejak 3 hari yang lalu dan menyebabkan
penurunan nafsu makan. Pasien juga ingin muntah saat mencoba untuk
makan dan perut tesrasa kembung. Hal tersebut dapat diakibatkan karena
adanya pembesaran hati yang menyebabkan penumpukkan lemak di selsel hati sehingga hati menjadi keras yang menyebabkan adanya nyeri di
abdomen akibat pembesaran hati sehingga pasien merasakan mual, nafsu
makan menuruun dan ingin muntah. Mual dan ingin muntah yang
dirasakan pasien dapat juga diakibatkan karena adanya pneumonia yang
diderita pasien dan menyebabkan batuk sehingga pasien merasakan mual
dan ingin muntah.

5. Pasien mengeluhkan batuk sejak 2 hari yang lalu, sputum berwarna putih
dengan demam sedang diakibatkan karena pasien menderita pneumonia
yang kemungkinan disebabkan

infeksi oleh bakteroid dan organisme

anaerob lain setelah aspirasi orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia


jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental terdepresi,
maupun pasien dengan gangguan refleks menelan.

5.2 Analisis Data Laboratorium


Physical Examination

Moderately ill (sakit sedang)


Pasien terlihat merasa nyeri/sakit terasa karena pada sirosis hati
membesar, pembesaran hati mendesak diafragma dan kebawah. Hal ini
yang menyebabkan pasien terlihat seperti kesakitan.

RR 24 tpm (Hernomo,2007)
Normalnya adalah 14-20 (eupnea). Pasien mengalami takipnea karena
RR >20, yaitu pasien mengalami sesak napas/napas cepat. Pasien
mengalami sindroma hepatopulmoner (komplikasi yg jarang terjadi).
Hal ini disebabkan karena pasien juga mengalami asites dan pneumonia

Tax 37,6 C (Hernomo,2007)


Kenaikan suhu tubuh terjadi karena adanya infeksi bakteri dengan
kondisi sirosis, cairan yang menumpuk pada perut (asites) tidak mampu
lagi untuk menghambat invasi bakteri secara normal. Selain itu, lebih
banyak bakteri yang mampu berpindah dari usus ke bagian asites
sehingga disebut sebagai SBP (Spontaneus bacterial Peritonitis). Salah
satu gejala dari keadaan ini adalah demam, sehingga pasien mengalami
kenaikan suhu tubuh, dan didukung dengan tanda penurunan trombosit,
dan meningkatnya monosit.

Thorax adanya spider nevi (Nurdjanah, 2009)


Spider nevi ini ditemukan pada pasien sirosis, yaitu suatu lesi vaskular
yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Ini merupakan suatu tanda
pada pasien sirosis hepatik

Extrimitas Erythema Palmaris (Nurdjanah, 2009)


Merupakan tanda merah yang ada pada telapak tangan dan terasa hangat
bila diraba terutama pada hipotenar, tenar dan jari. Hal ini merupakan
salah satu gejala yang ditemukan pada pasien sirosis hepatis

Abdomen Slight distended (Nurdjanah,2009)

Distensi abdomen terjadi karena adanya penumpukan cairan pada perut


(asites) yang menyebabkan perut menjadi kembung (melebihi ukuran
normal). Kondisi demikian merupakan suatu tanda dan gejala pasien
sirosis hepatik yang dapat menyebabkan pasien sesak napas karena
adanya desakan ke paru-paru.
7

Liverspan 6 cm (Nurdjanah, 2009)


Liver span merupakan ukuran besarnya hati antara batas atas dan batas
bawah pada linea media clavicularis kanan(MCL). Nilai normalnya 612, pasien berada pada batas bawah, namun termasuk normal.

Shifting dullnes positif (Nurdjanah,2009)


Shifting dullnes menandakan adanya suara pekak yang berpindah pindah
pada saat perkusi akibat adanya cairan bebas dalam rongga
abdomen(asites). Adanya shifting dullnes merupakan penanda bahwa
pasien mengalami asites

Laboratory Finding
1

Thrombosit 41.000/L (Afdhal, 2008)


Trombosit pasien rendah, atau biasa dikatakan trombositopeni. Pada
pasien sirosis, thrombosit rendah karena pasien mengalami gangguan pada
hati. Trombopoeitin merupakan hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh
sel hepatosit. Trombopoetin merupakan pengatur utama produksi
trombosit, yang bekerja dengan cara menstimulasi megakariopoeisis dan
maturasi trombosis. Pada pasien sirosis hepatik (adanya kerusakan pada
hati) maka akan mempengaruhi pembentukan trombopoetin sehingga
mengakibatkan gangguan pada destruksi dan produksi trombosit yang
dapat mengakibatkan trombositopenia.

Monosit 18,6
Pasien mengalami peningkatan monosit yang menunjukkan adanya
infeksi. Peningkatan monosit pada pasien ini terjadi karena infeksi bakteri,
9

yaitu pneumonia. Dapat dikatakan infeksi karena ada beberapa data yang
mendukung seperti penurunan trombosit serta kenaikan suhu tubuh.

Total Bilirubin 1,89


Pada pasien terjadi kenaikan bilirubin total. Total bilirubin adalah produk
utama dari penguraian sel darah merah yang tua. Pada kondisis kerusakan
hati, maka bilirubin total meningkat. Peningkatan bilirubin total
meningkat karena bilirubin direct juga meningkat.

Bilirubin direct 1,38


Pada pasien terjadi peningkatan bilirubin. Bilirubin disaring dari darah
oleh hati dan dikeluarkan pada cairan empedu. Pada kondisi kerusakan
hati, bilirubin total akan meningkat. Bilirubin tersebut sebagian akan
termetabolisme yang disebut bilirubin direct. Apabila bilirubin direct
meningkat penyebabnya biasanya di luar hati. Bilirubin direct larut dalam
air.

APTT 55,10 (Siddiqui et al, 2011)


Terjadinya pemanjangan APTT dihubungkan dengan keparahan gangguan
liver. Derajat gangguan pada APTT adalah cerminan dari rendahnya
sintesis di liver dan juga merupakan prediktor terjadinya perdarahan.
Karena liver memiliki peranan sentral dalam mempertahankan proses
haemostasis, liver juga merupakan tempat sintesis semua faktor
pembekuan darah dan yang menghambatnya. Sehingga APTT merupakan
salah satu parameter untuk melihat derajat kerusakan hati.

Na 130
Pada pasien terjadi penurunan kadar Na dalam plasma. Karena pada
penyakit sirosis terjadi penumpukan atau retensi Natrium yang diikuti
dengan retensi cairan.

Osmol 269,5

10

Pada pasien terjadi penurunan osmolaritas plasma. Tekanan koloid plasma


bergantung pada albumin pada serum. Apabila hati terganggu fungsinya,
maka pembentukan albumin juga terganggu dan kadarnya menurun,
sehingga tekanan koloid osmotic juga menurun. Hal ini tanda yang
menunjukan akan timbul asites.
8

Albumin 2,72
Pada pasien terjadi penurunan kadar albumin. Albumin merupakan protein
darah yang diproduksi oleh hati dan berperan dalam mempertahankan
volume darah normal. Kadar albumin yang rendah terjadi akibat
kerusakan hati (sirosis) karena tidak mampu lagi untuk memproduksi
protein tersebut (terjadinya penurunan fungsi).

5.3 Pelaksanaan Terapi Farmakologi dan Non Farmakologi


5.3.1 Hepatic Encephalopathy
Ensefalopati hepatik (HE) adalah sindrom disfungsi neuropsikiatri
yang disebabkan oleh portosystemic venous shunting, dengan atau tanpa
penyakit intrinsik hepar. Faktor tersering yang mencetuskan HE pada sirosis
hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan gastrointestinal berupa pecahnya
varises esophagus (Wakim, 2011).
Terjadinya HE didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam
peredaran darah yang melewati sawar darah otak. Pada sirosis hati, sering
terjadi perlambatan transit makanan di saluran cerna, HE sehingga paparan
makanan dengan bakteri usus menjadi lebih lama yang mengakibatkan
produksi ammonia meningkat. Amonia merupakan molekul toksik terhadap
sel yang berperan penting dalam terjadinya HE. Pada keadaan sirosis,
penurunan massa hepatosit fungsional dapat menyebabkan menurunnya
detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting portosistemik yang
membawa darah yang mengandung ammonia masuk ke aliran sistemik tanpa
melalui hati. Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan risiko
11

toksisitas amonia. Meningkatnya permebialitas sawar darah otak untuk


ammonia pada pasien sirosis menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit
otak yang berfungsi melakukan metabolisme amonia melalui kerja enzim
sintetase glutamin. Selain itu, amonia secara langsung juga merangsang stres
oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui peningkatan kalsium intraselular
yang menyebabkan disfungsi mitokondria dan kegagalan produksi energi
selular. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase
untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas sitokin
dan repson inflamasi sehingga mengganggu aktivitas pensignalan intraselular
(Norenberg, 2009).

Pengobatan yang diberikan untuk pasien antara lain adalah :


- Patency airway, breathing, circulation digunakan untuk meringankan
sesak napas pasien dan melancarkan jalan napas pasien yang terganggu
-

akibat pneumonia dan HE pasien


Bed rest istirahat total Penderita penyakit hati yang aktif
memerlukan istirahat dan berbagai tindakan pendukung lainnya untuk

membangun kembali kemampuan fungsional hati.


O2 4 lpm nasal canule untuk membantu mengatasi sesak napas dan
sebagai suplai oksigen yang adekuat untuk oksigenasi sel-sel yang rusak

dan untuk mencegah destruksi sel lebih lanjut.


Po Lactulosa 3xCII Laktulosa merupakan lini pertama dalam
penatalaksanaan HE. Sifatnya yang laksatif menyebabkan penurunan

12

sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga


mengurangi uptake glutamin. Selain itu, laktulosa diubah menjadi
monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai sumber makanan
sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain yang
menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga
memberikan ion hydrogen pada amonia sehingga terjadi perubahan
molekul dari amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+). Adanya
ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen (Frederick, 2011).
Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi
rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan
memperparah episode HE, karena akan memunculkan faktor presipitasi
lainnya, yaitu dHEidrasi dan hiponatremia (Zhan, 2012).
5.3.2 Hiponatremia
Hiponatremia pada pasien ini ditunjukkan dengan nilai serum Na =
130 dimana nilai normal Na adalah 135. Hiponatremia yang terjadi pada
kondisi pasien ini disebabkan karena adanya penurunan filtrasi sodium,
peningkatan reabsorpsi sodium, dan penurunan klirens air bebas (hiponatremi
dilusi). Pemberian terapi diuresis akan dapat memperparah kondisi
hiponatremi karena menurunkan volume dan pelepasan hormon antidiuretik
(ADH) dimana pada kasus ini pasien telah mendapatkan kombinasi diuretik
spironolakton dan furosemide. Hiponatremi, jika terjadi, biasanya dapat
diperbaiki dengan menghentikan diuretik untuk sementara dan pembatasan air.
Meskipun serum natrium pasien terlihat rendah, akan tetapi total sodium
tubuh pada pasien sebenarnya masih tinggi (Runyon, 2006).
Berdasarkan penelitian Angeli et al (2006), kadar sodium serum
<135mEq/L berkaitan dengan rendahnya kontrol asites dan makin tingginya
frekuensi ensefalopati hepatik, sindrom hepatorenal, dan peritonitis bakterial
spontan dibanding pasien dengan kadar sodium serum pada rentang normal
(135145mEq/L).

13

Apabila disesuaikan dengan kasus ini, pasien diberikan pula infus


NaCl. Pemberian ini tepat dan penting karena pasien membutuhkan Na
tersebut untuk menarik cairan yang berada di ekstrasel ke dalam intraseluler.
Selain itu pasien membutuhkan NaCl ini untuk mengatasi gejala klinis dari
pasien yang lemas dan NaCl ini penting untuk melakukan koreksi terhadap
nilai NaCl yang rendah yang berfungsi agar asites tidak semakin parah.
5.3.3 Pneumonia
Pasien pada kasus ini juga menderita kondisi CAP yang merupakan
komplikasi yang dapat terjadi pada sirosis. CAP pada pasien dapat pula
disebabkan oleh karena tidak terkontrolnya asites yang ditunjukkan dengan
membesarnya abdomen. Sirosis dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan
dari bakteri di usus, dan mungkin pada pasien sirosis permeabilitas usus
meningkat dengan hipertensi portal dan edema saluran cerna sehingga
translokasi bakteri lebih mudah ke vena porta atau ke limfatik. Organisme
dapat mencapai sirkulasi sistemik dari nodus limfe mesenterik sehingga
menyebabkan bakteremia. Defisiensi pada sistem retikoendotel pada pasien
sirosis dapat menyebabkan bakteri tidak dibersihkan dari sistem sirkulasi,
sehingga akhirnya terjadi kolonisasi pada cairan asites.
Aktivitas antimikroba endogen berkurang atau bahkan tidak ada pada
pasien dengan asites protein rendah, dan jika sistem imun gagal
menghancurkan bakteri maka bakteri akan tetap berada dalam cairan asites.
Asites inilah yang menjadi penyebab bakteri anaerob bertranslokasi dan
menyebabkan pneumonia. Pemberian antibiotik ciprofloxacin pada pasien
sudah tepat dengan memberikannya secara IV dosis 400 mg setiap 12 jam,
akan tetapi pemberiannnya harus dipantau selama 5 hari dan disesuaikan
dengan hasil kultur bakteri yang sensitif (Runyon, 2006).

14

5.3.4 Drug Related Problem

Spironolakton dan furosemid digunakan untuk mengatasi ascites. Ascites


dapat diatasi dengan restriksi garam dan diuretik. Terapi diuretik dimulai
dengan single dose 100 mg spironolakton setiap pagi dan furosemid 40
mg PO dengan tujuan dapat menurunkan BB maksimum 0.5 kg/hari.
Terapi diuretik perlu dititrasi dengan perbandingan 100mg:40 mg untuk
mencapai dosis maksimum setiap hari spironolakton 400 mg dan
furosemid 160 mg. Rasio kombinasi ini digunakan karena biasanya
mempertahankan normokalemia.

Lactulosa digunakan untuk mengatasi HE

15

Pada pasien dengan penyakit hepar membutuhkan energi 40-45


kcal/kg/day

Protein yang dibutuhkan adalah 1,25 1,5 g/kg BB. Asupan minimal
protein sehari 0,8 1 g/kg BB/hari, tetapi pada pasien hanya diberikan 0,5
g/kgBB/hari, hal ini dikarenakan pasien menderita HE sehingga pmberian
protein diminimalkan.

5.2.5 Terapi Non Farmakologi

Istirahat yang cukup dan menghindari aktifitas fisik yang berat.

Makan makanan berserat seperti sayur dan buah untuk mencegah selulit

Untuk mengatasi asites dapat dilakukan:


Diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan
diet
rendah garam dan penderita dapat berobat jalan, apabila gagal maka
penderita
harus dirawat.

Mengurangi jumlah kalori dalam bentuk karbohidrat karena dapat


menyebabkan penimbunan lemak pada hati

Mengkonsumsi lemak 30% dari jumlah kalori


16

Makanan sebaiknya diberikan dalam jumlah sedikit tapi sering.

Menghindari obat-obatan yang dapat mempengaruhi hati seperti


sulfonamide, eritromisin, acetaminofen, trimetadion, dll.

5.4 Monitoring dan Evaluasi


a

Monitoring data lab pasien yang masih belum normal yaitu

Monitoring kadar trombocyte pasien

Monitoring kadar MCV dan MCH sebagai indikator penentu jenis


anemia yang diderita oleh pasien yaitu tergolong makrositik atau
mikrositik, karena pada pasien nilai MCV tinggi yaitu kekurangan vit.
B12 atau asam folat

Monitor Kadar monosit

Monitor total bilirubin , indirek bilirubin dan direk bilirubin

Monitor kadar APTT untuk mengetahui faktor pembekuan darah pada


pasien

Monitor kadar elektrolit terutama pada kadar Natriumkaliumpasien

Monitor kadar albumin pasien

Monitor nilai osmolalitas yang rendah karena adanya kadar albumin


yang rendah

Monitoring urin output untuk melihat perbaikan asites setelah


pemberian dari diuretic.

b Monitoring gejala yang dialami oleh pasien

17

Monitor adanya gejala mual dan muntah pasien

Monitor gejala pembesaran abdomen

Monitoring kenyamanan pasien meliputi tingkat sakit abdomen

Monitor gejala sulit tidur pada pasien

Monitor warna urine pasien apakah masih berwarna seperti teh atau
tidak

Monitor gejala batuk yang disertai dahak keputih-putihan dan demam


ringan yang dialami pasien

Monitor adanya penggunaan obat tradisional yang kemungkinan


terdapat interaksi dengan obat konvensional

Monitor adanya gejala erythema palmaris, spider navi dan kondisi


khusus lainnya

Monitoring Pengunaan obat obat

Terdapat interaksi Spironolaktone + Furosemide dapat mengganggu


normalitas dari kadar kalium, perlu dimonitoring lebih lanjut agar
tidak mengganggu kerja jantung

d Monitoring Komplikasi
-

HE

Varisesesofageal

SBP

18

PHARMACISTS CARE PLAN (PCP)

Health Care

Pharmacotherap

Need

eutic Goal

Recommendati

Monitoring

Desired

ons for

Parameter

Endpoint(

therapy

(s)

s)

Monitori
ng
Frequen
cy

19

GCS = 456
Nadi = 80
90 x/menit
RR = 20
x/menit
OT/ PT = 032 / 0-33
Total
GCS
Nadi, RR
SGOT/SGPT
Total
bilirubin
Memperbaiki
gejala hepatic
encepalopathy

O2 4 lpm nasal
Terjadi penurunan

canule

gejala HE

Po Lactulosa
3xCII

Bilirubin
direct
Bilirubin
indirect
Subjektif :
perut penuh
Serum
elektrolit
(Na, K, dan
Cl)

bilirubin
<1,0
Bilirubin
direct
<0,25

Setiap

Bilirubin

hari

indirect<0,

Monitorin

75

g serum

Subjektif :

elektrolit

perut

setiap

penuh

tiga hari

berkurang

sekali.

Keseimban
gan cairan
dan
elektrolit =
Na = 136145
K = 3,55,0
Cl = 96106
Osm =
285-295

20

Mual, perut
merasa
penuh (-)
Warna urin
kekuningan
Na = 136
145

Mengurangi

mual, perut

mmol/L

merasa

K = 3,8

penuh,

5,0 mmol/L

warna urin

Cl = 96

dan BAB,

106

serum

mmol/L

elektrolit

Serum

Spironolactone

(Na, K, dan

albumin =

100mg 0 - 0

Cl)

3,5-5,5

progesifitas

Mual, perut merasa

Furosemide

serum

OT/ PT = 0-

dan gejala

penuh berkurang

40mg 0 - 0

albumin

32 / 0-33

Lactulose 3x30

SGOT/SGPT

Total

cc

Total

bilirubin

bilirubin

<1,0

Bilirubin

Bilirubin

direct

direct

Bilirubin

<0,25

indirect

Bilirubin

Trombosit

indirect<0,

APTT

75

sirosis hepar

Trombosit
142.000424.000/

Monitorin
g Mual,
perut
merasa
penuh,
warna
urintiap
hari
Monitorin
g serum
albumin
SGOT/SG
PT, Total
bilirubin,
Bilirubin
direct,
Bilirubin
indirect
tiap hari.
Monitorin
g serum
elektrolit,
setiap
tiga hari
sekali.

uL
APTT =
28,9- 30,6

21

Menurunkan
suhu tubuh

Terjadi penurunan
suhu tubuh

Paracetamol 500
mg p.o bila suhu

Suhu tubuh

tubuh > 37C

Suhu tubuh

Setiap

370,3C

hari

Terapi

Batuk berkurang

Inj Ciprofloxacin

Suhu tubuh,

Suhu tubuh

Monitorin

antibiotika

Ronkhi pada medial

2x400mg

Leukosit,

370,3C

g suhu

untuk

dan basal paru

intravenous

Nadi, dan

WBC = 4,7

tubuh,

pneumonia

kanan berkurang

p.o N- Acetyl

RR.

11,3 x 103

nadi, dan

cysteine

U/L

RR ,

3x200mg

Nadi = 80

ronkhiseti

90 x/menit

ap hari.

RR = 20

Monitorin

x/menit

g jumlah

Ronkhi =

leukosit

(-)

setiap
tiga hari
sekali.

22

Menyeimbang

Natrium normal

InfusNaCl 0,9% -

Suhu tubuh,

Suhu tubuh

Monitorin

kan elektrolit,

Osmolaritas normal

20 dpm

nadi, RR

370,3C

g suhu

Na,

Nadi = 80

tubuh,

osmolaritas,

90 x/menit

nadi, dan

produksi

RR = 20

RR setiap

urin

x/menit

hari.

Na = 136-

Monitorin

145

g Na dan

mmol/L

osm

Osm =

selama

285-295

pengguna

osmolaritas

an infus
NaCl
0,9% tiap
3 hari
sekali

23

Memperbaikig

B12

ejala anemia

danatauasamfol
at

Monitoring

MCV = 80-

Monitorin

kadar MCV

93 fl

g MCV,

MCH = 27-

MCH

31 pg

danHbtia

sebagai

Hb = 11,4-

p3

indikator

15,1 g/dl

harisekali

dan MCH

penentu
jenis
anemia
yang
diderita
oleh pasien
yaitu
tergolong
makrositik
atau
mikrositik,
karena pada
pasien nilai
MCV tinggi
yaitu
kekurangan
vit. B12
atau asam
folat

24

Daftar Pustaka
Sudoyo, A. W. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Departemen ilmu penyakit
dalam FKUI : Jakarta
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. (Brahm U. Pendit: Penerjemah). Ed. 6. Jakarta: EGC.
Baradero, M., Dayrit, M. W., Siswadi. Y. (2008). Klien Gangguan Hati: seri Asuhan
Keperawatan. EGC. Jakarta.
Smeltzer, S.C. dan Bare, B.G. 2008. Brunner And Sudarths textbook Of medicalsurgical nursing, terj. Penerbit EGC. Jakarta.
Hernomo, Kusumboroto O. 2007. Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati.
Jayabadi: Jakarta.
Nurdjanah S. 2009. Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta.
Angeli P et al. Hyponatremia in cirrhosis: results of a patient population survey.
Hepatology 2006; 44:1535.
Runyon BA. Practice Guidelines Committee, American Association for the Study of
Liver Diseases (AASLD). Management of adult patients with ascites due to
cirrhosis. Hepatology 2006; 39:841.
Depatemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Dipiro J.T et al. 2008. Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. Mc Graww
Hill. USA
25

Kementrian Kesehatan RI. 2011. Diet Hati. Direktorat Bina Gizi Subdit Bina Gizi
Klinik.
Depkes RI.2007.Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati. DIREKTORAT BINA
FARMASI KOMUNITAS DAN KLINIK Departemen Kesehatan RI.Jakarta
Dipiro, J. T., Robert, LT., Gary CY., Gary RM., Barbara GW., Michael LP. 2008.
Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Seventh edition. Mc-Graw
Hill. New York
Doubatty, A. C., Prasetyo, A. 2009. Comparison of Validity between Mayo End-Stage
Liver Disease Score and Child-Pugh score in Predict the 12 Weeks Survival in
Cirrhosis Patient. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Frazzetto, P.M., Malaguarnera, G., Gagliano, C., Lucca, F., Giordano, M., Rampello,
L.I.B.O.R.I.O., Rampello, L., Malaguarnera, M. 2012. Biohumoral tests in
chronic pesticide exposure. Acta Medica Mediterranea, 28, p.237.

26

Anda mungkin juga menyukai