Anda di halaman 1dari 51

CASE REPORT STUDY

BANGSAL NEUROLOGI
“STROKE HEMORAGIK DAN HIPERTENSI EMERGENSI”

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

DI RUMAH SAKIT OTAK DR. Drs. MUHAMMAD HATTA

Periode 31 Mei– 24 Juli 2021

Oleh:
KELOMPOK I

ALDO MAIHENDRA (2030122001)


ANGGUN TRI FISESA (2030122006)
APRILIANI (2030122010)
CINTYA TRI KURNIA (2030122015)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA


PADANG
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

Stroke merupakan gangguan fungsional otak fokal maupun global yang


terjadi secara mendadak yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang dapat
menyebabkan kematian tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular
(WHO,2012). Stroke hemoragik hanya sekitar 13% dari semua kejadian stroke,
dan termasuk perdarahan subaraknoid, pendarahan intraserebral, dan hematoma
subdural (Dipiro et al., 2009).
Menurut Europen Stroke Initiative (2003), Stroke atau serangan otak
(brain attack) adalah deficit neurologis mendadak susunan saraf pusat yang di
sebabkan oleh peristiwa iskhemik atau hemorargik. Sehingga stroke di bedakan
menjadi dua macam yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik. Pada
stroke non hemoragik suplai darah kebagian otak terganggu akibat aterosklerosis
atau bekuan darah yang menyumbat pembuluh darah. Sedangkan pada stroke
hemoragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah normal dan
menyebabkan darah merembes pada area otak dan menimbulkan kerusakan.
Stroke non hemoragik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur arteri yang
menuju ke otak. Misalnya suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam
arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Endapan lemak
juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah, kemudian
menyumbat arteri yang lebih kecil. Stroke menyerang dengan tiba-tiba. Orang
yang menderita stroke sering tidak menyadari bahwa dia terkena stroke. Tiba-tiba
saja, penderita merasakan dan mengalami kelainan seperti lumpuh pada sebagian
sisi tubuhnya, bicara pelo, pandangan kabur, dan lain sebagainya tergantung
bagian otak yang mana yang terkena.
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke
baik dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan. Angka kematian
berdasarkan umur adalah sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun) dan 26,8% (umur 55-
64 tahun) dan 23,5% (umur 65 tahun). Kejadian stroke (insiden) sebesar
51,6/100.000 penduduk dan kecacatan; 1,6% tidak berubah; 4,3% semakin
memberat. Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia

2
dibawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun 54,2%, dan usia diatas 65
tahun sebesar 33,5% (PERDOSSI, 2011).
Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan
tekanan darah sistolik >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian
hipertensi pada pasien stroke akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya
mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg (BASC: Blood
Preassure in Acute Stroke Collaboration 201; IST: International Stroke Trial 2002
(PERDOSSI, 2011).
Seseorang dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140
mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang
berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi
dasar penentuan diagnosis hipertensi (PERKI, 2015).
Beberapa gejala atau tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara
lain hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta
mendadak, diplopia, vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia, kejang atau
penurunan kesadaran yang kesemuanya terjadi secara mendadak. Afasia
merupakan gangguan bahasa yang mempengaruhi kemampuan dalam
berkomunikasi. Paling sering disebabkan karena stroke yang terjadi pada area otak
yang mengontrol kemampuan berbicara dan bahasa (PERDOSSI, 2011).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stroke Hemoragik
2.1.1 Definisi
Stroke merupakan gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan
aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak (dalam beberapa
detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda yang
sesuai dengan daerah yang terganggu sebagai hasil dari infark cerebri, perdarahan
intraserebral atau perdarahan subarachnoid (Mardjono, 2009). Stroke atau
serangan otak adalah suatu bentuk kerusakan neurologis yang disebabkan oleh
sumbatan atau interupsi sirkulasi darah normal ke otak. Stroke hemoragik
merupakan suatu gangguan peredaran darah otak yang ditandai dengan adanya
perdarahan intra serebral atau perdarahan subarakhnoid. Tanda yang terjadi adalah
penurunan kesadaran, pernapasan cepat, nadi 6 cepat, gejala fokal berupa
hemiplegi, pupil mengecil, kaku kuduk (Weaver & Terry, 2013).
Stroke adalah penyakit serebrovaskular yang sering ditemukan di negara
maju, saat ini juga banyak terdapat di negara berkembang salah satunya di negara
Indonesia. Satu diantara enam orang di dunia akan terkena stroke. Masalah stroke
di Indonesia menjadi semakin penting karena di Asia menduduki urutan pertama
dengan jumlah kasusnya yang semakin banyak. Penyakit stroke merupakan salah
satu dari penyakit tidak menular yang masih menjadi masalah kesehatan yang
penting di Indonesia. Seiring dengan semakin meningkatnya morbiditas dan
mortalitas dalam waktu yang bersamaan, dimana di Indonesia peningkatan kasus
dapat berdampak negatif terhadap ekonomi dan produktivitas bangsa, karena
pengobatan stroke membutuhkan waktu lama dan memerlukan biaya yang besar
(Weaver & Terry, 2013).

2.1.2 Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian nomor 5 dan penyebab utama
terjadinya kecacatan di Amerika Serikat (American Stroke Assosiation, 2019).
Stroke adalah penyebab kematian terbesar nomor 3 setelah penyakit jantung dan
kanker. Indonesia saat ini menjadi negara penderita stroke terbesar di Asia
(Juwita, 2018). Penyakit serebrovaskular merupakan penyakit urutan ketiga

4
penyebab kematian setelah kanker dan jantung di negara maju dengan memiliki
prevalensi 794 per 100.000 di Amerika serikat setiap tahunnya dikeluarkan dari
rumah sakit dengan penyakit stroke yaitu lebih dari 400.000 pasien (Harrison,
2015).

Menurut karakteristik prevalensi stroke yang diambil dari data yang


mencakup seluruh provinsi dan kabupaten/kota yang ada di Indonesia dihasilkan
data berdasarkan diagnosis dokter yaitu pada penduduk umur 15-24 tahun sebesar
0,6% per mil; penduduk umur 25-34 tahun sebesar 1,4% per mil; penduduk umur
35-44 tahun sebesar 3,7% per mil; penduduk umur 45-54 tahun sebesar 14,2% per
mil; penduduk umur 55-6 tahun sebesar 32,4% per mil; penduduk umur 65-74
tahun sebesar 45,3% per mil; sedangkan untuk penduduk umur 75 keatas sebesar
50,2% per mil (RISKESDAS, 2018).

Sumber : RISKESDAS, 2018

2.1.3 Etiologi
Stroke hemoragik 6–7 % terjadi akibat adanya perdarahan subaraknoid
(subarachnoid hemorrhage), yang mana perdarahan masuk ke ruang subaraknoid
yang biasanya berasal dari pecarnya aneurisma otak atau AVM (malformasi

5
arteriovenosa). Hipertensi, merokok, alkohol, dan stimulan adalah faktor resiko
dari penyakit ini.Perdarahan subaraknoid bisa berakibat pada koma atau kematian.
Pada aneurisma otak, dinding pembuluh darah melemah yang bisa terjadi
kongenital atau akibat cedera otak yang meregangkan dan merobek lapisan tengah
dinding arteri(Terry & Weaver, 2013).
Stroke hemoragik termasuk subarachnoid hemorrhage (SAH) dan
intracerebral hemorrhage (ICH). SAH terjadi ketika darah memasuki ruang
subarachnoid (tempat cairan serebrospinal disimpan) karena trauma, pecahnya
intracranial aneurisma, atau pecahnya malformasi arteriovenosa (AVM).
Sebaliknya, ICH terjadi saat darah pembuluh darah pecah di dalam parenkim otak
itu sendiri, mengakibatkan pembentukan hematoma. Ini jenis perdarahan sangat
sering dikaitkan dengan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dan terkadang
terapi antitrombotik atau trombolitik. Stroke hemoragik, meskipun lebih jarang,
adalah secara signifikan lebih mematikan daripada stroke iskemik, dengan tingkat
kematian kasus selama 30 hari sebesar 46,5% dibandingkan dengan 9% sampai
23% pada stroke iskemik (Dipiro., et al. 2009)

Sumber : Stroke Hemoragik (Heart and Stroke Foundation, 2019)

A. Subarachnoid Hemoragik (SAH)


Subarachnoid hemoragik adalah stroke yang terjadi oleh pecahnya suatu
aneurisme di area subarachnoid yang terletak disekeliling permukaan otak yaitu
11 ruang antar selaput arakhnoid dan piameter. Aneurisme sakular atau aneurisme

6
berry dapat berukuran lebih kecil dari ujung jarum pentul dengan diameter 2-3
cm. Sering ukurannya sebesar biji kacang polong dan timbul pada atau di dekat
percabangan suatu arteria. Aneurisme ini berupa gelembung berdinding tipis yang
menonjol dari arteria pada tempat yang lemah. Makin lama aneurisme menjadi
semakin besar dan dapat pecah. Gambaran klinis akibat dari terjadi pecahnya
aneurisme yaitu berupa sakit kepala yang hebat dan mendadak, dan tidak sadar
sebentar disertai bingung. Salah satu faktor yang menjadi kemungkinanan
terjadinya ruptur yaitu hipertensi atau adanya gangguan perdarahan dan memiliki
kecenderungan mengalami perdarahan berulang (Price S, 1995).

Stroke Subarachnoid Hemoragik (Stroke Center, 2019)

B. Intracerebral Hemoragik (ICH)


Intracerebral hemoragik merupakan suatu penyakit yang didasari oleh
pembuluh darah kecil. Hal ini dapat bermula dari hipertensi yag mengarah kepada
vasculophaty hipertensi yang menyebabkan perubahan degeneratif mikrokopis
pada dinding pembuluh darah yang disebut dengan lipohialinosis. Perubahan
degeneratif tersebut ditandai dengan hilangnya sel otot polos, penebalan dinding,
penyempitan lumen, pembentukan mikroaneurisma dan mikrohemorage. Adanya
hematoma juga dapat menyebabkan timbulnya cedera mekanik langsung ke
parenkim otak ditandai dengan pecahnya pembuluh awal. Edema perihematomal
berkembang dalam kurun waktu tiga jam pertama terjadinya onset gejala.
Selanjutnya, darah dan plasma memediasi proses cedera sekunder termasuk 12
respon inflamasi, aktivasi kaskade koagulasi, dan deposisi besi dari terjadinya

7
degradasi hemoglobin. Hal ini, menyebabkan hematoma terus berkembang dan
mengakibatkan terjadinya pecah pembuluh darah (Caceres et al., 2012).

Intracerebral Hemorrhage (Stroke Center, 2019)

2.1.4 Patofisiologi
Stroke hemoragik dibagi menjadi dua yaitu stroke intraserebral hemoragik
dengan persentase 75% dan stroke subarachnoid hemoragik dengan persentase
25%. Stroke subarachnoid hemoragik terjadi dikarenakan terjadinya malformasi
vascular, aneurisma terjadi dilatasi yang menyebabkan pembuluh darah melemah
dan juga dikarenakan pengaruh obat-obatan seperti kokain, dekongestan, dan juga
antikoagulan. Sedangkan terjadinya stroke intraserebral hemoragik dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu amyloid angiopathy. Amyloid angiopathy terjadi
dikarenakan deposit amiloid pada pembuluh darah yang dapat menyebabkan
dinding pembuluh darah melemah.
Faktor kedua dipengaruhi oleh hipertensi, dimana hipertensi ini juga dapat
menyebabkan pembuluh darah melemah. Stroke hemoragik rata-rata terjadi dipicu
karena adanya peningkatan tekanan darah atau hipertensi. Selain itu stroke
hemoragik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya. Peningkatan tekanan
darah atau aliran darah ke otak secara mendadak akan mengakibatkan pecahnya
pembuluh darah. Pecahnya pembuluh darah pada stroke hemoragik terjadi saat
pembuluh darah pecah di parenkim otak sehingga menyebabkan terjadinya
pembentukan hematoma dan mengakibatkan rusaknya jaringan melalui efek
massa neurotoksisitas dari komponen darah serta timbulnya degradasi.

8
Meluasnya hematoma dapat menyebabkan tekanan intrakranial pada otak
semakin tinggi. Hal ini, menyebabkan terjadinya lisis pada sel darah merah
sehingga mengakibatkan sitotoksik Hb yang memicu pengeluaran komponen dari
Hb (heme dan besi), sehingga menyebabkan terbentuknya radikal bebas akibat
terjadinya oksidasi. Oksidasi ini mampu merusak protein, asam nukleat,
karbohidrat, dan lemak sehingga dapat menimbulkan terjadinya nekrosis.
Nekrosis terjadi ditandai dengan adanya gejala motorik yang melemah, aphasia,
gangguan penglihatan, gangguan sensorik, gangguan keseimbangan dan gejala
umum seperti mual, muntah, pusing, kejang, dan lesu. Selain terjadinya lisis pada
sel darah merah, juga terjadi penurunan adenosin triphosphate (ATP), sehingga
mempengaruhi astrocytes release glutamat dan mengakibatkan eksitotoksisitas
dan mengaktifkan mGluR serta meningkatkan influx 𝐶𝑎2+.
Selain itu penurunan ATP juga dapat mengakibatkan disfungsi natrium
dan kalium serta ATPase pompa neuron. Peningkatan 𝑁𝑎+ menyebabkan influx
𝐶𝑎2+ serta outflux 𝐾 + dan menimbulkan terjadinya depolarisasi yang memicu
pelepasan neuron glutamat dan menyebabkan eksitotoksisitas. Selain itu, disfungsi
tersebut juga menyebabkan 𝐻2O influx bersama dengan 𝑁𝑎+ dan menyebabkan
timbulnya edama. Selain terjadi penurunan ATP juga terjadi peningkatan kadar
laktat yang menyebabkan astrocyte mati dan menimbulkan microglia clear debris
sehingga melepaskan 𝑇𝑁𝐹𝛼, 𝐼𝐹𝛾, dan IL-1β yang dihasilkan dari proses inflamasi
dan memiliki efek pada peningkatan tekanan intrakranial seperti papilledema,
pusing mendadak, pupil tidak reaktif, mual dan muntah (Kuczynski A, 2018;
Bahrudin, 2015).

2.1.5 Faktor Resiko

Faktor risiko merupakan salah satu cara untuk pengendalian risiko atau
penyebab terjadinya kecacatan stroke. Faktor risiko dibagi menjadi beberapa
kelompok yang meliputi nonmodifiable, modifiable, dan Potentially Modifiable
(Dipiro et al., 2015).

A. Faktor Risiko Non-Modifiable (tidak dapat dimodifikasi)


Faktor risiko nonmodifiable (tidak dapat dimodifikasi) yaitu meliputi usia,
jenis kelamin, dan faktor genetik (Dipiro et al., 2015).

9
a) Usia : faktor risiko berdasarkan usia rata-rata stroke menyerang pada saat
seseorang pada fase masa produktif dan usia lanjut yaitu ditunjukkan pada
hasil persentase suatu profil usia 65 tahun yaitu 33,5% (PERDOSSI, 2011).
Prevalensi stroke yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan disebutkan
gejala stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia, tertinggi pada
usia ≥ 75 tahun dengan persentase diagnosis 43,1% dan diagnosis disertai
gejala 57,0% (RISKESDAS, 2013).
b) Jenis kelamin : faktor risiko stroke hemoragik tertinggi didapatkan pada jenis
kelamin wanita yaitu 59,4%. Hal ini terjadi dikarenakan kemungkinan
terbesar karena jumlah pasien wanita yang masuk rumah sakit lebih tinggi
dibandingkan jumlah pasien laki-laki. Prevalensi stroke berdasarkan jenis
kelamin sesuai diagnosis ataupun diagnosis beserta gejala oleh tenaga
kesehatan diperoleh persentase yang mirip antara laki-laki dan wanita namun
wanita tetap mendominasi lebih tinggi (RISKESDAS, 2013).
c) Faktor genetik : Faktor risiko genetik dapat diberikan konseling dan skrining
baik kepada keluarga penderita stroke maupun penderita stroke yang
dikarenakan faktor genetik (PERDOSSI, 2011).

B. Faktor Risiko Modifiable Well Documented (dapat dimodifikasi dengan


dokumentasi yang baik)
Faktor risiko modifiable well documented (dapat dimodifikasi dengan
dokumentasi yang baik) meliputi merokok, obesitas, hipertensi, diabetes,
dislipidemia, fibrilasi atrium, dan aktivitas fisik (Dipiro et al., 2015).
a) Merokok tidak dianjurkan dan harus diberhentikan oleh pasien yang
menderita stroke. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh perokok aktif melainkan
juga perokok pasif untuk mengurangi paparan terhadap asap rokok. Hal ini
dikarenakan hasil data epidemiologi menunjukkan perokok aktif dan pasif
memiliki dampak peningkatan tehadap risiko terjadinya stroke (PERDOSSI,
2011).
b) Obesitas merupakan salah satu pemicu atau faktor risiko penyebab stroke
hemoragik yang memiliki persentase 67,3%. Hasil ini jika dibandingkan
dengan seseorang yang memiliki berat badan normal memiliki hasil
persentase yang jauh berbeda yaitu 32,7%. Sehingga, faktor obesitas dapat

10
menjadi pemicu terjadinya stroke hemoragik selain itu obesitas juga dapat
dikatakan sebagai faktor prediktor dominan yang digunakan untuk
memprediksi terjadinya kematian pada stroke hemoragik.
c) Hipertensi : Seseorang dikatakan hipertensi atau memiliki tekanan darah yang
tidak normal jika tekanan sistolik melebihi dari 140 mmHg dan tekanan
diastolik lebih dari 90 mmHg (PERKI, 2015). Hipertensi yang merusak
pembuluh darah di otak dapat memicu terjadinya risiko stroke dan terjadinya
kerusakan pada otak berbanding lurus dengan resiko peningkatan derajat
tekanan (Katzung, 2015). Faktor risiko terjadinya stroke hemoragik lebih
tinggi dialami oleh pasien dengan tekanan darah yang tidak normal sebesar
91,1%. Dari beberapa faktor risiko yang memiliki potensi tinggi
menyebabkan stroke yaitu hipertensi (Dipiro et al., 2015).
d) Diabetes merupakan tingginya kadar gula yang tidak normal dalam tubuh.
Diabetes juga dapat menjadi salah satu faktor risiko stroke hemoragik dengan
persentase pengaruh hasil penelitian sebesar 57,4.
e) Dislipidemia : Begitu juga dengan halnya profil kadar lipid darah yang tidak
normal atau yang disebut dengan dislipidemia. Rerata pasien stroke
hemoragik dikarenakan memiliki kadar profil lipid yang tidak normal dengan
persentase sebesar 90,1% .
f) Fibrilasi atrium : Terjadinya fibrilasi atrium biasanya dapat dijumpai pada
keadaan hipertensi. Dimana hipertensi yang diakibatkan oleh terjadinya
fibrilasi atrium sendiri juga 15 merupakan salah satu faktor yang dapat
memicu terjadinya peningkatan kejadian kematian, stroke, dan gagal jantung
(PERKI, 2015).
g) Aktivitas fisik : Dilakukannya peningkatan aktivitas fisik menjadi salah satu
alternatif yang pasti dapat menurunkan serangan stroke. Hal ini dikarenakan,
dengan melakukan aktivitas fisik yang memiliki nilai aerobik seperti
berenang, bersepeda, berjalan cepat, dan lain-lain yang dilakukan secara
teratur terbukti dapat menurunkan tekanan darah, mengatur kadar gula dalam
darah, menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar lemak baik
dalam tubuh (PERDOSSI, 2011).

C. Faktor Risiko Potentially Modifiable (berpotensi dapat dimodifikasi)

11
Sedangkan untuk faktor risiko potentially modifiable (berpotensi dapat
dimodifikasi) meliputi migrain (sakit kepala sebelah), penyalahgunaan
penggunaan narkoba dan alkohol, radang dan infeksi, dan tingginya kadar
lipoprotein. (Dipiro et al., 2015).
a) Migrain Terjadinya migrain yang sering ini memiliki hubungan dengan faktor
risiko serangan stroke (PERDOSSI, 2011). Migrain atau sakit kepala terjadi
karena tegangan (kontraksi otot) yang disebabkan oleh hipertensi,
peningkatan tekanan intrakranial, trauma atau tumor kepala, dan perdarahan
atau aneurisma intrkranial (Kowalak J, 2014)
b) Penyalahgunaan narkoba dan alkohol Penyalahgunaan narkoba dan konsumsi
alkohol dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah atau hipertensi yang
dapat memicu terjadinya stroke hemoragik (PERDOSSI, 2011). Karena
terjadinya stroke hemoragik dipengaruhi oleh faktor tekanan darah atau
hipertensi.
c) Radang dan infeksi Pasien yang mengalami inflamasi seperti halnya pada
penderita rheumatoid arthritis (RA) harus diwaspadai terkait dengan faktor
risiko terjangkit stroke yang tinggi (PERDOSSI, 2011).
d) Kadar lipoprotein tinggi Pada pasien dengan kadar lipoprotein yang tinggi
dengan diberikannya terapi niacin dapat bermanfaat sebagai pencegahan
stroke iskemik (PERDOSSI, 2011). Niacin digunakan untuk penanganan
aterosklerosis yang menyebabkan terjadinya penyumbatan pembuluh darah
pada stroke iskemik. Niacin memiliki mekanisme kerja dengan menghambat
aktivitas enzim katalisator dalam pembentukan trigliserida yang efektif dalam
menurunkan kadar lipoprotein.

2.1.6 Manifestasi Klinik


Stroke atau cerebrovaskular merupakan suatu penyakit akibat trauma
neurologik akut yang bermanifestasi sebagai pendarahan atau infark otak.
Manifestasi klinik pada pasien dengan infark otak ditandai awal dengan pucat,
substansi grisea menjadi terkongesti ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah
dalam beberapa jam sampai hari, serta mengalami distensi dan perdarahan patekia
kecil (Harisson, 2015). Stroke juga dapat menimbulkan efek yang bergantung
pada bagian mana otak yang terluka dan seberapa parah bagian yang terluka.

12
Stroke yang parah dapat menimbulkan kematian mendadak (World Health
Organization, 2015).
Gejala stroke biasanya ditandai dengan merasa lemah secara tiba-tiba atau
mati rasa pada bagian wajah, lengan dan atau kaki, paling sering terjadi pada 9
sebagian tubuh. Selain itu juga ditandai dengan rasa bingung, gangguan berbicara
serta pemahaman ucapan, gangguan penglihatan salah satu atau keduanya,
gangguan berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan tubuh, rasa sakit kepala
yang parah tanpa diketahui penyebabnya hingga pingsan (World Health
Organization, 2015). Perbedaan yang timbul antara pasien stroke iskemik dan
hemoragik yaitu pasien stroke iskemik tidak disertai sakit kepala dan gejalanya
tidak menyakitkan sedangkan stroke hemoragik gejalanya lebih parah dari stroke
iskemik (Dipiro et al., 2015).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang (Dipiro., et al.)


 Tes laboratorium
Tes untuk keadaan hiperkoagulasi (defisiensi protein C, antibodi
antifosfolipid) harus dilakukan hanya bila penyebab stroke tidak dapat ditentukan
berdasarkan keberadaan faktor risiko stroke yang terkenal. Protein C, protein S,
dan antitrombin III paling baik diukur dalam "kondisi mapan", bukan pada tahap
akut. Antibodi antifosfolipid yang diukur dengan antibodi antikardiolipin, β-
glikoprotein I, dan pemeriksaan antikoagulan lupus memiliki hasil yang lebih
tinggi daripada protein C, protein S, dan antitrombin III tetapi harus disediakan
untuk pasien yang sedang muda (kurang dari 50 tahun), pernah mengalami
beberapa kejadian trombotik vena / arteri, atau pernah hidup reticularis (ruam
kulit).

 CT scan
CT scan kepala akan mengungkapkan area hiperintensitas (putih) di area
perdarahan dan akan normal atau hipointens (gelap) di daerah infark. CT scan
mungkin membutuhkan waktu 24 jam (dan jarang lebih lama) untuk menunjukkan
area infark.

13
 MRI kepala akan mengungkapkan area iskemia dengan resolusi lebih tinggi
dan lebih awal dari CT scan. DWI akan mengungkapkan infark yang
berkembang dalam beberapa menit.

 Pemeriksaan Carotid Doppler (CD) akan menentukan apakah pasien memiliki


tingkat stenosis yang tinggi di arteri karotis yang memasok darah ke otak
(penyakit ekstrakranial).

 Elektrokardiogram (EKG) akan menentukan apakah pasien mengalami


fibrilasi atrium, yang poten faktor etiologi untuk stroke.

 Ekokardiografi transthoracic (TTE) akan menentukan apakah katup abnormal


atau kelainan gerakan dinding adalah sumber emboli ke otak. Sebuah "uji
gelembung" dapat dilakukan untuk cari pirau intraatrium yang menunjukkan
defek septum atrium atau paten foramen ovale.

 Transesophageal echocardiography (TEE) adalah tes trombus yang lebih


sensitif di atrium kiri. Ini efektif untuk memeriksa lengkung aorta untuk
ateroma, sumber potensial emboli.

 Transcranial Doppler (TCD) akan menentukan apakah pasien cenderung


mengalami intrakranial stenosis (misalnya stenosis arteri serebral tengah).

2.1.8 Komplikasi Stroke Hemoragik


Pada umumnya setiap penyakit memiliki komplikasi tersendiri begitu pula
dengan komplikasi yang ditimbulkan karena stroke. Seorang pasien yang
menderita penyakit stroke rentang terhadap banyak komplikasi yang biasanya
dikarenakan pasien memiliki riwayat penyakit penyerta seperti hipertensi,
diabetes, penyakit jantung dan penyakit lainnya yang mampu meningkatkan risiko
medis. Selain itu, komplikasi pada pasien stroke juga dapat disebabkan karena
efek langsung dari cedera otak , kecacatan, ataupun dari hasil perawatan yang
memiliki hubungan dengan stroke. Komplikasi yang terjadi ini dapat menjadi
penyebab utama kematian pada pasien stroke akut maupun stroke subakut.
Adapun komplikasi dari penyakit stroke ialah infark miokard, pneumonia,
tromboemboli vena, demam, nyeri, disfagia, dan depresi (Kumar, 2010).

14
 Disfagia
Disfagia adalah suatu gejala gagalnya proses pemindahan bolus makanan
dari rongga mulut sampai ke lambung atau proses penelanan. Disfagia sendiri
dapat memicu terjadinya malnutrisi, dehidrasi, bahkan kematian (Nayoan C,
2017). Munculnya disfagia pada pasien stroke memiliki rentang persentase 37%
dan 78%. Terjadinya disfagia menyebabkan adanya pembatasan asupan oral pada
pasien sehingga pasien memiliki resiko kekurangan gizi dan dehidrasi. Untuk
mengatasi hal tersebut dalam pemenuhan gizi maka digunakan (PEG) gastronomi
endoskopi perkutan yang memiliki fungsi untuk menyalurkan makanan
dikarenakan pasien tidak mampu menelan setelah beberapa hari (Kumar S, 2010).

2.1.9 Penatalaksanaan Stroke Hemoragik


Pada penderita stroke hemoragik sering kali terjadi penurunan tingkat
kesadaran yang signifikan untuk itu harus dijaga jalan napasnya. Perlakuan yang
dapat dilakukan yaitu intubasi, hiperventilasi, elevasi kepala saat posisi tidur,
pemberian terapi manitol secara i.v untuk mengatasi terjadinya peningkatan
tekanan kranial, mengontrol tekanan darah, pemberian neuroprotektor, pemberian
antikoagulan secara oral untuk mencegah terjadinya ekspansi, dilakukannya
pencegahan dan penanganan komplikasi sistemik yang menyertai stroke
hemoragik, serta dilakukannya tindakan operasi pembedahan (Bahrudin, 2015).
Dilakukannya pembedahan dilihat dari tingkat kesadaran , lokalisasi, serta
besarnya hematoma serta faktor penyakit lain yang mungkin dapat diduga menjadi
faktor pemicu dalam memperburuk suatu kondisi. Tidak dilakukan operasi yaitu
pada pasien dengan memiliki GCS ˂ 8, dengan mengalami pengecilan batang otak
dan hidrosefalus akibat dari terjadinya obstruksi ventrikel. Penderita stroke
dengan perdarahan lobar atau besar >50 𝑐𝑚3 yang mengalami deteriorasi serta
terjadinya penurunan kesadaran secara progresif. Dan pada pasien stroke
hemoragik karena lesi struktural (aneurisma, malformasi arteriovenosa, angioma
kavernosa) (Bahrudin, 2015).

A. Neuroprotektan
Penggunaan terapi neuroprotektan bertujuan untuk melindungi dari kematian
sel neuron. Terapi neuroprotektan juga memiliki tujuan untuk mengurangi

15
terjadinya kerusakan sel akibat dari terhambatnya aliran darah yang sebagai
pemasok oksigen. Dalam terapi stroke obat yang sering dipakai yaitu piracetam
dan citicoline (Bahrudin, 2015; Praja, 2013). Neuroprotektan atau yang
didefinisikan sebagai perlindungan saraf yang digunakan sebagai strategi serta
memiliki potensi untuk melindungi otak dalam kondisi otak tertentu.
Neuroprotektan secara farmakologis dapat digunakan sebagai pencegahan
terjadinya pembentukan gumpalan seperti antitrombotik atau antiplatelets dan
pemecahan gumpalan seperti trombolitik, sebagai pelindung saraf, serta
menargetkan pembuluh darah otak yang disebut neuroprotektan ekstrinsik atau
secara tidak langsung (Minnerup J, 2012).

1) Citicoline
Citicoline memiliki nama kimia yaitu CDP-choline atau cytidine diphospate
choline yang tersusun atas ribosa, pirofosfat, sitosin, dan kolin yang berperan
penting dalam metabolisme sel dan berpartisipasi dalam biosintesis fosfolipid
membran sel. Hal ini merupakan komponen penting yang digunakan dalam
integritas membran sel dan perbaikan. Citicoline memiliki efek yang dapat
menstabilkan membran sel dengan cara meningkatkan fosfatidilkolin dan sintesis
sphingomyelin serta menghambat proses pelepasan asam lemak bebas. Selain itu,
citicoline juga memiliki fungsi sebagai pelindung membran dengan cara
menghambat pelepasan glutamat. Citicoline berfungsi dalam mendukung fungsi
otak, memperbaiki beberapa kerusakan kumulatif, memperbaiki fungsi kognitif
motorik, dan untuk perbaikan neuron (Doijad, 2012). Dosis yang digunakan untuk
stroke iskemik yaitu 250 – 1000 mg/hari secara i.v terbagi dalam 2 – 3 kali/hari
selama 2 hingga 14 hari. Sedangkan untuk stroke hemoragik yaitu 150 – 200
mg/hari secara i.v terbagi dalam 2 – 3 kali/hari selama 2 hingga 14 hari
(PERDOSSI, 2011).

2) Piracetam
Piracetam adalah obat nootropik dan termasuk turunan siklik dari gamma-
asam aminobutirat, dengan nama kimia 2-oxo-1-pyrrolidine acetamide. Piracetam
memiliki karakteristik yang mudah larut dalam air, karena memiliki inti pyrolidon
dengan struktur kimia seperti pyroglutamat. Piracetam memiliki fungsi dalam

16
memperbaiki fluiditas membran sel, memperbaiki neurotransmisi, dan
menstimulasi adenylate kinase yang mengkatalisa konversi ADP menjadi ATP
(PERDOSSI, 2004). Piracetam mampu memperbaiki fungsi neurotransmitter
dengan melalui reseptor kolinergik muskarinik yang terlibat dalam proses
memori.
Piracetam dapat menggunakan efek global pada neurotransmisi otak melalui
modulasi ion (yaitu 𝑁𝑎+ dan 𝐾 +). Sedangkan dalam proses metabolisme ATP
dapat meningkatkan konsumsi oksigen dalam otak. Selain fungsi diatas, piracetam
juga digunakan sebagai terapi yang mampu mempengaruhi fungsi saraf, pembuluh
darah, fungsi kognitif tanpa bertindak sebagai obat penenang atau stimulan, untuk
pengobatan degenerasi saraf, mengobati kecanduan alkohol, pembekuan,
koagulasi, gangguan vasospastik alzheimer, pikun, depresi, dan kecemasan pada
stroke, dyspraxia, serta trauma kranioserebral. Dosis normal piracetam yang
dipakai yaitu mulai dosis 4,8 – 9,6 gram dibagi menjadi 3 dosis harian per 8 jam
(Doijad et al, 2012).

B. Antihipertensi
Pada pasien stroke rata-rata disertai dengan peningkatan tekanan darah dan
pengobatan hipertensi dengan menggunakan terapi antihipertensi dikaitkan
dengan penurunan kejadian keterulangan stroke. Penggunaan antihipertensi
golongan ACE inhibitor dengan atau tanpa golongan diuretik thiazid yaitu
indapamide menunjukkan penurunan tekanan sistolik sebanyak 9 mmHg dan
tekanan diastolik 4 mmHg dengan persetase keterulangan stroke sebesar 28%.
Sedangkan, untuk penggunaan terapi antihipertensi secara kombinasi
menunjukkan penurunan tekanan sistolik 12 mmHg dan tekanan diastolik 5
mmHg dengan persentase keterulangan stroke lebih signifikan yaitu sebesar 43%.
Namun, dalam penerapannya penurunan tekanan darah pada stroke akut sebagai
tindakan rutin tidak diperobolehkan dikarenakan dapat memperburuk gejala serta
neurologis (PERDOSSI, 2011).
Penatalaksanaan terapi antihipertensi menurut PERDOSSI (2004) pada
stroke hemoragik yaitu apabila:
 Pasien memiliki tekanan darah sistolik > 230 mmHg atau tekanan diastolik >
140 mmHg, untuk diberikan terapi nikardipin, diltiazem, atau nimodipin.

17
 Apabila pasien stroke hemoragik memiliki tekanan sistolik 180-230 mmHg
atau tekanan diastolik 105-140 mmHg atau tekanan darah arterial rata-rata
130 mmHg, maka:
 Labetalol 10-20 mg iv selama 1-2 menit. Diulangi atau dilakukan
penggandaan setiap 10 menit dengan dosis maksimum 300 mg atau
diberikan dosis awal bolus diikuti labetalol secara iv drip 2-8 mg/menit
 Nicardipin
 Diltiazem
 Nimodipin
 Selain itu pada pasien stroke akut penurunan tekanan darah tidak boleh lebih
dari 20%-25% dari tekanan darah arteri rerata.
 Sedangkan untuk pasien dengan tekanan sistolik < 180 mmHg dan tekanan
diastolik < 105 mmHg untuk dilakukan penangguhan pemberian obat
antihipertensi.
 Kemudian menjaga atau mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg
melalui pemantauan tekanan intrakranial.
 Pada pasien dengan memiliki riwayat hipertensi, maka penrunan tekanan
darah dipertahankan dibawah tekanan arterial rata-rata 130 mmHg.
 Jika tekanan darah arterial rata-rata lebih dari 110 mmHg harus dicegah
segera pada waktu pasca-operasi dekompresi.
 Dan harus diberikan terapi obat untuk meningkatkan tekanan darah
(vasopresor) ketika tekanan darah arterial sistolik pasien turun < 90 mmHg.
C. Manitol
Mannitol digunakan oleh bedah saraf sejak tahun 1960an berkisar 3
dekade hingga saat ini. Mannitol sangat luas digunakan untuk mengontrol
hipertensi intrakranial pada cedera otak traumatik. Mannitol efektif untuk
mengontrol hipertensi intrakranial dengan dosis 0,25–1 gr/kgbb. Mannitol dosis
tunggal memiliki keuntungan karena sangat efektif bila digunakan pada prosedur
diagnostik (CT-scan) atau untuk intervensi (pengangkatan tumor otak). Mannitol
juga dapat digunakan dalam jangka waktu lama sebagai terapi mengendalikan
hipertensi intracranial (Bisri, 2013).

18
Mannitol diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,25–1 gr/kg BB.
Bekerja dalam waktu 10–15 menit dan efektif kira-kira selama 2 jam. Mannitol
tidak menembus sawar darah-otak yang intact. Dengan peningkatan osmolalitas
darah relatif terhadap otak, mannitol menarik air dari jaringan otak ke dalam
darah. Bila sawar darah-otak rusak, mannitol dapat memasuki otak dan
menyebabkan rebound kenaikan tekanan intrakranial sebab ada suatu perbedaan
osmotik yang terbalik dimana osmolaritas jaringan otak lebih tinggi dibanding
plasma sehingga air akan masuk ke dalam jaringan otak. Akumulasi mannitol
dalam otak terjadi pada dosis besar dan pengulangan pemberian.
Mannitol dapat menyebabkan vasodilatasi, yang bergantung besarnya
dosis dan kecepatan pemberian. Vasodilatasi akibat mannitol dapat menyebabkan
peningkatan volume darah otak dan tekanan intrakranial secara selintas yang
simultan dengan penurunan tekanan darah sistemik. Karena mannitol pertama-
tama dapat meningkatkan tekanan intrakranial, maka harus diberikan secara
perlahan (infus 20 menit) dan dilakukan bersama dengan manuver yang
menurunkan volume intrakranial (misalnya hiperventilasi).

Mannitol menimbulkan perubahan reologi darah dan peningkatan curah


jantung, yang berguna untuk memperbaiki oksigenasi otak dan menimbulkan
vasokontriksi arteri serebral dan sebagai konsekuensinya akan menyebabkan
penurunan volume darah otak dan tekanan intrakranial. Selain itu, mannitol juga
dapat menimbulkan dehidrasi sedang setelah terapi hiperosmoler dengan tujuan
memperbaiki edema otak, pada dehidrasi yang berat dapat menimbulkan keadaan
hiperosmolar dan gangguan pada ginjal. Mannitol mampu menurunkan produksi
cairan serebrospinal hingga 50% melalui Monro-Kellie serta dapat menurunkan
tekanan intrakranial dalam jangka waktu yang lama.

D. Terapi Non Farmakologi


Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan sebagai salah satu alternatif
untuk meminimalisir faktor risiko dengan cara mengubah pola gaya hidup yang
lebih teratur dan sehat. Adapun pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan
memonitoring tekanan darah, olahraga tertaur, tidak mengkonsumsi alkohol
secara berlebihan, menghindari stress hingga depresi, dan tidak merokok

19
(Bahrudin, 2015). Selain itu, mengatur pola makan yang sehat dengan cara
mengkonsumsi makanan yang rendah lemak dan kolesterol dapat menurunkan
tingkat resiko terjangkit serangan stroke. Penambahan konsumsi susu yang
memiliki kandungan protein, Zn, Vit B12, kalsium juga dapat membantu sebagai
proteksi terhadap stroke. Dari segala bentuk yang sudah dijelaskan, pemicu faktor
risiko dari stroke harus selalu dimonitoring dengan cara pemeriksaan secara
teratur dan patuh terhadap saran dokter baik terkait dengan diet dan juga
pengkonsumsian obat (PERDOSSI, 2011).

2.2. Hipertensi Emergensi


2.2.1 Definisi
Hipertensi emergensi adalah keadaan gawat medis ditandai dengan
tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan organ target akut (Aronow, 2017)

2.2.2 Epidemiologi
Pada pasien HT kronik diperkirakan sekitar 1-2% akan mengalami krisis
HT dalam kurun waktu hidupnya, diantaranya HT emergensi diperkirakan kurang
lebih 25% kasus. Insiden tahunan HT emergensi diperkirakan sebanyak 1-2 kasus
per 100.000 pasien. Faktor risiko yang paling penting didapatkan pada krisis HT
adalah mereka yang tidak terdiagnosis atau tidak patuh menjalani pengobatan.
Mortalitas selama perawatan di rumah sakit pada krisis HT diperkirakan sebanyak
4-7%. Angka kematian dalam 1 tahun diantara pasien dengan HT emergensi
mencapai angka lebih dari 79% (Whelton et al., 2017).

2.2.3 Etiologi
Berikut ini adalah penyebab hipertensi emergensi (Alwi et al., 2016):
 Kondisi serebrovaskular: ensefalopati hipertensi, infark otak aterotrombotik
dengan hipertensi berat, pendarahan intraserebral, pendarahan subaranoid,
dan trauma kepala.
 Kondisi jantung: diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut infark miokard
akut, pasca operasi bypass koroner.
 Kondisi ginjal: Glomerulonefritis akut, hipertensi renovaskular, krisis renal
karena penyakit kolagen-vaskular, hipertensi berat pasca transplantasi ginjal.

20
 Akibat ketokolamin di sirkulasi: krisis feokromositoma, interaksi makanan
atau obat dengan MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik,
mekanisme rebound akibat penghentian mendadak obat antihipertensi,
hiperrefleksi otomatis pasca cedera korda spinalis.
 Eklampsia
 Kondisi bedah: hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera,
hipertensi pasca operasi, pendarahan pasca operasi dari garis jahitan vaskular.
 Luka bakar berat
 Epistaksis berat.
 Thrombotic thrombocytopenic purpura

2.2.4 Ciri – ciri dan Karakteristik Hipertensi Emergensi


A. Ciri – ciri hipertesi emergensi
 Keadaan gawat medis
Hipertensi emergensi merupakan keadaan gawat medis yang memerlukan
penangan secara serius dan segera. Penurunan tekanan darah perlu dilakukan
segera dalam hitungan menit atau jam dari onset, walaupun penurunan tekanan
darah jarang sampai keadaan normotensi untuk mencegah atau membatasi
kerusakan organ target lebih lanjut (Whelton et al., 2017).

 Tekanan darah sangat tinggi


Tekanan darah pada hipertensi emergensi sangat tinggi biasanya mencapai
> 220/140 mmHg (Alwi et al., 2016), ada pula yang menyebutkan > 180/120
mmHg sudah termasuk hipertensi emergensi (Whelton et al., 2017).

 Peningkatan tekanan darah yang berat


Peningkatan tekanan darah yang terjadi secara signifikan dapat
menyebabkan hipertensi emergensi, tetapi pada pasien dengan hipertensi kronis
sering dapat mentolerir tingkat tekanan darah yang lebih tinggi daripada individu
normotensi (Whelton et al., 2017).

 Peningkatan tekanan darah terjadi secara mendadak

21
Peningkatan tekanan darah yang terjadi secara mendadak dapat
menimbulkan hipertensi emergensi (Elliott et al., 2013).

 Terjadi kerusakan organ target


Contoh kerusakan organ target meliputi ensefalopati hipertensi,
Intracranial Hemorrhage (ICH), stroke iskemik akut, myocardial infarction akut,
gagal ventrikel akut dengan edema paru, angina pektoris tidak stabil, pembedahan
aorta aneurisma, gagal ginjal akut, dan eklampsia (Whelton et al., 2017).

Tabel 1. Organ target dan komplikasi pada hipertensi emergensi

 Memerlukan penurunan tekanan darah segera (dalam waktu menit-jam)


Penurunan tekanan darah perlu dilakukan segera dalam hitungan menit
atau jam dari onset, walaupun penurunan tekanan darah jarang sampai keadaan
normotensi untuk mencegah atau membatasi kerusakan organ target lebih lanjut
(Whelton et al., 2017).

B. Karakteristik Hipertensi Emergensi


 Tekanan darah
Tekanan hipertensi emergensi sangat tinggi, biasanya mencapai > 220/140
mmHg (Alwi et al., 2016), ada pula yang menyebutkan > 180/120 mmHg sudah
termasuk hipertensi emergensi (Aronow, 2017).

 Temuan funduscopy
Pada hipertensi emergensi dapat ditemukan pendarahan, eksudat dan
edema papil (Alwi et al., 2016).

 Status neurologi

22
Status neurologis pada hipertensi emergensi adalah rasa sakit di kepala,
terjadi kebingungan, mengantuk, pingsan, gangguan pada penglihatan, kejang,
gangguan neurologi fokal, koma (Alwi et al., 2016).

 Gejala ginjal
Terdapat gejala gangguan ginjal pada hipertensi emergensi seperti
azotemia, proteinuria, oliguria, Acute Kidney Injury (Alwi et al., 2016).

 Gejala saluran cerna


Terjadi gejala saluran cerna sepert mual, muntah pada pasien dengan
tekanan darah tinggi merupakan karakteristik dari hipertensi emergensi (Alwi et
al., 2016).

2.2.5 Patofisiologi
A. Gangguan Mekanisme Autoregulasi
Autoregulasi didefinisikan sebagai kemampuan organ (otak, jantung, dan
ginjal) untuk menjaga aliran darah yang stabil terlepas dari perubahan tekanan
perfusi (Taylor, 2015). Jika tekanan perfusi turun, aliran darah yang sesuai akan
menurun sementara, namun kembali ke nilai normal setelah beberapa menit
berikutnya.

Gambar 1. Patofisiologi Krisis Hipertensi karena gangguan autoregulasi.

23
Jika terjadi kerusakan fungsi autoregulasi, jika tekanan perfusi turun, hal
ini menyebabkan penurunan aliran darah dan peningkatan resistensi vaskular.
Dalam krisis hipertensi, ada kekurangan autoregulasi di vascular bed dan aliran
darah sehingga tekanan darah meningkat secara mendadak dan resistensi vaskular
sistemik dapat terjadi, yang sering menyebabkan stres mekanis dan cedera
endotelial (Taylor, 2015).

B. Aktivasi Sistem Renin-Angiotensin


Aktivasi sitem ini menyebabkan vasokonstriksi lebih lanjut dan dengan
demikian menghasilkan lingkaran setan dari cedera terus-menerus dan kemudian
iskemia (Varounis et al., 2017).

Gambar 2. Patofisiologis sistem RAAS.

Dalam keadaan normal, sistem reninangiotensin aldosteron berperan


sentral dalam regulasi homeostasis tekanan darah. Overproduksi renin oleh ginjal
merangsang pembentukan angiotensin II, vasokonstriktor yang kuat. Akibatnya,
terjadi peningkatan resistansi pembuluh darah perifer dan tekanan darah. Krisis
hipertensi diprakarsai oleh peningkatan resistensi vaskular sistemik yang tiba-tiba
yang mungkin terkait dengan vasokonstriktor humoral. Dalam keadaan krisis
hipertensi, penguatan aktivitas sistem renin terjadi, menyebabkan cedera vaskular,
iskemia jaringan, dan overproduksi reninangiotensin lebih lanjut. Siklus berulang
ini berkontribusi pada patogenesis krisis hipertensi (Singh, 2011).

24
2.2.6 Tatalaksana
Pada pedoman ACC/AHA-2017 target penurunan TD dibedakan dengan
melihat ada atau tidaknya kondisi yang memaksa (with or without compelling
condition) . Secara umum bila tidak didapatkan compelling condition, tatalaksana
HT emergensi adalah dengan melakukan penurunan TD maksimal 25% dalam jam
pertama, kemudian target penurunan TD mencapai 160/100-110 mm Hg dalam 2
sampai 6 jam, selanjutnya TD mencapai normal dalam 24 sampai 48 jam.1
Penurunan TD yang lebih agresif dilakukan bila didapatkan compelling condition
(aorta dissekan, pre-eclampsia berat atau eclampsia, dan krisis
pheochromocytoma). Sedangkan penurunan TD yang kurang agresif dilakukan
pada HT dengan kondisi komorbid penyakit serebro-vaskuler (perdarahan
intraserebral akut dan stroke iskhemik akut) (Whelton et al., 2017).

Tabel 2. Tipe Obat, Dosis, Karakteristik terapi HT emergensi (William et al.,


2018).

Pemberian Nicardipin syringe pump


Dosis nicardipin 5-15 g/kgBB.
 Larutkan 1 ampul nicardipin dalam Nacl 0,9% atau menjadi total 50 cc.

25
 10 mg nicardipin/50 cc cairan; 1 cc= 0,2 mg=200 mcg.
pada kasus ini BB pasien adalah 62 kg sehingga dosis yaitu 310 – 930
g/jam, maka :
Rumus = (dosis permintaan (mcg) x BB (kg) x 60 menit) / jumlah mcg/cc
= 0,3 mcg x 62 kg x 60 menit/200 mcg
= 5,58 cc/jam.

Pemberian nicardipin infus


 Larutkan 1 ampul nicardipin dalam Nacl 0,9% atau menjadi total 100 cc.
 10 mg nicardipin/100 cc cairan; 1 cc= 0,1 mg=100 mcg.
pada kasus ini BB pasien adalah 62 kg, maka :
Rumus = (dosis permintaan (mcg) x BB (kg) x 60 tetes(makro)) / jumlah
mcg/cc
= 0,3mcg x 62 kg x 60 menit/100 mcg
= 11,6 gtt/menit.

26
BAB III
TINJAUAN UMUM KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama pasien : Tn. H
Tanggal Lahir/Umur : 12-05-1966/57 tahun
Berat badan : 62 kg
Tinggi Badan : 160 cm
Ruangan : Neuro Lt.4
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pembayaran/Status : BPJS
Mulai MRS : 11 Juli 2021
Keluar RS : 15 Juli 2021

3.2 Riwayat Penyakit


3.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang
Anggota gerak kanan berat sejak 1 hari yang lalu. Bicara (-), sakit kepala
(-), mual dan muntah (-)

3.2.2 Riwayat penyakit terdahulu


Hipertensi.

3.2.3 Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada riwayat penyakit keluarga.

3.2.4 Riwayat penggunaan obat terdahulu


Tidak ada riwayat penggunaan obat.

3.2.5 Riwayat Alergi


Tidak ada riwayat alergi

3.3 Data Pemeriksaan

27
3.3.1 Pemeriksaan Fisik dan Tanda Vital

Kesadaran : CM (Compus Mentis)


Kondisi Umum : Sedang
Berat Badan : 62 kg
Suhu : 36,3 ˚C (normal : 36 – 37,2 ˚C)
GCS : E4M6V5
Tekanan Darah : 200/120 mmHg
Pernapasan : 20 x/menit
Nadi : 101 x/menit
Mata : Konjunctiva anemis (-)
Pupil : isokor.
Thorax : Pulmo : Ronchi (-), Wheezing (-)
Abdomen : Supel
Akral : Hangat

3.3.2 Pemeriksaan Penunjang


Nama Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan
(11/07/2021)
Gula Darah:
109 mg/dl <200 mg/dl Normal
Random
Ureum 17 mg/dl 10 – 50 Normal
Kreatinin 0,5 mg/dl 0,6 - 1,1 Rendah
Natrium 139 mmol/l 136 - 145 Normal
Kalium 2,7 mmol/l 3,5 - 5,1 Rendah
Klorida 99 mmol/l 97 - 111 Normal
(12/07/2021)
Gula Darah:
Nukhter 83 mg/dl 70 - 110 mg/dl Normal
2 Jam PP 109 mg/dl <200 mg/dl Normal
L (3-7 mg/dl) P (2,4
Asam Urat 7,2 mg/dl Normal
- 5,7 g/dl)
Total Kolesterol 164 mg/dl <220 mg/dl Normal
HDL Kolesterol 35 mg/dl >65 mg/dl Rendah
LDL Kolesterol 111 mg/dl <150 mg/dl Normal
Trigliserida 92 mg/dl <150 mg/dl Normal
3.4 Diagnosa Kerja
 Diagnosa Primer : Stroke Hemoragik
 Diagnosa Sekunder : Hemiparesis Dextra, hipertensi emergensi.

28
3.5 Tatalaksana/terapi pengobatan
Terapi selama dirumah sakit
 Simvastatin 20 mg 1x1 PO.
 Neurodex ( vitamin B1 100 mg, B6 200 mg dan B12 200 µg) 1x1 PO.
 Capcam 1 (Parasetamol 300 mg, Tramadol 30 mg dan Amitriptilin 2,5 mg)
2x1 PO.
 KSR (Potassium klorida) 600 mg 3x1 PO.
 Candesartan 8 mg 1x1 PO.
 IVFD NaCl 0,9 % /12 Jam
 Ranitidin50 mg 2x1 IV.
 Citicolin 500 mg 2x1 mg IV.
 Manitol + Lasix 4x125 ml, 3x125 ml, 2x125 ml, 1x125 ml.

3.6 Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi


1. Hari pertama tanggal 11 Juli 2021
S Lemah setengah tubuh
O GCS : E4V5M6
A ICH
P Terapi dilanjutkan

2. Hari ketiga tanggal 12 Juni 2021


S Lemah setengah tubuh
O GCS : E4V5M6
Hemiparesis
A ICH
P Manitol stop

3. Hari Ketiga tanggal 13 Juni 2021


S Lemah setengah tubuh
O GCS : E4V5M6
Hemiparesis
A SH/ICH
P Candesartan 1x8 mg
FT
Aff O2
4. Hari Keempat tanggal 14 Juni 2021
S Lemah setengah tubuh
O GCS : E4V5M6

29
Hemiparesis
A SH/ICH
P Aff Infus
FT
Besok pulang

30
3.7 Lembar Penggunaan Obat

Tanggal Pemberian Obat


Nama Obat Regimen 11/07/2021 12/07/21 13/07/2021 14/07/2021 15/07/2021
P S S M P S S M P S S MP S S M P S S M
Simvastatin 1x20 mg PO 18 18 18 18
Neurodex 1x1 PO 8 8 8 8
Capcam 1 2x1 PO 18 8 18 8 18 8 18 8
KSR 3x600 mg PO 18 8 12 18 8 12 18 8 12 18 8
Candesartan 1x8 mg PO 18 18
2 2
Ranitidin 2x50 mg IV 20 8 8 8 20 S T O P
0 0
2 2
Citicolin 2x500 mg IV 20 8 8 8 20 S T O P
0 0
NaCl 0,9% /12 jam IVFD S T O P
4x125 ml
3x125 ml
Mannitol + Lasix S T O P
2x125 ml
1x125 ml

3.8 Analisa Drug Related Problem (DRP)

31
No Drug Therapy Problem Check list Keterangan/Rekomendasi
1 Terapi obat yang tidak
diperlukan
Terdapat terapi tanpa indikasi Tidak ada Obat yang diberikan sudah sesuai indikasi klnis pasien :
masalah  Simvastatin diberikan untuk meningkatkan kadar HDL.
 Neurodex diberikan untuk vitamin syaraf dan otot.
 KSR diberikan untuk terapi hipokalemia.
 Candesartan diberikan untuk menurunkan tekanan darah pada hipertensi
 Nacl 0,9 % diberikan untuk menjaga keseimbangan perfusi jaringan serebral.
 Ranitidin inj diberikan untuk mengatasi stress ulcer.
 Citicolin inj digunakan Melindungi otak serta mengurangi jaringan otak
yang rusak akibat cedera, dan mempercepat masa pemulihan akibat stroke.
 Mannitol + lasix digunakan untuk Sebagai osmoterapi (meningkatkan
tekanan Osmolaritas didalam pembuluh darah).
Pasien masih memungkinkan Tidak ada Pasien tidak memungkinkan menjalani terapi non farmakologi.
menjalani terapi non masalah
farmakologi
Terdapat duplikasi terapi Tidak ada Tidak terdapat duplikasi terapi karena obat memiliki mekanisme kerja yang
masalah berbeda-beda. Dan telah sesuai dengan kebutuhan pasien.
 Simvastatin bekerja dengan menghambat 3-hidroksi-3-metil-glutaril-koenzim
A (HMG-CoA) reduktase yang mempunyai fungsi sebagai katalis dalam
pembentukan kolesterol.
 Neurodex adalah obat yang mengandung vitamin B1, vitamin B6, vitamin
B12.
 KSR bekerja untuk mengurangi retensi cairan/bengkak dan menyebabkan efek
diuresis (sering BAK).

32
 Ranitidin merupakan antagonis reseptor H2 dengan cara mengurangi sekresi
asam lambung sebagai akibat dari penghambatan reseptor histamin H2.
 Citicolin bekerja dengan cara meningkatkan senyawa kimia diotak bernama
phospholipiid phosphatidylcholine.
 Mannitol +lasix bekerja dengan meningkatkan osmolalitas plasma sehingga
aliran cairan dari jaringan menuju kedalam plasma meningkat, terjadi
penurunan viskositas darah.
Pasien mendapat penanganan Tidak ada Berdasarkan pengamatan pasien tidak mengalami efek samping obat (penjelasan
terhadap efek samping yang masalah pada lembar MESO), akan tetapi pasien mengalami hipokalemia, hal ini dapat
seharusnya dapat dicegah disebabkan karena penggunaan mannitol+lasix, sehingga pemberian
mannitol+lasix harus dimonitoring.

2 Kesalahan Obat
Bentuk sediaan tidak tepat Tidak ada Bentuk sediaan telah sesuai dengan kondisi pasien, dimana pasien dalam kondisi
masalah kesadaran yaitu Compus Mentis (CM).
 Simvastatin : Simvastatin diberikan bentuk tablet karena pasien tidak
memiliki masalah dalam penggunaan obat oral.
 Neurodex : Neurodex diberikan bentuk tablet karena pasien tidak memiliki
masalah dalam penggunaan obat oral.
 Capcam 1 : Capcam 1 diberikan bentuk tablet karena pasien tidak memiliki
masalah dalam penggunaan obat oral.
 KSR : KSR diberikan bentuk tablet karena pasien tidak memiliki masalah
dalam penggunaan obat oral.
 Candesartan : Candesartan diberikan bentuk tablet karena pasien tidak
memiliki masalah dalam penggunaan obat oral.
 Ranitidin : Ranitidin diberikan dalam bentuk injeksi agar mempercepat efek
kerja obat.

33
 Citicolin : Citicolin diberikan dalam bentuk injeksi agar mempercepat efek
kerja obat.
Terdapat kontraindikasi Tidak ada Tidak ditemukannya kontraindikasi pada terapi pengobatan.
masalah  Simvastatin : Hipersensitif, pasien dengan penyakit hati yang aktif, kehamilan
dan menyusui.
 Neurodex : Hipersensitif.
 Ksr : Hipersensitif, gagal ginjal akut, dehidrasi akut, hiperkalemia.
 Candesartan : Hipersensitif, kehamilan, menyusui, stenosis arteri renalis
bilateral.
 Citicolin : Hipersensitif, penyakit ginjal dan hati.
 Ranitidin : Hipersensitif, gangguan fungsi ginjal dan hati.
Kondisi pasien tidak dapat Tidak ada Kondisi pasien dapat disembuhkan oleh obat dan pasien sudah bisa pulang.
disembuhkan oleh obat masalah
Obat tidak diindikasikan untuk Tidak ada Terapi telah sesuai dengan indikasi pasien (dapat dilihat pada tabel indikasi obat).
kondisi pasien masalah
Terdapat obat lain yang lebih Tidak ada Terapi sesuai indikasi
efektif masalah
3 Dosis tidak tepat Dosis yang diberikan sudah tepat.
Dosis terlalu rendah Tidak ada
masalah Simvastatin 1x20 mg (po)
Dosis terlalu tinggi Tidak ada Dosis awal untuk dewasa : 20-40 mg satu kali sehari.
masalah Dosis pada pasien usia 57 tahun = 20 mg (aman).

Neurodex 1x1 tab.


Neurodex terdiri dari Vitamin B1 100 mg, vitamin B6 200 mg, Vitamin B12 250

34
mcg.
Dosis vit B1 dewasa = 50 – 100 mg sekali sehari, maksimal 300 mg.
Dosis vit B6 dewasa = 200 mg/hari.
Dosis vit B12 dewasa = 25 – 2000 mcg per hari
Sehingga aman diberikan kepada pasien.

KSR 600 mg 3x1 PO


Koreksi kalium (mEq total) = (K serum yang diinginkan – K serum yang
sekarang ) x BB (kg)/ 3
= (4 mEq/l – 2,7 mEq/l) x 62 /3
= 26,86 mEq/l.
Pasien diberikan terapi oral KSR dengan 1 tablet = 8 mEq/l
1tablet KSR 8 mEq /l
=
X 26,86 mEq /l
X = 3,3 tablet.
Pemberian KSR dalam sehari untuk meningkatkan kadar kalium adalah 3 tablet
(aman).

Candesartan 1x8 mg (po)


Dosis berdasarkan literatur : 8-32 mg dibagi dalam dua dosis.
Dosis pada pasien 57 tahun : 8 mg per hari (aman).

Ranitidin 2 x50 mg (iv)


Iv lambat 50 mg dapat diberikan dengan diulang setiap 6-8 jam
Dosis pasien usia 57 tahun = 100 mg per hari (aman).

Citicolin 2x500 mg (iv)


Untuk dewasa 250 mg – 500 mg untuk 1-2x sehari.

35
Dosis pasien usia 57 tahun = 1000 mg per hari (aman).

½ ampul lasix dalam 250 cc Mannitol


Tekanan osmolalitas : 2(Na) + GDS/18 + Ureum/6
: 2 (139) + 109/18 + 17/6
: 278 + 6,1 + 2,8
: 286,9 osmol/L <320 osmol/L maka diberikan
mannitol+lasix.

Dosis mannitol 0,25 – 1 g/kgBB


Dosis BB 62 kg = 0,25 – 1 g/kg x 62 kg = 15,5 – 62 g.
Pasien diberikan mannitol dengan konsentrasi 20%.
20 g 15,5 g 20 g 62 g
¿ = = =
100ml x 100 ml x
X = 77,5 ml x = 310 ml
Pemberian mannitol pada pasien dengan BB = 62 kg adalah 77,5 ml – 310 ml
(aman).
Frekuensi penggunaan tidak Tidak ada Frekuensi penggunaan obat yang diberikan telah sesuai
tepat masalah  Simvastatin digunakan tiap 24 jam sehingga digunakan 1x1 PO pagi (08.00)
 Neurodex digunakan tiap 24 jam sehingga digunakan 1x1 PO pagi (08.00)
 Capcam 1 digunakan taip 12 jam sehingga digunakan 2x1 PO pagi (08.00)
dan malam (18.00)
 KSR digunakan tiap 8 jam sehingga digunakan 3x1PO pagi (08.00), siang
(12.00), dan malam (18.00)
 Candesartan digunakan tiap 24 jam sehingga digunakan 1x1 PO pagi (08.00)
Penyimpanan tidak tepat Tidak ada Proses penyimpanan obat sudah diletakkan pada tempat yang sesuai pada
masalah tempatnya. Dimana obat disimpan dalam tempat obat pasien :
 Simvastatin : simpan obat ditemperature ruangan, jauh dari panas dan cahaya

36
langsung.
 Neurodex: simpan obat ditemperature ruangan, jauh dari panas dan cahaya
langsung.
 Capcam 1 : simpan obat ditemperature ruangan, jauh dari panas dan cahaya
langsung.
 KSR : simpan obat ditemperature ruangan, jauh dari panas dan cahaya
langsung.
 Candesartan : simpan obat ditemperature ruangan, jauh dari panas dan cahaya
langsung.

Administrasi obat tidak tepat Tidak ada Administrasi sudah tepat.


masalah  Simvastatin : Simvastatin diberikan bentuk tablet karena pasien tidak
memiliki masalah dalam penggunaan obat oral.
 Neurodex : Neurodex diberikan bentuk tablet karena pasien tidak memiliki
masalah dalam penggunaan obat oral.
 Capcam 1 : Capcam 1 diberikan bentuk tablet karena pasien tidak memiliki
masalah dalam penggunaan obat oral.
 KSR : KSR diberikan bentuk tablet karena pasien tidak memiliki masalah
dalam penggunaan obat oral.
 Candesartan : Candesartan diberikan bentuk tablet karena pasien tidak
memiliki masalah dalam penggunaan obat oral.
 Ranitidin : Ranitidin diberikan dalam bentuk injeksi agar mempercepat efek
kerja obat.
 Citicolin : Citicolin diberikan dalam bentuk injeksi agar mempercepat efek
kerja obat.
Terdapat interaksi obat Ada Terdapat interaksi obat :
masalah Monitor :

37
Tramadol >< amitriptilin : meningkatkan sedasi.
Simvastatin >< Amitriptilin : meningkatkan efek amitriptilin.
Amitriptilin >< tramadol : meningkatkan kadar serotonin.
4 Reaksi yang tidak diinginkan
Obat tidak aman untuk pasien Ada Obat tidak aman digunakan yaitu mannitol+lasix yang memiliki efek samping
masalah yaitu hipokalemia (sehingga harus dilakukan pemantauan dalam penggunaan
mannitol dan kadar kalium pasien ).
Terjadi reaksi alergi Tidak ada Tidak terjadi reaksi alergi.
masalah.
Dosis obat dinaikkan dan Tidak ada Tidak terdapat dosis yang dinaikan atau diturunkan terlalu cepat (dapat dilihat
dirunkan terlalu cepat masalah. pada perhitungan dosis).
Muncul efek yang tidak Ada Pasien mengalami hipokalemia, dapat diakibatkan dalam penggunaan
diinginkan masalah mannitol+lasix.
5 Ketidaksesuaian kepatuhan
pasien
Obat tidak tersedia Tidak ada Tidak ada masalah dalam penyediaan obat pasien. Semua obat yang dibutuhkan
masalah pasien tersedia di apotek rumah sakit.
Pasien tidak mampu Tidak ada Pasien mampu menyediakan obat, dimana obat ditanggung oleh BPJS.
menyediakan obat masalah
Pasien tidak bisa menelan atau Tida ada Pasien masih bisa menelan dan menggunakan obat
menggunakan obat masalah
Pasien tidak mengerti instruksi Tidak ada Keluarga pasien mengerti cara penggunaan obat.
penggunaan masalah  Simvastatin 1x1 po pagi
 Neurodex 1x1 po pagi
 Capcam 1 2x1 po pagi dan malam
 KSR 3x1 po pagi, siang, dan malam
 Candesartan 1x1 po pagi
Pasien tidak patuh atau Tidak ada Pasien patuh menggunakan obat. Obat-obatan untuk pasien rawat inap disediakan

38
memilih tidak menggunakan masalah dalam bentuk UDD (Unit dose dispensing) untuk pemakaian satu kali pakai,
obat sehingga ketidakpatuhan pada pasien dapat teratasi.
6 Pasien membutuhkan terapi
tambahan
Terdapat kondisi yang tidak Tidak ada Tidak ada kondisi yang tidak diterapi
diterapi masalah
Pasien membutuhkan obat lain Tidak ada Terapi obat yang yang telah diberikan sinergis sehingga tidak diperlukan terapi
yang sinergis masalah lain (dapat dilihat pada bagian duplikasi terapi).
Pasien membutuhkan terapi Tidak ada Pasien telah mendapatkan terapi profilaksis terhadap kondisinya sehingga tidak
profilaksis masalah diperlukan terapi tambahan.
Candesartan digunakan untuk mengontrol tekanan darah.

39
3.9 Lembar Pengkajian Obat
Mulai Jenis Rute Dosis Berhenti Indikasi Ketepata Kementar dan alasan
n indikasi
11 Juli Simvastatin Oral 1x 20 mg - Meningkatkan kadar HDL Tepat Karena kadar HDL pasien rendah
2021 Indikasi
Neurodex Oral 1x1 tab - Sebagai Vitamin saraf dan otot Tepat Digunakan karena pasien mengalami
indikasi lemah anggota gerak kanan
Capcam 1 Oral 2x1 tab - Untuk menghilangkan rasa nyeri Tepat Digunakan karena pasien mengalami
akibat pendarahan indikasi stroke hemoragik
KSR Oral 3x1 tab Meningkatkan kadar kalium Tepat Digunakan karena Kadar kalium pasien
indikasi rendah
Ranitidin IV 2 x 50 mg 16 Juli Mencegah Stress Ulser Tepat Digunakan untuk mencegah hipersekresi
2021 indikasi HCl pada lambung yang salah satu
penyebabnya adalah stress atau cemas.

Citicolin IV 2x500 mg 14 Juli Melindungi otak serta mengurangi Tepat Mempercepat masa pemulihan akibat
2021 jaringan otak yang rusak akibat indikasi Stroke
cedera, dan mempercepat masa
pemulihan akibat stroke
IVFD NaCl 0,9 % IV /12 Jam 14 Juli Menjaga keseimbangan perfusi Tepat Pasien mengalami stroke hemoragik
2021 jaringan serebral. Indikasi sehingga sirkulasi darah ke otak.
Mannitol+Lasix IV 4x125 ml 12 Juli Sebagai osmoterapi Tepat Sebagai diuretik, sehingga pendarahan

40
3x125 ml 2021 (meningkatkan tekanan Indikasi yang diotak masuk ke dalam pembuluh
2 x 125 ml Osmolaritas didalam pembuluh Darah
1x125 ml darah).
13 Juli Candesartan Oral 1x8 mg - Antihipertensi Tepat Digunakan untuk mengontrol tekanan
2021 Indikasi darah pasien agar tetap dalam rentang
normal.

3.10 Lembar Kerja Farmasi


3.10.1 Pemantauan Terapi Obat
Tujuan Terapi Rekomen Parameter Hasil yang diharapkan Monitoring 11 juli 12 juli 13 juli 14 juli
dasi terapi monitoring frekuensi 2021 2021 2021 2021
Meningkatkan Simvastati Kadar Total Kolesterol ( <220mg/dl), trigliserida 14 hari - Total - -
kadar HDL n kolesterol, (<150 mg/dl), HDL (>65 mg/dl), LDL kemudian kolesterol
trigliserida, (<150 mg/dl). dilanjutkan 164 mg/dl,
HDL, LDL per 6 bulan HDL 45
mg/dl,
LDL 111
mg/dl,
Trigliserid
a 92 mg/dl
Memperbaiki Neurodex Gerakan Memperbaiki fungsi otot dan saraf Setiap hari Lemah ½ Lemah ½ Lemah ½ Lemah ½
fungsi otot dan tubuh pasien tubuh tubuh tubuh tubuh
saraf
Mengurangi rasa Capcam 1 Nyeri dan Tidak nyeri dan kesadaran CM Setiap Hari Nyeri (-) Nyeri (-) Nyeri (-) Nyeri (-)
nyeri dan kesadaran Kesadaran Kesadaran Kesadaran Kesadaran

41
sebagai : CM : CM : CM : CM
penenang
Meningkatkan KSR Kadar Kadar kalium 3,4 -5,1 mmol/l Setiap hari 2,7 - - -
kadar kalium kalium mmol/l
Antihipertensi Candesarta Tekanan Tekanan darah normal (<120 mmHg/80 Setiap hari 200/120 140/90 160/100 120/80
n darah mmHg) mmHg mmHg mmHg mmHg
Untuk menjaga NaCl 0,9 Kadar Na dan Kadar Na 136 – 145 mmol/l, kadar Cl 97 – Setiap hari Na : 139 - - -
keseimbangan % Cl 111 mmol/l mmol/l,
cairan dan Cl : 99
elektrolit pasien mmol/l
Mencegah Stress Ranitidin Keluhan Pasien tidak mengalami nyeri epigastrium, Setiap hari Mual dan Mual dan Mual dan Mual dan
Ulser inj nyeri mual dan muntah muntah (-) muntah (-) muntah (-) muntah (-)
epigastrium,
mual dan
muntah
Melindungi otak Citicolin Kekuatan Anggota gerak tidak lemah Setiap hari Lemah (+) Lemah (+) Lemah (+) Lemah (+)
serta mengurangi inj anggota
jaringan otak gerak
yang rusak akibat
cedera, dan
mempercepat
masa pemulihan
akibat stroke
Sebagai Mannitol Sakit kepala, Tidak sakit kepala, mual dan muntah, Setiap hari Sakit Sakit Sakit Sakit
osmoterapi +lasix mual dan kesadaran meningkat. kepala (-), kepala (-), kepala (-), kepala (-),
(meningkatkan muntah, mual (-), mual (-), mual (-), mual (-),
tekanan kesadaran muntah(-), muntah(-) muntah(-) muntah(-)
osmolaritas menurun. Kesadaran Kesadaran Kesadaran Kesadaran

42
didalam sel : CM : CM : CM : CM

3.10.2 Lembar Monitoring Efek Samping


Regimen Evaluasi
Nama Obat Manifestasi efek samping Cara mengatasi efek samping
dosis Tanggal Uraian
Simvastatin Sakit kepala, nyeri sendi, 1x20 mg  Jika pasien sakit kepala atau mengalami nyeri dapat 11 juli Pasien tidak
konstipasi, sakit perut atau diberikan obat analgesik. 2021 - mengalami efek
mual ringan.  Jika pasien mengalami konstipasi dapat diberikan obat samping
pencahar.
 Jika pasien mengalami mual, dianjurkan minum air
hangat dan dapat diberikan antiemetik.
 Banyak istirahat.
Neurodex Sakit kepala, urin berwarna 1x1 tab  Jika pasien sakit kepala dapat diberikan obat analgesik 11 juli Pasien tidak
orange, sindrom neuropati, dan banyak istirahat. 2021 - mengalami efek
mual dan muntah  Jika pasien mengalami mual, dianjurkan minum air samping
hangat dan dapat diberikan antiemetik.
Capcam 1 Mengantuk 2x1 tab  Pasien dianjurkan banyak istirahat. 11 juli Pasien tidak
Konstipasi  Jika pasien mengalami konstipasi banyak makan- 2021 - mengalami efek
makanan berserat dan dapat diberikan obat pencahar. samping
KSR Mual, muntah dan diare 1x1 tab  Jika pasien mengalami mual dan muntah, dianjurkan 11 juli Pasien tidak
minum air hangat dan dapat diberikan antiemetik. 2021 mengalami efek
 Jika pasien mengalami diare dapat dianjurkan minum teh samping
pahit atau diberikan obat anti daire.
Candesartan Sakit kepala, pusing, mual dan  Jika pasien sakit kepala atau pusingi dapat diberikan obat Pasien tidak
muntah, kelelahan. analgesik. mengalami efek
 Jika pasien mengalami mual dan muntah, dianjurkan samping

43
minum air hangat dan dapat diberikan antiemetik.
 Banyak istirahat.
Ranitidin inj Sakit kepala, konstipasi, mual 2x50 mg  Jika pasien sakit kepala dapat diberikan obat analgesik. 11 Juli Pasien tidak
dan muntah  Jika pasien mengalami konstipasi dapat diberikan obat 2021 – mengalami efek
pencahar. 14 Juli samping
 Jika pasien mengalami mual dan muntah, dianjurkan 2021
minum air hangat dan dapat diberikan antiemetik.
 Banyak istirahat.
Citicolin inj Insomnia, sakit kepala, diare 2x500 mg  Jika pasien mengalami sakit kepala, maka sarankan untuk 11 Juli Pasien tidak
dan mual. istirahat. 2021 – mengalami efek
 Jika pasien mengalami diare, maka sarankan untuk 14 juli samping
minum teh pahit, 2021
 Jika pasien mual, maka sarankan banyak minum air
hangat atau berikan obat mual.
Mannitol + lasix Hipokalemia 4x125 ml  Monitor kadar kalium pasien. 11 Juli Pasien mengalami
3x125 ml 2021 – hipokalemia.
2x125 ml 12 jul
1x125 ml 2021

44
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan
Seorang pasien laki – laki bernama Tn. H berumur 55 th mengalami
keluhan lemah anggota gerak kanan sejak 1 hari sebelumnya atau 20 jam sebelum
masuk rumah sakit dan mengalami gejala susah menelan, tidak mual dan muntah,
bicara tidak pelo.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik menunjukkan kesadaran pasien
Comus Mentis dengan GCS E4M6V5, kondisi umum sedang, tekanan darah
200/120 mmHg, denyut nadi 101x/menit, laju pernafasan 20x/menit dan suhu
tubuh 36,3˚C.
Pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 11 Juli 2021 menunjukkan
gula darah random 109 mg/dl, Na : 139 mmol/l, Kalium :2,7 mmol/l, Cl : 99
mmol/l. Dan pada tanggal 12 juli 2021 menunjukkan gula darah nukter 83 mg/dl,
gula darah PP 109 mg/dl, total kolesterol 164 mg/dl, kadar LDL 111 mg/dl, Kadar
Trigliserida 92 mg/dl, Kadar HDL : 35 mg/dl.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium
pasien didiagnosa mengalami stroke hemoragik disertai dengan hipertensi
emergensi. Stroke merupakan gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh
gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak (dalam
beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda
yang sesuai dengan daerah yang terganggu sebagai hasil dari infark cerebri,
perdarahan intraserebral atau perdarahan subarachnoid. Stroke hemoragik
diartikan sebagai pecahnya pembuluh darah diotak. Hipertensi emergensi adalah
keadaan gawat medis ditandai dengan tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan
atau diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan organ target akut.
Selama dirawat dirumah sakit pasien mendapatkan terapi NaCl 0,9 % 1
kolf/12 jam dengan tujuan untuk menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit pasien.
Pasien juga mendapatkan terapi ranitidin injeksi dengan tujuan untuk terapi
profilaksis stress Ulcer dimana pasien mengalami stroke hemoragik yang sering
timbul gelisah dan kecemasan. Dimana kondisi tersebut dapat melepaskan
histamin dari sel-sel parietal pada lambung sehingga dapat memicu meningkatnya

45
sekresi HCl pada lambung. Ranitidin adalah antagonis H2 sehingga secara efektif
dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume
sekresi lambung. Dalam kasus ini pemilihan ranitidin diangga sudah tepat. Pasien
mendapatkan dosis injeksi ranitidin 2 x 500 mg sudah tepat, karena berdasarkan
dosis literatur injeksi ranitidin yaitu 50 mg tiap 6-8 jam.
Pasien juga mendapatkan terapi citicolin. Terapi Citicolin digunakan untuk
melindungi otak serta mengurangi jaringan otak yang rusak akibat cedera, dan
mempercepat masa pemulihan akibat stroke. Berdasarkan rekam medis pasien
mengalami stroke hemoragik dengan pendarahan di bagian jaringan otak,
sehingga pemberian ceticolin dianggap sudah tepat. Pasien mendapatkan dosis
citicolin yaitu 2x500 mg sudah tepat dimana berdasarkan literatur penggunaan
citicolin yaitu 250 mg – 500 mg untuk 1-2 x sehari. Penggunaan citicolin menurut
penelitian secades et al., (2006) menyatakan bahwa citicolin aman digunakan pada
pasien stroke hemoragik pada dosis 1 gr.
Pasien juga mendapatkan mannitol + lasix. Pada pasien hemoragik sering
ditemui terjadinya peningkatan tekanan intraakranial. Dimana peningkatan ini
dapat mengakibatkan penurunan GCS. Peningkatan intraakranial terjadi karena
ada udem serebral. Sehingga diperlukan diuretik untuk menarik cairan udem
diotak agar dapat menurunkan tekanan intrakranial. Diuretik yang digunakan
adalah diuretik loop (lasix) dan diuretik osmosis (mannitol). Mannitol sebagai
osmoterapi (meningkatkan tekanan osmolaritas didalam sel). Mekanisme mannitol
dengan cara bekerja menurunkan tekanan intraakranial dengan cara
meningkatkanosmolalitas plasma sehingga aliran cairan dari jaringan menuju
kedalam plasma meningkat, terjadi penurunan viskositas darah. Penurunan
viskositas darah mengakibatkan penurunan tahanan terhadap pembuluh darah otak
hal ini menyebabkan aliran darah ke otak meningkat, diikuti dengan vasokontriksi
dari pembuluh darah arteriola sehingga menurunkan volume darah otak dan
terjadi penurunan tekanan intraakranial. Pemberian mannitol dan lasix sudah tepat
dilakukan karena pasien mengalami pendarahan akibat stroke hemoragik.
Pasien juga mendapatkan terapi simvastatin. Simvastatin merupakan
golongan statin yang merupakan penurun lipid yang paling efektif untuk
menurunkan kolesterol LDL, meningkatkan kolesterol HDL serta menurunkan

46
trigliserida. Penggunaan obat simvastatin untuk mengurangi resiko stroke, jika
terjadi peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida namun
disertai dengan penurunan kadar HDL akan terdapatya plak-plak berupa lemak
yang mengendap dalam pembuluh darah arteri yang berefek pada gangguan
sirkulasi darah atau aterosklerosis. Akibat aterosklerosis akan mengakibatkan
perubahan pada daerah makovaskuler dan mikrovaskuler. Pemberian simvastatin
dengan dosis 1x20 mg sudah tepat, dimana dosis simvastatin untuk dewasa adalah
20-40 mg satu kali sehari.
Pasien juga mendapatkan terapi neurodex 1x1 tablet. Neurodex
mengandung vitamin B1, vitamin B6, vitamin B12 yang digunakan sebagai
vitamin berguna untuk menjaga fungsi syaraf tubuh dan mengembalikan fungsi
otot pada tubuh. Pasien juga mendapatkan terapi KSR 1x1 tablet. KSR
mengandung 600 mg kalium klorida digunakan untuk meningkatkan jumlah
kalium pada pasien, karena pada kasus ini kalium pasien berada dibawah rentang
normal.
Pasien juga mendapatkan terapi candesartan. Candesartan merupakan obat
anti hipertensi golongan ARB (Angiostensin receptor Blocker) yang bekerja
dengan cara menghambat reseptor angiostensin II yang mengakibatkan pembuluh
darah mengalami vasodilatasi. Dimana dosis yang digunakan sudah tepat, dimana
penggunaan candesartan maksimal dalam perhari yaitu 32 mg.
Pada kasus ini pasien mengalami efek samping obat mannitol+lasix yaitu
hipokalemia. Hal ini disebabkan karena mannitol dan lasix merupakan golongan
diuretik yaitu dengan memblok klorida yaitu melalui hambatan reabsorbsi
akibatnya hantaran natrium ke collecting tubulus terganggu, reabsorbsi natrium
yang akan menyebabkan perubahan gradien elektrokimia pada sekresi kalium.
Sehingga diperlukan pemantauan dalam penggunaan mannitol+lasix dan
dilakukan pengecekan kadar kalium pasien.

4.2 Edukasi
1. Penjelasan singkat mengenai obat
 IVFD NaCl digunakan sebagai terapi untuk perfusi jaringan serebral
 Mannitol+lasix digunakan untuk meningkatkan tekanan osmolalitas
didalam pembuluh darah.

47
 Ranitidin digunakan untuk terapi profilaksis stress ulcer.
 Citicolin digunakan sebagai neuroprotektan.
 Simvastatin digunakan untuk stabilasi plak.
 Neurodex digunakan sebagai vitamin syaraf dan otot.
 Capcam 1 digunakan sebagai antinyeri dan penenang.
 Ksr digunakan untuk terapi hipokalemia.
2. Memberikan informasi kepada pasien tentang pentingnya kepatuhan dalam
mengkonsumsi obat serta mengingatkan keluarga pasien tentang bahaya jika
tidak benar dalam mengkonsumsi obat.
3. Kontrol dan cek tekanan darah, kadar kalium, kadar kolesterol, dan kadar
gula darah secara rutin.
4. Mengatur pola makan yang sehat dengan mengurangi asupan makanan tinggi
lemak dan kolesterol, kandungan gula yang tinggi, bersantan dan berminyak.
5. Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet
yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi (karbohidrat :
60-70%, protein : 10-15%, serta lemak : 20-25%)
6. Lakukan kontrol kembali sebelum persediaan obat habis
7. Istirahat yang cukup terlebih dahulu selama 1 minggu setelah keluar dari
rumah sakit dan jangan banyak pikiran
8. Menghilangkan beban pikiran/stress
9. Perbanyak konsumsi air putih

48
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil pemeriksaan pasien didiagnosa menderita stroke hemoragik dan
hipertensi emergensi. Berdasarkan analisis DRP terdapat masalah yaitu adanya
efek samping penggunaan mannitol, sehingga harus dipantau dalam
penggunaannya dan dicek kadar kalium pasien.

5.2 Saran
 Perlu dilakukan pengecekan kalium pasien untuk memastikan kadar kalium
tetap dalam batas normal.
 Penggunaan simvastatin harus diikuti dengan pengaturan pola makan dan
olahraga.

49
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, I., Salim, S., Hidayat, R., Kurniawan, J., et al. 2016. Krisis Hipertensi,
dalam Penatalaksanaan di bidang Ilmu Penyakit Dalam, Panduan praktis
klinis cetakan ketiga. InternaPublishing. Jakarta. Hal 426-432.
American Stroke Association. 2019. Type of Stroke.
Aronow, W.S., 2017. Treatment of hypertensive emergencies. Annals of
Translational Medicine. Vol 5.
Bahrudin, M. Neurologi Klinis. Malang : UMM Press.
Dipiro, Joseph T., B.G. Wells., T.L. Schwinghammer. 2009. Pharmacoterapy
Handbook 7th edition. New York : Mc Graw Hill.
Dipiro, Joseph T., B.G. Wells., T.L. Schwinghammer. 2015. Pharmacotherapy
HandbookNinth Edition. USA: McGraw-Hill Education.
Elliott, W.J., Rehman, S.U., Vidt, D.G., et al. 2013. Hypertensive Emergencies
and Urgencies. Elsevier Saunders : Philadelphia.
EUSI, The European Stroke Initiative, Executive Committee and the EUSI
Writting Committee. 2003. European Stroke Initiative Recommendations
for Stroke Management-Update 2003, Cerebrovasc. Dis.
Guideline Stroke Tahun 2011. Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). Jakarta. 2011.
Katzung, B. G. 2015. Basic & Clinical Pharmacology. USA: McGraw-Hill
Education.
Kumar, S. 2010. Pathologic Basic of Disease. 8th Edition. Philadelphia :
Elsevier.
Mardjono, M. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta.
Minnerup, J., Sutherland, B. A., Buchan, A. M., Kleinschnitz, C. 2012.
Neuroprotection for Stroke: Current Status and Future Perspectives. Int. J.
Mol. Sci. 13, 11753-11772.
Perdossi. 2011. Guidline Stroke. Jakarta: Perdossi.
PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular,
edisi pertama. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia.

50
Price, S. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4,
Jakarta : EGC.
Riskesdas. 2018. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan
Secades,J.J., Sabin, J.A., Rubio, F. et al. 2006. Citicolin in intracerebral
haemorrhage : a double-blind, randomized, placebo controlled, multi-
centre pilot study. Cerebrovascular diseases. 21(5-6).
Singh, M., 2011. Hypertensive crisis-pathophysiology, initial evaluation, and
management. Journal of Indian College of Cardiology. Vol 1 (1).
Taylor, D.A., 2015. Hypertensive Crisis: A Review of Pathophysiology and
Treatment. Critical Care Nursing Clinics of North America. Vol 27 (4):
439.
Terry, C. L., dan A. Weaver. 2013. Keperawatan Kritis. Yogyakarta: Rapha.
Publishing.
Whelton P.K, Carey R.M, Aronow W.S, Casery D.E, Collins K.J, Himmelfarb C.
D, et al. 2017. 2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/
ASPC/NMA/PCNA Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation,
and Management of High Blood Pressure in Adults: A Report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force
on Clinical Practice Guidelines. Hypertension 2017
Williams B, Mancia G, Spiering W, Rosei EA, Azizi M, Burnier M, et al. 2018
ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension.
Journal of Hypertens. 36:1953-2041.

51

Anda mungkin juga menyukai