Metode penelitian
Peneliti mencari database leukemia dan solid tumor dari St Jude childrens Research Hospital
untuk mengidentifikasi abak yang didiagnosis dampak metotreksat ensefalopati akut, dilakukan
selama 6 tahun dari Januari 2000 hingga Agustus 2006, MRI dengan diffusion-weighting
imaging (DWI) dilakukan secara rutin untuk mengevaluasi gejala neurologis. Peneliti
menginklusi pasien yang memiliki gejala neurologis abnormal yang terjadi dalam 2 minggu
setelah pengobatan metrotreksat dan tidak pernah teridentifikasi penyebabnya oleh dokter saraf.
Farmakokinetik
Data farmakokinetik untuk semua pasien yang menerima dosis tinggi
metoteksat intravena
dianalisis. Konsentrasi plasma metotreksat diukur sebelumnya dan 6, 23, 42,
dan 72 jam setelah
awal setiap 24 jam infus metotreksat terus-menerus dan sebelum serta 4 ,
24 , 48 , dan 72 jam setelah awal setiap 4 jam infus. Kecepatan clearance
metotreksat diperkirakan sebagai volume
kompartemen sentral kali laju eliminasi konstan.
Hasil
Dari pasien yang menerima segala bentuk MTX dari Januari 2000 hingga
Agustus 2006, 6 dari 754 ( 0,8 % ) dengan leukemia atau limfoma dan 2 dari
44 ( 4,5 % ) dengan osteosarcoma atau histiositoma fibrosa ganas. Usia
rata-rata pasien pada saat ensefalopati adalah 14 tahun . Tidak ada yang
memiliki keterlibatan tumor sistem saraf pusat atau asupan steroid akhirakhir ini. Tujuh pasien tidak memiliki riwayat gangguan neurologis ; 7 Pasien
mengalami sakit karena cairan cerebrospinal transient ( CSF ) bocor setelah
reseksi tumor dari bagian tulang belakang .
Empat anak telah menerima baik dosis tinggi metotreksat iv ( 4,4-5 g / m2 )
maupun intratekal metotreksat ( 12 mg), sedangkan dua anak telah
menerima i.v. metotreksat dosis singgi saja ( 12 g / m2 ), dan sisanya yakni
dua anak telah menerima intratekal metotreksat saja ( 12 mg ) dalam 2
minggu. Tidak ada ensefalopati akut yang tampak setelah dosis rendah i.v.
metotreksat atau oral metotreksat.
Gejala neurologis
Tanda dan gejala neurologis terjadi setelah 2-9 hari pemberian metotreksat dan selesei setelah 17 hari. Manifestasi klinis sering didahului oleh muntah dan mual serta nyeri kepala kemudian
seluruh pasien mengalami stroke seperti hemiparesis atau bilateral hemiparesis. Tanda dan
gejala semakin progresif selama periode menit hingga beberapa jam. Empat pasien mengalami
hemiparesis, kelemahan terjadi pada satu sisi dan berkembang ke sisis lainnya. Enam pasien
mengalami disfasia ekspresif dan sedikit gerakan orofasial dan lingual tetapi memiliki
kemampuan pemahaman membaca dan menulis yang utuh. Satu pasien mengalami gejala
apraksia ditandai dengan gangguan menelan dan kesulitan membuka mulut secara volunter.
Enam pasien memiliki perkembangan emosi yang labil dari ketidaksesuaian tertawa hingga
menangis yang tidak diprovokasi oleh sesuatu apapun, cemas, dan tidak berespon. Manifestasi
lain yakni kejang (pada dua pasien), transient gait ataxia (satu pasien), dan gangguan
penglihatan sementara (selama 2 jam ), lalu pasien disorientasi (pada satu pasien).
Manajemen Ensefalopati
Empat pasien yang diterapi dengan iv aminofilin dan satu pasien dengan aminofilin dan
leucovorin. Kejang pada empat pasien dan enam pasien diterapi dengan fenitoin dan berikutnya
menggunakan gabapentin. Pasien dengan ALL melanjutkan terapi metotreksat, tiga menerima
profilaksis leucovorin atau aminofilin dengan high dose metotreksat. Tiga pasien berkembang
mengalami nyeri kepala berat setelah menggunakan kembali high dose metotreksat yang tidak
kontinu dan setelah itu pengobatan dilanjutkan dengan leucovorin. Lima pasien mengalami
pengobatan high dose metotreksat secara komplit sebelum ensefalopati berkembang. Tidak ada
pasien yang memiliki gejala sisa defisit neurologis
Gambaran CT Scan
Lima pasien telah dilakukan CT scan otak otak beberapa saat setelah timbulnya gejala
neurologis ; tak ada kelainan terlihat. Delapan pasien semua dilakukan MRI, median dari 3 hari
(kisaran , 0-5 hari) setelah timbulnya gejala. Semua pasien memiliki MRI konvensional dengan
DWI (Diffusion-Weighting Imaging) ; tujuh memiliki T1 studi kontras gadolinium dan enam
memiliki angiogram MR . Hasil studi kontras gadolinium dan angiogram normal, tetapi pada
tujuh pasien DWI tampak adanya restriksi difusi air dalam otak sedalam bagian white matter, di
lokasi anatomi yang berhubungan dengan terjadinya penurunan motorik. Lima pasien alternated
hemiparesis atau kelemahan bilateral menunjukkan restriksi difusi bilateral pada bagian white
matter. Pasien dengan gangguan penglihatan sementara (pasien 3) memiliki restriksi difusi dalam
white matter dikedua hemiparesis serebral.
Pada delapan pasien, MRI 5 hari setelah onset gejala menunjukkan peningkatan difusi bilateral di
daerah putamen dan cauda ekuina. Pasien lain dengan choreoathetosis memiliki kelemahan
bilateral, pada pemeriksaan MRI menunjukkan restriksi difusi dalam semiovale centrum ,
corona radiat, dan kapsula interna.
Terdapat 3 grup dengan total 180 pasien, grup I hanya menggunakan satu obat dari ketiga obat
tersebut, grup II menerima kombinasi dari metotreksat+sulfasalazine, dan grup III diterapi
dengan kombinasi dari ketiga agen. Setelah dua tahun >50% terjadi kenaikan klinis dan
parameter laboratorium dengan pencapaian 49%, 73% dan 87%, dan remisi dilaporkan pada
31%, 45%, dan 60% secara respektif. Pasien pada grup II tidak menunjukan efek yang
merugikan daripada grup yang lainnya.
Kombinasi Terapi dengan Terapi Biologis
Kombinasi infliximab dengan metotreksat juga menunjukan keuntungan yang bagus dan aman
pada pasien dewasa dengan RA berat : sekitar 60% pasien mengalami kemajuan fungsi fisik.
Kombinasi metotreksat dengan infliksimab menunjukan perbaikan klinis dan radiologis setelah
mendapatkan 2 tahun pengobatan.
Kesimpulan
Metotreksat masih banyak digunakan untuk terapi RA dan penyakit reumatik lainnya.
Metotreksat sering kali dikombinasikan dengan NSAID dan kortikosteroid, atau obat
konvensional dan biologis lain. Jalur parenteral metotreksat lebih unggul daripada rute oral
karena bioavailability dari metotreksat. Peningkatan dosis oral memiliki efek klinis yang sama
tanpa peningkatan toksisitas yang tampak.
grup methotrexate diperlukan peningkatan dosis 20 mg per minggu di minggu ke-10, dan 100
pasien dalam kelompok tersebut diperlukan peningkatan dosis sebanyak 25 mg per minggu pada
minggu ke 16 .
Efektivitas terapi
Secara signifikan banyak pasien pada grup briakinumab dibandingan grup metotreksat memiliki
criteria primer minimal 75% peningkatan skor PASI, baik di minggu 24 dan minggu 52.
Persentase rata-rata kenaikan berdasarkan skor PASI mengalami kenaikan pada kedua grup tapi
secara signifikan lebih tinggi pada grup briakinumab di semua titik waktu. Secara signifikan
persentasi pasien pada grup briakinumab memiliki skor 0 atau 1 pada saat minggu keempat
hingga minggu ke 52. Penelitian selama 52 minggu, efek samping serius terjadi pada 9,1%
pasien dengan grup briakinumab (12,9 kejadian per 100 pasien dalam setahun) dan 6,1% pada
grup metotreksat (10,6 kejadian per 100 pasien dalam tahun).
Efek samping
Selama 52 minggu percobaan terapi, secara umum efek samping yang
muncul adalah nasopharyngitis, sakit kepala, diare, arthralgia, dan infeksi
saluran pernapasan atas. Diare dan kejadian merugikan yang berkaitan
dengan tempat suntikan terjadi lebih sering terjadi pada pasien yang
menerima briakinumab dibandingkan pasien yang menerima methotrexate.
Sebanyak 12 pasien dalam kelompok briakinumab (7,8 %) menghentikan
penelitian, karena terdapat efek yang merugikan; dalam kasus 5 pasien ini,
terdapat efek merugikan yang serius (hypomotility gastrointestinal
bertepatan dengan infeksi legionella, neoplasma payudara,
karsinoma
intraductal, kanker prostat, dan herpes zoster). Sebanyak 10 pasien dalam
kelompok methotrexate (6,1 %) dihentikan terapinya studi karena efek
samping; dalam 5 kasus pasien, efek samping yang serius (peningkatan
kadar enzim hati dan hepatitis, sakroiliitis, diverticulitis, psoriasis
eritroderma, dan angioedema dan urtikaria ).
Sebanyak 14 pasien dalam kelompok briakinumab (9.1%) dan 10 pada
kelompok methotrexate (6,1%) memiliki efek pengobatan yang merugikan
muncul; 7 pasien memiliki infeksi serius: 4 di grup briakinumab (satu kasus
infeksi legionella dengan candidemia dan syok septik, satu kasus
osteomyelitis, satu kasus herpes zoster, dan satu kasus tonsilitis) dan 3 pada
kelompok methotrexate (dua kasus diverticulitis dan satu kasus obat-induced
hepatitis ).
Kanker didiagnosis pada tiga pasien di kelompok briakinumab (kanker
payudara pada satu pasien, neoplasma payudara [intraductal karsinoma]
satu pasien, dan kanker prostat pada satu pasien, di 276, 184, dan 205 hari,
masing-masing, setelah dimulainya terapi). Satu kematian dilaporkan:
seorang pasien di kelompok methotrexate meninggal karena ruptur
esophagus. Tidak ada laporan tentang kardiovaskular major seperti infark
miokard, stroke atau kematian dari penyebab kardiovaskular. Kanker terjadi
dibandingkan
Kesimpulan
Pada penelitian yang dilakukan selama 52 minggu ini, briakinumab menunjukan secara
signifikan efektivitasnya lebih tinggi dibandingan dengan metotreksat dalam mengurangi tanda
dan gejala plak psoriasis dari sedang hingga berat. Ada ketidakseimbangan yang tidak signifikan
di beberapa efek samping ; efek samping yang serius, efek samping yang mengarah ke penarikan
dari penelitian, infeksi serius, dan kanker lebih sering terjadi pada pasien yang menerima
briakinumab daripada yang menerima methotrexate.
MORPHIN
Morphine, Gabapentin, atau Kombinasi Keduanya untuk Nyeri Neuropati
Latar belakang
Obat yang tersedia untuk mengobati nyeri neuropatik memiliki khasiat yang kurang lengkap dan
dosis yang bisa memiliki dampak buruk. Peneliti membandingkan kemanjuran kombinasi
gabapentin dan morfin dengan masing-masing sebagai agen tunggal pada pasien dengan nyeri
neuropati diabetes atau neuralgia postherpetic. Nyeri neuropathic adalah komplikasi umum
kanker, diabetes mellitus, degenerative penyakit tulang belakang, infeksi human
immunodeficiency virus, dan penyakit menular lainnya. Nyeri neuropati memiliki efek
mendalam pada kualitas hidup dan pengeluaran untuk perawatan kesehatan. Gabapentin dan
opioid telah diusulkan sebagai dua dari beberapa pengobatan lini pertama untuk nyeri
neuropatik. Akan Tetapi, maksimal yang ditoleransi dosis obat ini, diberikan
sebagai agen tunggal, mengurangi rasa sakit dengan hanya 26-38 persen,
karena dosisnya terbatas, memiliki efek samping atau keduanya.
Gabapentin adalah Analog 3 - teralkilasi dari -asam butirat -amino, yang termodulasi sebuah
2-subunit calcium channel, dan memiliki mekanisme dianggap penting dalam nyeri neuropatik.
Analgesia Gabapentin tidak terpengaruh oleh antagonisme opioid, dan pemberian berulang dari
gabapentin tidak menyebabkan toleransi analgesik.
Efek samping umum yang terkait dengan morfin yakni termasuk depresi pernapasan, obat
penenang, mual dan muntah, sembelit, dan pruritus. Sedangkan efek samping umum yang terkait
dengan gabapentin termasuk sedasi, ataksia, dan pusing. Kombinasi antara gabapentin dengan
morphin memiliki efek analgesia lebih tinggi daripada hanya efek sedasi. Neuropati
diabetes yang menyakitkan dan postherpetic neuralgia adalah dua sindrom
nyeri neuropatik yang telah diteliti dalam studi berbasis mekanisme serta
banyak uji klinis dari agen analgesik. Kedua kondisi telah ditunjukkan untuk
merespon opioid dan gabapentin .
Metode
Penelitian ini dilakukan secara acak , double-blind, menggunakan placebocontrolled,
pasien menerima plasebo aktif setiap hari (lorazepam) ,
Kesimpulan
Kombinasi gabapentin dan morfin memiliki efek analgesia yang lebih baik
pada dosis yang lebih rendah dari masing-masing obat dari pada sebagai
agen tunggal,
dengan sembelit, sedasi, dan mulut kering sebagai
kebanyakan efek samping yang sering terjadi.