Disusun oleh:
Penulis
Prof. DR. Dr. A. Harryanto Reksodiputro, SpPD-KHOM
DR. dr. Hilman Tadjoedin, Sp.PD-KHOM
dr. Yusuf Subekti
Ranti Dewi, SKM, MPH
Dr. dr. Sri Idaiani, Sp.KJ
dr. Frans Dany
Roni Syah Putra, S.Farm, Apt, MKM
i
Kata Pengantar
Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga studi Penilaian Teknologi Kesehatan dengan judul "Penilaian
Teknologi Kesehatan Tentang Pentingnya Telaah Utilisasi Obat Sebagai Bagian Dari Proses
Pembayaran Klaim Jkn: Contoh Kasus Nilotinib Pada Pasien Leukemia Granulositik Kronik",
dapat dilaksanakan dengan baik.
Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan ini kami
ucapkan terimakasih. Semoga kegiatan ini dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan
kesehatan terhadap suatu intervensi teknologi kesehatan serta mendorong proses kelembagaan
PTK di Indonesia.
Laporan hasil kegiatan ini dibuat oleh penyelenggara sebagai bahan untuk diketahui
serta melengkapi kewajiban penyelenggara.
ii
Daftar Isi
BAB 1: PENDAHULUAN-------------------------------------------------------------------------------------------1
iii
5. Analisis Data --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 7
6. Isu Lain terkait Pola Terapi--Sediaan Generik Tyrosine Kinase Inhibitors (TKIs) ----------------------------------23
BAB 4: DISKUSI--------------------------------------------------------------------------------------------------- 26
2. Rekomendasi -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------28
KONFLIK KEPENTINGAN---------------------------------------------------------------------------------------- 29
iv
Daftar Singkatan
v
Daftar Tabel, Grafik dan Gambar
Grafik 3. Distribusi regional rumah sakit yang menggunakan nilotinib periode 2014- 9
2016
Gambar 1. Analisa GIS sebaran rumah sakit yang menggunakan nilotinib beserta 25
kategori utilisasinya
vi
Ringkasan Eksekutif
1. Tujuan
Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan jenis kelainan keganasan pada sel
darah akibat kelainan kromosom Philadelphia yang memerlukan pengobatan dengan
kemoterapi. Di masa lampau, penyakit ini diobati dengan hidroksiurea atau interferon alfa,
tetapi seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, obat terbaru yang
berasal dari golongan Tyrosine-Kinase Inhibitor (TKI) seperti Imatinib dan Nilotinib
memberikan hasil yang cukup memuaskan dan dapat menambah usia kesintasan hidup pasien.
Imatinib saat ini disepakati berdasarkan Panduan Praktik Klinik sebagai terapi lini
pertama, tetapi bila penggunaan obat tersebut terkendala dengan resistensi atau intolerasi
akibat efek samping yang serius, maka Imatinib dapat diganti dengan TKI lainnya seperti
Nilotinib. Jumlah kasus pasien LGK yang memerlukan memiliki kemungkinan penggantian
terapi dari Imatinib menjadi Nilotinib diperkirakan sekitar 13% di Indonesia. Namun, data
klaim BPJS 2016 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 30% kasus LGK yang diterapi dengan
Nilotinib sehingga memunculkan pertanyaan terkait selisih kasus LGK yang diterapi dengan
Nilotinib.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola utilisasi sebagai bagian pola
reimbursement obat Nilotinib pada pasien LGK di Indonesia. Adapun metodologi yang
digunakan antara lain melalui pendekatan studi literatur terpilih dari negara berkembang dan
negara maju, dan telaah dokumen. Diharapkan hasil penelitian ini agar dapat dimanfaatkan
pemangku kebijakan sebagai masukan atau bahan pertimbangan dalam memperbaiki pola
pengobatan dan proses klaim obat TKI dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.
2. Metode
Penelitian ini merupakan kajian di bidang kesehatan mengenai utilisasi obat Nilotinib pada
pasien LGK sebagai bagian pola reimbursement. Data yang dianalisis adalah data sekunder.
Analisis dilakukan dengan melakukan Review (telaah) kepustakaan, dokumen, dan ringkasan
data klaim. Data –data dengan topik yang sama dianalisis secara tematik
vii
terkait dengan pola pengobatan seperti kebijakan atau program untuk ketersediaan obat, akses
mendapatkan obat, kepatuhan (adherence/compliance), pedoman terapi yang berlaku di
masing-masing negara, dan aspek pembiayaan juga dipertimbangkan dalam analisis. Jenis
kepustakaan yang dinilai menurut metodologi ilmiah penulisan memberikan hasil sebanyak 6
artikel untuk kategori pedoman atau panduan yang berhubungan dengan terapi LGK, 1 berupa
hasil disertasi, 1 dalam bentuk Letter to the Editor, 1 berupa Commentary, 5 hasil
kajian/tinjauan (review) dengan salah satunya berupa systematic review dan 12 berupa hasil
studi primer baik secara retrospektif maupun non-retrospektif.
Sesuai dengan situasi negara berkembang dan negara maju, Imatinib masih menjadi
pilihan terapi lini pertama LGK. Namun, pemberian TKIs generasi kedua seperti Nilotinib
atau Dasatinib sejak awal dapat dipertimbangkan sesuai kemampuan pasien (finansial,
toleransi efek samping) untuk meminimalkan kemungkinan pergantian terapi. Pada kasus
dengan intoleransi atau resistensi Imatinib dosis biasa, penambahan dosis Imatinib atau
penggunaan TKIs generasi kedua dapat dipertimbangkan kasus per kasus.
Ponatinib dapat digunakan untuk kasus LGK dengan mutasi T135I tetapi hal yang
perlu diingat adalah frekuensi reaksi simpang vaskular serius yang cukup sering. Alternatif
lain yang dapat dipertimbangkan untuk kasus tersebut adalah penggunaan Radotinib,
Omacetaxine atau transplantasi sel punca hematopoietik alogenik dengan tingkat kecocokan
donor yang tinggi.
Pemerintah, payer dan perusahaan farmasi perlu saling berkoordinasi dan bersinergi
dalam mengeluarkan kebijakan yang mempermudah pengadaan serta akses obat. Hal tersebut
bertujuan agar lebih banyak pasien LGK yang mendapatkan terapi sesuai standar dan
meningkatkan kepatuhan pasien dalam berobat.
viii
ix
Bab 1: Pendahuluan
1. Latar Belakang
I. Definisi dan Etiologi
Leukemia Granulositik Kronis (LGK) termasuk dalam salah satu kanker darah. LGK adalah
kelainan mieloproliferatif ditandai dengan ekspansi klon berasal dari sel hematopoietik yang
membawa kromosom Philadelphia (Ph). LGK diklasifikasikan menjadi 3 fase, fase kronik,
fase akselerasi, dan fase blast.1
II. Epidemiologi
Menurut Report of the WHO Expert Committee, 2015, tingkat kejadian Leukemia
Granulositik Kronik (LGK) di Amerika Serikat kira-kira 1,7 per 100.000,2 dan sebuah studi
memperkirakan kejadian LGK sebanyak 1-2 kasus baru per 100.000 orang pertahun.3 Di
Inggris, insiden dan prevalensi diperkirakan 560 kasus baru timbul setiap tahun.4 Penyakit ini
sangat jarang terjadi pada populasi anak-anak. Di Amerika hanya 2,9% dari seluruh kasus
LGK yang di diagnosis pada pasien dengan usia di bawah 20 tahun pada periode 2006-2010.5
Insidens LGK di Indonesia belum diketahui hingga saat ini. Berdasarkan data statistik rumah
sakit dalam Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2006, kasus leukemia (5,93%)
berada pada peringkat kelima setelah kanker payudara, kanker leher rahim, kanker hati dan
saluran empedu intrahepatik, limfoma non-Hodgkin dari seluruh pasien kanker rawat inap
rumah sakit di Indonesia.6
LGK merupakan penyakit yang bersifat slow-onset secara umum, diperkirakan 40% dari
pasien memberikan gambaran yang tanpa gejala. Penyakit ini biasanya terdiagnosis pada fase
kronis saat melakukan pemeriksaan medis rutin atau saat pemeriksaan penyakit yang lain.
Sedangkan pasien yang memiliki gejala, tanda-tanda yang muncul sebagian besar tidak
spesifik, seperti fatigue, anorexia, penurunan berat badan, nyeri tulang, dan berkeringat.
Splenomegali juga merupakan tanda yang dapat ditemukan pada pasien LGK.
1
IV. Diagnosis dan Prognosis Leukemia Granulositik Kronik (LGK)
Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dalam prognosis bisa dilakukan dengan dua
sistem skoring; sistem skoring prognostik dari Sokal dan Hasford masih banyak digunakan.
Sokal skor telah dikembangkan untuk pasien-pasien yang mendapatkan kemoterapi;
sedangkan Hasfold score berdasarkan pada pasien yang diberikan interferon-alfa.
V. Fase LGK
LGK diklasifikasikan menjadi 3 fase, fase kronik, fase akselerasi, dan fase blast (krisis blast).
Sebagian besar pasien LGK didiagnosis pada fase kronik. Bila tidak diterapi, sebagian besar
akan masuk ke dalam fase yang lebih berat dalam 3-5 tahun. Ada banyak variasi definisi
untuk fase akselerasi dan fase blast dalam prakteknya.1
Banyak negara berkembang dan maju masih menggunakan Imatinib sebagai terapi lini
pertama LGK mengingat Imaitnib merupakan tyrosine kinase inhibitor (TKI) generasi
pertama yang disetujui oleh Food & Drug Administrations (FDA) untuk pengobatan LGK.7,8
Namun, sejak pengembangan TKI generasi kedua seperti Nilotinib dan Dasatinib, pilihan
terapi lini pertama LGK tidak lagi terbatas pada Imatinib antara lain karena obat-obat tersebut
diklaim memberikan respon klinis yang lebih baik, sebagian obat tersebut digunakan untuk
indikasi keganasan hematologis lain seperti limfoma yang insidensnya juga meningkat. 9,10
Sejumlah besar kasus menggunakan Imatinib tetapi pergantian obat juga dijumpai lebih dari
separuh kasus karena berbagai alasan, mulai dari faktor medis seperti efek samping, harga,
kepatuhan pasien dan lain-lain. Suatu studi retrospektif yang dilakukan di Kolombia
menunjukkan bahwa penggunaan TKI generasi kedua sebagai terapi lini pertama dapat
meminimalkan pergantian obat TKI selama pengobatan meskipun faktor yang
mempengaruhinya masih perlu dikaji lebih lanjut. Meskipun begitu, dari fakta di atas, TKI
selain Imatinib sudah mulai dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama LGK, khususnya
Nilotinib dan dasatinib.11
2
Di Indonesia terdapat beberapa obat kanker yang digunakan untuk pasien LGK antara lain
Hidroksi Urea dan obat golongan Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI) yaitu Imatinib dan
Nilotinib yang hanya dapat diresepkan oleh dokter spesialis penyakit dalam yang merupakan
Konsultan Haematologi dan Onkologi Medik (KHOM). Sesuai dengan formularium obat
nasional (FORNAS), salah satu indikasi penggunaan imatinib adalah untuk kasus LGK/CML
dengan pemeriksaan kromosom Philadelphia positif atau BCR-ABL positif sedangkan untuk
penggunaan Nilotinib harus memenuhi persyaratan restriksi.12
TKI baik Imatinib maupun Nilotinib sudah masuk dalam paket manfaat JKN. Berdasarkan
data klaim BPJS Kesehatan obat Nilotinib dan Imatinib masuk dalam 5 besar biaya total
klaim obat di luar paket INA CBG.13
Mekanisme pembayaran klaim program JKN di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan dapat
dilakukan dengan dua mekanisme yaitu dengan menggunakan paket INA CBG dan juga
melalui klaim terpisah (klaim tersendiri diluar paket INA CBG), yang diantaranya untuk obat
Kemoterapi dan obat penyakit kronis (Imatinib dan Nilotinib).14
Menurut studi yang dilakukan oleh Prof. A. H. Reksodiputro dkk, bahwa jumlah kasus LGK
yang berpotensi mengalami intoleran atau resisten terhadap Imatinib di Indonesia kurang dari
13% sedangkan klaim pasien LGK yang menggunakan obat Nilotinib cukup besar. Hal ini
merupakan tantangan setiap negara agar melakukan indentifikasi dan evaluasi pola terapi dan
biaya obat Imatinib dan Nilotinib pada leukemia granulostik kronik di indonesia.15,16
Berdasarkan hal tersebut di atas, studi ini dilaksanakan untuk mengetahui pola utilisasi
sebagai bagian pola reimbursement obat Nilotinib pada pasien LGK
3
2. Masalah Penelitian
Dengan adanya program Jaminan Kesehatan Nasional pemerintah bertanggung jawab
untuk melakukan kendali biaya dan kendali mutu. Untuk itu diperlukan upaya dalam menjaga
mutu untuk keberlangsungan program JKN. TKI baik Imatinib maupun Nilotinib sudah
masuk dalam paket manfaat JKN.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk kendali mutu JKN adalah dengan
melakukan suatu studi Penilaian Teknologi Kesehatan. Studi PTK diperlukan untuk
menjembatani kemajuan ilmu dan pengambilan keputusan / kebijakan oleh berbagai pihak
baik pemerintah sebagai pembuat kebijakan, BPJS Kesehatan sebagai payer, fasilitas
kesehatan sebagai pemberi layanan dan pemangku kepentingan lainnya.
3. Pertanyaan Penelitian
Apa saja determinan yang dapat mempengaruhi utilisasi atau peresepan TKI di era JKN
Bagaimana implementasi pedoman klinis LGK dan mekanisme reimbursement yang
terkait obat LGK
6. Manfaat Penelitian:
1. Manfaat bagi pemegang kebijakan
Sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi dalam perbaikan kebijakan dan
implementasinya di fasilitas kesehatan.
4
2. Manfaat bagi BPJS Kesehatan
Sebagai bahan masukan dalam memperbaiki pelayanan peserta Jaminan Kesehatan dan
untuk memperkaya informasi panduan verifikasi administrasi klaim
3. Manfaat bagi Rumah Sakit
Mendapatkan informasi dan umpan balik terkait kesesuaian pola pengobatan dengan
panduan klinis, Formularium Nasional dan standar internasional penatalaksanaan LGK
4. Manfaat bagi pendidikan/keilmuan-peneliti
Data hasil penelitian dapat dipakai sebagai acuan untuk kajian teknologi kesehatan
selanjutnya yang serupa.
5. Manfaat bagi masyarakat
Sebagai bahan informasi penatalaksanaan pengobatan khususnya bagi pasien LGK.
5
Bab 2: Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi analitik dengan pendekatan
potong lintang dan retrospektif serta metode campuran kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini
bertujuan untuk menelaah utilisasi TKI dan kecenderungan penggunaan TKI pada pasien
LGK di Indonesia.
2. Kerangka Konsep
Pola pembayaran
Panduan Klinis
Mekanisme
reimbursement
3. Waktu Penelitian
Studi berbasis telaah literatur dan dokumen serta analisis data sekunder ini dilaksanakan di
Jakarta pada bulan Maret-Desember 2017.
6
4. Pengumpulan Data
5. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara tematik dan deskriptif dari hasil literature review, telaah
dokumen, data sekunder dari klaim BPJS serta mempertimbangkan masukan pakar.
Literatur review dilakukan minimal oleh 2 orang peneliti independen dengan menggunakan
kata kunci dan metode penelusuran yang telah disepakati. Hasil studi literature review
dikompilasi dan dianalisa secara tematik sesuai tujuan penelitian.
7
Bab 3: Hasil
Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan jenis kelainan keganasan pada sel darah
akibat kelainan kromosom Philadelphia yang memerlukan pengobatan dengan kemoterapi,
tetapi seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, obat terbaru yang
berasal dari golongan Tyrosine-Kinase Inhibitor (TKI) seperti Imatinib dan Nilotinib
memberikan hasil yang cukup memuaskan dan dapat menambah usia kesintasan hidup pasien.
Jumlah kasus pasien LGK yang memerlukan memiliki kemungkinan penggantian terapi dari
Imatinib menjadi Nilotinib diperkirakan sekitar 13% di Indonesia. Namun, data klaim BPJS
2016 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 30% kasus LGK yang diterapi dengan Nilotinib
sehingga memunculkan pertanyaan terkait selisih kasus LGK yang diterapi dengan Nilotinib.
Grafik 1. Data klaim BPJS Kesehatan 2014-2016, diolah: Klaim obat TKI (Imatinib dan Nilotinib)
Sejak Implmentasi Jaminan Kesehatan Nasional per 1 Januari 2014 Pengobatan LGK sudah
menjadi bagian dari paket manfaat JKN dan dari tahun ketahun terjadi peningkatan
pemanfaatan dan pembiayaannya hingga 2016. Begitupun untuk jenis obat jenis TKI baik
imatinib maupun nilotinib terus meningkat dari tahun ke tahun.
8
Grafik 2. Data klaim BPJS Kesehatan 2014-2016: Regional RS yang meresepkan Obat Nilotinib
9
Tabel 1. Data klaim BPJS Kesehatan 2014-2016
Secara umum, penggunaan Imatinib masih lebih tinggi dibandingkan Nilotinib dari tahun
2014, 2015 dan 2016.
Selain data utilisasi obat dalam program JKN juga dilakukan review terhadap ketentuan
penggunaan obat untuk LGK melalui kebijakan formularium obat nasional, dan didapatkan
bahwa meskipun ada pembaharuan dalam perubahan regulasi yang dilakukan tetapi
perubahan itu tidak cukup signifikan.
Tabel 2. Perbandingan revisi FORNAS yang sudah dilakukan dari 2015 hingga 2016
Imatinib Nilotinib
Fornas
LGK/CML dan LLA/ALL dengan Untuk kasus LGK (Leukemia
523 pemeriksaan kromosom Granulositik Kronik)/ CML dengan
Philadelphia positif atau BCR-ABL Philadelphia Chromosome positif
(31 Positif
Desember Hanya diresepkan oleh KHOM
2015) GIST yang unresectable, recurent
Tab. 150 mg ( 120 tab/bulan)
dan atau metastatic
Tab. 200 mg (untuk yang intoleran terhadap
Tab. 100 mg (120 tab/bulan)
imatinib 120 tab/bulan
Tab. 400 mg (untuk GIST 60 tab/bulan)
10
Fornas LGK/CML dan LLA/ALL dengan Hanya diresepkan oleh konsultan
137 pemeriksaan kromosom hematologi dan onkologi medik(KHOM).
Philadelphia positif atau BCR-ABL
(18 Cap 150 mg (120 kaps/bulan/Kasus)
positif.
Februari Untuk kasus LGK (Leukemia
2016) GIST yang unresectable dengan
Granulositik Kronik)/CML dengan hasil
hasil pemeriksaan CD 117 positif.
philadelphia chromosome positif atau
Pasien dewasa dengan unresectable, BCR-ABL positif.
recurrent dan atau metastatic.
Caps 200 mg (120 kaps/bulan/Kasus)
Tab. 100 mg (120 tab/bulan)
Untuk kasus LGK (Leukemia Granulositik
Tab. 400 mg (untuk GIST 60 tab/bulan) Kronik)/CML dengan hasil philadelphia
chromosome positif atau BCR-ABL positif
yang resisten atau intorelan terhadap imatinib.
Fornas
LGK/CML dan LLA/ALL dengan Hanya diresepkan oleh konsultan hematologi
636 pemeriksaan kromosom dan onkologi medik (KHOM).
Philadelphia positif atau BCR-ABL
(16 Cap 150 mg
positif.
Desember Untuk kasus LGK (Leukemia Granulositik
2016) GIST yang unresectable dengan
Kronik)/CML dengan hasil philadelphia
hasil pemeriksaan CD 117 positif.
chromosome positif atau BCR-ABL positif.
Pasien dewasa dengan unresectable,
Caps 200 mg
recurrent dan atau metastatic.
Untuk kasus LGK (Leukemia Granulositik
Tab. 100 mg (120 tab/bulan)
Kronik)/CML dengan hasil philadelphia
Tab. 400 mg (untuk GIST 60 tab/bulan) chromosome positif atau BCR-ABL positif
yang resisten atau intorelan terhadap imatinib.
Dalam Fornas, meskipun restriksi untuk penggunaan obat Imatinib dan Nilotinib sudah
disampaikan secara jelas dan juga restriksi untuk Nilotinib adalah untuk kasus yang resisten
terhadap Imatinib, namun masih terdapat ketimpangan antara jumlah klaim penggunaan
nilotinib dengan jumlah kasus LGK yang berpotensi mengalami resistensi atau intoleransi.
11
mendapatkan obat, kepatuhan (adherence), pedoman terapi yang berlaku di masing-masing
negara, dan aspek pembiayaan juga dipertimbangkan dalam analisis.
Metode telaah literatur dilakukan melalui pencarian bebas dengan peramban Google dari
kurun waktu 28 Juli 2017 hingga 18 Agustus 2017. Artikel dapat diunduh baik dari tautan
yang disediakan Google, situs resmi jurnal penerbit terkait maupun peramban Scholar Google.
Pencarian bebas dilakukan minimal oleh 2 pengulas (reviewer) yang bersifat independen.
Lalu, kriteria inklusi dan eksklusi artikel yang dimasukkan dalam telaah literatur ditentukan
secara kolektif antar anggota tim teknis PTK. Penentuan kriteria inklusi dan eksklusi langsung
dilakukan setelah hasil penelusuran keluar dengan cara melakukan skrining judul dan abstrak.
Tabel 3. Kriteria inklusi dan eksklusi hasil pencarian literatur yang akan ditelaah.
Topik Kriteria inklusi Kriteria eksklusi
Desain studi Studi retrospektif (kohort, analisis tren Uji preklinik (in vitro & in vivo),
data sekunder, observasi), potong lintang, studi dengan subjek hewan
telaah literatur sistematis, uji klinis
Populasi Penyakit leukemia granulositik kronik Di luar penyakit leukemia
(LGK) dari perspektif pasien maupun granulositik kronik atau kombinasi
dokter hematologi onkologi LGK dengan keganasan lain
Modalitas Hidroksiurea, interferon alfa, cytarabine Terapi apapun dengan indikasi selain
terapi A, Omacetaxine, tyrosine kinase inhibitor kasus LGK
(Imatinib, Nilotinib, Dasatinib, Bosutinib,
Ponatinib, Radotinib), sediaan generik
Imatinib atau Dasatinib, terapi sel punca
hematopoietik untuk indikasi LGK
Pola Artikel dengan informasi mengenai LGK Artikel tanpa informasi apapun
pengobatan dengan pergantian terapi, tanpa mengenai terapi LGK
pergantian terapi baik yang persisten
maupun yang tidak persisten
Aspek terkait Kepatuhan (adherence), pedoman terapi, Kepatuhan (adherence),
lain yang akses atau ketersediaan obat TKI, ketersediaan/akses obat, pedoman
dapat pembiayaan/sistem klaim pelayanan terapi, pembiayaan klaim pelayanan
dipertimbang kesehatan atau kebijakan dan program kesehatan, atau aspek lain yang
kan yang terkait dengan aspek-aspek di atas ditujukan untuk indikasi selain LGK
untuk indikasi LGK
Tipe Artikel lengkap (full text) yang dapat Abstrak tanpa isi artikel, artikel
publikasi diunduh berbayar yang tidak dapat diunduh
atau tidak lengkap (bukan full-text)
12
Kurun waktu Referensi yang terbit antara tahun 2012 Referensi khususnya artikel atau
publikasi hingga 2017 (5 tahun terakhir) khususnya jurnal ilmiah yang diterbitkan di luar
untuk artikel atau jurnal ilmiah kecuali periode 5 tahun terakhir
untuk pedoman. Pedoman yang lewat
dari 5 tahun terakhir tetapi masih
digunakan dan belum ada versi
termutakhir masih dapat dimasukkan
Bahasa Bahasa Indonesia & Inggris* Bahasa pengantar tidak sama sekali
pengantar disampaikan dalam bahasa Inggris
atau Bahasa Indonesia
*Referensi dapat disampaikan murni menggunakan bahasa Inggris atau campuran bahasa
Inggris dengan bahasa asing lain, tetapi secara keseluruhan substansi referensi masih dapat
dimengerti.
2. Karakteristik Referensi
Berdasarkan hasil penelusuran melalui peramban Google dan Google Scholar
didapatkan sebanyak 26 referensi, meliputi 13 kepustakaan yang berasal dari institusi atau
penulis utama artikel di Asia: negara Indonesia sebanyak 2 buah, Thailand sebanyak 3 buah,
Malaysia sebanyak 2 buah, India sebanyak 1 buah, Taiwan sebanyak 2 buah, Korea Selatan
sebanyak 2 buah dan Jepang sebanyak 1 buah; 8 kepustakaan dari benua Amerika yang
mencakup 5 referensi dari Amerika Serikat, 1 buah dari Kanada, 1 referensi dari Brazil dan 1
referensi dari Kolombia; dan 5 kepustakaan dari benua Eropa: 1 buah dari Britania Raya, 1
buah dari Belgia, 1 buah dari Lithuania, 1 buah dari Swiss dan 1 buah dari Finlandia.
Jenis kepustakaan yang dinilai menurut metodologi ilmiah penulisan memberikan hasil
sebanyak 6 artikel untuk kategori pedoman atau panduan yang berhubungan dengan terapi
LGK, 1 berupa hasil disertasi, 1 dalam bentuk Letter to the Editor, 1 berupa Commentary, 5
hasil kajian/tinjauan (review) dengan salah satunya berupa systematic review dan 12 berupa
hasil studi primer baik secara retrospektif maupun non-retrospektif. Rentang waktu publlikasi
berkisar antara tahun 2011, yaitu 1 buah untuk pedoman terapi LGK Thailand, hingga tahun
2017. Secara umum, tidak semua kepustakaan membahas secara rinci pola terapi LGK
termasuk dosis, urutan lini terapi, durasi, indikasi dan kriteria pergantian atau henti obat,
khususnya untuk kategori referensi selain pedoman. Separuh referensi (50,00%) menyinggung
aspek kepatuhan (adherence) pengobatan meskipun definisi operasional kepatuhan tidak
disebutkan secara gamblang atau berbeda (compliance, persistence) antar referensi. Sebanyak
3 referensi memberikan informasi terkait situasi pola terapi LGK di lebih dari satu negara.
13
Untuk mempermudah perbandingan pola terapi LGK antar negara, telaah literatur
dikelompokkan ke dalam 2 kategori, yaitu negara ekonomi maju dan negara berkembang.
Pembagian kedua kelompok negara tersebut mengikuti laporan World Economic Situation
and Prospects oleh United Nations (UN) terbaru versi 2017 yang pada dasarnya tidak
mengalami perubahan sejak versi tahun 2011.18,19 Lebih detail, karakteristik referensi yang
diikutkan dalam telaah literatur dapat dilihat dalam Tabel 2 di bawah.
Studi primer 2012 Taiwan Lini pengobatan hanya Studi bertujuan untuk
potong-lintang disebutkan untuk lini mengetahui persistensi
& retrospektif pertama. Namun, dosis terapi LGK dengan
dan pola terapi LGK Imatinib dari perspektif
dengan Imatinib payer
dijelaskan
Studi primer 2014 Taiwan Hanya membahas pola Studi bertujuan untuk
kohort penggunaan Imatinib mengetahui pengaruh
14
retrospektif jangka panjang dan kepatuhan terapi LGK
perubahannya terhadap dengan Imatinib
luaran klinis terhadap luaran klinis
15
tetapi keganasan
hematologi secara
umum
Studi primer 2015 Brazil Tidak menjelaskan pola Studi mengeksplor
retrospektif terapi secara detail tetapi faktor risiko sosial
mixed lebih pada kepatuhan yang mempengaruhi
methods pasien menggunakan kepatuhan penggunaan
TKI TKI untuk LGK dan
analisis tematik.
Definisi operasional
kepatuhan dijelaskan
rinci
Studi primer 2017 Kolombia Membahas pola terapi Definisi kepatuhan
kohort sejak lini pertama dan dijabarkan rinci
retrospektif saat pergantian terapi
LGK
Studi primer 2013 Amerika Membahas hubungan Definisi operasional
kohort Serikat kepatuhan terapi LGK kepatuhan dijelaskan
retrospektif dengan pola pembayaran secara spesifik
Pedoman 2014 Amerika Indikasi, dosis, lini, Pedoman disampaikan
praktik klinis Serikat kriteria pergantian dan dalam bahasa Inggris
terapi LGK stop obat dijelaskan
secara detail.
Commentary 2014 Kanada Mengkaji perbandingan Selain kajian literatur
efektivitas Imatinib dan monograf produk
sediaan generik dengan obat, informasi juga
sediaan merek dagang diperoleh dari
perusahaan farmasi
16
obat
Studi primer 2016 Amerika Membahas pola terapi, Pola terapi dan
potong-lintang Serikat kepatuhan, kesintasan kepatuhan
dan kohort dan analisis ekonomi didefinisikan secara
retrospektif pada pasien lansia rinci
dengan LGK yang
menggunakan program
Medicare. Batasan waktu
studi dimulai dari
pemberian terapi lini
kedua dengan TKI
generasi kedua
Systematic 2014 Belgia Fokus membahas faktor- Studi dilakukan pada
review faktor yang kasus LGK yang
mempengaruhi diterapi baik dengan
kepatuhan, metode dan Imatinib, Nilotinib atau
definisi yang digunakan Dasatinib
dalam mengevaluasi
kepatuhan
Pedoman 2016 Britania Raya Indikasi, dosis, lini, Pedoman disampaikan
penggunaan kriteria pergantian dalam bahasa Inggris
Imatinib untuk dijelaskan secara detail
terapi LGK khususnya untuk
Imatinib
Studi primer 2016 Lithuania Membahas dinamika Lini terapi dan dosis
kohort pola terapi sebelum dan tidak dijelaskan
retrospektif sesudah ketersediaan
Imatinib serta
hubungannya dengan
kesintasan
Letter to the 2016 Swiss Membahas rekomendasi Informasi diperoleh
Editor penggunaan obat TKI dari berbagai negara
sediaan generik pada
kasus LGK
Studi primer 2016 Finlandia Membahas secara rinci Studi melibatkan 2
mixed aspek kepatuhan dan kelompok responden:
methods dan faktor yang dapat dengan dan tanpa
RCT dalam memperbaiki kepatuhan intervensi
bentuk pasien LGK
disertasi
17
3. Pola Pengobatan Leukemia Granulositik Kronik Di Negara Maju
Pilihan terapi lini pertama LGK di negara-negara maju umumnya tidak lagi terbatas pada
Imatinib, meskipun begitu anjuran Imatinib sebagai terapi awal masih digaungkan.8,20-22
Selain Imatinib, Nilotinib dan Dasatinib dapat dijadikan terapi lini pertama. Pilihan terapi lini
kedua dapat menggunakan obat yang sama dengan menambah dosis. Sementara obat TKIs
generasi kedua lain seperti Bosutinib dan TKIs generasi ketiga, yaitu Ponatinib dapat
digunakan untuk kasus LGK yang resisten terhadap Nilotinib dan Dasatinib, seperti pasien
dengan mutasi T315I.8,20
Terlepas dari ketersediaan TKIs di negara-negara tersebut, sebagian negara maju seperti
Inggris dan Jepang masih mengizinkan penggunaan obat golongan non-TKIs seperti
Hidroksiurea, Interferon alfa, Cytarabine A dalam mengobati LGK atau keganasan
hematologi lain tentunya dengan mempertimbangkan status kesehatan umum dan usia
pasien.9,20 Menurut Panduan NCCN 2014,8 transplantasi sel punca tidak lagi menjadi terapi
lini pertama. Imatinib dapat dipertimbangkan pada kasus fase kronis LGK yang gagal diterapi
dengan Interferon. Sementara pada fase LGK yang lebih lanjut, pemberian TKIs lain seperti
Nilotinib, Dasatinib, Bosutinib, Ponatinib atau obat golongan non-TKI seperti Omacetaxine
dapat direkomendasikan. Pasien dengan mutasi T315I dapat dipertimbangkan untuk
mendapatkan terapi Ponatinib, Omacetaxine atau transplantasi sel punca. Ponatinib efektif
dalam menangani kasus LGK dengan mutasi tersebut namun frekuensi efek samping vaskular
yang serius juga cukup tinggi. Omacetaxine dapat dipertimbangkan pada kasus LGK dengan
resistensi dua atau lebih TKI.8 Dalam hal utilisasi, suatu studi di Jepang menunjukkan bahwa
penggunaan Nilotinib dan Dasatinib meningkat drastis dalam kurun waktu 2010 hingga 2014.
Sebagian faktor yang dapat menjadi penyebabnya adalah kenaikan insiden LGK selain
keganasan hematologi lain yang diterapi dengan Dasatinib.9 Penggunaan Dasatinib di negara
seperti Australia dan Kanada juga memberikan respon terapi lebih baik yang terukur dari skor
Sokal yang lebih tinggi dibandingkan kelompok pasien dengan Nilotinib.10
18
analisis tren antara tahun 2007 hingga 2011 di AS menunjukkan bahwa tren penggunaan
Nilotinib dan Dasatinib meningkat sebagai terapi lini pertama. Imatinib pada penelitian
tersebut masih menjadi terapi lini pertama di sebagian besar kasus namun sekitar 86% beralih
terapi ke Nilotinib atau Dasatinib karena alasan lain yang tidak dijabarkan dan di luar
kematian.21 Suatu systematic review memperlihatkan bahwa faktor utama yang
mempengaruhi kepatuhan tersebut adalah efek samping obat dan faktor alpa pasien dalam
meminum obat meskipun definisi kepatuhan dan cara pengukurannya bervariasi antar studi. 24
Sementara itu, analisis tren registri kanker di Lituania menunjukkan bahwa ketersediaan TKIs
khususnya Imatinib dapat mempengaruhi kesintasan. Akses obat dan kesintasan tersebut
umumnya rendah pada pasien lansia.22 Penelitian lain di AS juga memperlihatkan bahwa
kelompok lansia yang diterapi dengan TKI generasi kedua Nilotinib lebih sedikit memerlukan
penyesuaian dosis daripada pasien lansia yang diterapi dengan Dasatinib.25 Oleh sebab itu,
kedua studi tersebut menunjukkan bahwa pedoman praktik klinis LGK perlu dibuat secara
tersendiri untuk populasi khusus.
19
hidroksiurea atau busulfan, atau Interferon Alfa (IFN-α). Bagi pasien yang tidak mampu
menjalani prosedur transplantasi sel punca karena alasan tertentu, pilihan pengobatan jatuh
pada Interferon Alfa atau Hidroksiurea. Interferon Alfa memberikan efektivitas klinis yang
cukup baik bagi sebagian pasien tersebut tetapi karena biaya terapi dengan Interferon Alfa
cukup mahal, banyak pasien yang diterapi dengan Hidroksiurea.7,27
Salah satu negara berkembang yang mendapat manfaat dari program GIPAP tersebut adalah
India dengan cakupan di atas 90% jumlah pasien LGK. Di India, akses mendapatkan Imatinib
juga ikut terbantu dengan adanya sediaan generik untuk Imatinib dengan harga yang lebih
murah. Karena itu, Imatinib menjadi terapi lini pertama di India untuk sebagian besar pusat
pelayanan kesehatan. Sementara pilihan terapi lini kedua adalah obat TKIs generasi kedua
seperti Nilotinib dan Dasatinib. Namun, sebagian pasien yang tidak berespon dengan Imatinib
dosis standar awal dapat memperoleh respon terapi yang lebih baik dengan penambahan dosis
obat. Dengan segala kelebihan program penyediaan TKIs di India, masalah masih dijumpai
dalam hal kepatuhan. Hal tersebut berhubungan dengan timbulnya efek samping yang
meskipun tidak serius, dialami pasien LGK dalam jangka panjang dan dapat mempengaruhi
kualitas hidupnya. Salah satu solusi yang dapat ditawarkan adalah melakukan edukasi dan
penguatan motivasi (reinforcement) kepada pasien oleh dokter saat pasien menjalani follow-
up.28 Di negara Asia Tenggara seperti Thailand, Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam dan
Filipina, situasinya tidak jauh berbeda. Penyediaan obat TKIs sejak munculnya Imatinib
tercakup dalam program GIPAP dan sebagian negara ikut membiayai sebagian pembiayaan
obat tersebut.7,12,29
Di Thailand sebagai contoh, terdapat 3 macam sistem penyediaan terapi LGK, antara lain: a)
Universal Coverage System yang menjamin ketersediaan akses Imatinib melalui GIPAP.
20
Selain itu, pasien yang beruntung melalui seleksi dapat juga menjalani program pilot project
transplantasi sel punca untuk semua indikasi keganasan hematologi; b) Pegawai Negeri Sipil
(PNS) dapat mengklaim pembayaran Imatinib (reimbursable) dan pada pasien PNS yang
memerlukan terapi transplantasi sel punca, prosedur tersebut juga ditanggung; dan c) Social
Security System menanggung biaya Imatinib pada pasien dengan kerabat keluarga yang
memiliki kecocokan untuk indikasi transplantasi sel punca. Bila pasien tidak memiliki kerabat
dengan kecocokan tersebut, maka biaya Imatinib tidak ditanggung. Dalam hal ini, Novartis
menawarkan untuk menanggung sebagian biaya Imatinib dengan syarat rumah sakit (RS) juga
menanggung sisa biayanya tetapi tidak semua RS di Thailand bersedia melakukan hal
tersebut.7,30
Berdasarkan panduan praktik klinis Thailand 2011 untuk pengobatan LGK, Imatinib dengan
dosis 400 mg sehari menjadi pilihan terapi lini pertama pada mayoritas pasien LGK dengan
fase kronis. Jika Imatinib gagal memberikan respon atau menimbulkan efek samping yang
tidak dapat ditoleransi pasien, maka pasien dapat diberikan Nilotinib 800 mg atau Dasatinib
100 mg per hari atau transplantasi sel punca bila pada stadium penyakit berkembang ke arah
fase akselerasi atau krisis blas dengan mutasi T315I. Sementara lini ketiga tetap melanjutkan
penggunaan Nilotinib mg atau Dasatinib 100 mg per hari atau transplantasi sel punca. Bila
Nilotinib atau Dasatinib masih gagal memberikan respon atau pasien tidak mampu
menoleransi efek sampingnya maka plihan satu-satunya adalah transplantasi sel punca. Pada
fase akselerasi, obat TKIs yang dianjurkan adalah Imatinib 600-800 mg per hari. Namun,
klinisi juga dapat mempertimbangkan Dasatinib 140 mg per hari atau Nilotinib 800 mg atau
transplantasi sel punca. Pada fase krisis blas, pasien yang masih berespon terhadap Imatinib
dapat diberikan Imatinib 600-800 mg per hari atau transplantasi sel punca dan bila resisten
atau intoleran terhadap Imatinib, pasien dianjurkan diterapi dengan Dasatinib 140 mg per hari
atau transplantasi sel punca.31
TKIs generasi kedua diklaim memberikan respon terapi yang lebih baik, tetapi akses Nilotinib
dan Dasatinib sendiri di Thailand baru diperkenalkan sejak tahun 2008 sejak diberlakukannya
E2 Access Program. Dalam suatu analisis tren kebijakan terkait obat TKI dalam periode
2001-2012 di Thailand, khususnya pada awal masa implementasi program E2, Nilotinib dan
Dasatinib masih belum masuk dalam Daftar Obat Esensial Thailand (unlisted). Saat obat-obat
TKI diperkenalkan khususnya untuk TKIs generasi kedua, banyak pasien yang kesulitan
mendapatkan akses karena harga obat tersebut yang tinggi dan akan membebani jika hanya
ditanggung oleh Pemerintah. Karena itu, kebijakan pembiayaan obat di Thailand melibatkan 3
21
ranah besar yaitu Pemerintah, Payer dan Perusahaan Farmasi. Ketersediaan Nilotinib ikut
dibantu dengan adanya program Tasigna International Access Program (TIPAP). Selain itu,
payer dan perusahaan farmasi membuat kesepakatan untuk menurunkan harga obat selain
kebijakan Pemerintah dalam mempermudah akses pengadaan obat baik yang terdaftar
maupun tidak sehingga akses dan penggunaan TKIs di Thailand terus meningkat.30
Suatu studi kualitatif di Malaysia menemukan 4 ranah utama yang menjadi kendala kepatuhan
pengobatan mulai dari: a) manajemen penggunaan TKIs yang keliru (misalnya pasien lupa
minum obat, tidak patuh terhadap jadwal minum obat dll.); b) beban finansial dalam
memantau terapi; c) keyakinan yang keliru terhadap penggunaan TKIs (stigma penyakit,
penggunaan metode tradisional dalam pengobatan, dll); dan kekhawatiran berlebih akan efek
samping obat (ketakutan bahaya lain dari mengonsumsi obat, risiko resistensi efek obat dll.).33
22
Hasil serupa juga dijumpai pada suatu studi di Brazil, yaitu pasien rata-rata lupa meminum
obat, jadwal minum obat yang tidak tepat, meminum obat dalam keadaan perut kosong yang
dapat menimbulkan efek samping dan faktor lain.34 Penelitian lain di Kolombia menunjukkan
Imatinib masih menjadi terapi lini pertama untuk kebanyakan kasus LGK tetapi lebih dari
separuh kasus berganti terapi menjadi Nilotinib atau Dasatinib karena faktor resistensi obat,
ketidakpatuhan, efek samping atau alasan lain. Kemungkinan pergantian tersebut dapat
diminimalkan bila pasien dari awal menerima TKIs generasi kedua.11 Hal ini serupa dengan
hasil yang studi yang dilakukan Henk HJ dkk di AS.21 Selain itu, sebagian pasien yang
berganti obat tersebut juga mengonsumsi obat lain seperti levothyroxine, yang mengisyaratkan
pentingnya menilai potensi efek samping obat TKIs yang serius dan pengaruhnya terhadap
penyakit penyerta.8,11
Hasil studi-studi di beberapa negara berkembang tersebut sayangnya hanya menilai faktor-
faktor yang berisiko mempengaruhi kepatuhan. Namun, terdapat satu studi di Korea Selatan
yang menunjukkan bahwa konseling dapat memperbaiki tingkat kepatuhan pasien meminum
Imatinib secara umum. Hasil ini mirip dengan hasil studi komprehensif terkait kepatuhan
yang dilakukan di Finlandia. Adapun kepatuhan tersebut dinilai dari gabungan aspek
persistensi dan ‘kepatuhan dosis.’ Persitensi diukur melalui persentase jumlah hari peresepan
obat versus 1 tahun, sedangkan ‘kepatuhan dosis’ dinilai dari miligram Imatinib yang diambil
pasien dibandingkan miligram Imatinib yang seharusnya diambil. Konseling tersebut tidak
hanya dilakukan di fasilitas kesehatan, tetapi pasien juga memperoleh akses untuk
berkonsultasi secara bebas melalui telepon dan adanya inisiatif petugas kesehatan dalam
mengingatkan jadwal minum obat dan follow-up pasien.26,37
Hal ini menunjukkan bahwa salah satu upaya untuk memperbaiki tingkat kepatuhan tidak
selalu melibatkan upaya yang rumit dan mahal, namun dapat melalui konseling yang efektif
oleh petugas kesehatan.
6. Isu Lain terkait Pola Terapi--Sediaan Generik Tyrosine Kinase Inhibitors (TKIs)
Sediaan generik berdasarkan pertemuan advokasi global di Belgrad tahun 201438.
menunjukkan bahwa setidaknya sediaan generik Imatinib dan Dasatinib telah tersedia di 32
negara, yaitu: Argentina, Bosnia-Herzegovina, Kanada, Chile, Tiongkok, Kolombia, Kosta
Rika, Kroasia, Siprus, Republik Dominika, Guatemala, Ekuador, Mesir, Estonia, India,
Kazakhstan, Libanon, Latvia, Lituania, Macedonia, Malta, Nepal, Filipina, Peru, Rusia,
23
Rumania, Serbia, Slovenia, Slovakia, Afrika Selatan, Turki dan Uruguay. Seperti yang sudah
diuraikan, meskipun sediaan generik ikut membantu mempermudah akses dan kepatuhan
pasien dalam menjalani terapi LGK, masih terdapat kekhawatiran terkait efektivitas dan
keamanan sediaan obat tersebut.
Meskipun suatu kajian menunjukkan bahwa efektivitas klinis sediaan generik Imatinib tidak
lebih rendah dibandingkan sediaan merek dagangnya,39 Kelompok Perwakilan Pasien LGK
dari 58 negara yang hadir dalam pertemuan advokasi tersebut mengeluarkan himbauan kepada
Pemerintah, Pihak Otoritas Kesehatan, dan Petugas Kesehatan di manapun untuk
meminimalkan potensi risiko atau ketidapastian efek obat dalam jangka panjang dengan
mengikuti 5 rekomendasi berikut:38
a) Sediaan generik obat TKIs tidak boleh diberikan kepada pasien LGK tanpa menyertakan
bukti yang valid terkait kualitas dan bioekivalensi (bioavailabilitas/farmakokinetik yang
setara) dengan sediaan merek dagang. Penggunaan sediaan generik harus melalui
persetujuan otoritas terkait di negara masing-masing dan efek kisaran terapeutik yang
sempit dari suatu obat kanker harus dipertimbangkan sebelum bioekivalensi obat tersebut
diterima.
b) Bila sediaan generik dimaksudkan untuk mengobati pasien dengan penyakit yang parah
seperti leukemia, badan regulasi negara setempat perlu meminta ketersediaan data
komparatif klinis dan publikasi data tersebut untuk memastikan bahwa sediaan generik
memiliki efek terapi yang setara (efikasi dan keamanan) dengan sediaan merek
dagangnya.
c) Seorang pasien LGK tidak boleh berganti terapi ke bentuk sediaan lain karena alasan non-
medis jika pasien yang bersangkutan sudah mendapatkan respon terapi yang optimal dan
mentoleransi sediaan sebelumnya dengan baik.
d) Jika seoarng pasien LGK terpaksa berganti terapi ke sediaan lain tetapi zat aktifnya masih
sama, maka frekuensi pergantian ini tidak boleh melebihi sekali dalam setahun. Pasien
juga perlu menjalani follow-up yang memadai untuk mengevaluasi efektivitas dan
keamanan dalam menilai respon terapi. Jika pasien tidak lagi mendapatkan respon terapi
atau mengalami peningkatan toksisitas setelah berganti terapi ke sediaan lain dengan zat
aktif yang sama, maka pasien berhak memperoleh akses untuk kembali ke pengobatan
sebelumnya atau terapi dengan obat lain bila tersedia.
24
e) Setelah berganti terapi ke sediaan lain dengan zat aktif yang sama, pemantauan
pemeriksaan pemantauan molekular perlu lebih sering dilakukan untuk mendeteksi
potensi perbedaan dalam hal efektivitas maupun keamanan di awal-awal masa pergantian.
Gambaran data SI :
RS yang dianalisis menggunakan nilotinib sebanyak 25 RS, koordinat lokasi ke-25 RS
dalam bentuk angka bujur da lintang dicatat dan dimasukkan kedalam program Arc GIS
pada tanggal 7 Februari 2018 jam 11.00 pagi. Berdasarkan gambar di atas telihat
ketidaksetaraan (unequality) akses terhadap obat TKIs (imatinib dan nilotinib) di
Indonesia. Beberapa wilayah di Indonesia Timur misalnya Papua dan Maluku, tidak ada
laporan pemakaian nilotinib atau imatinib yang berarti pasien LGK di wilayah tersebut
tidak mempunyai akses pengobatan . Sebaliknya di provinsi Sulawesi Utara, pemakain
nilotinib mencapai 50%. Pola utilisasi TKIs aau peresepan bervariasi anatar wilayah.
Sebagai contoh di pulau Sumatera dan Kalimantan pasien yang memperoleh imatinib
lebih banyak dibandingkan pasien yang memperoleh nilotinib. Mayoritas pemakaian
nilotinib terpusat di pulau Jawa terutama di Jawa Barat dan pulau sebelahnya yaitu Pulau
Bali Nusa Tenggara Timur. Data ini memperlihatkan pemerintah seharusmya
menyediakan pelayanan kesehaan bagi semua penduduk di seluruh wilayah Indonesia.
25
Bab 4: Diskusi
Peningkatan cakupan kepesertaan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional dari tahun
ketahun juga sebanding dengan peningkatan pemanfaatan pelayanan terhadap pasien yang
menderita LGK. Dengan manfaat pelayanan yang cukup besar dan pembayaran premi yang
cukup terjangkau, mereka yang memiliki penyakit LGK yang sebelumnya memiliki
keterbatasan dalam akses pembiayaan kesehatan dapat mengakses pelayanan kesehatan untuk
LGK. Selain itu dengan masuknya obat TKI untuk mengobati kondisi LGK yang didukung
dalam formularium nasional untuk JKN memungkinkan praktisi kedokteran untuk
memberikan obat tersebut kepada pasien yang membutuhkan tetapi disisi lain hal ini
mengakibatkan meningkatnya pemanfaatan dan juga pembiayaan terhadap penyakit LGK.
Selama 3 tahun pelaksanaan JKN tren pemanfaatan tersebut masih meningkat, pemerintah
dalamhal ini kementerian kesehatan, BPJS Kesehatan dan stakeholder terkait perlu
mempertimbangkan ketepatan kebijakan untuk pelayanan LGK mengingan prevalensi saat ini
masih belum diketahui secara pasti apakah sudah masuk dalam fase plateu atau zero growth
atau masih ada kemungkinan untuk meingkat di tahun-tahun yang akan datang.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
menyatakan bahwa prinsip pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional adalah kesetaraan
(equity) dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan serta efektif dan efisien dalam
operasionalisasinya. Prinsip kendali mutu dan biaya harus diterapkan secara utuh di setiap
tingkatan pelayanan mengingat adanya karakteristik pelayanan kesehatan yang berpotensi
untuk menyebabkan terjadinya inefisiensi.
Equity dalam bidang kesehatan menurut WHO merupakan keadaan dimana setiap orang
harus mendapatkan kesempatan yang adil untuk mendapatkan kebutuhan kesehatannya
sehingga tidak ada yang dirugikan dalam upaya memenuhi kebutuhan kesehatan, apabila
faktor – faktor penghambat dapat dihindari.
Melihat data penggunaan Nilotinib pada 71 Rumah Sakit di Indonesia, dapat dikatakan
bahwa penggunaan Nilotinib yang lebih dari 30% didominasi pada RS di wilayah timur
Indonesia (RSUP Manado 63%, RSU Provinsi NTB 69%, RSUD Prof Dr W. Johannez
Kupang 100%) serta beberapa RS Kabupaten/Kota (RSUD Kab Badung 86%, RSU Kab
Tabanan 100%, dan RSUD Kab Buleleng 100%). Terjadinya ketidaksetaraan dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan dapat juga disebabkan karena distribusi yang tidak merata
dalam rangka memenuhi pelayanan kesehatan.
26
Peraturan Presiden nomor: 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan menyatakan bahwa
ketentuan pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan didasrkan pada
Indonesian Case Based Groups (INA-CBG). Dalam hal pelaksanaannya, maka BPJS
Kesehatan selaku pengelola program JKN membuat petunjuk teknis (Juknis) verifikasi klaim
yang disusun dengan tujuan untuk dapat menjadi acuan bagi Verifikator BPJS Kesehatan
maupun bagi Fasilitas Kesehatan dalam rangka menjaga mutu layanan dan efisiensi biaya
pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan. Dalam Juknis verifikasi klaim yang
disusun pada tahun 2014 tidak menyebutkan secara lengkap mengenai verifikasi klaim bagi
obat-obatan yang diklaimkan secara terpisah atau diluar paket INA-CBG (Top Up). Untuk
selanjutnya, juknis verifikasi klaim yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan mengacu pada
perkembangan Peraturan Menteri Kesehatan mengenai INA-CBG.
Peraturan Menteri Kesehatan No.76 tahun 2016 tentang Indonesian Case Based Groups
(INA-CBG) dalam Jaminan Kesehatan Nasional, menyatakan bahwa terdapat pembayaran
tambahan (Top Up) dalam sistem INA-CBG untuk kasus–kasus tertentu yang masuk dalam
Special Casemix Main Groups (CMG), meliputi : Special Procedure, Special Drugs, Special
Investigation, Special Prosthesis, Subacute cases dan Chronic cases. Special CMG atau special
group pada tarif INA-CBG saat ini dibuat untuk mengurangi resiko keuangan rumah sakit.
Top up pada special CMG diberikan untuk beberapa obat, alat, prosedur, pemeriksaan
penunjang serta beberapa kasus penyakit subakut dan kronis. Besaran nilai pada tarif
special CMG tidak dimaksudkan untuk mengganti biaya yang keluar dari alat, bahan atau
kegiatan yang diberikan kepada pasien, namun merupakan tambahan terhadap tarif
dasarnya.
Penelitian ini awalnya direncanakan untuk menggunakan metode kualitatif dengan
pengambilan data primer, tetapi oleh karena keterbatasan sumberdaya sehingga metode dan
pengambilan data yang dilakukan terbatas pada yang dilaporkan saat ini. Kedepan mungkin
bisa menjadi masukan bila ada penelitian yang terkait dengan penelitian seperti ini.
27
Bab 5: Simpulan dan Rekomendasi
2. Rekomendasi
Direktur RS dan Komite Medik harus meminta Departemen/ Divisi untuk melakukan
audit klinik terhadap peresepan nilotinib dan mengizinkan pasien yang memenuhi
indikasi klinik untuk mendapatkan nilotinib.
Memastikan pelaksanaan pemakaian pedoman praktik klinik yang sesuai sebagai
bagian Formularium nasional yang disebutkan sebagai salah satu paket manfaat.
BPJS harus melakukan monitoring terhadap utilisasi obat terutama obat dengan
budget impact tinggi untuk menjamin pemakaian yang efisien dan kelangsungan JKN
( misal: pemeriksaan mutasi gen pada kasus yang resisten sebelum diberikan obat
nilotinib).
28
Sumber Pendanaan
Studi ini dibiayai dari anggaran Kementerian Kesehatan dengan DIPA Pusat Pembiayaan dan
Jaminan Kesehatan tahun 2017
Konflik Kepentingan
Semua penulis yang namanya tercantum dalam manuskrip ini menyatakan bahwa mereka
tidak memiliki afiliasi atau keterlibatan dengan organisasi atau perusahaan manapun yang
melibatkan kepentingan finansial maupun non-finansial.
29
DAFTAR PUSTAKA
30
20. NICE. Guidance on the use of imatinib for chronic myeloid leukemia. Technology
appraisal guidance. 2003 (Last updated January 2016)
21. Henk HJ, Woloj M, Shapiro M, Whiteley J. Real-world Analysis of tyrosine kinase
inhibitor treatment pattern among patients with chronic myeloid leukemia in the
United States. Clinical Therapeutics 2015;37(1):124-33
22. Beinortas T, Tavorienė I, Žvirblis T, Gerbutavičius R, Jurgutis M dan Griškevičius L.
Chronic myeloid leukemia incidence, survival and accessibility of TKIs: a report from
population-based Lithuanian haematological disease registry 2000–2013. BMC
Cancer 2016;16:198. DOI 10.1186/s12885-016-2238-9
23. Dusetzina SB, Winn AN, Abel GA, Huskamp HA, Keating NL. Cost sharing and
adherence to tyrosine kinase inhibitors for patients With chronic myeloid leukemia. J
Clin Oncol 2013;32:306-11
24. Noens L, Hensen M, Kucmin-Bemelmans I, Lofgren C, Gilloteau I, Vrijens B.
Measurement of adherence to BCR-ABL inhibitor therapy in chronic myeloid
leukemia: current situation and future challenges. Haematologica 2014;99(3):437-47
25. Smith BD, Liu J, Latremouille-Viau D, Guerin A, Fernandez D, Chen L. Treatment
patterns, overall survival, healthcare resource use and costs in elderly Medicare
beneficiaries with chronic myeloid leukemia using second-generation tyrosine kinase
inhibitors as second-line therapy. Curr Med Res Opin 2016. DOI:
10.1185/03007995.2016.1140030
26. Kekäle M. Chronic myeloid leukemia patients’ adherence to tyrosine kinase inhibitors
in Finland: a journey of eighty-six patients. (Dissertation). University of Helsinki
Faculty of Pharmacy, Division of Pharmacology and Pharmacotherapy, Clinical
Pharmacy Group 2016
27. Chronic Myeloid Leukemia Clinical Practice Guideline Development Group.
Malaysia 2011
28. Ganesan P dan Kumar L. Chronic myeloid leukemia in India. Journal of global
Oncology 2017;3(1):64-71
29. Kementerian Kesehatan RI. 2016. Analisis efektivitas biaya nilotinib terhadap
imatinib sebagai terapi lini pertama pada pasien leukemia granulositik fase kronik.
Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta
30. Sruamsiri R, Ross-Degnan D, Lu CY, Chaiyakunapruk N, Wagner AK. Policies and
Programs to Facilitate Access to Targeted Cancer Therapies in Thailand. PLoS ONE
2015. DOI: 10.1371/journal.pone.0119945
31. The Thai Society of Hematology. Guidelines for chronic myeloid leukemia therapy
2011 (Bahasa Thai dan Inggris). Diakses dari:
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&ved=0ah
UKEwj8mYSFyNrVAhWLZ1AKHbCZDqoQFghRMAQ&url=http%3A%2F%2Fww
w.tsh.or.th%2Ffile_upload%2Ffiles%2FChronic%2520Myeloid%2520Leukemia.doc
&usg=AFQjCNHoy5yFvgdwdirblEb3k_UAWG0n6w
32. Korean Guidelines for Treating CML-The Korean Society of Hematology Chronic
Myelogenous Leukemia Working Party 2015 (Bahasa Korea dan Inggris). DOI:
10.3904/kjm.2015.88.4.406
33. Tan BK, Tan SB, Chen LC, Chang KM, Chua SS, Balashanker S et al. Medication-
related issues associated with adherence to long-term tyrosine kinase inhibitors for
controlling chronic myeloid leukemia: a qualitative study. Patient Preference and
Adherence 2017;11:1027-34
34. Okumura LM, Antunes VD, Aguiar KS, Varias T, Andrzejevski VM, Funke VM.
Tyrosine kinase inhibitors in patients with chronic myelogenous leukemia: defining
31
the role of social risk factors and non-adherence to treatment. Pharmacy Practice 2015
Apr-Jun;13(2):559
35. Chen TC, Chen LC, Huang YB, Chang SC. Imatinib adherence associated clinical
outcomes of chronic myeloid leukaemia treatment in Taiwan. Int J Clin Pharm
2014;36:172-81
36. Chang CS, Yang YH, Hsu CN, Lin MT. Trends in the treatment changes and
medication persistence of chronic myeloid leukemia in Taiwan from 1997 to 2007: a
longitudinal population database analysis. BMC Health Services Research
2012;12:359
37. Moon JH, Sohn SK, Kim SN, Park SY, Kim SS, Kim IH, et al. Patient counseling
program to improve the compliance to improve the compliance to Imatinib. Med
Oncol 2012;29:1179-85
38. Geissler J, Sharf G, Cugurovic J, Padua R, Narbutas Š, Remic M, et al. Chronic
myeloid leukemia patients call for quality and consistency when generics are
introduced to treat their cancer (Letter to the Editor). Leukemia 2016;30:2396-7
39. de Lemos ML dan Kyritsis V. Clinical efficacy of generic Imatinib. J Oncol Pharm
Practice 2015;21(1):76-9
32