Anda di halaman 1dari 4

KASUS 14

RS”X” adalah rumah sakit tipe B dengan rumah sakit berbasis militer dengan
menggunakan sistem non BLUD. Rumah sakit “X” dengan memiliki apoteker
sebanyak 4 orang dimana satu diantaranya adalah sebagai Kepala Instalasi Farmasi
RS. RS ”X” mencapai akreditasi 16 pelayanan pada 3 tahun yang lalu dan tahun
depan ini mengajukan kembali akreditasi yang lebih tinggi dan lebih baik. BOR rata2
di RS ”X” adalah 71% dan total bed yang dimiliki adalah 132.
Pada saat melakukan persiapan akreditasi tahun depan, Kepala Instalasi
Farmasi melakukan evaluasi terhadap beberapa tahapan pelayanan pengelolaan
manajemen obat dan alkes yang dia pimpin. Hasil yang didapatkan adalah:
1. Tahap seleksi yang tidak sesuai standar adalah kesesuaian dengan Formularium
Nasional (92,51%) dan kesesuaian dengan Formularium Rumah Sakit (78,78%).
2. Tahap Perencanaan dan pengadaan yang sesuai standar adalah persentase alokasi
dana yang tersedia (35,42%) dan yang tidak sesuai standar adalah frekuensi
tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang disepakati (123 x
atau semua tagihan tertunda pembayarannya), persentase kesesuaian antara
perencanaan obat dengan kenyataan masing- masing obat (120,43%).
3. Tahap distribusi yang sesuai standar adalah standar Turover Ratio (TOR) sebanyak
(10,42 kali), tingkat ketersediaan obat sebesar 13,36 bulan dan yang tidak sesuai
ketepatan data jumlah obat pada kartu stok sebesar (93,75%).
4. Tahap penggunaan yang sesuai standar adalah persentase peresepan dengan nama
generik (90,37%), dan yang tidak sesuai standar adalah jumlah item obat
perlembar resep (3,41 lembar), rata-rata waktu yang digunakan melayani resep non
racikan (38 menit) dan resep racikan (73 menit).
Pertanyaan:
1. Jelaskan permasalahan dari kasus di atas!
2. Berikan solusi yang tepat berdasarkan standar yang ada!
3. Berikan gambaran seharusnya yang harus dilakukan oleh Apoteker tersebut agar
solusi yang disarankan tersebut bisa berjalan sesuai dengan yang distandartkan!

JAWAABAN

1) Jelaskan permasalahan dari kasus di atas!

a) Permasalahan pada tahap seleksi yang tidak sesuai standar adalah kesesuaian
dengan Formularium Nasional (92,51%) dan kesesuaian dengan Formularium
Rumah Sakit (78,78%).
b) Permasalahan pada tahap Perencanaan dan pengadaan yang sesuai standar
frekuensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang
disepakati (123 x atau semua tagihan tertunda pembayarannya), persentase
kesesuaian antara perencanaan obat dengan kenyataan masing- masing obat
(120,43%).
c) Permasalahan pada tahap distribusi yang tidak sesuai ketepatan data jumlah
obat pada kartu stok sebesar (93,75%).
d) Permasalahan pada tahap penggunaan yang tidak sesuai standar adalah jumlah
item obat perlembar resep (3,41 lembar), rata-rata waktu yang digunakan
melayani resep non racikan (38 menit) dan resep racikan (73 menit).
2) Berikan solusi yang tepat berdasarkan standar yang ada!
a) Pemilihan atau selection adalah proses memilih sejumlah obat di rumah sakit
dengan tujuan untuk menghasilkan penyediaan/pengadaan yang lebih baik,
penggunaan obat yang lebih rasional, dan harga yang lebih rendah (Satibi, 2014).
Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Tim Farmasi dan
Terapi (TFT) untuk menetapkan kualitas dan efektifitas serta jaminan obat yang
baik. Adapun salah satu fungsi TFT yaitu mengembangkan formularium rumah
sakit dan merevisinya, juga membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan
tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai
penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal
maupun nasional. Formularium nasional disusun dengan tujuan untuk menjadi
acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam menjamin aksesibilitas obat yang
berkhasiat, bermutu, aman, dan terjangkau dalam sistem JKN, sedangkan
formularium RS adalah dokumen yang selalu diperbaharui secara terus-menerus
yang berisi sediaan obat yang terpilih, dan informasi tambahan lainnya yang
merefleksikan pertimbangan klinik mutakhir staf medik rumah sakit.
Formularium RS disusun bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan farmasi
serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemakaian obat di RS (Winda,
2018).Formularium RS disusun mengacu kepada formularium nasional dimana
formularium ini merupakan daftar obat yang disepakati oleh staf medis dan
disusun oleh TFT yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit
b) Salah satu cara untuk menghindari pembengkakan biaya pengadaan dalam
perencanaan dapat dilakukan melalui evaluasi farmakoekonomi.
Farmakoekonomi dapat membantu pembuat kebijakan dan penyedia pelayanan
kesehatan dalam membuat keputusan dan mengevaluasi keterjangkauan serta
akses pengunaan obat yang rasional. Kunci utama dari kajian farmakoekonomi
adalah efisiensi dengan berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk
mendapatkan manfaat semaksimal mungkin dengan sumber daya yang
digunakan. Pengadaan dilakukan dengan sistem e-purchasing berdasarkan e-
catalog secara online dengan aplikasi LPSE (Layanan Pengadaan Secara
Elektronik). Untuk obat-obatan diluar e-catalog, pengadaan obat dilakukan
langsung oleh kepala instalasi farmasi rumah sakit dengan menggunakan surat
pesanan kepada distributor.Pengadaan ada yang dilakukan menggunakan e-
catalog, ada juga yang menggunakan SP biasa kepada distributor (diluar e-
catalog) karena biasanya pemesanan melalui e-catalog lama sampainya atau stok
kosong dari distributor atau tersangkut utang-piutang RS, sehingga untuk
mencegah kekosongan obat, kita pesan menggunakan SP biasa ke distributor lain
yang bisa menyediakan obat yang dibutuhkan dengan tetap mempertimbangkan
harga yang sesuai.
c) Distribusi obat yang tidak efisien menyebabkan tingkat ketersediaan obat menjadi
berkurang, terjadi kekosongan obat, banyaknya obat yang menumpuk akibat dari
perencanaan obat yang tidak sesuai serta banyaknya obat yang kadaluwarsa/rusak
yang disebabkan sistem distribusi yang kurang baik sehingga akan berdampak
kepada inefisiensi penggunaan anggaran/biaya obat (Pramukantoro, 2018). Hal
ini juga sangat berkaitan erat dengan proses penyimpanan obat yang dilakukan.
Proses penyimpanan merupakan proses yang sangat penting pada kegiatan
manajemen obat. Penyimpanan merupakan suatu kegiatan pengamanan terhadap
obat-obatan yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik
maupun kimia dan mutunya tetap terjamin (Soerjono, dkk., 2004). Proses
penyimpanan yang tidak sesuai, maka akan terjadi kerugian seperti mutu sediaan
farmasi tidak dapat terpelihara (tidak dapat mempertahankan mutu obat dari
kerusakan, rusaknya obat sebelum masa kadaluwarsanya tiba). Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan, sistem penyimpanan sediaan farmasi di instalasi
farmasi RS harus dilakaukan berdasarkan alphabetis, bentuk sediaan obat, FIFO
dan FEFO.bahwa salah satu indikator penyimpanan obat yaitu sistem penataan
gudang farmasi menggunakan penataan gudang standar dengan sistem
penyimpanan FIFO dan FEFO. Obat yang disimpan pada gudang farmasi
diinspeksi secara berkala untuk menjaga kualitas obat dan diberikan label secara
jelas untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pengambilan obat. Gudang
penyimpanan obat di RS tidak terpisah dengan ruang pelayanan atau apotek
rumah sakit, karena RS menggunakan sistem satu pintu. Terdapat ruang
penyimpanan obat yang terpisah dengan alat kesehatan, hal ini agar obat-obatan
tidak tercampur dengan alat kesehatan.
d) Pelayanan resep baik obat jadi maupun racikan merupakan salah satu bentuk
pelayananfarmasi klinik di rumah sakit. Salah satu indikator yang digunakan
untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah lamanya waktu tunggu pelayanan
resep di instalasi farmasi, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di rumah sakit. Waktu tunggu pelayanan resep adalah tenggang
waktu mulai dari pasien menyerahkan resep sampai dengan pasien menerima obat
(Karuniawati, dkk., 2016). Indikator rerata kecepatan pelayanan resep ini
bertujuan untuk tergambarnya kecepatan pelayanan farmasi sehingga dapat
menghasilkan dimensi mutu berupa efektifitas, kesinambungan pelayanan dan
efisiensi.lamanya waktu tunggu sediaan jadi (non racikan) tersebut disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya terlambatnya resep yang masuk ke instalasi
farmasi sehingga resep masuk diwaktu yang bersamaan, akibatnya terjadi
penumpukan resep yang harus dikerjakan; kurangnya SDM yang memadai baik
dari segi TTK dan apoteker sehingga dalam proses pelayanan resep
membutuhkan waktu yang lebih lama terutama pada waktu jam sibuk (peak
hour); setiap tahapan proses pelayanan resep mulai dari penerimaan resep (entry
resep) hingga penyerahan resep kepada pasien masih dilakukan secara manual
oleh petugas.Faktor-faktor yang berhubungan dengan waktu tunggu pelayanan
resep menurut Wijaya (2012) adalah : a) adanya komponen delay yang
menyebabkan proses menjadi lebih lama. Delay disebabkan antara lain karena
petugas belum mengerjakan resep karena mengerjakan kegiatan lain atau
mengerjakan resep . Hal ini terlihat dari hasil penelitiannya, dimana total waktu
komponen delay lebih besar dari total waktu komponen tindakan baik pada resep
non racikan maupun racikan. Komponen delay lebih besar daripada komponen
tindakan menandakan proses pelayanan resep kurang efektif; b) resep racikan
membutuhkan waktu pelayanan yang lebih lama dibandingkan dengan resep obat
jadi. Hal ini disebabkan obat racikan membutuhkan waktu yang lebih lama
dibandingkan obat jadi mengingat tahapan dan proses pengemasannya
membutuhkan waktu yang lebih lama; c) ketersediaan sumber daya manusia yang
cukup dan terampil, lama kerja, beban kerja, pengetahuan dan keterampilan
pegawai. Pengalaman kerja merupakan latar belakang individu sehingga dapat
mempengaruhi perilaku kinerja individu dan menyebutkan bahwa makin lama
pengalaman kerja seseorang maka dia akan semakin terampil dan makin lama
masa kerja seseorang akan semakin bertambah wawasan dan kematangan dalam
melakukan tugas. Peletakan obatobatan juga berpengaruh terhadap waktu
pelayanan terutama pada proses pengambilan obat dimana pegawai farmasi harus
menjelajahi ruangan untuk mencari obat sesuai dengan resep; d) kebijakan dan
prosedur, salah satu hal yang berhubungan dengan kebijakan yang mempengaruhi
waktu pelayanan resep adalah mengenai formularium. Adanya ketidaksesuaian
resep dengan formularium memperlambat waktu layanan oleh karena dibutuhkan
waktu tambahan untuk melakukan konfirmasi obat pengganti dengan dokter.

3) Berikan gambaran seharusnya yang harus dilakukan oleh Apoteker tersebut


agar solusi yang disarankan tersebut bisa berjalan sesuai dengan yang
distandartkan!

Anda mungkin juga menyukai