Anda di halaman 1dari 10

PRAKTIKUM RUMAH SAKIT

“Kasus 1”

Dosen Pengampu :
Dr. apt. Samuel Budi Harsono, M.Si

Disusun Oleh :
Dhiya Hanifan (2120414598/A)
Diah Purwitasari (2120414599/A)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER XLI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Manajemen logistik merupakan seni dan ilmu yang mengatur dan mengontrol
arus barang, energi, informasi, dan sumberdaya lainnya dengan tujuan untuk
mengoptimalkan penggunaan modal. Dalam penyelenggaraannya terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan yaitu tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, tepat harga, tepat
kualitas. Ketidakefisienan melakukan manajemen logistik memberikan dampak negatif
terhadap rumah sakit baik dari segi medis maupun non medis. Manajemen logistik juga
digunakan sebagai informasi yang digunakan dalam pengambilan kebijakan di rumah
sakit.

Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) merupakan bagian Rumah Sakit (RS)
tempat diselenggarakannya pekerjaan kefarmasian.1 Pekerjaan kefarmasian mencakup
penyiapan perencanaan kerja kefarmasian, pengelolaan sediaan farmasi, pelayanan
farmasi klinik, dan pelayanan farmasi khusus. Pelayanan kefarmasian merupakan
pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada penderita yang berkaitan dengan
sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas
hidup penderita (Mellen RC, Pudjirahardjo WJ. 2013).

Salah satu bentuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah pelayanan


sediaan farmasi, kemudahan memperoleh sediaan farmasi sesuai kebutuhan,
keterjangkauan, dan dalam jumlah mencukupi. Berdasarkan bentuk pelayanan
kesehatan tersebut, maka IFRS dituntut untuk menghadirkan sediaan farmasi pada
jumlah dan waktu yang tepat sehingga dalam pengelolaannya memerlukan sistem
manajemen sediaan farmasi yang baik dengan memanfaatkan sumber daya yang
dimiliki secara optimal (Bleich SN, Özaltinb E, Murray CJL. 2009).

Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan


perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah,
dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu.
Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan,
penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan
metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan
proses pengadaan, dan pembayaran.
Instalasi farmasi rumah sakit merupakan satu-satunya unit di rumah sakit
bertanggung jawab pada penggunaan obat yang aman dan efektif di rumah sakit secara
keseluruhan. Tanggung jawab ini termasuk seleksi, pengadaan, penyimpanan,
penyiapan obat untuk konsumsi dan distribusi obat ke unit perawatan penderita (Siregar
dan Amalia, 2003). Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu aspek penting
dari rumah sakit. Ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap biaya
operasional bagi rumah sakit, karena bahan logistik obat merupakan salah satu tempat
kebocoran anggaran. Untuk itu manajemen obat dapat dipakai sebagai proses pengerak
dan pemberdayaan semua sumber daya yang dimiliki untuk dimanfaatkan dalam rangka
mewujudkan ketersediaan obat setiap dibutuhkan agar operasional efektif dan efisien
(Lilihata,2011).
BAB II
ISI

A. Kasus
Sistem pengadaan obat menggunakan dana APBD di RS “A” kurun waktu
2015-2017 berdasarkan Keputusan Presiden dan Keputusan Gubernur. Pembelian obat
dalam jumlah besar, waktu pengadaan obat cukup lama, frekuensi pembelian 1-2 kali
setahun. Dari pemeriksaan Bawasda Pemerintah Propinsi bulan Juni 2017 ditemukan
obat rusak dan kadaluwarsa senilai Rp. 82.210.626,00. Adanya penumpukan sejumlah
obat, obat yang tidak diresepkan tinggi dan stock out tinggi. Hal ini dapat diduga bahwa
ketersediaan dan efisiensi obat di Rumah sakit “A” kurang baik.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di RS “A” kurun waktu 2015-
2018 sudah berdasarkan Keppres 18 tahun 2017 dan Kepgub 172 tahun 2018 dengan
pelelangan dan penunjukan langsung dengan SPK. Terdapat beberapa hal dari hasil
evaluasi antara lain: waktu pengadaan obat cukup lama (1-3 bulan), frekuensi
pengadaan obat kecil (1-2) kali setahun, prosedur pengadaan melalui beberapa tahapan
yang baku. Hal tersebut mengakibatkan penumpukan obat yang tinggi (tahun 2015;
2016; 2017 nilainya 54%; 46%; 30%), obat tidak diresepkan tinggi (tahun 2015; 2016;
2017 nilainya 29,01%; 26,02 %; 16,59%), stock out obat lama (15-276 hari), obat
rusak/ kadaluarsa tinggi (tahun 2015; 2016; 2017 nilainya 21,81%; 28,02%; 26,69%),
dan nilai TOR setiap tahun rendah (tahun 2015; 2016; 2017 nilainya 3,44; 3,71; 3,88).
Dari pengamatan yang dilakukan di IFRSUD “A” ternyata ketersediaan obat
yang ada didalam DOEN tahun 2017 adalah 57,56 %, anggaran yang disediakan untuk
pengadaan obat sebesar 6,51 % dari keseluruhan anggaran rumah sakit, persentase
kesesuaian jumlah item obat yang direncanakan dengan kenyataan pakai sebesar
72,73%, kecocokan antara obat dengan kartu stock adalah 82,1 %, indikator tingkat
ketersediaan obat sebesar 11,47 bulan, rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani
resep sampai ke tangan pasien untuk obat racikan sebesar 20 menit, dan non racikan
sebesar 10 menit, persentase nilai obat yang kadaluwarsa dan rusak adalah 32,21 %,
persentase stok mati sebanyak 8 item obat dari 165 item obat yang digunakan dan jika
di persentasikan sebesar 4,85%, jumlah item obat tiap lembar resep adalah 3,23 macam
item obat, persentase penulisan obat generik adalah 96,52%, persentase resep yang
tidak terlayani selama tahun 2017 adalah 13,84% dari jumlah semua total resep,
persentase obat yang dilabeli dengan benar adalah 95,1%
Pertanyaan:
1. Jelaskan permasalahan dari kasus di atas!
2. Berikan solusi yang tepat berdasarkan standar yang ada!
3. Berikan gambaran seharusnya yang harus dilakukan oleh apoteker RS tersebut agar
solusi yang disarankan tersebut bisa berjalan sesuai dengan yang distandartkan!

B. Masalah yang Ditemukan


Masalah dalam seleksi :
Ketersediaan obat yang ada didalam DOEN tahun 2017 adalah 57,56 %. Dari
hasil persen kesesuaian obat yang tersedia belum sesuai dengan standar yang ditetapkan
yaitu 76% (DepKes 2002). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan penggunaan
obat essensial belum sesuai dengan standar.

Masalah dalam perencanaan :


Persentase kesesuaian jumlah item obat yang direncanakan dengan kenyataan
pakai sebesar 72,73%. Hal ini terlihat bahwa pemakaian item obat masih di bawah
standar yang seharusnya yaitu 100%, sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah item obat
yang dipakai belum efisien. Hal ini disebabkan karena belum optimalnya perencanaan
dan dana yang disediakan oleh rumah sakit terlalu rendah sehingga menyebabkan item
obat yang tersedia jadi kecil padahal kebutuhan obat yang riilnya sangat besar.

Masalah dalam pengadaan :


Anggaran yang disediakan untuk pengadaan obat sebesar 6,51 % dari
keseluruhan anggaran rumah sakit. Persentase dana yang tersedia untuk anggaran
belanja obat termasuk kecil bila dibandingkan dengan standar DEPKES RI bahwa
anggaran untuk belanja obat-obatan adalah sebesar 40-50% dari total anggaran rumah
sakit.
Frekuensi pengadaan obat kecil (1-2) kali setahun, diperkirakan kurang sesuai
dengan kebutuhan RS karena pada pemeriksaan Bawasda pada tahun 2017 ditemukan
obat yang rusak/ED senilai Rp. 82.210.626. Kecilnya frekuensi pengadaan obat
menjadikan nilai TOR setiap tahun rendah (tahun 2015; 2016; 2017 nilainya 3,44; 3,71;
3,88), dimana nilai TOR dari RS “A” kurang dari 4 pada tahun 2015-2017 hal ini
menandakan pengelolaan persediaan di RS “A” kurang baik.
Penumpukan obat yang tinggi (tahun 2015; 2016; 2017 nilainya 54%; 46%;
30%), obat tidak diresepkan tinggi (tahun 2015; 2016; 2017 nilainya 29,01%; 26,02 %;
16,59%), stock out obat lama (15-276 hari), obat rusak/ kadaluarsa tinggi (tahun 2015;
2016; 2017 nilainya 21,81%; 28,02%; 26,69%),

Masalah dalam penyimpanan :


Kecocokan antara obat dengan kartu stock adalah 82,1 %, maka belum efisien
dan nilai standar Pudjaningsih (1996) bahwa kecocokan antara barang dengan kartu
stok seharusnya adalah 100%, maka dapat dikatakan penyimpanan pada indikator
kecocokan antara barang dengan kartu stok belum efisien. Ketidakefisienan disebabkan
karena Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak teliti dalam memeriksa obat, tidak
disiplin dalam melakukan pencatatan stok obat, kurangnya kepedulian petugas instalasi
farmasi yang seharusnya sebagai pengendali yang seharusnya melakukan pengecekan
dan pemeriksaan, jumlah petugas yang kurang sehingga menyebabkan petugas
mempunyai tugas rangkap. Mengingat bahwa buku pengeluaran tidak dapat berfungsi
sama dengan kartu stok sebagai kartu kendali, ditambah dengan ketidakteraturan
pengisian kartu stok.
Persentase stok mati sebanyak 8 item obat dari 165 item obat yang digunakan
dan jika di persentasikan sebesar 4,85%. Hal ini bisa disebabkan karena belum
terbentuknya PFT yang menyebabkan belum dibuatnya formularium rumah sakit yang
menjadi pedoman bagi semua staf medik di rumah sakit sehingga pola peresepan selalu
berubah. Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Depkes RI (2008)
dengan persentase 0%, maka pengelolaan obat pada indikator tersebut belum efisien.

Masalah dalam Pendistribusian :


Tingkat ketersediaan obat adalah sebesar 11,47 bulan. Jika dibandingkan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Depkes RI (2008) sebesar 12-14 bulan, maka
pengelolaan obat pada indikator ini belum efisien.

Masalah dalam Penggunaan :


Indikator rata-rata jumlah item obat per lembar bertujuan untuk mengetahui
terjadinya polifarmasi atau tidak. Polifarmasi adalah pemberian obat untuk satu
diagnosis lebih dari dua item obat (WHO, 1993). Polifarmasi disebabkan oleh banyak
faktor, diantaranya adalah keraguan atas penetapan diagnosis oleh dokter, keinginan
pasien untuk mendapatkan obat yang lebih banyak meskipun tidak diperlukan, persepsi
dokter bahwa penggunaan obat lebih dari satu macam memungkinkan diantaranya
memberikan efek yang diharapkan, serta kurangnya informasi tenaga medis tentang
bukti-bukti ilmiah terbaru tentang penggunaan berbagai jenis obat (Dwiprahasto, 2006).
Jumlah item obat tiap lembar resep di RS “A” adalah 3,23 macam item obat, estimasi
terbaik menurut WHO (1993) adalah 1,8-2,2. Sehingga RS “A” masih perlu
mengevaluasi jumlah item obat per lembar dalam peresepannya. Semakin banyak item
obat dalam setiap lembar resep dapat menjadi faktor risiko terjadinya interaksi obat.
Persentase obat yang dilabeli dengan benar adalah 95,1%. Sehingga belum
memenuhi standar yang ditetapkan yaitu 100% dan menandakan staf di apotek belum
melabeli etiket secara benar. Hal ini dikarekan sebelum obat diserahkan kepada pasien
pengecekan oleh apoteker maupun staf kurang teliti sehingga kesalahan pelabelan pada
etiket bisa terjadi.

C. Solusi
1. Seleksi
Membentuk PFT dan menyusun formularium rumah sakit dan fungsi PFT di
dalam memilih obat yang memenuhi standar efficasy, safety,sebagai kriteria
dalam seleksi obat
2. Perencanaan
 Menggunakan data sisa persediaan dan data penggunaan periode lalu sebagai
dasar perencanaan
 Menggunakan 10 penyakit teratas di dalam proses seleksi dan perencanaan
 Melakukan perencanaan obat dengan selektif yang mengacu pada prinsip
efektif, aman, ekonomis dan rasional dan diadakan koreksi dengan metode
ABC-VEN
3. Pengadaan
 Harus memilih supplier secara selektif (pabrikan, distributor) yang
memenuhi aspek mutu produk yang terjamin, aspek legal dan harga murah.
 Pengadaan dilakukan cepat
 Frekuensi pengadaan ditambah
 Melakukan koordinasi rutin kepada supplier/ distributor dan kerjasama
dengan beberapa apotek di luar RSUD dalam penyediaan obat-obatan cito
 Menetapkan SOP dan waktu pengadaan obat melalui pembelian langsung.

4. Penyimpanan
 Mengendalikan jumlah persediaan, menyediakan data persediaan dan
dukungan SIM (Sistem Informasi Manajemen) berbasis IT
 Pendataan obat-obatan yang mendekati tanggal kadaluwarsa.
 Pemantauan dan pengawasan terhadap stock setiap bulan agar dapat
diketahui adanya obat yang merupakan stock mati
5. Distribusi
Mengevaluasi dan melakukan sistem perencanaan dan pengadaan obat dengan
selektif disesuaikan dengan kebutuhan rumah sakit serta mengacu pada prinsip
efektif, aman, ekonomis dan rasional.
6. Penggunaan
 Peran PIO dalam memberikan informasi obat sehingga peresepan obat lebih
rasional, efektif dan efisien
 Perlu adanya SIM di dalam mengawasi dan menjamin kualitas obat dari
kondisi stock sehingga terhindar dari kerusakan, kehilangan, kekurangan dan
kelebihan.
BAB III

PEMBAHASAN

Gambaran seharusnya yang harus dilakukan oleh apoteker RS tersebut agar


solusi yang disarankan tersebut bisa berjalan sesuai dengan yang distandartkan yaitu
sebagai Apoteker di Rumah Sakit tersebut, dari permasalahan yang terjadi pada Rumah
Sakit “A”, hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas ketersediaan dan
efisiensi obat di Rumah sakit dimulai dari tahap perencanaan dimana Apoteker bersama
dengan PFT harus menyusun formularium yang memenuhi standar efficacy, safety, serta
berbagai kriteria dalam perencaan seleksi obat yang dapat diadakan dengan metode
ABC-VEN. Dalam perencanaan obat menggunakan data sisa persediaan tahun lalu dan
data penggunaan periode yang lalu sebagai dasar acuan perencanaan sehingga nantinya
stock obat cukup dan tidak ada penumpukan atau kekurangan. Selain itu perlu adanya
pengusulan kenaikan anggaran pengadaan obat kepada pemerintah daerah supaya
ketersediaan obat dapat terpenuhi.

Pada tahap pengadaan, Apoteker melakukan koordinasi secara rutin kepada


distributor atau supplier. Dimana dalam pemilihan supplier secara selektif yang
memenuhi aspek mutu produk yang terjamin, aspek legal, dan harga yang terjangkau.
Selain itu perlu juga menetapkan SOP dan waktu pengadaan obat melalui pembelian
langsung.
Apoteker harus melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap stock setiap
bulan agar mengetahui adanya obat yang merupakan stock mati termasuk pendataan
obat-obat yang mendekati tanggal kadaluarsa. Dalam distribusi obat perlu
mengembangkan SOP distribusi perbekalan farmasi dan perlu adanya penggunaan SIM
serta pengendalian distribusi perbekalan farmasi sehingga dapat berjalan optimal.
Dalam searangkaian pengelolaan tersebut penting untuk selalu melakukan evaluasi di
setiap tahapan, agar dapat mengetahui dan memperbaiki apabila ada permasalahan yang
terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Bleich SN, Özaltinb E, Murray CJL. How does satisfaction with the health-care system
relate to patient experience?. Bull World Health Organ. 2009;87(4):271–8. doi:
10.2471/BLT.07.050401
Lilihata R.N., 2011, Analisis Manajemen Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum
Daerah Masohi Kabupaten Maluku Tengah (Tesis). Jogjakarta : Fakultas
Farmasi. Universitas Gadjah Mada
Mellen RC, Pudjirahardjo WJ. Faktor penyebab dan kerugian akibat stockout dan
stagnant obat di unit logistik RSU Haji Surabaya. Universitas Airlangga.
Surabaya. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia. 2013;1(1):99–106.
Siregar,C.J.P., dan Amalia, L., 2003, Farmasi Rumah Sakit, Teori dan Penerapan,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai