KASUS TBC-HIV
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
C2
A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes RI, 2012). Indonesia termasuk pada negara yang
dikelompokkan dalam 16 negara dengan masalah TB terbesar (high burden countries; HBCs) dan
termasuk negara dengan peringkat kelima dari enam negara dengan angka kejadian TB terbesar
di dunia. Di Indonesia, angka kejadian TB pada tahun 2013 adalah 410.000-520.000 (WHO,
2014).
Peningkatan epidemi TB di seluruh dunia dipengaruhi pula oleh peningkatan epidemi
HIV. Orang yang terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar terinfeksi TB. TB merupakan
infeksi oportunistik terbanyak dan menjadi penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-
50%) dibandingkan dengan penyakit oportunistik lain. Seseorang dengan HIV-TB memiliki
masalah kesehatan yang serius dan dapat menyebabkan kematian. Kematian yang tinggi ini
terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan besar disebabkan
keterlambatan diagnosis dan terapi TB (Kemenkes RI, 2012). TB dapat dialami dengan jumlah
CD4+ yang masih tinggi. Risiko reaktivasi kuman TB semakin tinggi pada saat kerusakan sistem
kekebalan tubuh semakin berat (Green, 2006).
Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 3% pasien TB dengan status HIV (Kemenkes
RI, 2012). Pada tahun 2013 terdapat sebanyak 7.631 pasien TB dengan status HIV dimana
sebanyak 1.599 (21%) diantaranya merupakan pasien TB dengan HIV positif (WHO, 2014).
Pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV
(Kemenkes RI, 2012). Terapi ko-infeksi HIV-TB memerlukan pemberian secara bersamaan dua
hingga empat OAT yang berbeda dan tiga jenis ARV. Penggunaan banyak obat dapat
menimbulkan kesulitan dalam terapi antara lain dalam hal kepatuhan pasien, efek samping yang
tumpang tindih antara OAT dan ARV, IRIS, dan interaksi obat-obat (CDC, 2013).
Adverse drug reaction (ADR) terhadap OAT maupun ARV umum terjadi pada pasien
dengan ko-infeksi HIV-TB. Toksisitas atau efek samping beberapa ARV mungkin menjadi
tumpang tindih atau bertambah selama pengobatan dengan OAT (Kwara et al, 2005). Misal
penggunaan rifampisin dalam regimen OAT yang dapat berinteraksi dengan beberapa ARV yang
menimbulkan efek samping seperti skin rash, mual muntah, leukopenia dan anemia (Burman and
Jones, 2001). Resiko efek samping hepatotoksisitas dari NVP, EFV, serta ARV golongan NRTI
dan PI dapat bertambah apabila dikombinasikan dengan OAT, serta neuropati perifer yang
terjadi apabila d4T dikombinasikan dengan isoniazid dan etambutol (Kwara et al, 2005). Efek
samping yang tumpang tindih menyulitkan pemberiannya pada pengobatan ko-infeksi HIV-TB
dan kombinasi obat-obatan tersebut memerlukan penyesuaian dosis atau dikontraindikasikan
(Sweetman, 2009). Toksisitas yang tumpang tindih menyebabkan terapi klinis disederhanakan
dengan menunda pemberian ARV hingga efek samping terapi awal OAT teratasi yaitu sekitar
satu hingga dua bulan (Burman and Jones, 2001)
Salah satu kunci keberhasilan dalam pengobatan TB pada pasien HIV adalah kepatuhan
dari penderita (Depkes RI, 2005). Timbulnya efek samping dalam terapi akan mengurangi
kenyamanan pasien dalam minum obat dan berpengaruh terhadap kepatuhan pasien dalam
menjalani terapi. Apoteker sebagai salah satu komponen tenaga kesehatan memiliki peran dalam
mewujudkan penggunaan obat yang rasional (POR), salah satunya adalah “waspada terhadap
efek samping obat”, sehingga perlu dilakukan monitoring terhadap efek samping pada kombinasi
obat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi, patofisiologi, dan guideline farmakoterapi dari penyakit TBC-HIV?
2. Bagaimana analisis pemantauan terapi obat pada pasien dengan TBC-HIV?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi, patofisiologi, dan guideline farmakoterapi dari penyakit TBC-
HIV
2. Untuk mengetahui analisis pemantauan terapi obat pada pasien dengan TBC-HIV
BAB II
PEMBAHASAN
KASUS 2 TBC-HIV
Seorang pasien wanita berusia 50 tahun, diantar suaminya ke igd rs. Dengan keluhan demam
sudah 3 hari, sudah minum parasetamol Tablet, kadang turun tapi kemudian naik lagi suhunya,
sesak nafas, Berkeringat dingin terutama kalau malam. Suhu badan 38,6 C, TB 155 cm , BB 40
kg, pasien juga mengeluh diare sudah 2 hari ini sehingga Badan menjadi lemas.
Riwayat penyakit terdahulu :
1 tahun yll pernah menderita tbc, sudah pengobatan dan
Dinyatakan sembuh
Riwayat dm 3 tahun ini dengan obat rutin dikonsumsi glimepirid 2 , Glibenklamid 2,5 mg 2x
sehari, riwayat hipertensi kronis terkontrol. Dengan pengobatan rutin aspilet 100 mg dan
kaptopril 25 mg, Pasien dengan hiv positif akan memulai terapi arv. Pada pemeriksaan Sputum
ulang pasien dinyatakan positif tbc dengan bta +
Diagnosa TB-HIV
OBAT RUTIN
- OAT KATEGORI 2
- KOTRIMOKSAZOLE 480 MG sudah 14 hari
- Pasien persiapan mendapat obat ARV-HIV
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN SELAMA RAWAT INAP
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang sebagian besar menyerang paru-paru, tetapi
juga mungkin menginfeksi organ-organ di luar paru-paru. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Tuberculosis. Penularan bakteri ini biasa terjadi melalui droplet nuclei sesorang
penderita tuberkulosis yang menyebarkan kuman tuberkulosis ini ke udara. Apabila seseorang
sudah terjangkit kuman ini maka orang tersebut meningkatkan resiko penularan ke orang lain,
terutama orang-orang di dekatnya, dan tentu beresiko kematian. Tapi tidak semua orang yang
terinfeksi bakteri ini akan menjadi sakit tuberkulosis.
Hal ini dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan status gizi pasien. HIV merupakan faktor
resiko paling kuat untuk menjadi sakit tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan
sistem daya tahan tubuh seluler sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis
maka penderita HIV mempunyai kemungkinan lebih besar untuk penyakit tuberkulosisnya
menjadi parah bahkan dapat menyebabkan kematian (Hiswani, 2002).
Mycobacterium Tuberculosis
Mycobacterium Tuberculosis adalah bakteri berbentuk batang dengan ukuran 0,2-0,4 x 1-4
um. Kuman ini tumbuh lambat pada suhu optimum 37C dan pH optimum 6,4-7,0, tapi tidak
tumbuh pada suhu 25C atau lebih dari 40C. Mycobacterium ini tidak tahan panas dan dapat mati
jika terkena sinar matahri langsung selama dua jam. Dalam dahak bakteri ini dapat bertahan 20-
30 jam. Mycobacterium ini tahan terhadap berbagai khemikalia dan disinfektan, tetapi bias
dihancurkan oleh jodium tincture dan alcohol.
Penyebab dari AIDS adalah infeksi yang disebabkan Human Immunodeficiency Virus.
Retrovirus ini adalah virus RNA yang termasuk ke dalam family retroviridae dan genus
lentivirus. Seperti sebagian besar retrovirus, virus ini berbentuk sferis dan mempunyai inti
berbentuk kerucut yang padat elektron dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari
membran sel yang diinfeksinya. Inti virus ini dikelilingi oleh suatu matriks protein yang disebut
dengan p17. Selubung virusnya sendiri tersusun atas dua glikoprotein, yaitu gp120 dan gp41.
Genom dari provirus HIV ini mengandung gag, pon, dan env yang dapat mengkode berbagai
protein virus. Virus ini mempunyai masa inkubasi yang cukup lama dan akhirnya dapat
menimbulkan tanda dan gejala AIDS. Akibat yang paling bisa dilihat dari infeksi virus ini adalah
menurunnya jumlah limfosit T CD4 yang progresif. Hal ini dikarenakan HIV menyerang sel
yang mempunyai molekul antigen CD4. Sel ini pada dasarnya adalah subset sel limfosit T-helper
yag sangat penting dalam respon imunitas seluler. Human Immunodeficiency Virus ini terdapat
dalam cairan tubuh seperti darah, saliva, air mata, dll.
Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah gejala berkurangnya sistem imunitas pada tubuh
karena infeksi Human Immunodeficiency Virus. Infeksi awal pada HIV-AIDS ini biasanya
disebabkan oleh adanya interaksi atau pertukaran cairan tubuh dari orang yang sudah terinfeksi
HIV ke orang yang belum terinfeksi. Pada stadium akut AIDS adalah periode dimana virus HIV
sedang bereplikasi dengan cepat dan hal ini akan secara langsung menyebabkan turunnya jumlah
CD4 seseorang. Dua sampai empat minggu setelah terpapar sebagian penderita mungkin akan
mengalami influenza dengan gejala-gejalanya yang biasanya terjadi selama 28 hari. Pada
penderita HIV-AIDS, CD4 akan menurun dalam jumlah dan fungsinya dan akan menyebabkan
system imunitas seluler menjadi tidak aktif. Turunnya jumlah CD4 sampai di bawah 200 sel/m3
inilah yang meningkatan resiko terjadinya infeksi oprtunistik oleh berbagai mikroba. Infeksi
oportunistik yang paling sering terjadi pada penderita HIV AIDS adalah Tuberkulosis dan
Candidia. Periode laten pada penderita HIV AIDS biasanya berlangsung lama dan bervariasi.
Seseorang yang terinfeksi HIV bisa saja tidak memunculkan gejala-gejala selama sepuluh tahun
bahkan lebih, tetapi beberapa orang bias mengalami lebih cepat. Hal ini dipengaruhi oleh
karakteristik virus maupun karakteristik orang yang terinfeksi. HIV tipe satu bisa menyebabkan
progesivitas yang lebih cepat, dan karakteristik orang yang mempercepat progesivitas ini adalah
orang dengan ko-infeksi, faktor genetik tertentu, dan berumur kurang dari lima tahun atau lebih
dari 40 tahun (RI K. K., 2012).
B. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:
Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang
sedang berkembang.
Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
- Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
- Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat,
penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya,
tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan
sebagainya).
- Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar,
gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
- Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
- Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat.
Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur
umur kependudukan.
Dampak pandemi HIV.
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi
TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes
dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB,
dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. o Suspek TB
MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan salah satu atau lebih
kriteria suspek dibawah ini: 1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus
kronik) 2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2. 3. Pasien TB dengan
riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS. 4. Pasien TB gagal pengobatan
kategori 1. 5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan. 6. Pasien TB kambuh.
7. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default. 8. Pasien TB dengan riwayat
kontak erat pasien TB MDR 9. ODHA dengan gejala TB-HIV.
C. PEMERIKSAAN
A. Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dahak mikroskopis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan
diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),
• S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes.
• S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi. Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2
spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan
mutu eksternal pemeriksaan laboratorium.
B. Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB adalah untuk
menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu : - Pasien TB Ekstra Paru -
Pasien Tb Anak - Pasien TB BTA Negatif Pemeriksaan tersebut dilakukan jika
keadaan memungkinkan dan tersedia laboratorium yang telah memenuhi standar
yang ditetapkan.
C. Uji Kepekaan Obat TB
Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M. Tuberkulosis terhadap OAT. Uji
kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi dan lulus
pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA). Pemeriksaan tersebut ditujukan
untuk diagnosis pasien TB yang memenuhi kriteria suspek TB-MDR
D. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS
Diagnosis TB paru
• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB.
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis.
• Diagnosis TB ekstra paru
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena
• Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)
Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai berikut:
1. TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif.
2. TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran klinis
& radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif.
3. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis
dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.
Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang menderita atau
yang diduga menderita tuberkulosis. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting
manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi
dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan
HIV dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Mengingat terdapat hubungan
yang erat antara tuberkulosis dengan infeksi HIV pada daerah dengan prevalensi HIV
yang tinggi maka pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan dan
penatalaksanaan kedua infeksi. Standar 14 ISTC
Baik deteksi dini TB pada pasien HIV maupun deteksi dini HIV pada pasien TB
keduanya penting untuk meningkatkan penemuan dini koinfeksi TB-HIV sehingga dapat
memulai pengobatan lebih cepat dan keberhasilan pengobatan akan lebih baik. Algoritma
tatalaksana TB-HIV dapat dilihat pada gambar 5.1.
Hal-hal yang perlu diketahui dalam menegakkan diagnosis pada pasien TB dengan HIV
adalah sebagai berikut: •
Gambaran klinis
Gambaran klinis TB secara umum diawali dengan batuk lebih dari 2-3 minggu,
sedangkan TB pada pasien HIV/AIDS batuk bukan merupakan gejala umum. Pada TB-
HIV, demam dan penurunan berat badan merupakan gejala yang penting.Tuberkulosis
ekstraparu perlu diwaspadai pada orang hidup dengan HIV/AIDS(ODHA) karena
kejadiannya lebih sering dibandingkan TB dengan HIV negatif. Tuberkulosis ekstraparu
pada pasien HIV merupakan tanda bahwa penyakitnya sudah lanjut.
Sputum BTA
Karena sulitnya diagnosis TB padapasien HIV secaraklinisdanpemeriksaan sputum BTA
lebih sering negatif, diperlukan pemeriksaan biakan M. tuberculosis yang merupakan
baku emas untuk diagnosis TB. Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopik
dahaknya negatif, biakan sangat dianjurkan karena dapat membantu menegakkan
diagnosis TB. Perlu juga dilakukan uji sensitivitas obat untuk mengetahui TB MDR
karena HIV merupakan salah satu faktor risiko TB-MDR.8
Xpert MTB/RIF
PenggunaanXpert MTB/RIF dalam algoritma diagnostik TB untuk populasi ODHA
adalah cost-effective dalam mengurangi kematian dini orang dengan HIV lanjut dan
sangat cost-effective dalam meningkatkan harapan hidup ODHA yang memulai terapi
ARV. Algoritma menggunakan Xpert MTB/RIF lebih sensitif dibandingkan dengan
menggunakan skrining gejala, BTA dan foto toraks. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF
meningkatkan sensitivitas, ketepatan waktu dan deteksi resistensi rifampisin pada pasien
dengan HIV. Diagnosis TB dengan resisten obat pada pasien dengan HIV memungkinkan
inisiasi terapi yang tepat.
Foto toraks
Gambaran foto toraks bervariasi baik lokasi maupun bentuknya. Umumnya gambaran
foto toraks pada TB terdapat di apeks, tetapi pada TB-HIV bukan di apeks terutama pada
HIV lanjut. Pada TB-HIV awal gambaran foto toraks dapat sama dengan gambaran foto
toraks TB pada umumnya, namun pada HIV lanjut gambaran foto toraks sangat tidak
spesiik. Pada pasien TB-HIV sering ditemukan gambaran TB milier.
Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV positif.
Pemberian antibiotik pada pasien suspek TB paru sebagai alat bantu diagnosis TB paru
tidak direkomendasikan lagi karena hal ini dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis
TB dengan konsekuensi keterlambatan pengobatan TB ehingga meningkatkan risiko
kematian. Penggunaan antibiotik quinolon sebagai terapi infeksi sekunder pada TB
dengan HIV positif harus dihindari, sebab golongan antibiotik ini respons terhadap
mikobakterium TB sehingga dikhawatirkan menghilangkan gejala sementara dan
kemungkinan timbulnya kuman kebal obat. Antibiotik golongan quinolon ini
dicadangkan sebagai OAT lini kedua. Lihat Gambar 5.1.
Gambar. Algoritme tata laksana TB-HIV
Pencegahan pajanan
Faktor yang dapat meningkatkan angka penularan adalah letak infeksi TB (paru atau laring),
sputum BTA positif, kavitas serta aerolisasi saat batuk atau berbicara. Paparan terhadap
pasien TB sputum BTA negatif memberikan transmisi yang lebih rendah dibandingkan
pasien TB sputum BTA positif.Vaksinasi BCG pada orang dengan HIV dikontraindikasikan
karena potensinya untuk menyebabkan penyakit TB diseminata
F. PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Tujuan, dan Prinsip Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu
dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.
Pengobatan tuberkulosis pada pasien HIV
Pada prinsipnya tata laksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV sama seperti
pasien TB tanpa HIV. Obat TB pada pasien HIV sama efektifnya dengan pasien TB tanpa
HIV. Pengobatan pasien dengan koinfeksi TB-HIV lebih sulit dari pada TB pada pasien
tanpa HIV. Pasien TB-HIV mempunyai sistem imunitas yang rendah dan sering ditemukan
infeksi hepatitis sehingga sering timbul efek samping obat, interaksi antar obat yang akan
memperburuk kondisi pasien dan obat harus dihentikan atau dikurangi dosisnya maka
pengobatan pun menjadi lebih panjang serta kepatuhan pasien sering terganggu.
Semua pasien (termasuk yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan
paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang
bioavailibilitinya telah diketahui. Standar 8 ISTC
Fase awal: 2 bulan INH, RIF, PZA, dan EMB
Fase lanjutan: 4 bulan INH dan RIF, atau 6 bulan INH dan etambutol
Pemberian INH dan EMB selama 6 bulan untuk fase lanjutan tidak direkomendasi untuk
pasien TB dengan HIV karena mudah terjadi kegagalan pengobatan atau kambuh.
Semua pasien TB dengan HIV atau pasien TB yang tinggal dilingkungan dengan prevalens
HIV tinggi,pengobatan TB fase awal dan fase lanjutan harus diberikan setiap hari
Rekomendasi A
Untuk pasien yang tidak mungkin diberikan setiap hari, pemberian 3 kali seminggu
merupakan alternatif
Rekomendasi B
Dosis OAT yang diberikan dianjurkan untuk mengikuti anjuran internasional dan sangat
dianjurkan dalam kombinasi dosis tetap (KDT). Prinsip pengobatan pasien TBHIV adalah
mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan antiretroviral (ARV) dimulai sesegera mungkin
setelah dapat ditoleransi dalam 2-8 minggu pengobatan fase awal. Pengobatan ARV
sebaiknya hanya diberikan oleh dokter yang telah dilatih khusus HIV karena obat ARV bisa
berinteraksi dengan OAT dan juga dapat meningkatkan risiko efek samping. Efavirenz (EFV)
mewakili golongan NNRTI baik digunakan untuk pemberian ART pada pasien dalam terapi
OAT. Efavirenz direkomendasikan karena mempunyai interaksi dengan rifampisin yang
lebih ringan dibanding Nevirapine. Pada pemberian OAT dan ARV perlu diperhatikan
interaksi antar obat-obat yang digunakan, peran ARV, tumpang tindih efek samping obat,
immune-reconstitution inlammatory syndrome (IRIS) dan masalah kepatuhan pengobatan.
Semua pasien tuberkulosis dengan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk menentukan
perlu/tidaknya pengobatan antiretroviral diberikan selama masa pengobatan tuberkulosis.
Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien
yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak
boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol
sebagai pencegahan infeksilainnya. Standar 15 ISTC
Pasien dengan infeksi HIV mudah sekali terkena infeksi oportunistik sehingga semua pasien
HIV yang telah terdiagnosis TB sebagai salah satu infeksi opportunistik harus diberikan
kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lain.
Pada pusat layanan kesehatan yang mempunyai fasilitas pemeriksaan CD4, proilaksis
kotrimoksazol direkomendasikan untuk pasien dengan nilai CD4 <200 sel/mm3 pada pasien
HIV tanpa TB, sedangkan pada pasien HIV yang telah didiagnosis TB kotrimoksazol dapat
diberikan langsung tanpa melihat nilai CD4. Pemberian kotrimoksazol tersebut dapat
menurunkan kejadian infeksi oportunistik seperti Pneumocystis jiroveci pneumonia,
toxoplasmosis infection, malaria dll. Berdasarkan data observasi pencegahan kotrimoksazol
pada pada pasien HIV menurunkan mortalitas 50%.
Pemberian Isoniazid sebagai pencegahan dan terapi TB laten
Pasien dengan HIV setelah dievaluasi dengan seksama tidak menderita tuberkulosis aktif,
sebaiknya diobati sebagai infeksi tuberkulosis laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan
Sehubungan Indonesia merupakan negara endemik TB, maka hal ini belum diterapkan di
Indonesia, menunggu hasil kajian dari implementasi awal yang akan dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan.
FORM MONOGRAFI OBAT
Tenofir, lamivudin, Efavirenz
N NAMA OBAT DOSIS CARA INDIKASI KONTRA ADR INTERAKSI
O PEMBERIA INDIKASI
N
1. Parasetamol 1000 mg Iv Penurun demam Hipersensitivitas Reaksi hipersensitivitas, peningkatan risiko kerusakan
2x1 Gangguan Fungsi ruam kulit, kelainan darah fungsi hati pada penggunaan
hati berat (PIONAS) (termasuktrombositopenia, bersama alkohol. (PIONAS)
leukopenia, neutropenia),
hipotensi juga dilaporkan
pada infus. (PIONAS)
2. Metoklopramid 1x1 Iv Mual dan muntah Obstruksi hiperprolaktinemia; juga Berinteraksi dengan agonis
gastrointestinal, dilaporkan mengantuk, dopamine, siklosporin, sentraline,
perforasi atau gelisah, diare, depresi, venlafaxine (DIH edisi 7)
perdarahan; sindrom neuroleptik
feokromositoma; malignan, ruam kulit,
epileptik, gejala pruritus, udem;
ekstrapiramidal dari abnormalitas konduksi
tipe parkinson, jantung dilaporkan terjadi
menyusui pada pemberian intravena;
3. Glimepirid 2mg Oral Diabetes mellitus Hipersensitivitas Hipoglikemik, pusing, NSAID, clarithromycin,
tipe 2. terhadap glimepiride, mual, diare, konstipasi, disopyramide, flukonazol,
salah satu komponen anoreksia, penyakit kuning kuinolon. aspirin, sulfonamide,
formulasi, atau kolestatik,leukopenia, simetidin, kloramfenikol,
sulfonamid; diabetes trombositopenia koumarin,
ketoasidosis (dengan probenecid, inhibitor monoamine
atau oxidase, obat golongan beta
tanpa koma) bloker.
4. Glibenklamid 2,5 mg 2 x Oral Diabetes mellitus Diabetes tipe 1 Berat badan meningkat, NSAID, salisilat, sulfonamid,
sehari tipe 2 (ketergantungan mual, muntah, diare, chloramphenicol, probenecid,
insulin), gangguan pruritus, urtikaria, penyakit coumarin, monoamine oxidase
ginjal berat, hati, kuning kolestatik inhibitor (MAOI) dan penyekat
tiroid atau beta adrenergik, tiazid dan
penyakit endokrin diuretik,
lainnya, wanita hamil kortikosteroid, phenothiazine,
atau menyusui produk tiroid, estrogen,
kontrasepsi oral, fenitoin, asam
nikotinik, simpatomimetik, obat
penyekat kanal kalsium dan
isoniazid.
5. Aspilet 100 mg Oral untuk membantu Gangguan sakit perut, sakit kepala, citalopram, fluoxetine,
mencegah serangan pendarahan, asma, mengantuk,bronkospasme, paroxetine, venlafaxine, dan
jantung, analgetic tukak lambung aktif, gangguan fungsi ginjal, sertraline, warfarin, metothrexate,
antipiretik, rhinitis. perdarahan saluran cerna Vitamin C
antiplatelet
6. Kaptopril 25 mg Oral Antihipertensi hipersensitif terhadap hipotensi; pusing, mual, Menurunkan efek antihipertensi,
penghambat ACE diare, batuk kering yang jika digunakan bersama NSAID
(termasuk persisten, dispepsia, nyeri (ibuprofen, ketorolac),
angiodema); stenosis perut; gangguan ginjal; Meningkatkan risiko terjadinya
aortik atau obstruksi hiperkalemia; angiodema, hipotensi (tekanan darah rendah),
keluarnya darah dari urtikaria, ruam kulit, reaksi jika digunakan bersama
jantung; kehamilan. gangguan darah, gejala- obat golongan diuretik
gejala saluran nafas atas, (furosemide, HCT),
nyeri punggung, Meningkatkan risiko
pankreatitis, gangguan tidur hiperkalemia jika digunakan
bersama obat golongan diuretik
hemat kalium dan suplemen
kalium.
3. Kotrimoksazole 400 mg Oral Antibiotik Gagal ginjal dan Mual, muntah, ruam, Peningkatan efek
1x1 gangguan fungsi hati nekrolosis, gangguan darah, toksik kotrimoksazol pada
yang berat, porfiria. alergi, gangguan elektrolit, penggunaan bersama
batuk, napas singkat methotrexate. Peningkatan risiko
terjadinya hiperkalemia jika
dikonsumsi dengan obat
golongan ACE inhibitor
Peningkatan risiko
terjadinya aritmia jika dikonsumsi
dengan amiodarone
4. Rifampisin DEWASA : Oral untuk pengobatan Hipersensitif thd mual, muntah, anoreksia, Interaksi obat: peggunaan dengan
dalam dosis tuberkulosis yang rifampisin, rifamycin diare; gangguan respirasi antasida, opiat, antikolinergik dan
tunggal, BB disebabkan (napas pendek), anemia ketokonazol, berinteraksi dengan
<50kg adalah oleh Mycobacterium hemolitik, gangguan fungsi kontrasepsi hormonal, obat
450 mg, BB tuberculosis dalam hati, ikterus; flushing, antiretroviral (non-nucleoside
>50kg adalah kombinasi dengan urtikaria, ruam; gangguan reverse transcriptase
600mg (pasien obat antituberkulosis sistem saraf pusat meliputi inhibitors dan protease
dengan lain sakit kepala, pusing, inhibitors).
gangguan kebingungan, ataksia. Efek
fungsi hati samping lain seperti udem,
tidak lebih kelemahan otot, miopati,
dari lekopenia, eosinofilia,
8mg/kgBB). gangguan menstruasi;
warna kemerahan pada
urin
5. Isoniazid Untuk dewasa Oral Tuberkulosis yang penyakit hati yang mual, muntah, anoreksia, Peggunaan bersamaan dengan
dengan BB disebabkan akut;hipersensitivitas konstipasi, pusing, sakit antikonvulsan, sedatif,
30-45 kg, oleh Mycobacterium terhadap isoniazid; kepala, neuritis perifer, neuroleptik, antikoagulan,
dosis per hari tuberculosis. epilepsi; gangguan neuritis optik, narkotika, teofilin, prokainamid,
200 mg fungsi ginjal dan kejang,episode kortikosteroid, asetaminofen,
diberikan gangguan psikis psikosis;kesemutan,reaksi aluminium hidroksida, disulfiram,
dalam dosis hipersensitivitas ketokonazol, obat bersifat
tunggal. Untuk hepatitis(Peningkatan kadar hepatotoksik dan neurotoksik.
pasien dengan SGOT dan SGPT), sindrom Interaksi dengan makanan; tidak
BB >45 kg, SLE, hiperglikemia dan diberikan bersamaan dengan
dosis per hari ginekomastia, pendengaran makanan, alkohol, keju dan ikan.
300 mg berkurang,
diberikan hipotensi, flushing.
dalam dosis
tunggal.
6. Pirazinamid Dosis: Oral tuberkulosis yang Gangguan fungsi hati hepatotoksisitas, termasuk Penggunaan bersama dengan
15-30 mg/kg disebabkan berat, porfiria demam anoreksia, probenesid, allopurinol,
BB sekali oleh Mycobacterium hipersensitivitas hepatomegali, ikterus, gagal ofloksasin dan levofloksasin, obat
sehari. Dosis tuberculosis dalam terhadap pirazinamid, hati; mual, muntah, hepatotoksik. Pirazinamid dapat
maksimal kombinasi dengan gout, wanita hamil artralgia, anemia mengganggu efek obat
sehari 3 g. anti tuberkulosis dan menyusui sideroblastik, antidiaberik oral, serta
Digunakan lainnya. urtikaria, flushing, sakit mengganggu tes untuk
pada 2 bulan kepala, pusing, insomnia, menentukan keton urin.
pertama dari 6 gangguan vaskular :
bulan hipertensi, hiperurikemia,
pengobatan. arthalgia.
Untuk pasien
dengan
gangguan
fungsi ginjal
20-30 mg/kg
BB tiga kali
seminggu.
7. Etambutol DEWASA dan Oral tuberkulosis dalam hipersensitivitas neuritis optik, buta warna Leflunomide, mipomersen, dan
ANAK di atas kombinasi dengan terhadap zat aktif merah/hijau, neuritis teriflunomide, antasida
6 tahun, 15-25 obat lain untuk atau zat rambahan perifer, gangguan Aluminum Hydroxide: Dapat
mg/kgBB pengobatan obat, neuritis optik, penglihatan. menurunkan penyerapan
sebagai dosis tuberkulosis yang gangguan visual; Etambutol
tunggal. disebabkan ANAK di bawah 6
oleh Mycobacterium tahun
tuberculosis;
8. Streptomisin 15 Oral tuberkulosis dalam Hipersensitivitas, Gangguan kulit/alergi: Amphotericin B, turunan
mg/kg/hari kombinasi dengan kehamilan ruam, indurasi, atau abses di bifosfonat, penisilin, loop
(maksimum: obat lain sekitar lokasi suntikan, mati diuretic, vancomycin
1 g) rasa dan kesemutan di
sekitar mulut, vertigo.
Tenolam E 300mg/300mg Oral
(Kombinasi /600mg
Tenovir,
Lamivudin,
Efavirenz)
9. Tenovir 300 mg Oral terapi lini kedua Hipersensitivitas sangat umum: Didanosin: menyebabkan
pengobatan HIV-1, hipofosfatemia, pusing, kegagalan terapi, meningkatkan
dalam kombinasi diare, muntah, mual, ruam konsentrasi didanosin, penurunan
dengan antiretroviral kulit, astenia; Umum: jumlah sel CD4, dan
lainnya; peningkatan transaminase, meningkatkan terjadinya efek
sakit kepala, nyeri dada, samping didanosin seperti
distensi pada bagian pankreatitis, Obat nefrotoksik
abdomen, perut (aminoglikosida, amfoterisin B,
kembung; Tidak umum: foskarnet, gansiklovir,
hipokalemia, pankreatitis, pentamidin, vankomisin,
peningkatan,kreatinin; sidofovir, atau interleukin 2):
Jarang: asidosis laktat, meningkatkan risiko nefrotoksis;
steatosis hepatik, hepatitis, Lamivudin dan efavirens:
angioedema, osteomalasia, menurunkan bone mineral
miopati, gagal ginjal akut, density; Atazanavir :
gagal ginjal, meningkatkan konsentrasi
tenofovir dan menurunkan
konsentrasi atazanavir.
10. Lamivudin 300 mg Oral Infeksi HIV wanita menyusui; infeksi saluran nafas bagian Interaksi dengan Trimetoprim
progresif, dalam hipersensitif terhadap atas, mual, muntah, diare, (Sebagai Kotrimoksazole)
bentuk sediaan lamivudin. nyeri perut; batuk; sakit meningkatkan kadar plasma,
kombinasi dengan kepala, insomnia; malaise, lamivudin dengan
obat-obat nyeri emtrisitabin,foskanet, gansiklovir
antiretroviral muskuloskelatal;neuropati (IONI 2008)
lainnya. periferal; neutropenia dan
anemia (dalam kombinasi
dengan zidovudin);
trombositopenia;
peningkatan enzim hati dan
amilase serum.
11. Efavirenz 600 mg Oral pengobatan infeksi wanita menyusui, ruam termasuk pemberian bersamaan turunan
HIV dalam bentuk hipersensitif, sindroma Steven-Johnson; ergot, metadon (menurunkan
kombinasi dengan gangguan fungsi hati sakit perut, diare, nausea, kadar plasma), antipsikotik,
obat antiretroviral berat. muntah, ansietas, depresi, antijamur, antiepilepsi, efavrenz
lainnya. gangguan tidur, pusing, dengan klaritomisin, rifampisin
sakit kepala, lelah, menurunkan kadar plasma
gangguan dalam Efavirenz (IONI 2008)
konsentrasi; pruritis;
hepatitis, psikosis,
amnesia,ataksia, konvulsi,
dan pandangan kabur
Form Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Nama Pasien : seorang wanita
Jenis Kelami : Perempuan
Umur : 50 tahun
BB/TB : 40 kg/ 155 cm
Diagnosis : TBC-HIV
3/8 S: Demam, nyeri perut, sedikit, bingung, Plan : mengganti paracetamol dengan ibuprofen,
marah-marah, anxiety, sulit BAB sudah 3 menambahkan suplemen hati, menambahkan terapi
hari, sedikit BAK pemberian oksigen, meningkatkan dosis
kotrimoksazol, menghentikan terapi metoklopramid
dan ARV, memberi terapi sembelit dengan
O: Suhu tubuh 37,8°C antihemoroid suppositoria, menyarankan pasien untuk
SGPT= 300 u/L banyak minum air putih, dan melakukan monitoring
SGOT= 500 u/L suhu pasien, kadar SGOT, SGPT, dan Scr
Scr = 3 mg/dl
Intruksi: menyarankan dokter untuk meresepkan
A: - Paracetamol yang digunakan sebagai ibuprofen 3x1 tablet, curcuma tablet 3x1 tablet, dan n-
antipiretik, memiliki efek samping acetil sistein kapsul 3x1 kapsul serta meningkatkan
hepatotoksik, dosis kotrimoksazol menjadi 960 mg/hari dosis
- Kotrimoksazol digunakan pada tunggal, menghentikan pemberian metoklopramid, dan
ODHA sebagai terapi profilaksis ARV, menyarankan dokter untuk memberikan terapi
primer untuk sembelit dengan antihemoroid suppositoria dosis
1 x sehari sebelum tidur
- kadar creatinine tinggi
mengindikasikan adanya gangguan
ginjal
- mulai diberikan ARV lini pertama
TDF+3TC+EFV
- sembelit dan sedikit BAK belum
diterapi
DAFTAR PUSTAKA
BPOM RI. 2008. (IONI) Informatorium Obat Nasional Indonesia. CV Sagung Seto.
Green, C. W. (2006). HIV & TB. Jakarta : Yayasan Spiritia
Kemenkes RI (2012) Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011, Jakarta:Kemenkes RI.
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Inveksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada
Orang Dewasa. Jakarta
Kwara, A., Flanigan, T.P., Carter, E.J., 2005. Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) in
Adults with Tuberculosis: Current Status. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 9(3): 248–257