Anda di halaman 1dari 39

STUDI KASUS FARMASI RUMAH SAKIT

KASUS TBC-HIV

Dosen Pengampu:

Dr. apt. Lucia Vita Inandha Dewi, S. Si., M. Sc.

Disusun Oleh:

Refa Arinda Putri (2120414658)

Saras Dwi Jayanti (2120414667)

C2

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes RI, 2012). Indonesia termasuk pada negara yang
dikelompokkan dalam 16 negara dengan masalah TB terbesar (high burden countries; HBCs) dan
termasuk negara dengan peringkat kelima dari enam negara dengan angka kejadian TB terbesar
di dunia. Di Indonesia, angka kejadian TB pada tahun 2013 adalah 410.000-520.000 (WHO,
2014).
Peningkatan epidemi TB di seluruh dunia dipengaruhi pula oleh peningkatan epidemi
HIV. Orang yang terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar terinfeksi TB. TB merupakan
infeksi oportunistik terbanyak dan menjadi penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-
50%) dibandingkan dengan penyakit oportunistik lain. Seseorang dengan HIV-TB memiliki
masalah kesehatan yang serius dan dapat menyebabkan kematian. Kematian yang tinggi ini
terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan besar disebabkan
keterlambatan diagnosis dan terapi TB (Kemenkes RI, 2012). TB dapat dialami dengan jumlah
CD4+ yang masih tinggi. Risiko reaktivasi kuman TB semakin tinggi pada saat kerusakan sistem
kekebalan tubuh semakin berat (Green, 2006).
Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 3% pasien TB dengan status HIV (Kemenkes
RI, 2012). Pada tahun 2013 terdapat sebanyak 7.631 pasien TB dengan status HIV dimana
sebanyak 1.599 (21%) diantaranya merupakan pasien TB dengan HIV positif (WHO, 2014).
Pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV
(Kemenkes RI, 2012). Terapi ko-infeksi HIV-TB memerlukan pemberian secara bersamaan dua
hingga empat OAT yang berbeda dan tiga jenis ARV. Penggunaan banyak obat dapat
menimbulkan kesulitan dalam terapi antara lain dalam hal kepatuhan pasien, efek samping yang
tumpang tindih antara OAT dan ARV, IRIS, dan interaksi obat-obat (CDC, 2013).
Adverse drug reaction (ADR) terhadap OAT maupun ARV umum terjadi pada pasien
dengan ko-infeksi HIV-TB. Toksisitas atau efek samping beberapa ARV mungkin menjadi
tumpang tindih atau bertambah selama pengobatan dengan OAT (Kwara et al, 2005). Misal
penggunaan rifampisin dalam regimen OAT yang dapat berinteraksi dengan beberapa ARV yang
menimbulkan efek samping seperti skin rash, mual muntah, leukopenia dan anemia (Burman and
Jones, 2001). Resiko efek samping hepatotoksisitas dari NVP, EFV, serta ARV golongan NRTI
dan PI dapat bertambah apabila dikombinasikan dengan OAT, serta neuropati perifer yang
terjadi apabila d4T dikombinasikan dengan isoniazid dan etambutol (Kwara et al, 2005). Efek
samping yang tumpang tindih menyulitkan pemberiannya pada pengobatan ko-infeksi HIV-TB
dan kombinasi obat-obatan tersebut memerlukan penyesuaian dosis atau dikontraindikasikan
(Sweetman, 2009). Toksisitas yang tumpang tindih menyebabkan terapi klinis disederhanakan
dengan menunda pemberian ARV hingga efek samping terapi awal OAT teratasi yaitu sekitar
satu hingga dua bulan (Burman and Jones, 2001)
Salah satu kunci keberhasilan dalam pengobatan TB pada pasien HIV adalah kepatuhan
dari penderita (Depkes RI, 2005). Timbulnya efek samping dalam terapi akan mengurangi
kenyamanan pasien dalam minum obat dan berpengaruh terhadap kepatuhan pasien dalam
menjalani terapi. Apoteker sebagai salah satu komponen tenaga kesehatan memiliki peran dalam
mewujudkan penggunaan obat yang rasional (POR), salah satunya adalah “waspada terhadap
efek samping obat”, sehingga perlu dilakukan monitoring terhadap efek samping pada kombinasi
obat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi, patofisiologi, dan guideline farmakoterapi dari penyakit TBC-HIV?
2. Bagaimana analisis pemantauan terapi obat pada pasien dengan TBC-HIV?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi, patofisiologi, dan guideline farmakoterapi dari penyakit TBC-
HIV
2. Untuk mengetahui analisis pemantauan terapi obat pada pasien dengan TBC-HIV
BAB II
PEMBAHASAN

KASUS 2 TBC-HIV

Seorang pasien wanita berusia 50 tahun, diantar suaminya ke igd rs. Dengan keluhan demam
sudah 3 hari, sudah minum parasetamol Tablet, kadang turun tapi kemudian naik lagi suhunya,
sesak nafas, Berkeringat dingin terutama kalau malam. Suhu badan 38,6 C, TB 155 cm , BB 40
kg, pasien juga mengeluh diare sudah 2 hari ini sehingga Badan menjadi lemas.
Riwayat penyakit terdahulu :
1 tahun yll pernah menderita tbc, sudah pengobatan dan
Dinyatakan sembuh
Riwayat dm 3 tahun ini dengan obat rutin dikonsumsi glimepirid 2 , Glibenklamid 2,5 mg 2x
sehari, riwayat hipertensi kronis terkontrol. Dengan pengobatan rutin aspilet 100 mg dan
kaptopril 25 mg, Pasien dengan hiv positif akan memulai terapi arv. Pada pemeriksaan Sputum
ulang pasien dinyatakan positif tbc dengan bta +
Diagnosa TB-HIV
OBAT RUTIN
- OAT KATEGORI 2
- KOTRIMOKSAZOLE 480 MG sudah 14 hari
- Pasien persiapan mendapat obat ARV-HIV
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN SELAMA RAWAT INAP

TUGAS MASING-MASING KELOMPOK BERISI :

1. Pendahuluan ( definisi, patofisiologi, guidelines farmakoterapi)


2. Buatlah tabel monografi obat yang digunakan dalam kasus, berisi nama obat, indikasi, dosis,
kontra indikasi, efek samping /adr, interaksi – form terlampir
3. Buatlah analisis pemantauan terapi obat yang berisi : subyektif, obyektif, asesmen, drp,
planning, monitoring- form terlampir
4. Tulislah analisa tersebut dalam form catatan pasien terintegrasi (cppt)- form terlampir
5. Presentasikan dan diskusikan makalah tersebut dalam kelompok
A. DEFINISI

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang sebagian besar menyerang paru-paru, tetapi
juga mungkin menginfeksi organ-organ di luar paru-paru. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Tuberculosis. Penularan bakteri ini biasa terjadi melalui droplet nuclei sesorang
penderita tuberkulosis yang menyebarkan kuman tuberkulosis ini ke udara. Apabila seseorang
sudah terjangkit kuman ini maka orang tersebut meningkatkan resiko penularan ke orang lain,
terutama orang-orang di dekatnya, dan tentu beresiko kematian. Tapi tidak semua orang yang
terinfeksi bakteri ini akan menjadi sakit tuberkulosis.

Hal ini dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan status gizi pasien. HIV merupakan faktor
resiko paling kuat untuk menjadi sakit tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan
sistem daya tahan tubuh seluler sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis
maka penderita HIV mempunyai kemungkinan lebih besar untuk penyakit tuberkulosisnya
menjadi parah bahkan dapat menyebabkan kematian (Hiswani, 2002).

Mycobacterium Tuberculosis

Mycobacterium Tuberculosis adalah bakteri berbentuk batang dengan ukuran 0,2-0,4 x 1-4
um. Kuman ini tumbuh lambat pada suhu optimum 37C dan pH optimum 6,4-7,0, tapi tidak
tumbuh pada suhu 25C atau lebih dari 40C. Mycobacterium ini tidak tahan panas dan dapat mati
jika terkena sinar matahri langsung selama dua jam. Dalam dahak bakteri ini dapat bertahan 20-
30 jam. Mycobacterium ini tahan terhadap berbagai khemikalia dan disinfektan, tetapi bias
dihancurkan oleh jodium tincture dan alcohol.

Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Penyebab dari AIDS adalah infeksi yang disebabkan Human Immunodeficiency Virus.
Retrovirus ini adalah virus RNA yang termasuk ke dalam family retroviridae dan genus
lentivirus. Seperti sebagian besar retrovirus, virus ini berbentuk sferis dan mempunyai inti
berbentuk kerucut yang padat elektron dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari
membran sel yang diinfeksinya. Inti virus ini dikelilingi oleh suatu matriks protein yang disebut
dengan p17. Selubung virusnya sendiri tersusun atas dua glikoprotein, yaitu gp120 dan gp41.
Genom dari provirus HIV ini mengandung gag, pon, dan env yang dapat mengkode berbagai
protein virus. Virus ini mempunyai masa inkubasi yang cukup lama dan akhirnya dapat
menimbulkan tanda dan gejala AIDS. Akibat yang paling bisa dilihat dari infeksi virus ini adalah
menurunnya jumlah limfosit T CD4 yang progresif. Hal ini dikarenakan HIV menyerang sel
yang mempunyai molekul antigen CD4. Sel ini pada dasarnya adalah subset sel limfosit T-helper
yag sangat penting dalam respon imunitas seluler. Human Immunodeficiency Virus ini terdapat
dalam cairan tubuh seperti darah, saliva, air mata, dll.

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah gejala berkurangnya sistem imunitas pada tubuh
karena infeksi Human Immunodeficiency Virus. Infeksi awal pada HIV-AIDS ini biasanya
disebabkan oleh adanya interaksi atau pertukaran cairan tubuh dari orang yang sudah terinfeksi
HIV ke orang yang belum terinfeksi. Pada stadium akut AIDS adalah periode dimana virus HIV
sedang bereplikasi dengan cepat dan hal ini akan secara langsung menyebabkan turunnya jumlah
CD4 seseorang. Dua sampai empat minggu setelah terpapar sebagian penderita mungkin akan
mengalami influenza dengan gejala-gejalanya yang biasanya terjadi selama 28 hari. Pada
penderita HIV-AIDS, CD4 akan menurun dalam jumlah dan fungsinya dan akan menyebabkan
system imunitas seluler menjadi tidak aktif. Turunnya jumlah CD4 sampai di bawah 200 sel/m3
inilah yang meningkatan resiko terjadinya infeksi oprtunistik oleh berbagai mikroba. Infeksi
oportunistik yang paling sering terjadi pada penderita HIV AIDS adalah Tuberkulosis dan
Candidia. Periode laten pada penderita HIV AIDS biasanya berlangsung lama dan bervariasi.
Seseorang yang terinfeksi HIV bisa saja tidak memunculkan gejala-gejala selama sepuluh tahun
bahkan lebih, tetapi beberapa orang bias mengalami lebih cepat. Hal ini dipengaruhi oleh
karakteristik virus maupun karakteristik orang yang terinfeksi. HIV tipe satu bisa menyebabkan
progesivitas yang lebih cepat, dan karakteristik orang yang mempercepat progesivitas ini adalah
orang dengan ko-infeksi, faktor genetik tertentu, dan berumur kurang dari lima tahun atau lebih
dari 40 tahun (RI K. K., 2012).
B. FAKTOR RESIKO

Risiko menjadi sakit TB

 Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.


 Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi
TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50
diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
 Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan
tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
 Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity) dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi
sakit TB (TB Aktif). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB
akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:

 Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang
sedang berkembang.
 Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
- Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
- Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat,
penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya,
tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan
sebagainya).
- Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar,
gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
- Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
- Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat.
 Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur
umur kependudukan.
 Dampak pandemi HIV.

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi
TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes
dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB,
dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. o Suspek TB
MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan salah satu atau lebih
kriteria suspek dibawah ini: 1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus
kronik) 2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2. 3. Pasien TB dengan
riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS. 4. Pasien TB gagal pengobatan
kategori 1. 5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan. 6. Pasien TB kambuh.
7. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default. 8. Pasien TB dengan riwayat
kontak erat pasien TB MDR 9. ODHA dengan gejala TB-HIV.
C. PEMERIKSAAN
A. Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dahak mikroskopis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan
diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),
• S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes.
• S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi. Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2
spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan
mutu eksternal pemeriksaan laboratorium.
B. Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB adalah untuk
menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu : - Pasien TB Ekstra Paru -
Pasien Tb Anak - Pasien TB BTA Negatif Pemeriksaan tersebut dilakukan jika
keadaan memungkinkan dan tersedia laboratorium yang telah memenuhi standar
yang ditetapkan.
C. Uji Kepekaan Obat TB
Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M. Tuberkulosis terhadap OAT. Uji
kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi dan lulus
pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA). Pemeriksaan tersebut ditujukan
untuk diagnosis pasien TB yang memenuhi kriteria suspek TB-MDR
D. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS
Diagnosis TB paru
• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB.
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis.
• Diagnosis TB ekstra paru
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena
• Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)
Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai berikut:
1. TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif.
2. TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran klinis
& radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif.
3. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis
dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.

Tuberkulosis Paru dengan HIV / AIDS

Diagnosis TB pada Pasien HIV


Deteksi dini tuberkulosis pada pasien HIV harus dilakukan dengan teliti dan diperlukan
pengalaman praktisi. Diagnosis TB pada pasien HIV berbeda dengan diagnosis TB pada
umumnya karena gejala TB pada pasien HIV tidak spesiik.Tuberkulosis ekstraparu lebih
sering ditemukan pada pasien dengan HIV dibandingkan pasien tanpa HIV sehingga bila
ditemukan TB ekstraparu harus dipikirkan kemungkinan infeksi HIV. Tuberkulosis
ekstraparu yang sering ditemukan adalah limfadenopati pada leher, abdominal, aksila,
mediastinal, efusi pleura, efusi perikardial, efusi peritonealdan meningitis.

E. TATA LAKSANA TUBERKULOSIS

Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang menderita atau
yang diduga menderita tuberkulosis. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting
manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi
dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan
HIV dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Mengingat terdapat hubungan
yang erat antara tuberkulosis dengan infeksi HIV pada daerah dengan prevalensi HIV
yang tinggi maka pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan dan
penatalaksanaan kedua infeksi. Standar 14 ISTC

Baik deteksi dini TB pada pasien HIV maupun deteksi dini HIV pada pasien TB
keduanya penting untuk meningkatkan penemuan dini koinfeksi TB-HIV sehingga dapat
memulai pengobatan lebih cepat dan keberhasilan pengobatan akan lebih baik. Algoritma
tatalaksana TB-HIV dapat dilihat pada gambar 5.1.

Hal-hal yang perlu diketahui dalam menegakkan diagnosis pada pasien TB dengan HIV
adalah sebagai berikut: •

 Gambaran klinis
Gambaran klinis TB secara umum diawali dengan batuk lebih dari 2-3 minggu,
sedangkan TB pada pasien HIV/AIDS batuk bukan merupakan gejala umum. Pada TB-
HIV, demam dan penurunan berat badan merupakan gejala yang penting.Tuberkulosis
ekstraparu perlu diwaspadai pada orang hidup dengan HIV/AIDS(ODHA) karena
kejadiannya lebih sering dibandingkan TB dengan HIV negatif. Tuberkulosis ekstraparu
pada pasien HIV merupakan tanda bahwa penyakitnya sudah lanjut.
 Sputum BTA
Karena sulitnya diagnosis TB padapasien HIV secaraklinisdanpemeriksaan sputum BTA
lebih sering negatif, diperlukan pemeriksaan biakan M. tuberculosis yang merupakan
baku emas untuk diagnosis TB. Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopik
dahaknya negatif, biakan sangat dianjurkan karena dapat membantu menegakkan
diagnosis TB. Perlu juga dilakukan uji sensitivitas obat untuk mengetahui TB MDR
karena HIV merupakan salah satu faktor risiko TB-MDR.8
 Xpert MTB/RIF
PenggunaanXpert MTB/RIF dalam algoritma diagnostik TB untuk populasi ODHA
adalah cost-effective dalam mengurangi kematian dini orang dengan HIV lanjut dan
sangat cost-effective dalam meningkatkan harapan hidup ODHA yang memulai terapi
ARV. Algoritma menggunakan Xpert MTB/RIF lebih sensitif dibandingkan dengan
menggunakan skrining gejala, BTA dan foto toraks. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF
meningkatkan sensitivitas, ketepatan waktu dan deteksi resistensi rifampisin pada pasien
dengan HIV. Diagnosis TB dengan resisten obat pada pasien dengan HIV memungkinkan
inisiasi terapi yang tepat.
 Foto toraks
Gambaran foto toraks bervariasi baik lokasi maupun bentuknya. Umumnya gambaran
foto toraks pada TB terdapat di apeks, tetapi pada TB-HIV bukan di apeks terutama pada
HIV lanjut. Pada TB-HIV awal gambaran foto toraks dapat sama dengan gambaran foto
toraks TB pada umumnya, namun pada HIV lanjut gambaran foto toraks sangat tidak
spesiik. Pada pasien TB-HIV sering ditemukan gambaran TB milier.
 Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV positif.
Pemberian antibiotik pada pasien suspek TB paru sebagai alat bantu diagnosis TB paru
tidak direkomendasikan lagi karena hal ini dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis
TB dengan konsekuensi keterlambatan pengobatan TB ehingga meningkatkan risiko
kematian. Penggunaan antibiotik quinolon sebagai terapi infeksi sekunder pada TB
dengan HIV positif harus dihindari, sebab golongan antibiotik ini respons terhadap
mikobakterium TB sehingga dikhawatirkan menghilangkan gejala sementara dan
kemungkinan timbulnya kuman kebal obat. Antibiotik golongan quinolon ini
dicadangkan sebagai OAT lini kedua. Lihat Gambar 5.1.
Gambar. Algoritme tata laksana TB-HIV
Pencegahan pajanan
Faktor yang dapat meningkatkan angka penularan adalah letak infeksi TB (paru atau laring),
sputum BTA positif, kavitas serta aerolisasi saat batuk atau berbicara. Paparan terhadap
pasien TB sputum BTA negatif memberikan transmisi yang lebih rendah dibandingkan
pasien TB sputum BTA positif.Vaksinasi BCG pada orang dengan HIV dikontraindikasikan
karena potensinya untuk menyebabkan penyakit TB diseminata
F. PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Tujuan, dan Prinsip Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:


 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama
o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia: o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini, disediakan
paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR o Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan
obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin,
Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.
 Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol
yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan
dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan
Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
• Pasien kambuh
• Pasien gagal
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
c. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selama sebulan (28 hari).

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu
dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.
Pengobatan tuberkulosis pada pasien HIV
Pada prinsipnya tata laksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV sama seperti
pasien TB tanpa HIV. Obat TB pada pasien HIV sama efektifnya dengan pasien TB tanpa
HIV. Pengobatan pasien dengan koinfeksi TB-HIV lebih sulit dari pada TB pada pasien
tanpa HIV. Pasien TB-HIV mempunyai sistem imunitas yang rendah dan sering ditemukan
infeksi hepatitis sehingga sering timbul efek samping obat, interaksi antar obat yang akan
memperburuk kondisi pasien dan obat harus dihentikan atau dikurangi dosisnya maka
pengobatan pun menjadi lebih panjang serta kepatuhan pasien sering terganggu.
Semua pasien (termasuk yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan
paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang
bioavailibilitinya telah diketahui. Standar 8 ISTC
 Fase awal: 2 bulan INH, RIF, PZA, dan EMB
 Fase lanjutan: 4 bulan INH dan RIF, atau 6 bulan INH dan etambutol
 Pemberian INH dan EMB selama 6 bulan untuk fase lanjutan tidak direkomendasi untuk
pasien TB dengan HIV karena mudah terjadi kegagalan pengobatan atau kambuh.
Semua pasien TB dengan HIV atau pasien TB yang tinggal dilingkungan dengan prevalens
HIV tinggi,pengobatan TB fase awal dan fase lanjutan harus diberikan setiap hari
Rekomendasi A
Untuk pasien yang tidak mungkin diberikan setiap hari, pemberian 3 kali seminggu
merupakan alternatif
Rekomendasi B
Dosis OAT yang diberikan dianjurkan untuk mengikuti anjuran internasional dan sangat
dianjurkan dalam kombinasi dosis tetap (KDT). Prinsip pengobatan pasien TBHIV adalah
mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan antiretroviral (ARV) dimulai sesegera mungkin
setelah dapat ditoleransi dalam 2-8 minggu pengobatan fase awal. Pengobatan ARV
sebaiknya hanya diberikan oleh dokter yang telah dilatih khusus HIV karena obat ARV bisa
berinteraksi dengan OAT dan juga dapat meningkatkan risiko efek samping. Efavirenz (EFV)
mewakili golongan NNRTI baik digunakan untuk pemberian ART pada pasien dalam terapi
OAT. Efavirenz direkomendasikan karena mempunyai interaksi dengan rifampisin yang
lebih ringan dibanding Nevirapine. Pada pemberian OAT dan ARV perlu diperhatikan
interaksi antar obat-obat yang digunakan, peran ARV, tumpang tindih efek samping obat,
immune-reconstitution inlammatory syndrome (IRIS) dan masalah kepatuhan pengobatan.
Semua pasien tuberkulosis dengan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk menentukan
perlu/tidaknya pengobatan antiretroviral diberikan selama masa pengobatan tuberkulosis.
Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien
yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak
boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol
sebagai pencegahan infeksilainnya. Standar 15 ISTC
Pasien dengan infeksi HIV mudah sekali terkena infeksi oportunistik sehingga semua pasien
HIV yang telah terdiagnosis TB sebagai salah satu infeksi opportunistik harus diberikan
kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lain.
Pada pusat layanan kesehatan yang mempunyai fasilitas pemeriksaan CD4, proilaksis
kotrimoksazol direkomendasikan untuk pasien dengan nilai CD4 <200 sel/mm3 pada pasien
HIV tanpa TB, sedangkan pada pasien HIV yang telah didiagnosis TB kotrimoksazol dapat
diberikan langsung tanpa melihat nilai CD4. Pemberian kotrimoksazol tersebut dapat
menurunkan kejadian infeksi oportunistik seperti Pneumocystis jiroveci pneumonia,
toxoplasmosis infection, malaria dll. Berdasarkan data observasi pencegahan kotrimoksazol
pada pada pasien HIV menurunkan mortalitas 50%.
Pemberian Isoniazid sebagai pencegahan dan terapi TB laten
Pasien dengan HIV setelah dievaluasi dengan seksama tidak menderita tuberkulosis aktif,
sebaiknya diobati sebagai infeksi tuberkulosis laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan
Sehubungan Indonesia merupakan negara endemik TB, maka hal ini belum diterapkan di
Indonesia, menunggu hasil kajian dari implementasi awal yang akan dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan.
FORM MONOGRAFI OBAT
Tenofir, lamivudin, Efavirenz
N NAMA OBAT DOSIS CARA INDIKASI KONTRA ADR INTERAKSI
O PEMBERIA INDIKASI
N
1. Parasetamol 1000 mg Iv Penurun demam Hipersensitivitas Reaksi hipersensitivitas, peningkatan risiko kerusakan
2x1 Gangguan Fungsi ruam kulit, kelainan darah fungsi hati pada penggunaan
hati berat (PIONAS) (termasuktrombositopenia, bersama alkohol. (PIONAS)
leukopenia, neutropenia),
hipotensi juga dilaporkan
pada infus. (PIONAS)
2. Metoklopramid 1x1 Iv Mual dan muntah Obstruksi hiperprolaktinemia; juga Berinteraksi dengan agonis
gastrointestinal, dilaporkan mengantuk, dopamine, siklosporin, sentraline,
perforasi atau gelisah, diare, depresi, venlafaxine (DIH edisi 7)
perdarahan; sindrom neuroleptik
feokromositoma; malignan, ruam kulit,
epileptik, gejala pruritus, udem;
ekstrapiramidal dari abnormalitas konduksi
tipe parkinson, jantung dilaporkan terjadi
menyusui pada pemberian intravena;
3. Glimepirid 2mg Oral Diabetes mellitus Hipersensitivitas Hipoglikemik, pusing, NSAID, clarithromycin,
tipe 2. terhadap glimepiride, mual, diare, konstipasi, disopyramide, flukonazol,
salah satu komponen anoreksia, penyakit kuning kuinolon. aspirin, sulfonamide,
formulasi, atau kolestatik,leukopenia, simetidin, kloramfenikol,
sulfonamid; diabetes trombositopenia koumarin,
ketoasidosis (dengan probenecid, inhibitor monoamine
atau oxidase, obat golongan beta
tanpa koma) bloker.
4. Glibenklamid 2,5 mg 2 x Oral Diabetes mellitus Diabetes tipe 1 Berat badan meningkat, NSAID, salisilat, sulfonamid,
sehari tipe 2 (ketergantungan mual, muntah, diare, chloramphenicol, probenecid,
insulin), gangguan pruritus, urtikaria, penyakit coumarin, monoamine oxidase
ginjal berat, hati, kuning kolestatik inhibitor (MAOI) dan penyekat
tiroid atau beta adrenergik, tiazid dan
penyakit endokrin diuretik,
lainnya, wanita hamil kortikosteroid, phenothiazine,
atau menyusui produk tiroid, estrogen,
kontrasepsi oral, fenitoin, asam
nikotinik, simpatomimetik, obat
penyekat kanal kalsium dan
isoniazid.
5. Aspilet 100 mg Oral untuk membantu Gangguan sakit perut, sakit kepala, citalopram, fluoxetine,
mencegah serangan pendarahan, asma, mengantuk,bronkospasme, paroxetine, venlafaxine, dan
jantung, analgetic tukak lambung aktif, gangguan fungsi ginjal, sertraline, warfarin, metothrexate,
antipiretik, rhinitis. perdarahan saluran cerna Vitamin C
antiplatelet
6. Kaptopril 25 mg Oral Antihipertensi hipersensitif terhadap hipotensi; pusing, mual, Menurunkan efek antihipertensi,
penghambat ACE diare, batuk kering yang jika digunakan bersama NSAID
(termasuk persisten, dispepsia, nyeri (ibuprofen, ketorolac),
angiodema); stenosis perut; gangguan ginjal; Meningkatkan risiko terjadinya
aortik atau obstruksi hiperkalemia; angiodema, hipotensi (tekanan darah rendah),
keluarnya darah dari urtikaria, ruam kulit, reaksi jika digunakan bersama
jantung; kehamilan. gangguan darah, gejala- obat golongan diuretik
gejala saluran nafas atas, (furosemide, HCT),
nyeri punggung, Meningkatkan risiko
pankreatitis, gangguan tidur hiperkalemia jika digunakan
bersama obat golongan diuretik
hemat kalium dan suplemen
kalium.

3. Kotrimoksazole 400 mg Oral Antibiotik Gagal ginjal dan Mual, muntah, ruam, Peningkatan efek
1x1 gangguan fungsi hati nekrolosis, gangguan darah, toksik kotrimoksazol pada
yang berat, porfiria. alergi, gangguan elektrolit, penggunaan bersama
batuk, napas singkat methotrexate. Peningkatan risiko
terjadinya hiperkalemia jika
dikonsumsi dengan obat
golongan ACE inhibitor
Peningkatan risiko
terjadinya aritmia jika dikonsumsi
dengan amiodarone

4. Rifampisin DEWASA : Oral untuk pengobatan Hipersensitif thd mual, muntah, anoreksia, Interaksi obat: peggunaan dengan
dalam dosis tuberkulosis yang rifampisin, rifamycin diare; gangguan respirasi antasida, opiat, antikolinergik dan
tunggal, BB disebabkan (napas pendek), anemia ketokonazol, berinteraksi dengan
<50kg adalah oleh Mycobacterium hemolitik, gangguan fungsi kontrasepsi hormonal, obat
450 mg, BB tuberculosis dalam hati, ikterus; flushing, antiretroviral (non-nucleoside
>50kg adalah kombinasi dengan urtikaria, ruam; gangguan reverse transcriptase
600mg (pasien obat antituberkulosis sistem saraf pusat meliputi inhibitors dan protease
dengan lain sakit kepala, pusing, inhibitors).
gangguan kebingungan, ataksia. Efek
fungsi hati samping lain seperti udem,
tidak lebih kelemahan otot, miopati,
dari lekopenia, eosinofilia,
8mg/kgBB). gangguan menstruasi;
warna kemerahan pada
urin
5. Isoniazid Untuk dewasa Oral Tuberkulosis yang penyakit hati yang mual, muntah, anoreksia, Peggunaan bersamaan dengan
dengan BB disebabkan akut;hipersensitivitas konstipasi, pusing, sakit antikonvulsan, sedatif,
30-45 kg, oleh Mycobacterium terhadap isoniazid; kepala, neuritis perifer, neuroleptik, antikoagulan,
dosis per hari tuberculosis. epilepsi; gangguan neuritis optik, narkotika, teofilin, prokainamid,
200 mg fungsi ginjal dan kejang,episode kortikosteroid, asetaminofen,
diberikan gangguan psikis psikosis;kesemutan,reaksi aluminium hidroksida, disulfiram,
dalam dosis hipersensitivitas ketokonazol, obat bersifat
tunggal. Untuk hepatitis(Peningkatan kadar hepatotoksik dan neurotoksik.
pasien dengan SGOT dan SGPT), sindrom Interaksi dengan makanan; tidak
BB >45 kg, SLE, hiperglikemia dan diberikan bersamaan dengan
dosis per hari ginekomastia, pendengaran makanan, alkohol, keju dan ikan.
300 mg berkurang,
diberikan hipotensi, flushing.
dalam dosis
tunggal.
6. Pirazinamid Dosis:  Oral tuberkulosis yang Gangguan fungsi hati hepatotoksisitas, termasuk Penggunaan bersama dengan
15-30 mg/kg disebabkan berat, porfiria demam anoreksia, probenesid, allopurinol,
BB sekali oleh Mycobacterium hipersensitivitas hepatomegali, ikterus, gagal ofloksasin dan levofloksasin, obat
sehari. Dosis tuberculosis dalam terhadap pirazinamid, hati; mual, muntah, hepatotoksik. Pirazinamid dapat
maksimal kombinasi dengan gout, wanita hamil artralgia, anemia mengganggu efek obat
sehari 3 g. anti tuberkulosis dan menyusui sideroblastik, antidiaberik oral, serta
Digunakan lainnya. urtikaria, flushing, sakit mengganggu tes untuk
pada 2 bulan kepala, pusing, insomnia, menentukan keton urin.
pertama dari 6 gangguan vaskular :
bulan hipertensi, hiperurikemia,
pengobatan. arthalgia.
Untuk pasien
dengan
gangguan
fungsi ginjal
20-30 mg/kg
BB tiga kali
seminggu.

7. Etambutol DEWASA dan Oral tuberkulosis dalam hipersensitivitas neuritis optik, buta warna Leflunomide, mipomersen, dan
ANAK di atas kombinasi dengan terhadap zat aktif merah/hijau, neuritis teriflunomide, antasida
6 tahun, 15-25 obat lain untuk atau zat rambahan perifer, gangguan Aluminum Hydroxide: Dapat
mg/kgBB pengobatan obat, neuritis optik, penglihatan. menurunkan penyerapan
sebagai dosis tuberkulosis yang gangguan visual; Etambutol
tunggal. disebabkan ANAK di bawah 6
oleh Mycobacterium tahun 
tuberculosis;
8. Streptomisin 15 Oral tuberkulosis dalam Hipersensitivitas, Gangguan kulit/alergi: Amphotericin B, turunan
mg/kg/hari kombinasi dengan kehamilan ruam, indurasi, atau abses di bifosfonat, penisilin, loop
(maksimum: obat lain sekitar lokasi suntikan, mati diuretic, vancomycin
1 g) rasa dan kesemutan di
sekitar mulut, vertigo.
Tenolam E 300mg/300mg Oral
(Kombinasi /600mg
Tenovir,
Lamivudin,
Efavirenz)

9. Tenovir 300 mg Oral terapi lini kedua Hipersensitivitas sangat umum: Didanosin: menyebabkan
pengobatan HIV-1, hipofosfatemia, pusing, kegagalan terapi, meningkatkan
dalam kombinasi diare, muntah, mual, ruam konsentrasi didanosin, penurunan
dengan antiretroviral kulit, astenia; Umum: jumlah sel CD4, dan
lainnya; peningkatan transaminase, meningkatkan terjadinya efek
sakit kepala, nyeri dada, samping didanosin seperti
distensi pada bagian pankreatitis, Obat nefrotoksik
abdomen, perut (aminoglikosida, amfoterisin B,
kembung; Tidak umum: foskarnet, gansiklovir,
hipokalemia, pankreatitis, pentamidin, vankomisin,
peningkatan,kreatinin;  sidofovir, atau interleukin 2):
Jarang: asidosis laktat, meningkatkan risiko nefrotoksis;
steatosis hepatik, hepatitis, Lamivudin dan efavirens:
angioedema, osteomalasia, menurunkan bone mineral
miopati, gagal ginjal akut, density; Atazanavir :
gagal ginjal, meningkatkan konsentrasi
tenofovir dan menurunkan
konsentrasi atazanavir.
10. Lamivudin 300 mg Oral Infeksi HIV wanita menyusui; infeksi saluran nafas bagian Interaksi dengan Trimetoprim
progresif, dalam hipersensitif terhadap atas, mual, muntah, diare, (Sebagai Kotrimoksazole)
bentuk sediaan lamivudin. nyeri perut; batuk; sakit meningkatkan kadar plasma,
kombinasi dengan kepala, insomnia; malaise, lamivudin dengan
obat-obat nyeri emtrisitabin,foskanet, gansiklovir
antiretroviral muskuloskelatal;neuropati (IONI 2008)
lainnya. periferal; neutropenia dan
anemia (dalam kombinasi
dengan zidovudin);
trombositopenia;
peningkatan enzim hati dan
amilase serum.
11. Efavirenz 600 mg Oral pengobatan infeksi wanita menyusui, ruam termasuk pemberian bersamaan turunan
HIV dalam bentuk hipersensitif, sindroma Steven-Johnson; ergot, metadon (menurunkan
kombinasi dengan gangguan fungsi hati sakit perut, diare, nausea, kadar plasma), antipsikotik,
obat antiretroviral berat. muntah, ansietas, depresi, antijamur, antiepilepsi, efavrenz
lainnya. gangguan tidur, pusing, dengan klaritomisin, rifampisin
sakit kepala, lelah, menurunkan kadar plasma
gangguan dalam Efavirenz (IONI 2008)
konsentrasi; pruritis;
hepatitis, psikosis,
amnesia,ataksia, konvulsi,
dan pandangan kabur
Form Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Nama Pasien : seorang wanita
Jenis Kelami : Perempuan
Umur : 50 tahun
BB/TB : 40 kg/ 155 cm
Diagnosis : TBC-HIV

Tanggal Subjektif Objektif Terapi Asesmen DRP Plan Monitoring


1/8 Mual, Suhu tubuh  Melanjutkan - Suhu tubuh
muntah, 38,7°C terapi pasien
Jaundice menggunakan
Paracetamol
paracetamol - Timbulnya
yang digunakan Pemberian
 menambahkan mual muntah
sebagai paracetamol
Paracetamol suplemen hati pada pasien
antipiretik, dapat
1000 mg iv 2x1 yaitu curcuma
memiliki efek memperparah
tablet dosis 3 x - Kepatuhan
samping hati pasien
1 tablet dan pasien
hepatotoksik
kapsul n-asetil minum OAT
sistein dosis 3
x 1 kapsul - Efek
Metoklopramid samping
digunakan OAT
sebagai
Metoklopramid
Metoklopramid antiemetik yang Melanjutkan
sudah tepat
iv 1x1 digunakan untuk terapi
indikasi
mengatasi mual
dan muntah
pada pasien
OAT kategori 2 OAT kategori 2 OAT kategori 2 Melanjutkan
2HRZES/ digunakan pada sudah tepat terapi
HRZE/ pasien yang indikasi
5H3R3E3 mengalami
kekambuhan
TBC
Peningkatan
Kotrimoksazol
dosis
digunakan pada Dosis
Kotrimoksazol kotrimoksazol
ODHA sebagai kotrimoksazol
400 mg 1 x sebesar 960
terapi profilaksis terlalu rendah
mg/hari dosis
primer
tunggal

2/8 CD 4 = 300  Mengganti - Suhu tubuh


AL=5000/µl paracetamol pasien
HB = 12 g/dL dengan
antipiretik - Timbulnya
yang tidak mual muntah
memiliki efek pada pasien
Paracetamol samping
yang digunakan Pemberian hepatotoksik - Kepatuhan
Parasetamol sebagai paracetamol seperti pasien
nyeri perut 1000 mg iv 2x1 antipiretik, dapat ibuprofen minum OAT
memiliki efek memperparah dosis 3 x 1 tab
samping hati pasien  menambahkan - Data
hepatotoksik suplemen hati laboratorium
yaitu curcuma CD4, AL,
tablet dosis 3 x dan HB
1 tablet dan
kapsul n-asetil
sistein dosis 3
x 1 kapsul
Mual, Metoklopramid Metoklopramid Metoklopramid Melanjutkan
muntah, iv 1x1 digunakan sudah tepat terapi
sebagai
antiemetik yang
digunakan untuk
indikasi
mengatasi mual
dan muntah
pada pasien
OAT kategori 2
OAT kategori 2 digunakan pada
OAT kategori 2
2HRZES/ pasien yang Melanjutkan
sudah tepat
HRZE/ mengalami terapi
indikasi
5H3R3E3 kekambuhan
TBC
Peningkatan
Kotrimoksazol
dosis
digunakan pada Dosis
Kotrimoksazole kotrimoksazol
ODHA sebagai kotrimoksazol
400 mg 1x1 sebesar 960
terapi profilaksis terlalu rendah
mg/hari dosis
primer
tunggal
sesak Diberikan terapi
Terdapat
nafas, Tidak diberikan untuk mengatasi
- indikasi tanpa
terapi sesak napas
terapi
seperti oksigen
bingung, Terdapat
marah- indikasi tanpa
Tidak diberikan Istirahat yang
marah - terapi
terapi cukup
Tejadi efek
samping obat
3/8 Demam, Suhu tubuh Paracetamol  Pasien Paracetamol  Mengganti - Suhu tubuh
Nyeri perut 37,8°C 1000 mg iv mengalami tidak dapat paracetamol pasien
SGPT= 300 u/L 2x1 demam digunakan untuk dengan
SGOT= 500 u/L  Paracetamol pasien dengan antipiretik - Kadar SGOT
Scr = 3 mg/dL memiliki penyakit hati yang tidak SGPT dan
efek samping memiliki efek Scr
samping
hepatotoksik - Kepatuhan
seperti pasien
ibuprofen minum OAT
dosis 3x1 tab
 menambahkan - Efek
hepatotoksik suplemen hati samping
yaitu curcuma OAT
tablet dosis 3 x
1 tablet dan
kapsul n-asetil
sistein dosis 3
x 1 kapsul
melakukan
penghentian
obat sementara
terjadi Ada indikasi ARV (2
- peningkatan gangguan fungsi minggu terapi
serum kreatinin ginjal kotrimoksazol)
sehingga
mengurangi
kerja ginjal
Terapi tanpa
indikasi, selain
itu pasien
Pasien tidak Pemberian
Metoklopramid mengalami efek
mengalami mual metoklopramid
iv 1x1 samping dari
muntah dihentikan
pemberian
metoklopramid
yaitu sembelit
OAT-KDT, OAT kategori 2  OAT kategori Melanjutkan
kategori 2 digunakan pada 2 sudah tepat terapi dan
pasien yang indikasi menambahkan
suplemen hati
yaitu curcuma
 INH
mengalami tablet dosis 3 x
menyebabkan
kekambuhan 1 tablet dan
peningkatan
TBC kapsul n-asetil
SGOT SGPT
sistein dosis 3 x
1 kapsul
Kotrimoksazol
Dosis dinaikkan
Kotrimoksazole digunakan pada Dosis
menjadi 960
400 mg ODHA sebagai kotrimoksazol
mg/hari dalam
1x1 terapi profilaksis terlalu rendah
dosis tunggal
primer
Terapi ARV
TDF+3TC+EFV
diberikan
Arv-kombinasi digunakan Menghentikan
setelah 2
dosis tetap sebagai terapi pemberian terapi
minggu
TDF, 3TC,EFV ARV lini ARV
pemberian
pertama
kotrimoksazol
sedikit, Terdapat
Menyarankan
bingung, indikasi tanpa
Tidak diberikan pasien untuk
marah- - terapi
terapi beristirahat yang
marah, Terjadi efek
cukup
anxiety samping obat
Memberikan
terapi untuk
melancarkan
Sulit BAB Terdapat BAB pasien
Tidak diberikan
sudah 3 - indikasi tanpa seperti
terapi
hari terapi antihemaroid
suppositoria
dosis 1xsehari
sebelum tidur
Sedikit - Tidak diberikan Terdapat Menyarankan
pasien untuk
indikasi tanpa
BAK terapi minum air putih
obat
1,5 L
4/8 Suhu 36,8 C  Mengganti - Suhu tubuh
GDS = 350 paracetamol pasien
mg/dL dengan
antipiretik - Kadar GDS
yang tidak
memiliki efek - Kepatuhan
samping pasien
minum
Suhu tubuh Paracetamol hepatotoksik
Parasetamol OAT
pasien sudah memiliki efek seperti
Nyeri perut 1000 mg iv ibuprofen
normal, pasien samping - Efek
2x1 dosis 3 x 1 tab
mengalami nyeri hepatotoksik samping
 menambahkan OAT
suplemen hati
yaitu curcuma
tablet dosis 3 x
1 tablet dan
kapsul n-asetil
sistein dosis 3
x 1 kapsul
Tidak ada
indikasi ada
terapi
Pasien tidak Menghentikan
Metoklopramid Pasien
mengalami mual pemberian
iv 1x1 mengalami efek
muntah metoklopramid
samping dari
metoklopramid
yaitu sembelit
OAT-KDT, OAT kategori 2 OAT kategori 2 Melanjutkan
kategori 2 digunakan pada sudah tepat terapi
pasien yang
mengalami
indikasi
kekambuhan
TBC
Peningkatan
Kotrimoksazol
dosis
Kotrimoksazole digunakan pada Dosis
kotrimoksazol
400 mg ODHA sebagai kotrimoksazol
sebesar 960
1x1 terapi profilaksis terlalu rendah
mg/hari dosis
primer
tunggal
Terapi ARV
TDF+3TC+EFV
diberikan
Arv-kombinasi digunakan Menghentikan
setelah 2
dosis tetap sebagai terapi pemberian terapi
minggu
TDF, 3TC,EFV ARV lini ARV
pemberian
pertama
kotrimoksazol
Memberikan
terapi untuk
melancarkan
Sulit BAB Terdapat BAB pasien
Tidak diberikan
sudah 3 - indikasi tanpa seperti
terapi
hari, terapi antihemaroid
suppositoria
dosis 1x sehari
sebelum tidur
Menghentikan
pemberian terapi
Terdapat ARV
BAK Tidak diberikan
- indikasi tanpa Menyarankan
sedikit, terapi
terapi pasien untuk
minum
sebanyak 1,5 L
Bingung, - Tidak diberikan Terdapat Menyarankan
indikasi tanpa
pasien untuk
marah2 terapi
terapi istirahat yang
anxiety Terjadi efek
cukup
samping obat
Memberikan
terapi untuk
mengatasi
gangguan suspect optalmic
penglihata pasien yang
Tidak diberikan Terdapat
n (kabur) disebabkan oleh
- terapi indikasi tanpa
Suspect nilai GDS yang
terapi
optalmic tinggi dengan
neuropaty pemberian
insulin lispro
dosis 0,5-1,5
unit/kg/hari
FORM CPTT

TANGGAL S,O,A,P TERINTEGRASI INSTRUKSI


S: Mual, muntah, jaundice Plan: melanjutkan terapi paracetamol, menambahkan
1/8 suplemen hati, meningkatkan dosis kotrimoksazol, dan
O: Suhu tubuh 38,7°C monitoring suhu tubuh pasien, timbulnya mual muntah
pada pasien, kepatuhan pasien minum OAT, efek
A: - Paracetamol yang digunakan samping OAT
sebagai antipiretik memiliki efek samping
hepatotoksik
Intruksi: menyarankan dokter untuk meresepkan
- Kotrimoksazol digunakan pada ODHA ibuprofen 3x1 tablet, curcuma tablet 3x1 tablet, dan n-
sebagai terapi profilaksis primer acetil sistein kapsul 3x1 kapsul serta meningkatkan
dosis kotrimoksazol menjadi 960 mg/hari dosis
P: •Melanjutkan terapi paracetamol tunggal
•menambahkan suplemen hati yaitu
curcuma tablet dosis 3 x 1 tablet dan n-
asetil sistein kapsul dosis 3 x 1 kapsul
 Peningkatan dosis kotrimoksazol sebesar
960 mg/hari dosis tunggal
2/8 S: Nyeri perut, mual muntah, sesak nafas, Plan : mengganti paracetamol dengan ibuprofen,
bingung marah-marah menambahkan suplemen hati, menambahkan terapi
pemberian oksigen, meningkatkan dosis
kotrimoksazol, melakukan monitoring kadar CD, AL,
O: CD 4 = 300; AL=5000/µl; HB = 12 HB, kepatuhan pasien minum OAT, dan efek samping
g/dL OAT
A: - Paracetamol yang digunakan sebagai Intruksi: menyarankan dokter untuk meresepkan
antipiretik, memiliki efek samping ibuprofen 3x1 tablet, curcuma tablet 3x1 tablet, dan n-
hepatotoksik, acetil sistein kapsul 3x1 kapsul serta meningkatkan
- Kotrimoksazol digunakan pada ODHA dosis kotrimoksazol menjadi 960 mg/hari dosis
sebagai terapi profilaksis primer, dan tunggal
gejala sesak nafas belum diterapi

P: •Mengganti paracetamol dengan


antipiretik yang tidak memiliki efek
samping hepatotoksik seperti ibuprofen
dosis 3x1 tablet
•menambahkan suplemen hati yaitu
curcuma tablet dosis 3 x 1 tablet dan
kapsul n-asetil sistein dosis 3 x 1 kapsul
Peningkatan dosis kotrimoksazol sebesar
960 mg/hari dosis tunggal
 Menambahkan terapi untuk sesak nafas
dengan pemberian oksigen

3/8 S: Demam, nyeri perut, sedikit, bingung, Plan : mengganti paracetamol dengan ibuprofen,
marah-marah, anxiety, sulit BAB sudah 3 menambahkan suplemen hati, menambahkan terapi
hari, sedikit BAK pemberian oksigen, meningkatkan dosis
kotrimoksazol, menghentikan terapi metoklopramid
dan ARV, memberi terapi sembelit dengan
O: Suhu tubuh 37,8°C antihemoroid suppositoria, menyarankan pasien untuk
SGPT= 300 u/L banyak minum air putih, dan melakukan monitoring
SGOT= 500 u/L suhu pasien, kadar SGOT, SGPT, dan Scr
Scr = 3 mg/dl
Intruksi: menyarankan dokter untuk meresepkan
A: - Paracetamol yang digunakan sebagai ibuprofen 3x1 tablet, curcuma tablet 3x1 tablet, dan n-
antipiretik, memiliki efek samping acetil sistein kapsul 3x1 kapsul serta meningkatkan
hepatotoksik, dosis kotrimoksazol menjadi 960 mg/hari dosis
- Kotrimoksazol digunakan pada tunggal, menghentikan pemberian metoklopramid, dan
ODHA sebagai terapi profilaksis ARV, menyarankan dokter untuk memberikan terapi
primer untuk sembelit dengan antihemoroid suppositoria dosis
1 x sehari sebelum tidur
- kadar creatinine tinggi
mengindikasikan adanya gangguan
ginjal
- mulai diberikan ARV lini pertama
TDF+3TC+EFV
- sembelit dan sedikit BAK belum
diterapi

P: •Mengganti paracetamol dengan


antipiretik yang tidak memiliki efek
samping hepatotoksik seperti ibuprofen
dosis 3x1 tablet
•menambahkan suplemen hati yaitu
curcuma tablet dosis 3 x 1 tablet dan
kapsul n-asetil sistein dosis 3 x 1 kapsul
Peningkatan dosis kotrimoksazol sebesar
960 mg/hari dosis tunggal
 melakukan penghentian obat
sementara ARV (2 minggu terapi
kotrimoksazol) sehingga mengurangi
kerja ginjal
 menghentikan pemberian metoklopramid
dan menambahkan terapi untuk sembelit
yaitu antihemaroid suppositoria dosis 1 x
sehari sebelum tidur
 Menyarankan kepada pasien untuk
minum air putih 1,5 L
4/8 S: Nyeri perut, sulit BAB, sedikit BAK, Plan : mengganti paracetamol dengan ibuprofen,
bingung, marah2 anxiety, gangguan menambahkan suplemen hati, menambahkan terapi
penglihatan (kabur) suspect optalmic pemberian oksigen, meningkatkan dosis
neuropaty kotrimoksazol, menghentikan terapi metoklopramid
dan ARV, memberi terapi sembelit dengan
antihemoroid suppositoria, menambahkan terapi
O: Suhu 36,8 C; GDS = 350 mg/dL
insulin lispro, melakukan monitoring kadar GDS,
A: Paracetamol yang digunakan sebagai kepatuhan minum OAT pasien, dan efek samping OAT
antipiretik, memiliki efek samping
hepatotoksik, Kotrimoksazol digunakan Intruksi: menyarankan dokter untuk meresepkan
pada ODHA sebagai terapi profilaksis ibuprofen 3x1 tablet, curcuma tablet 3x1 tablet, dan n-
primer, kadar GDS tinggi acetil sistein kapsul 3x1 kapsul serta meningkatkan
mengindikasikan adanya gangguan dosis kotrimoksazol menjadi 960 mg/hari dosis
penglihatan sehingga perlu diberi terapi, tunggal, menghentikan pemberian metoklopramid, dan
sembelit dan sedikit BAK belum diterapi ARV, menyarankan dokter untuk memberikan terapi
untuk sembelit dengan antihemoroid suppositoria dosis
P: •Mengganti paracetamol dengan 1 x sehari sebelum tidur, menyarankan dokter untuk
antipiretik yang tidak memiliki efek memberikan terapi insulin lispro dosis 0,5-1,5
samping hepatotoksik seperti ibuprofen unit/kg/hari .
dosis 3x1 tablet
•menambahkan suplemen hati yaitu
curcuma tablet dosis 3 x 1 tablet dan
kapsul n-asetil sistein dosis 3 x 1 kapsul
 Peningkatan dosis kotrimoksazol sebesar
960 mg/hari dosis tunggal
 melakukan penghentian obat ARV
 menghentikan pemberian metoklopramid
dan menambahkan terapi untuk sembelit
yaitu antihemaroid suppositoria dosis 1 x
sehari sebelum tidur
 menambahkan terapi insulin lispro
dengan dosis 0,5-1,5 unit/kg/hari untuk
mengatasi mata kabur karena kadar GDS
yang tinggi
 menyarankan kepada pasien untuk
minum air putih 1,5 L

DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. 2008. (IONI) Informatorium Obat Nasional Indonesia. CV Sagung Seto.
Green, C. W. (2006). HIV & TB. Jakarta : Yayasan Spiritia

Kemenkes RI (2012) Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011, Jakarta:Kemenkes RI.

Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta

Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Inveksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada
Orang Dewasa. Jakarta

Kwara, A., Flanigan, T.P., Carter, E.J., 2005. Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) in
Adults with Tuberculosis: Current Status. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 9(3): 248–257

Anda mungkin juga menyukai