Anda di halaman 1dari 10

FARMASI RUMAH SAKIT

PERENCANAAN KEBUTUHAN OBAT

OLEH
KELOMPOK III
AKBAR REFORMASI PANGAN O1B1 20 044
INSAN PERMATASARI O1B1 20 057

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
FARMASI RUMAH SAKIT

Instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah suatu bagian, unit, devisi, atau
fasilitas di rumah sakit, tempat semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang
ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu sendiri. Seperti diketahui pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan, termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan
obat, bahan obat, dan obat tradisional
Pelayanan kefarmasian sebagai salah satu unsur dari pelayanan utama di
rumah sakit, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pelayanan
di rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang
bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat. Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan terpadu, dengan
tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan obat dan kesehatan (Ningsih dkk., 2018).
Obat merupakan unsur penting dalam berbagai upaya pelayanan
kesehatan. Sebagian besar upaya pelayanan kesehatan menggunakan obat dan
biaya yang digunakan untuk obat merupakan bagian yang cukup besar dari
seluruh biaya kesehatan. Intervensi dengan obat pun merupakan intervensi yang
paling banyak digunakan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan
Ketersediaan obat pada unit Pelayanan Kesehatan sangat mempengaruhi
mutu pelayanan kesehatan. Karena itu perlu adanya pengelolaan obat yang baik
yang bertujuan menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan
pelayanan obat yang efisien, efektif dan rasional. Proses pengelolaan obat terdiri
dari beberapa tahap yaitu tahap perencanaan, tahap pengadaan, tahap distribusi
dan tahap penggunaan. Tahap perencanaan merupakan tahap yang penting karena
faktor perencanaan obat yang tidak tepat, belum efektif dan kurang efisien
berakibat kepada tidak terpenuhinya kebutuhan obat – obatan di suatu pelayanan
kesehatan (Safriantini dkk., 2011).
Perencanaan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan adalah suatu proses
kegiatan seleksi obat dan perbekalan kesehatan untuk menentukan jumlah obat
dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Tujuan dari perencanaan adalah untuk
mendapatkan jenis dan jumlah yang tepat sesuai kebutuhan, menghindari
terjadinya kekosongan obat, meningkatkan penggunaan obat secara rasional,
meningkatkan efisiensi penggunaan obat serta menghindari terjadinya kelebihan
stock yang mengakibatkan obat kadaluwarsa.
Adapun yang langkah-langkah dalam perencanaan pengadaan sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI NO 1121/Menkes/SK/XII/2008 yaitu:
tahap pemilihan obat, tahap kompilasi pemakaian obat, tahap perhitungan obat,
tahap proyeksi kebutuhan obat dan tahap penyesuaian rencana pengadaan obat.

Tahap pemilihan obat


Petugas farmasi bertugas menghitung jumlah kebutuhan dari tiap jenis
obat yang disepakati oleh anggota tim perencanaan. Khusus pemilihan dan
perhitungan obat-obat tertentu untuk kebutuhan poli gigi (Pehacain), poli
kesehatan ibu dan anak (Vitamin dan tablet Fe, obat-obat KB) tidak dihitung oleh
petugas farmasi, melainkan dihitung oleh pemegang poli itu sendiri.
Idealnya pemilihan obat juga harus memperhatikan karakteristik dan pola
penyakit pasien. Sedangkan jumlah kunjungan lebih berpengaruh terhadap jumlah
obat yang harus disediakan. Data atau informasi jumlah kunjungan tiap-tiap
penyakit harus diketahui dengan tepat, sehingga dapat dipakai sebagai dasar
penetapan pengadaan obat, terutama bila kita akan menggunakan metode
epidemiologi. Sistem Informasi Perencanaan Pengadaan Obat dibutuhkan untuk
mengetahui jumlah obat yang direncanakan untuk dipesan secara efektif .
Sehingga penentuan kebutuhan obat dapat berjalan secara efektif dan efisien
(Purwaningsih, Subirman, 2019). Dan data atau informasi tentang jumlah
kunjungan harus tepat, karena berpengaruh terhadap perencanaan berdasarkan
metode konsumsi. Perkiraan jumlah kunjungan dan pola penyakit tidak
diperhitungkan sebelum adanya perubahan jumlah kunjungan dan pola penyakit
tersebut, melainkan pada saat atau setelah trend penyakit tersebut ada, maka
dilihat dari meningkatnya pemakaian akibat pemesana atau pembelian obat secara
cito tidak dapat dihindari (Murtafi’ah dkk., 2016).

Tahap kompilasi pemakaian obat


Informasi dari data pemakaian obat digunakan sebagai data dasar
perhitungan kebutuhan obat. Dari jawaban informan menunjukkan sumber data
yang digunakan dalam merencanakan kebutuhan obat diperoleh dari catatan obat
harian dari setiap unit pelayanan yang direkap dalam Laporan Pemakaian dan
Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Data yang digunakan yakni rata-rata
pemakaian per bulan, sisa stok, waktu tunggu kedatangan obat, waktu kekosongan
obat, dan stok pengaman. Kekosongan beberapa jenis obat selama beberapa bulan
mempengaruhi perhitungan rata-rata pemakaian per bulan sehingga data yang
diterima tidak mencerminkan kebutuhan obat secara riil (Prasetyo dkk. 2016).
Kompilasi atau rekapitulasi mutlak dilakukan untuk mengetahui pemakaian
bulanan masing-masing item obat selama setahun. Data kompilasi pemakaian
obat ini digunakan sebagai data dasar untuk menghitung stok optimum. Beberapa
informan yang mengutarakan bahwa penentuan jumlah obat yang dibutuhkan
dilakukan dengan metode konsumsi dan buffer stok, yaitu pemakaian rata-rata
tahun x 18 bulan. Penentuan jumlah kebutuhan yang dilakukan dalam
merencanakan kebutuhan obat publik tersebut dinilai belum tepat untuk penetuan
jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan metode konsumsi perlu memperhatikan
beberapa data seperti: daftar obat, stok awal, penerimaan, pengeluaran, sisa stok,
obat hilang/kadaluarsa,pemakaian rata-rata dan perkembangan pola kunjungan
(Rumbay dkk., 2015).

Tahap perhitungan kebutuhan obat.

Perhitungan perencanaan obat menggunakan rumus yang sudah diatur dari Dinas
Kesehatan (Dinkes, 2014), sebagai berikut:
Perhitungan rata-rata pemakaian per bulan x 18 bulan (dengan asumsi 12 bulan
stok kerja + 6 bulan stok pengaman) untuk obat slow moving atau 20 bulan
(dengan asumsi 12 bulan + 8 bulan) untuk obat fast moving (prasetyo dkk. 2016)

Perhitungan perencanaan obat menggunakan metode konsumsi dengan rumus:


Metode konsumsi dirasa dapat memberikan gambaran terhadap kebutuhan
obat yang akan datang serta cukup fleksibel diterapkan pada pelayanan kesehatan
dasar. Pola perencanaan kebutuhan obat untuk periode yang akan datang
diperkirakan sama dengan 1,5 kali pemakaian periode sebelumnnya setelah
ditambah stok penyangga,

Perlu menghitung besar safety stock obat sebelum melakukan perhitungan


usulan atau rencana kebutuhan obat per tahunnya. Tujuan dari perhitungan safety
stock adalah untuk memberikan stok pengaman obat yang cukup agar terhindar
dari kejadian stagnant maupun stockout obat.
Selain metode konsumsi, penentuan jumlah kebutuhan obat dapat juga
dilakukan dengan menggunakan metode morbiditas, yaitu dengan cara
menentukan jumlah kebutuhan obat dengan memperhatikan pola penyakit.
Penentuan jumlah obat dengan metode morbiditas membutuhkan cukup waktu
dan tenaga yang terampil dan sistem pencatatan dan pelaporan yang baik.
Cara perhitungan perencanaan obat dengan metode konsumsi untuk
memperoleh data kebutuhan obat yang mendekati akurat adalah dengan
melakukan perhitungan pemakaian ratarata obat, safety stock, lead time, dan sisa
stok obat yang tersedia. Perencanaan yang tidak tepat akan mengakibatkan
pemborosan dalam penganggaran, membengkaknya biaya pengadaan dan
penyimpanan, dan tidak tersalurkannya obat sehingga dapat menyebabkan obat
rusak atau kadaluarsa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan perencanaan pengadaan
obat adalah konsumsi bulan sebelumnya, pemakaian rata-rata, sisa stok, safety
stock, dan lead time. Ketidaksesuaian antara perencanaan dengan konsumsi dapat
menyebabkan kejadian stockout dan stagnant.
Safety stock berguna untuk menghindari kejadian stock out karena lead
time yang tidak sesuai perkiraan, peramalan yang tidak akurat, dan distributor
yang tidak dapat mengirimkan obat sesuai dengan permintaan atau kondisi obat
yang rusak. Lead time merupakan waktu yang dibutuhkan mulai dari pemesanan
hingga oba. Jumlah safety stock sebaiknya tidak disamakan antara obat dengan
kategori fast moving dan obat dengan kategori slow moving karena obat yang
termasuk kategori fast moving dan slow moving memiliki pergerakan obat yang
berbeda. Faktor penentu untuk mencapai keseimbangan antara pemintaan dan
persediaan salah satunya ditentukan oleh pergerakan obat, obat dengan kategori
fast moving sebaiknya tersedia lebih banyak, sedangkan obat dengan kategori
slow moving sebaiknya disediakan dalam jumlah yang lebih sedikit (Fairuz dan
Tito, 2017).
Perhitungan perencanaan kebutuhan obat juga berhubungan dengan lead
time dan stok pengaman. Lead time atau masa tenggang yang dibutuhkan dari
mulai pemesanan obat dilakukan sampai pengiriman barang. Bila proses di
instalasi farmasi cepat dan stok obat sesuai antara yang dicantumkan pada form
permintaan obat dengan stok yang ada dalam sistem komputerisasi, maka tidak
ditemukan masalah pada pemesanan barang dan pembayaran obat. Bila
pembayaran obat sesuai dengan jatuh temponya, maka tidak ada penundaan
pengiriman barang yang telah dipesan. Masalah terjadi bila pembelian obat dirasa
sudah cukup tinggi, maka beberapa pesanan obat dengan pertimbangan tertentu
akan dilakukan penundaan pemesanan, dan hal tersebut akan mengganggu
ketersediaan obat.
Stok pengaman diperlukan untuk menghindari kekosongan obat akibat
kenaikan jumlah pemakaian. Besarnya stok pengaman dapat ditentukan antara lain
dengan berdasarkan lead time. Diperlukan perhitungan safety stock obat dan
menentukan lead time dalam perhitungan usulan perencanaan obat sehingga bisa
didapatkan perhitungan perencanaan obat yang lebih akurat.
Hasil kebutuhan obat yang diperoleh didapat dari perhitungan secara
akumulatif tiap tahunnya dalam jangka waktu 5 tahun terakhir. Jadi lebih kepada
penentuan kebutuhan obat sesuai dengan tingkat frekuensi pemakaian obat itu
sendiri. Jika pada metode konsumsi kelemahan penentuan kebutuhan obat terletak
pada dikhawatirkannya terjadi penumpukan obat, borosnya pengeluaran anggaran
belanja obat ataupun penurunan kualitas obat, berbeda pada metode peramalan
karena pada metode ini tidak termasuk pada pertimbangan lead time dan buffer
stock obat. Sehingga penentuan obat hanya untuk periode tertentu tanpa
memperhatikan sisi persediaan obat pada masa tunggu tertentu.
Besarnya persediaan (stok akhir) dan komposisi obat yang dimiliki dapat
diketahui setelah diadakan penyetokan (stock opname) pada setiap periode,
sehingga agar tujuan inventory control tercapai yaitu terciptanya keseimbangan
antara persediaan dan permintaan, maka stock opname harus seimbang dengan
permintaan pada satu periode waktu tertentu. Hal ini disebabkan setiap jenis obat
memiliki karakteristik data time series yang berbeda. Besarnya stok akhir obat
menjadi dasar pengadaan obat karena dari stok akhir tidak saja diketahui jumlah
dan jenis obat yang diperlukan, tetapi juga diketahui percepatan pergerakan obat,
sehingga kita dapat menentukan obat-obat yang bergerak cepat (laku keras) dapat
disediakan lebih banyak. Dikenal pula adanya istilah stagnan obat, penyebab
stagnan obat karena adanya pengadaan obat yang berlebihan dan perilaku user
dalam penggunaan obat. Ketidakefisienan dan ketidaklancaran pengelolaan obat
akan memberi dampak negatif, baik secara medik, sosial maupun secara ekonomi
(Purwaningsih, Subirman, 2019).
Rumus Metode Perbedaan Pemakaian Maksimum dan Pemakaian Rata-rata
(Rosmania, Stefanus, 2015)

Proyeksi Kebutuhan Obat


Data yang diperlukan dalam menentukan proyeksi kebutuhan obat adalah
lembar kerja perhitungan perencanaan pengadaan obat. lembar kerja perencanaan
pengadaan obat. Lembar kerja perencanaan pengadaan ini terdiri atas kolom nama
obat, kemasan, harga kemasan, sisa stok` . pemakaian rata-rata perbulan, total
pemakaian kemasan, usulan dana, total usulan kebutuhan dan total harga.
pemakaian rata-rata perbulan, total pemakaian kemasan, usulan dana, total usulan
kebutuhan dan total harga (Safriantini dkk., 2011).

Tahap penyesuaian rencana pengadaan obat


Tahap penyesuaian obat berdasarkan jumlah kebutuhan riil obat pada
periode tahun lalu dengan penyesuaian dan koreksi berdasarkan pada penggunaan
obat tahun sebelumnya. Pemakaian periode sebelumnya yaitu jumlah obat yang
dibutuhkan pada bulan sebelumnya. Pemakaian dilihat dari kartu stock dan
laporan bulanan pemakaian Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Data ini
merupakan faktor penting dalam perencanaan karena dapat dirinci dengan tepat
dan sebagai acuan (Murtafi’ah dkk., 2016)

salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan obat


yaitu anggaran pengadaan obat. Anggaran adalah jumlah dana yang telah
direncanakan dan disesuaikan dengan mempertimbangkan beberapa hal.
Anggaran dibuat berdasarkan jumlah resep pada bulan sebelumnya dari masing–
masing pasien yang besarnya berbeda tiap bulannya. Apabila pembelian logistic
melebihi anggaran yang ada, maka bagian keuangan akan melakukan koordinasi
dengan bagian logistic dan instalasi farmasi untuk kemungkinan dilakukan
penundaan pemesanan barang, untuk lebih memprioritaskan logistic yang banyak
dibutuhkan yang menunjang pelayanan. Sedangkan obat yang bisa disubsitusi bisa
dilakukan penundaan pemesanan atau pemesanan dikurangi dari jumlah
sebelumnya, agar logistic terpenuhi semuanya. Jika penentuan kebutuhan suatu
item barang dalam satu periode seharusnya kurang lebih 1.000 unit, tetapi
direncanakan sebesar 10.000 unit. Akibatnya akan terjadi pemborosan dalam
penganggaran, membengkaknya biaya pengadaan dan penyimpanan. Lalu jika
terjadi kejadian tidak tersalurkannya obat/barang tersebut sehingga barang bisa
rusak, dan kadaluarsa maka perlu dilakukan kegiatan penghapusan (terutama
untuk obat) yang berarti kerugian. Apabila barang tidak rusak, aka menumpuk di
gudang yang merupakan opportunity cost.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Kebutuhan Obat
Kurangnya tenaga farmasi khususnya Apoteker yang terlatih
menyebabkan pekerjaan kefarmasian terganggu. Pengatahuan petugas pengelola
obat tentang manajemen pengelolaan obat menjadi tidak baik. Hal ini dapat
mempengaruhi keakuratan data sehingga menyababkan perencanaan kebutuhan
obat menjadi tidak tepat.

Kegiatan koordinasi dan monitoring dari atasan selama pelaksanaan


kegiatan perencanaan kebutuhan dapat memotivasi petugas pengelola obat untuk
menyelesaikan perencanaan kebutuhan secara maksimal dan bertanggungjawab.
Koordinasi dan monitoring dapat membantu petugas pengelolaan obat dalam
melaksanakan perencanaan dan kebutuhan obat dengan baik dan tepat. (Rumbay
dkk., 2015)
DAFTAR PUSTAKA

Fairuz, N. A dan Tito, Y., 2017, Perhitungan Konsumsi Obat Untuk Logistik
Medik di Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya, JAKI, Vol. 5(2).

Murtafi’ah, L., Fitriana, Y., Imron, W. H., 2016, Analisis Perencanaan Obat Bpjs
Dengan Metode Konsumsi Di Instalasi Farmasi Rsud Tidar Kota
Magelang Periode Juni-Agustus 2014, Jurnal Farmasi Sains dan
Praktis, Vol. I(2).

Ningsih, D. K., Dicky, D. T., Yanuar, J., Djajang, dan Fresley, Hutapea, 2018,
Analisis Perencanaan Terhadap Kebutuhan Obat di Instalasi Farmasi
RS Kartika Pulomas, Jurnal Manajemen dan Administrasi Rumah
Sakit,Vol. 2(1).

Prasetyo, E. Y., Satibi`, dan Gunawan, P. W., 2016, Evaluasi Perencanaan


Kebutuhan Obat Publik Serta Ketersediaan Obat Di Tingkat Puskesmas
Se-Wilayah Kerjadinkes Kota Surakartatahun 2015, Jurnal Farmasi
Indonesia, Vol. 13(2).

Purwaningsih, E dan Subirman, 2019, Alternatif Kebijakan Perencanaan


Kebutuhan Obat Dengan Menggunakan Metode Arima Box-Jenkins
Untuk Mengatasi Kelebihan Stok, Jurnal Kebijakan Kesehatan
Indonesia, Vol. 8(1).

Rumbay, I. N., Kandou, G. D., dan Soleman, T., 2015, Analisis Perencanaan Obat
di Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Tenggara, JIKMU, Vol. 5(2)`

Safriantini, D., Asmaripa, A., Rini, M., 2011, Analisis Perencanaan Dan
Pengadaan Obat Di Puskesmas Pembina Palembang, Jurnal Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Vol 2(1).

Anda mungkin juga menyukai