B. Landasan teori
Kromatografi lapis tipis adalah kromatografi yang lapisan stasionernya berupa
lapisan tipis suatu adsorben misalnya gel silika, dilapiskan pada pelat dan fase
geraknya adalah suatu campuran pelarut. Sampel diaplikasikan pada pelat,
kemudian pelat diberdirikan dengan ujung bvawah pada pelarut. Ketika pelarut
naik akibat aksi kapiler pada adsorben, komponen sampel terbawa dengan
kecepatan yang berbeda dan dapat dilihat sebagai deretan titik-titik setelah platnya
dikeringkan dan diwarnai atau dilihat dibawah cahaya ultraviolet (Sumawinata.
2004).
Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk identifikasi suatu senyawa
dalam campuran senyawa dengan membandingkan Rf dengan Rf senyawa yang
telah diketahui yang dilakukan dalam plat KLT yang sama, selain itu kromatografi
lapis tipis merupakan teknik yang sederhana, hemat biaya mudah untuk dilakukan
(Triadisti dan Heldawati, 2018).
Identifikasi yang umumnya dilakukan adalah berdasarkan kedudukan noda
terhadap permukaan pelarut, yang dikenal nilai Rf. Nilai Rf merupakan parameter
karakteristik kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis. Harga ini
merupakan ukuran kecepatan migrasi suatu senyawa pada kromatogram dan pada
kondisi konstan merupakan besaran karakteristik dan reprodusibel (Leba, 2017).
Karakter yang diinginkan dalam pemilihan fasa gerak yang kompetitif untuk
KLT antara lain parameter kelarutan, indeks polaritas, dan kekuatannya sebagai
solvent. Parameter kelarutan menunjukkan kemampuannya untuk berkombinasi
dengan beragam pelarut lain. Indeks polaritas menunjukkan besaran empiris yang
digunakan untuk mengkur ketertarikan antara molekul dalam solut dengan
molekul solven pada parameter kelarutan solven yang bersangkutan dalam
keadaan murninya. Sementara kekuatan pelarut dinyatakan sebagai bilangan tanpa
satuan yang berkisar antar -0,25 sampai +1,3 yang ditentukan melalui energi
adsorbsi oleh molekul solven pada solven yang bersangkutan (Rubiyanto, 2016).
Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan
siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi
asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat
lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat
antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya
mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer (Suryaningsih dkk., 2018).
Asam asetilsalisilat atau asetosal adalah obat antinyeri tertua yang sampai kini
paling banyak digunakan di seluruh dunia. Zat ini juga berkhasiat antidemam kuat
pada dosis rendah sekali (80 mg) berdaya menghambat agregasi trombosit.
Resorpsi asetosal cepat dan praktis lengkap, terutama di bagian pertama
duodenum. Namun, karena bersifat asam, sebagian zat diserap pula di lambung.
Sifat asam dari asetosal inilah yang mengakibatkan efek samping yang paling
sering terjadi berupa iritasi lambung dengan resiko tukak lambung dan pendarahan
samar atau occult (Rusli, 2018).
Kafein mempunyai efek stimulan dan adiktif. Kafein memiliki efek
samping yaitu timbul rasa gelisah, denyut jantung tidak beraturan, sulit tidur,
tekanan darah tinggi dan dapat menyebabkan ketagihan ringan (Nurcahyaningsih,
2008). Berdasarkan BPOM tahun 2004 dosis kafein yang diizinkan 150 mg/hari,
sedangkan menurut SNI 01- 7152-2006 batas maksimum kafein dalam makanan
dan minuman adalah 150 mg/hari dan 50 mg/sajian (Irawati dkk., 2018).
C. Alat Dan Bahan
1. Alat
Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah :
a. Batang pengaduk
b. Bejana KLT (chamber)
c. Gelas ukur
d. Gelas kimia
e. Gelas objek
f. Pipet kapiler
g. Pipet tetes
h. Oven
2. Bahan
Bahan bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah :
a. Aquades
b. Asetosal murni
c. Bintang toedjoe
d. Bodrex
e. Kafein murni
f. Kertas label
g. Neoplad
h. Paracetamol murni
i. Silika gel
j. Tisu
D. Prosedur Kerja
1. Pembuatan Eluen
Perbandingan I
- Dimasukkan kloroform 4 mL
- Dimasukkan n-heksan 3 mL
Eluen I
Perbandingan II
- Dimasukkan kloroform 4 mL
- Dimasukkan n-heksan 4 mL
Eluen II
2. Pembuatan Silika Gel
Silika Gel
kimia
- Dihomogenkan
tertutup sempurna
Silika Gel
3. Pembuatan Sampel
Sampel
dalam 10 mL aquades)
Hasil pengamtan
4. Analisis Kromatografi Lapis Tipis
Sampel
sediaan
- Dielusi
Hasil pengamatan ?
E. Tabel Pengamatan
Neoplad 6,4 cm
2. 0.2 cm
(UV 254) II
Neoplad 6,4 cm
4. -
(UV 366) I
OCOCH3
Pada percobaan ini digunakan pelat yang terbuat dari kaca bening yang
telah dilapisi dengan fase diam yaitu silica gel. Fase gerak digunakan campuran n-
heksan, dengan perbandingan . Penggunaan tiga sistem pengembang ini bertujuan
untuk meyakinkan suatu identifikasi suatu senyawa karena masing-masing pelarut
memiliki tingkat kepolaran yang berbeda sehingga suatu senyawa dapat terpisah
berdasarkan tingkat kepolarannya.Sebelumnya sampel uji dilarutkan terlebih
dahulu dengan campuran larutan .
Eluen yang digunakan merupakan kombinasi dari 4 macam pelarut yaitu
etanol, n- heksan dan kloroform menggunakan perbandingan 6:2:1. Fasa gerak
tersebut bersifat nonpolar sehingga pada saat campuran pelarut dimasukkan,
senyawa-senyawa yang semakin polar akan semakin lama tertahan di fasa diam
(silika gel) yang bersifat polar, dan senyawa-senyawa yang semakin kurang polar
akan terbawa naik ke atas. Eluen yang dibuat dijenuhkan dengan cara chamber
ditutup rapat dan didiamkan. Chamber yang digunakan berupa gelas kaca yang
ditutupi gelas arloji, terlebih dahulu eluen dalam chamber dijenuhkan dengan
pemberian kertas saring hingga keluar gelas kemudian ditutup gelas arloji. Eluen
jenuh menunjukkan dengan basahnya kertas saring hingga keluar gelas. Proses ini
dilakukan agar atmosfer dalam chamber terjenuhkan dengan uap pelarut.
Penjenuhan udara dalam chamber dengan uap akan menghentikan penguapan
pelarut sama halnya dengan pergerakan pelarut dalam KLT. Selain itu tujuan
pembasahan pada kertas saring, untuk menghilangkan uap air atau gas lain yang
mengisi fase penjerap yang akan menghalangi laju eluen
Larutan pengembang berfungsi sebagai eluent atau fase gerak. Sebelum
dilakukan penotolan sampel, sampel harus terlebih dahulu digerus dan dilarutkan
dalam eluen. Hal ini dilakukan juga pada zat pembanding. Zat pembanding berisi
zat murni yang bebas dari zat tambahan. Sampel beserta zat pembanding kemudian
ditotolkan pada plat silika menggunakan pipa kapiler. Penotolan harus dilakukan
sekecil dan sesempit mungkin. Jika penotolan terlalu besar maka akan
menurunkan resolusi. Penotolan yang tidak tepat juga akan menyebabkan bercak
menyebar dan menghasilkan puncak ganda. Setelah ditotol lalu dimasukkan ke
dalam chamber sampai terjadi pengembangan. Pengembangan ialah proses
pemisahan campuran sampel akibat pelarut pengembang merambat naik dalam
lapisan. Proses ini akan menghasilkan bercak noda.
Lempeng KLT terlebih dahulu diberi batas atas 0,5 cm dan batas bawah 1
cm. Batas bawah digunakan untuk menotolkan sampel. Tujuan diberi batas bawah
ini adalah untuk mencegah agar sampel tidak sampai tercelup dan larut dalam
eluen. Batas atas digunakan untuk mengakhiri proses elusi yang ditandai bahwa
migrasi eluen sampai tanda batas. Lempengan KLT dimasukan ke dalam bejana
dan dihindari adanya penguapan fase gerak yang berlebihan karena dapat
mengurangi kejenuhan bejana. Fase gerak akan mengelusi lempengan silika
hingga batas atas. Fase gerak dapat mengemulsi lempengan silika karena gaya
kapilaritas. Ketika pelarut membasahi lempengan, pertama kali pelarut akan
melarutkan senyawa- senyawa (parasetamol, asetosal dan kafein) dalam bercak
yang telah ditotolkan pada batas dasar. Senyawa-senyawa tersebut akan cenderung
bergerak pada lempeng silika gel sebagaimana halnya pergerakan pelarut.
Bercak noda yang dihasilkan dari berfluoresensinya sampel, yaitu tampak
pada lampu UV 254 nm dilanjutkan ke lampu UV 366 nm. Penampakan noda
terjadi karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang
terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut.. Pada lampu UV 254 warna
noda yang nampak berwarna gelap dan lempengnya berpendar sebab lempeng
yang digunakan berupa lempeng dengan penjerap silika gel GF 254 yang
berfluorosensi pada lampu UV 254 nm. Sedangkan pada lampu UV 366 nm,
penjerap tidak berfluorosensi, tetapi yang berfluorosensi adalah noda atau dengan
kata lain bercak noda berpendar.
Penetapan nilai Rf dari sampel obat parasetamol, asetosal dan kafein
dengan kromatografi lapis tipis berdasarkan pada kecepatan partisi dan adsorbsi
zat uji kedalam eluen dengan parameter Rf dari noda yang terbentuk. Harga Rf
didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak senyawa dan titik awal dan jarak
tepi muka pelarut dari titik awal. Harga ini ialah ukuran kecepatan migrasi suatu
senyawa pada kromatogram dan pada kondisi konstan merupakan besaran
karakteristik dan reproduksibel. Lempeng yang digunakan menggunakan adsorben
yang terbuat dari silika gel. Dari bercak ini kemudian dapat dihitung nilai Rf.Dari
hasil percobaan yang telah dilakukan tidak didapatkan nilai Rf disebabkan karena
bercak tidak nampak pada plat KLT. Hal ini disebabkan karena kesalahan pada
saat praktikum seperti teknik totol sampel kurang tepat, rusaknya plat dibagian
batas bawah, sampel tidak berwarna, atau volume sampel yang kurang.
I. Kesimpulan
Kesimpulan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui cara analisis senyawa
obat dengan menggunakan metode KLT dapat dilakukan dengan bebrapa tahap,
yaitu dengan penyiapan eluen, penyiapan lempeng KLT, penotolan sampel, elusi
dengan larutan pengembang serta penentuan nilai Rf pada noda yang terbentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Leba, M. A. U., 2017, Buku Ajar Ekstraksi dan Real Kromatografi, Deepublish :
Yogyakarta.
Irawati, D., Anita, A.S. dan Rahmi, N., 2018, Penetapan Kadar Kafein Pada Teh
Oolong (Camellia Sinensis) Dengan Metode Titrasi Bebas Air, Proceeding of
the Urecol, ISSN:2407-9189.
Rusli, N., 2018, Formulasi Gel Transdermal Asetosal Menggunakan Basis Hpmc,
Jurnal Insan Farmasi Indonesia, Vol.1 (1).
Triadisti,N. dan Heldawati., 2018, Analisa Kualitatif Sildenafil Sitrat pada Beberapa
Produk Jamu Sehat Pria Dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis Di Wilayah
Banjarmasin, JCPS, Vol.1 (2).