Anda di halaman 1dari 35

Makalah Farmasi Klinik

Terapiutic Drug Monitoring, Total Parental Nutrition, dan Handling Sitostatika

DOSEN
Septi Muharni, , M.Farm,Apt

DISUSUN OLEH:

1 Dhea Rizky Wannisah Putri ( 1501007 )


2 Idhadi Putra ( 1501021 )
3 Sherly Ramadhani (1501044 )
4 Tiara Laras Suci ( 1501047 )
5 Uswatun Hassanah ( 1501049 )

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah dengan judul Terapiutic Drug
Monitoring, Total Parental, dan Handing Sitostatika
ini dengan baik.
Makalah ini di ambil dari berbagai sumber-sumber terpercaya dan sudah banyak di kenal
masyarakat yang saya rangkum menjadi satu kesatuan. Makalah ini diharapkan mampu
membantu saya dan anda sekalian yang membacanya untuk memperdalam pemahaman tentang

1
interaksi antar hormon dan segala hal yang berkaitan dengan hormon. Selain itu, makalah ini
juga di harapkan dapat menjadi bacaan dan bahan ajaran para pembaca sekalian.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih pada para pembaca yang berkenan untuk membaca
makalah ini dan untuk dosen pembimbing. Sebagai penyusun saya begitu berharap agar makalah
ini dapat bermanfaat. Kritik dan saran selalu saya nantikan untuk pengembangan dan
kesempurnaan makalah ini agar menjadi layak untuk di pelajari.

Pekanbaru, 05 April 2017

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.2 LATAR BELAKANG....................................................................................1

1.2 TUJUAN PENULISAN.................................................................................3

1.3 RUMUSAN MASALAH...............................................................................3

BAB II ISI

2.1 TERAPEUTIC DRUG MONITORING (TDM)............................................3


2.2 TOTAL PARENTERAL NUTRITION (TPN)...............................................13

2
2.3 HANDLING SITOSTATIKA ........................................................................21

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN..............................................................................................36

3.2 SARAN..........................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsep pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) merupakan pelayanan yang


dibutuhkan dan diterima pasien untuk menjamin keamanan dan penggunaan obat yang
rasional, baik sebelum, selama, maupun sesudah penggunaan obat. Keinginan yang kuat
untuk mengembalikan peran seorang farmasis di dunia kesehatan membuat pelayanan
kefarmasian berkembang menjadi farmasis klinik (clinical pharmacist). Clinical pharmacist
merupakan istilah untuk farmasis yang menjalankan praktik kefarmasian di klinik atau di
rumah sakit.
Ruang lingkup dalam pelayanan farmasi harus dilaksanakan dalam kerangka sistem
pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pasien. Pelayanan farmasi rumah sakit
merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang

3
bermutu. Hal tersebut di perjelaskan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333 /
Menkes / SK/ XII/ 1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa
pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari system pelayanan
kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyedian obat yang
bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang tejangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Therapeutic Drug Monitoring (TDM) juga dikenal dengan istilah Drug Therapy
Monitor yang artinya adalah Pengawasan terhadap kadar atau tingkatan obat didalam darah.
Tujuan dan tugas dari TDM adalah untuk mengukur kadar atau level obat yang ada di dalam
darah, dengan begitu, maka dosis obat yang efektif dalam darah dapat ditentukan, sehingga
dapat mencegah terjadinya keadaan toksik atau keracunan obat di dalam tubuh.
Menurut Rock CL (2004), nutrisi adalah proses dimana tubuh manusia menggunakan
makanan untuk membentuk energi, mempertahankan kesehatan, pertumbuhan dan untuk
berlangsungnya fungsi normal setiap organ baik antara asupan nutrisi dengan kebutuhan
nutrisi. Status nutrisi normal menggambarkan keseimbangan yang baik antara asupan nutrisi
dengan kebutuhan nutrisi (Denke, 1998; Klein S, 2004). Kekurangan nutrisi memberikan
efek yang tidak diinginkan terhadap struktur dan fungsi hampir semua organ dan sistem
tubuh (Suastika, 1992). Nutrisi Lengkap Parenteral atau Total Parenteral Nutrition (TPN)
adalah sediaan yang mengandung nutrient lengkap diberikan secara intravena untuk
mengembalikan berat badan dan keadaan anabolik, jika rute oral dan enteral tidak
memungkinkan karena saluran cerna tidak berfungsi (Wesly, 1990)
Sitostatika merupakan golongan obat yang digunakan dalam pengobatan kanker yang
paling banyak menunjukkan kemajuan dalam pengobatan penderita kanker. Karena itu pula
harapan dan tumpuan dunia medis terhadap efek pengobatan dengan sitostatika terus
meningkat. Sejalan dengan harapan tersebut upaya menyembuhkan atau sekurangnya
mengecilkan ukuran kanker dengan sitostatika terus meluas. Selain untuk melindungi petugas
dan lingkungan dari keterpaparan obat kanker, preparasi obat sitostatika secara aseptis
(handling citotoxic) diperlukan untuk melindungi produk dari kontaminasi mikroba dengan
teknik aseptis, melindungi personal dan lingkungan yang terlibat dari exposure bahan
berbahaya.

1.2 Rumusan Masalah

4
a. Bagaimana Therapeutic Drug Monitoring (TDM) ?
b. Apa Itu Total Parenteral Nutrition (TPN)?
c. Apa itu hadling sitostatika?
1.1. Tujuan
a. untuk mengetahui bagaimana cara Therapeutic Drug Monitoring (TDM)
b. untuk menegetahui Total Parenteral Nutrition (TPN)
c. untuk mengetahui apa itu hadling sitostatik

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Terapeutic Drug Monitoring (TDM)


2.1.1 Pengertian
Therapeutic Drug Monitoring (TDM) juga dikenal dengan istilah Drug Therapy
Monitor yang artinya adalah Pengawasan terhadap kadar atau tingkatan obat didalam
darah.
Menurut The International Association for Therapeutic Drug Monitoring and
Clinical Toxicology, Therapeutic Drug Monitoring didefinisikan sebagai pengukuran
yang dilakukan di laboratorium dengan parameter yang sesuai yang dapat mempengaruhi
prosedur pelaksanaan. Pengukuran tersebut dilakukan pada sekelompok obat tertentu
dimana memiliki hubungan lansung antara konsentrasi obat dalam serum dan respon
farmakologi dan yang diukur adalah matriks biologi dari xenobiotik, maupun komponen
endogen yang memiliki karakterisasi hampir sama dengan fisiologi dan patofisiologi
dengan individu yang mendapatkan terapi.

2.1.2 Tujuan dan tugas dari TDM


Tujuan dan tugas dari TDM adalah untuk mengukur kadar atau level obat yang
ada di dalam darah, dengan begitu, maka dosis obat yang efektif dalam darah dapat

5
ditentukan, sehingga dapat mencegah terjadinya keadaan toksik atau keracunan obat di
dalam tubuh. TDM ini juga seringkali dimanfaat kan untuk mengidentifikasi pasien atau
penderita yang tidak patuh (biasanya untuk pasien yang dengan alasan apapun berusaha
untuk tidak menaati dosis obat yang telah diberikan oleh dokter dengan tujuan
pengobatan).

2.1.3 Fungsi TDM


1. Memilih obat
Pemilihan terapi dengan obat biasanya dibuat atas dasar diagnosis fisik penderita,
adanya berbagai masalah patofisiologik pada penderita, riwayat pengobatan penderita
sebelumnya, terapi obat yang bersamaan, alergi atau kepekaan yang diketahui dan
aksi farmakodinamik obat.
2. Rancangan aturan dosis
Setelah obat yang tepat dipilih untuk penderita, ada sejumlah factor yang harus
dipertimbangkan pada waktu merancang aturan dosis terapetik.
a. Pertimbangan farmakokinetika yang umum dari obat yang meliputi profil
absorbsi, distribusi dan eliminasi pada penderita
b. Pertimbangan fisisologi penderita seperti umur, berat badan, jenis kelamin,
dan status nutrisi
c. Setiap kondisi patofisiologik seperti tidak berfungsinya ginjal, penyakit hati,
dan kegagalan jantung congestive, dipertimbangkan karena dapat
mempengaruhi profil farmakokinetika normal obat.
d. Hendaknya dipertimbangkan exposure penderita terhadap pengobatan yang
lain atau faktor-faktor lingkungan seperti merokok yang mungkin juga dapat
mengubah farmakokinetik yang umum
e. Rancangan aturan dosis seharusnya mempertimbangkan sasaran konsentrasi
obat pada reseptor penderita yang meliputi berbagai perubahan kepekaan
reseptor terhadap obat
3. Penilaian respon penderita
Jika penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi obat seperti yang
diharapkan, maka obat dan aturan dosis hendaknya ditinjau kembali. Aturan dosis
hendaknya ditinjau kembali tentang kecukupan, ketelitian dan kepatuhan penderita
terhadap terapi obat. Praktisi hendaknya menentukan perlunya atau tidak konsentrasi
obat dalam serum penderita diukur. Dalam banyak keadaan keputusan klinik dapat
menghindari perlunya pengukuran konsentrasi obat dalam serum.
4. Pengukuran konsentrasi obat dalam serum

6
Sebagian besar anggapan yang dibuat oleh praktisi menyatakan bahwa
konsentrasi obat dalam serum berkaitan dengan efek terapetik dan efek toksik obat.
Untuk banyak obat, studi klinik telah menunjukkan bahwa ada suatu rentang efektif
terapetik dari konsentrasi obat dalam serum. Oleh karena itu, pengetahuan tentang
konsentrasi obat dalam serum dapat menjelaskan mengapa seorang penderita tidak
memberikan reaksi terhadap terapi obat, atau mengapa penderita mengalami suatu
efek yang tidak diinginkan. Sebagai tambahan, praktisi mungkin ingin menjelaskan
ketelitian dari aturan dosis.
5. Penetapan kadar obat
Analisa obat biasanya dilakukan oleh laboratorium kimia klinik atau laboratorium
farmakukinetik klinik. Metode analisis yang digunakan untuk penetapan kadar obat
dalam serum hendaknnya telah sahih, berkenaan dengan hal-hal seperti spesifitas,
linearitas, kepakaan, ketepatan, ketelitian, dan stabilitas.
6. Penilaian secara farmakokinetik
Setelah konsentrasi obat dalam serum dukur, ahli farmakokinetik hendaknya
menilai data secara tepat. Sebagian besar laboratorium melaporkan konsentrasi total
obat yaitu obat bebas dan obat yang terikat dalam serum. Ahli farmakokinetika
hendaknya mengetahui rentang terapeutik yang umum dari konsentrasi obat dalam
serum dari kepustakaan.
Hasil penetapan kadar dari laboratorium dapat menunjukkan bahwa kadar obat
dalam serum penderita lebih tinggi, lebih rendah, atau sama dengan kadar serum yang
diharapkan. Ahli farmakokinetik hendaknya menilai hasil ini secara hati-hati dengan
memperimbangkan kondisi dan patofisologik penderita. Sebagai tambahan, keluhan
penderita adanya rangsangan yang berlebihan dan insomnia, mungkin juga berkaitan
dengan penemuan dari konsentrasi teofilin yang lebih tinggi daripada konsentrasi
teofilin dalam serum yang diharapkan. Oleh karena itu dokter atau ahli
farmakokinetik hendaknya menilai data dengan menggunakan pertimbangan medik.
7. Penyesuaian dosis
Dari data konsentrasi obat dalam serum dan observasi penderita, dokter atau ahli
farmakokinetika dapat menganjurkan adanya penyesuaian dalam aturan dosis. Secara
ideal aturan dosis yang baru hendaknya dihitung dengan menggunakan parameter-
parameter farmakokinetik yang didapat dari konsentrasi obat dalam serum penderita.
8. Pemantauan konsentrasi obat dalam serum

7
Dalam beberapa kasus, patofisiologi penderita mungkin tidak stabil, apakah
membaik atau memburuk. Sebagai contoh, terapi yang tepat untuk kegagalan jantung
congestive akan memperbaiki curah jantung dan perfusi ginjal, sehingga menaikkan
klirens ginjal dari obat. Oleh karena itu perlu pemantauan yang berkesinambungan
dari konsentrasi obat dalam serum untu meyakinkan terapi obat yang tepat pada
penderita. Untuk beberapa obat respons farmakologik akut dapat dipantau sebagai
pengganti konsentrasi obat dalam serum yang sebenarnya. Sebagai contoh, waktu
pembekuan protrombin mungkin berguna untuk pemantauan terapi antikoagualan dan
pemantauan tekananan darah untuk obat hipotensive.
9. Rekomendasi khusus
Pada suatau waktu karena faktor-faktor lain penderita mungkin tidak memberikan
reaksi terhadap terapi obat. Sebagai contoh, penderita tidak mematuhi intruksi
pengobatan (kepatuhan penderita). Penderita mungkin memakai obat setelah makan
yang seharusnya sebelum makan. Penderita tidak mematuhi diet khusus (misal,
rendah garam). Oleh karena itu, penderita mungkin membutuhkan instruksi khusus
yang sederhan dan mudah diikuti.
10. Aturan dosis secara individual
Pendekan yang paling teliti untuk racangan aturan dosis adalah perhitungan dosis
yang didasarkan atas farmakokinetik obat pada penderita. Pendekatan ini tidak
memungkinkan untuk perhitungan dosis awal. Segera sesudah penderita mendapat
pengobatan, penyesuaian kembali dosis dapat dihitung dengan menggunakan
parameter-parameter yang didapat dari pengukuran kadar obat dalam serum setelah
dosis awal.
11. Aturan dosis didasarkan atas harga rata-rata populasi
Dalam model yang pasti dianggap bahwa parameter farmakokinetik rata populasi
dapat digunakan secara langsung untuk menghitung aturan dosis penderita tanpa
suatu perubahan. Biasanya parameter farmakokinetik, seperti tetapan laju absorbsi,
faktor bioavaibilitas, volume distribusi dan tetapan laju eliminasi, dianggap tetap.
12. Penentuan dosis
Dosis suatu obat diperkirakan dengan tujuan dapat memberikan kadar terapetik
obat yang diinginkan dalam tubuh.

13. Penentuan frekuensi pemberian obat

8
Besarnya suatu dosis obat sering dikaitkan dengan frekuensi pemberian obat.
Makin sering suatu obat diberikan, dosis harus lebih kecil. Pada umunya, jarak waktu
pemberian dosis untuk sebagian besar obat ditentukan oleh waktu paruh eliminasi.
14. Penentuan rute pemberian
Pemilihan rute pemberian yang tepat merupakan pertimbangan yang penting
dalam terapi dengan obat. Laju absorbsi dan lama kerja obat dipengaruhi oleh rute
pemberian obat. Lebih lanjut, sering ada pertimbangan fisiologik yang menghindari
penggunaan rute tertentu pemberian obat.
15. Pemberian dosis obat pada bayi
Perbedaan komposisi tubuh dan kesempurnaan pertumbuhan hati dan fungsi
ginjal merupakan perbedaan yang potensial dalam farmakokinetika yang
berhubungan dengan umur.
Pada umumnya, fungsi hepatic belum tercapai sampai minggu ketiga. Bayi yang
baru lahir menunjukkan aktivitas ginjal hanya 30 50 %. Obat-obat yang sangat
bergantung pada ekskresi ginjal akan mengalami kenaikan waktu paruh eliminasi
yang tajam.
16. Pemberian dosis obat pada orang usia lanjut
Komposisi tubuh dari penderita usia lanjut berubah dalam banyak hal. jaringan
lemak naik dan proses metabolit lambat. Sebagai contoh obat-obat yang larut dalam
lemak dapat berubah volume distribusinya sehubungan dengan kenaikkan jumlah
jaringan lemak.

17. Pemberian dosis pada penderita obese


Penderita obese mempunyai akumulasi jaringan lemak yang lebih besar dari pada
keperluan untuk fungsi tubuh normal. Menurut data metropolitan life insurance,
penderita dianggap obese jika berat bada melebihi 20% berat badan ideal. Lain
halnya, atlit yang mempunyai berat badan yang lebih besar sehubungan dengan massa
otot yang lebih besar tidak dianggap obese. Penderita obese mempunyai proporsi
keseluruhan cairan tubuh terhadap keseluruhan berat badan yang lebih kecil
dibandingkan penderita dengan berat badan ideal yang dapat memperngaruhi volume
distribusi obat. Parameter-parameter farmakokinetik yang lain pada penderita obese
dapat berubah sehubungan dengan kemungkinan perubahan fisiologik.

2.1.4 Faktor faktor yang mempengaruhi Drugs Therapeutic Monitoring


a. Absorpsi

9
Proses absorpsi sangat penting dalam menentukan efek obat. Pada umumnya obat
yang tidak diabsorpsi maka tidak akan menimbulkan efek, Kecuali antasida dan obat
yang bekerja lokal. Proses absorpsi terjadi di berbagai tempat pemberian obat,
misalnya melalui alat cerna, otot rangka, kulit dan sebagainya.
Absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh beberapa factor yatu : Kelarutan obat,
Kemampuan difusi melintasi sel membrane, Konsentrasi obat, Sirkulasi pada letak
absorpsi, Luas permukaan kontak obat, Bentuk sediaan obat dan Cara pemakaian
obat.
b. Distribusi
Molekul obat yang mudah melintasi membran sel akan mencapai semua cairan
tubuh baik inta maupun ekstra sel. sedangkan obat yang sulit menembus membran sel
maka penyebarannya umumnya terbatas pada cairan ekstra sel. kadang - kadang
beberapa obat mengalami kumulatif selektif pada beberapa jaringan tertentu, karena
adanya proses transpor aktif, pengikatan dengan zat tertentu atau daya larut yang
lebih besar dalam lemak. Kumulasi ini digunakan sebagai gudang obat (yaitu protein
plasma, umumnya albumin, jaringan ikat dan jaringan lemak). selain itu ada beberapa
tempat lain misalnya tulang, organ tertentu, dan cairan transel yang dapat berfungsi
sebagai gudang untuk beberapa obat tertentu. Distribusi obat kesusunan saraf pusat
dan janin harus menembus sawar khusus yaitu sawar darah otak dan sawar uri. Obat
yang mudah larut dalam lemak pada umumnya mudah menembusnya.
c. Metabolisme (biotransformasi)
Tujuan biotransformasi obat adalah mengubahnya dengan cara sedemikian rupa
sehingga menjadi bentuk yang mudah dieksresi oleh ginjal, dalam hal ini
menjadikannya lebih hidrofil.
Hal - hal yang dapat mempengaruhi metabolisme adalah sebagai berikut :
1. Fungsi hati
2. Usia
3. Faktor genetik (turunan)
4. Adanya pemakaian obat lain secara bersamaan
d. Eksresi
Pengeluaran obat maupun metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal
melalui air seni dan dikeluarkan dalam bentuk metabolit maupun bentuk asalnya.
disamping itu ada pula cara lain yaitu :
1. Kulit, bersama keringat. Misal : paraldehid
2. Paru - paru, dengan pernafasan keluar, terutama berperan pada anestesi umum,
anestesi gas atau anestesi terbang

10
3. Hati, melalui saluran empedu, terutama obat untuk infeksi saluran empedu
4. Air susu ibu, Misalnya alkohol, obat tidur, nikotin dari rokok dan alkaloida
lain
5. Usus. misalnya sulfa dan preparat besi

2.1.5 Faktor yang mempengaruhi dilakukannya TDM


a. Faktor yang berhubungan dengan profil obat dalam darah
Meliputi kesalahan dosis, dosis terlewat, profil darah tidak sesuai dengan
pemberian dosis, waktu pemberian infus tidak tepat, profil pemberian infus menjadi
prioritas karena adanya pemberian obat lain, dan profil darah yang tergambar didapat
dari pengambilan darah pada vena yang sama dengan pemberian infuse.
b. Faktor yang berhubungan dengan dasar farmakokinetik
Meliputi level obat dalam darah yang diinginkan bukan steady state, level obat
dalam darah yang diinginkan tidak sesuai dengan waktu pemberian dosis, metabolit
aktif tidak ikut terhitung, absorbsi yang rendah karena beberapa alasan, gambaran
level obat dalam darah sempurna sebelum distribusi ke tempat aksi, status cairan
tubuh berubah (udem, dehidrasi), penggunaan obat pada pasien dengan berat badan
tidak normal, adanya perubahan signifikan pada fungsi liver atau ginjal, adanya
perubahan signifikan pada persentase obat dalam bentuk bebas dan terikat, perubahan
jumlah enzim untuk metabolisme obat, dan interaksi obat.
c. Faktor yang berhubungan dengan data laboratorium
Meliputi kemampuan uji yang tidak terjamin, adanya permintaan data masukan
atau penafsiran data, metabolit aktif tidak terukur, gangguan saat uji, dan
pengumpulan atau penyimpanan spesimen tidak terjamin

2.1.6 Faktor-faktor yang harus diperhatikan


Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dan dijadikan sebagai acuan dalam
melaksanakan TDM ini yaitu sebagai berikut :Usia Pasien, Berat badan pasien, Rute
pemberian obat, Absorpsi obat, Eksresi obat, Dosis yang diberikan, Cara Metabolisme
obat dalam tubuh, Jika pasien tersebut juga mengkonsumsi obat - obat lain secara
bersamaan, Jika ada penyakit lain yang juga diderita oleh pasien, Serta kepatuhan pasien
terhadap peraturan dalam penggunaan obat sesuai dengan ketentuan dokter, dan Cara -
cara yang digunakan oleh laboratorium untuk melakukan test atau uji coba untuk obat
tersebut.

2.1.7 Proses TDM

11
Tim dari TDM antara lain ahli farmakologi klinik, farmasi klinik, ahli analisis dan
tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelayanan kesehatan pasien termasuk dokter
maupun perawat. Proses TDM terdiri dari empat komponen utama yang dimulai dan
diakhiri dengan pelayanan pasien (patient care). Komponen tersebut meliputi :
a. Pre analisis
Pre analisis terdiri dari empat tahap. Tahap pertama dimulai dengan munculnya
pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi medis pasien, pertanyaan tersebut muncul
setelah klinisi melakukan observasi terhadap pasien. Tahap kedua, klinisi menentukan
tes yang mungkin dapat menjawab pertanyaan tersebut, Tahap ketiga yaitu klinisi
meminta hasil tes dari pasien, dan tahap yang terakhir klinisi mengambil sampel dan
dikirim ke laboratorium klinis untuk dianalisis.
b. Analisis
Terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama yaitu preparasi sampel meliputi kegiatan
pengiriman sampel ke tempat analisis dan pemisahan serum atau plasma dari sel
darah untuk dianalisis. Tahap kedua, melakukan analisis dengan menggunakan
metode yang sesuai. Tahap ketiga yaitu memverifikasi hasil analisis obat.
c. post analisis
Komponen post analisis memiliki empat tahap. Tahap pertama, melaporkan hasil
berupa hardcopy atau softcopy atau dalam bentuk keduanya. Tahap kedua merupakan
tahap pendugaan terhadap hasil untuk memberikan solusi dari pertanyaan awal yang
muncul pada komponen pertama. Tahap ketiga yaitu klinisi mengambil tindakan
dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan pasien (patient care).
d. Pengaturan lingkungan
Pengaturan lingkungan merupakan kondisi dan atmosfer disekitar proses analisis.
Komponen analisis,

2.1.8 Target TDM


Beberapa hal yang menjadi target dilakukannya TDM antara lain :
a. Jika penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi obat seperti yang diharapkan,
maka obat dan aturan dosis hendaknya ditinjau kembali dari segi kecukupan,
ketelitian, dan kepatuhan penderita. Dokter hendaknya menentukan perlu atau tidak
konsentrasi obat dalam serum penderita diukur, karena tidak semua respon penderita
dikaitkan dengan konsentrasi obat dalam serum. Contoh : alergi dan rasa mual
ringan.

12
b. Bila therapeutic window suatu obat sempit, maka individualisasi dosis menjadi
sangat penting, karena perbedaan dosis yang kecil saja sudah dapat menimbulkan
perbedaan nyata dalam respon pasien.
c. Dalam beberapa kasus, patofisiologi penderita mungkin tidak stabil, apakah
membaik atau memburuk, misalnya klirens ginjal terhadap obat
d. Pasien dengan penyakit tertentu yang dapat mempengaruhi kadar obat di dalam
darah.
e. Jika pasien menggunakan obat tertentu.

2.1.9 Keuntungan dari TDM


a. Mengevaluasi pemberian sejumlah dosis yang diberikan
b. Menghindari toksisitas
c. Membedakan penyebab dari kegagalan terapi, apakah disebabkan dari farmakokinetik
atau dari farmakodinamik. Beda keduanya adalah, Farmakokinetik berbicara tentang
kuantitas atau jumlah sedangkan farmakodinamik erat kaitannya dengan kualitas obat
itu sendiri atau lebih tepatnya ikatan obat dengan reseptor sehingga menghasilkan
efek erapi.
d. Efektif dalam pembiayaan, maksudnya adalah jika kita lihat untuk kondisi jangka
panjang. Jika pasien tidak di berikan TDM/monitoring terapi obat maka kondisi
pasien akan memburuk, sehingga pasien memerlukan biaya perawatan dan
pengobatan yang lebih besar lagi.

2.1.10 Obat- obat yang perlu untuk dimonitoring


a. Glikosida Jantung (Folia Digitalis, Digoxin, Digitoxin, Lanatoside C, Ouabaine)
b. Antikonvulsan (Phenytoin, Carbamazepin, Phenobarbital, Primidon, Ethosuximide,
Valproic acid, Clonazepam)
c. Antidepresan (Amitriptylin, Nortriptylin, Imipramin)
d. Antiaritmia (Quinidin, Procainamid, Lignoraine, Disopyramide, Mexilitine)
e. Antimikroba (Gentamicin, Kanamicin, Tobramicin, Amikasin, Kloramfenikol, 5-
fluorositosin)
f. Obat-obat lain (Litium, Teofilin, Salisilat)

Obat-obat tersebut adalah obat dengan rentang terapi sempit/indeks terapi


rendah; Obat dengan farmakokinetik yang kemungkinan variasinya tinggi; Obat
pada pasien dengan resiko toksisitas yang tinggi.

2.1.11 TDM di Indonesia

13
TDM di indonesia belum bisa dilakukan di pelayanan kesehatan. Aktifitas TDM
yang ada seperti riset dan insidentil lainnya. Tidak hanya menetapkan kadar obat,
akan tetapi melakukan interpretasi data. Adapun kendala dilakukannya TDM di
Indonesia adalah harga dan kurangnya komunikasi dengan klinisi lainnya.

2.2 Total Parenteral Nutrition (TPN)


2.2.1 Defenisi Total Parenteral Nutrition (TPN)
Nutrisi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya,
yaitu energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses
kehidupan (Soenarjo, 2000).
Menurut Rock CL (2004), nutrisi adalah proses dimana tubuh manusia
menggunakan makanan untuk membentuk energi, mempertahankan kesehatan,
pertumbuhan dan untuk berlangsungnya fungsi normal setiap organ baik antara asupan
nutrisi dengan kebutuhan nutrisi.
Status nutrisi normal menggambarkan keseimbangan yang baik antara asupan
nutrisi dengan kebutuhan nutrisi (Denke, 1998; Klein S, 2004). Kekurangan nutrisi
memberikan efek yang tidak diinginkan terhadap struktur dan fungsi hampir semua
organ dan sistem tubuh (Suastika, 1992).
Sediaan Parenteral secara luas adalah bentuk sediaan dimana rute pemberiannya
tidak melalui saluran cerna. Parenteral berasal dari kata para enteren (Yunani) yang
berarti menghindari usus. Tetapi para praktisi kedokteran dan farmasi membatasi obat
secara parenteral hanya meliputi cara pemberian langsung kedalam jaringan, rongga
jaringan atau kompartemen-kompartemen tubuh secara suntikan atau infus (Lukas,
2006).
Terdapat 3 pilihan dalam pemberian nutrisi yaitu diet oral, nutrisi enteral dan
nutrisi parenteral.
a. Diet oral diberikan kepada penderita yang masih bisa menelan cukup makanan dan
keberhasilannya memerlukan kerjasama yang baik antara dokter, ahli gizi,penderita
dan keluarga.
b. Nutrisi enteral bila penderita tidak bisa menelan dalam jumlah cukup, sedangkan
fungsi pencernaan dan absorbsi usus masih cukup baik. Selama sistem pencernaan
masih berfungsi atau berfungsi sebagian dan tidak ada kontraindikasi maka diet
enteral (EN) harus dipertimbangkan, karena diet enteral lebih fisiologis karena
meningkatkan aliran darah mukosa intestinal, mempertahankan aktivitas metabolik

14
serta keseimbangan hormonal dan enzimatik antara traktus gastrointestinal dan
liver.
Diet enteral mempunyai efek enterotropik indirek dengan menstimulasi hormon
usus seperti gastrin, neurotensin, bombesin, enteroglucagon. Gastrin mempunyai
efek tropik pada lambung, duodenum dan colon sehingga dapat mempertahankan
integritas usus,mencegah atrofi mukosa usus dan translokasi bakteri, memelihara
gut-associated lymphoid tissue (GALT) yang berperan dalam imunitas mukosa usus
(Shike, 1996;Bruera, 2003; Rombeau, 2004; Trujillo, 2005; Boediwarsono, 2006).
c. Nutrisi Parenteral adalah suatu bentuk pemberian nutrisi yang diberikan langsung
melalui pembuluh darah tanpa melalui saluran pencernaan.Para peneliti sebelumnya
menggunakan istilah hiperalimentasi sebagai pengganti pemberian makanan melalui
intravena, dan akhirnya diganti dengan istilah yang lebih tepat yaitu Nutrisi
Parenteral Total, namun demikian secara umum dipakai istilah Nutrisi
Parenteral untuk menggambarkan suatu pemberian makanan melalui pembuluh
darah.Nutrisi parenteral total (TPN) diberikan pada penderita dengan gangguan
proses menelan, gangguan pencernaan dan absorbsi (Bozzetti, 1989; Baron, 2005;
Shike 1996;Mahon, 2004; Trujillo, 2005).

Pemberian nutrisi parenteral hanya efektif untuk pengobatan gangguan nutrisi


bukan untuk penyebab penyakitnya.
Nutrisi Lengkap Parenteral atau Total Parenteral Nutrition (TPN) adalah sediaan
yang mengandung nutrient lengkap diberikan secara intravena untuk mengembalikan
berat badan dan keadaan anabolik, jika rute oral dan enteral tidak memungkinkan
karena saluran cerna tidak berfungsi (Wesly, 1990)

2.2.2 Berdasarkan cara pemberian Nutrisi Parenteral dibagi atas (ASPEN, 1995):
a. Nutrisi Parenteral Sentral
Pemberian TPN melalui pembuluh darah peripheral memiliki keterbatasan karena
sifat dari pembuluh darah itu sendiri. Sediaan yang diberikan melalui rute ini
biasanya berupa larutan asam amino, dextrose dan mikronutrient. Sedangkan
pemberian emulsi lemak melalui rute ini dihindari karena dapat menyebabkan
embolik pembuluh darah (Dipiro, 1997).
Keuntungan penggunaan rute peripheral mencakup rendahnya resiko infeksi dari
luar, dan kesulitan-kesulitan metabolism bila dibandingkan pemberian lewat sentral.
Kesulitan dalam penggunaan rute ini terjadi pada pasien malnutrisi, pengobatan
15
khemoterapi dan pada pasien usia lanjut dimana pemberian nutrisi melalui pembuluha
darah peripheral terbatas. Selain itu pada pemberian melalui rute ini harus
diperhatikan tonisitas dari sediaan yang dibuat, yaitu isotonis, sediaan yang hipertonis
dapat menyebabkan tromboflebitis (Dipiro, 1997).
Penggunaan rute ini relative aman dan mudah dibandingkan rute sentral pada
pasien yang sesuai. Pasien yang dipilih haruslah pasien yang tidak memiliki
keterbatasan pada cairan tubuh, tidak memerlukan nutrisi dalam jumlah besar dan
fungsi saluran pencernaan diperkirakan akan membaik setelah 7-10 hari (Dipiro,
1997).

b. Nutrisi Parenteral Perifer.


Pemberian nutrisi melalui rute sentral biasanya berupa larutan berkonsentrasi
tinggi (hipertonis) sehingga harus diberikan melalui pembuluh darah sentral.
Pembuluh vena sentral memiliki kecepatan aliran (blood flow rate) lebih tinggi
dibandingkan pembuluh darah peripheral sehingga dapat mengencerkan larutan yang
hipertonis dengan cepat. Pemberian rute sentral biasanya menggunakan kateter yang
diinjeksikan pada pembuluh darah vena cava superior (Dipiro, 1997).
Rute sentral diberikan pada pasien yang menggunakan TPN lebih dari 10 hari,
kebutuhan nutrisi yang besar, akses nutrisi melalui pembuluh peripheral yang buruk
dan kebutuhan cairan tubuh yang bervariasi pada pasien sehabis operasi, trauma, luka
bakar parah, kegagalan multi organ dan penderita tumor (Dipiro, 1997).

2.2.3 Tujuan
1. Menyediakan nutrisi bagi tubuh melalui intravena,karena tidak
memungkinkannya saluran cerna untuk melakukan proses pencernaan makanan.
2. TPN digunakan pada pasien dengan luka bakar yang berat,pancreatitis,inflammatory
bowel syndrome,inflammatory bowel disease,ulcerative colitis,acute renal
failure,hepatic failure,cardiac disease,pembedahan dan cancer
3. Mencegah lemak subcutan dan otot digunakan oleh tubuh untuk melakukan
katabolisme energy

2.2.4 Indikasi Nutrisi Parenteral


TPN diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat dipenuhi dengan baik.
Terdapat kecenderungan untuk memberikan nutrisi enteral walaupun parsial dan tidak
adekuat dengan suplemen nutrisi parenteral. Pemberian nutrisi parenteral pada setiap

16
pasien dilakukan dengan tujuan untuk dapat beralih ke nutrisi enteral secepat mungkin.
Pada pasien yang diberikan TPN, kebutuhan dalam sehari diberikan lewat infuse secara
kontinyu dalam 24 jam. Monitoring terhadap faktor biokimia dan klinis harus dilakukan
secara ketat. Hal yang paling ditakutkan pada pemberian nutrisi parenteral total (TPN)
melalui vena sentral adalah infeksi (Ery Leksana, 2000)
TPN diberikan untuk penderita yang mengalami gangguan absorbsi, penyakit
kanker, ankreatis sedang sampai berat, malnutrisi berat, penyakit kritis, luka bakar dan
sepsis (Wesly, 1990).

Indikasi Nutrisi Parenteral :

1. Menurut Wiryana, 2007


a. Gangguan absorbs makanan seperti pada fistula enterokunateus, atresia intestinal,
colitis infeksiosa, obstruksi usus halus.
b. Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pancreatitis berat, status pre
operatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, diare berulang.
c. Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan
d. Makan, muntah terus menerus, gangguan hemodinamik, hiperemisis gravidarum .

2. Menurut Hartono 2006


a. malnutrisi berat dengan penurunan berat badan sebesar 10% atau lebih
b. kelainan saluran cerna: obstruksi, peritonitis, gangguan pencernaan dan absorpsi,
fistula enterokutaneus, muntah-muntah dan diare yang kronis, ileus paralitik yang
lama, enteritis radiasi, reseksi usus halus yang luas serta pancreatitis akut yang
berat
c. kebutuhan suplementasi jika asupan oral tidak mencukupi pada pasien
pasienkanker yang menjalani terapi yang agresif (terapi radiasi maupun
kemoterapi)
d. sesudah pembedahan atau cedera khusunya luka bakar yang luas, fraktur multiple
atau sepsis
e. gagal jantung , hati , ginjal yang akut dengan perubahan kebutuhan akan asam
amino
f. pasien penyakit AIDS
g. transplantasi sumsum tulang

2.2.5 kontraindikasi TPN


kontra indikasi dengan pasien syok hemodinamik, seperti syok atau dehidrasi
yang belum diatasi. Dalam kondisi tersebut kadar hormone dalam tubuh masih tinggi, sel
17
resisten terhadap insulin, dan kadar gula meningkat sehingga pemberian TPN dapat
mengakibatkan hipermetabolisme (Wesly, 1990).

2.2.6 Pertimbangan dalam pemberian TPN (wahyudin,2009)


a. Meningkatkan clinical outcome
b. Meningkatkan status nutrisi penderita
c. Memberikan kesempatan untuk melakukan tindakan bedah/ tindakan medis
lainnya
d. Diberikan hanya bila ada indikasi
e. Diberikan sesuai dengan kebutuhan penderita
f. Diberikan seaman mungkin/bebas komplikasi
g. Dibuat komposisi yang semurah mungkin

2.2.7 Faktor-faktor yang harus diperhatikan (Darmawan,2007)


a. Dari sisi pasien
Perlu diperhatikan adalah penyakit dasar pasien , status hidrasi dan hemodinamik,
pasien dengan komplikasi penyakit tertentu, dan kekuatan jantung.
b. Dari sisi cairan
1) Kandungan elektrolit cairan
2) Osmolaritas cairan
3) Kandungan lain cairan
4) Sterilitas cairan infus, Yang harus dipenhi adalah steril, bebas partikel dan bebas
pirogen disamping pemenuhan persyaratan yang lain

2.2.8 Pemberian nutrisi parenteral secara rutin tidak direkomendasikan pada kondisi-kondisi
klinis sebagai berikut :
a. Pasien-pasien kanker yang sedang menjalankan terapi radiasi dan kemoterapi.
b. Pasien-pasien preoperatif yang bukan malnutrisi berat.
c. Pankreatitis akut ringan.
d. Kolitis akut.
e. AIDS.
f. Penyakit paru yang mengalami eksaserbasi.
g. Luka bakar
h. Penyakit-penyakit berat stadium akhir (end-stage illness).

2.2.9 Komponen
TPN ditujukan untuk menyediakan semua nutrisi yang dibutuhkan seperti pada
diet normal. Penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan pasien secara individual.
TPN terdiri dari air, protein, karbohidrat, lemak, elektrolit, trace elements, dan vitamin.
Secara umum komponen TPN adalah :

a. Makronutrient

18
Karbohidrat sebagai sumber energy. Protein sebagai sintesis jaringan dan
fungsi sel serta bisa juga sebagai sumber energi. Miroemulsi parenteral
sebagai sumber energy dan asam lemak esensial seperti asam linoleat.
b. Mikronutrient
Vitamin, elektrolit-elektrolit dan unsure-unsur mineral yang mendukung
aktivitas metabolisme seluler, reaksi enzimatik, kesetimbangan asam basa
serta cairan elektrolit.

2.2.10 Formulasi Sediaan Total Parenteral Nutrition (TPN)


Formulasi dalam sediaan TPN berbeda komposisinya tergantung pada usia dari
target pasien. Untuk dewasa, formula standar untuk TPN mengandung asam amino
4,25%, karbohidrat 15% dan emulsi lemak 20% ditambah dengan elektrolit dan vitramin.
Sumber kalori berasal dari protein 20%, karbohidrat 60% dan lemak 20% (Wesly, 1990).
Komposisi TPN pada anak-anak berusia dibawah 10 tahun mengandung asam
amino 3% dan emulsi lemak 20%, sedangkan penggunaan karbohidrat dihitung dari berat
badan pasien. Apabila berat badan pasien kurang dari 10 kg, karbohidrat yang digunakan
sebanyak 7,5% (Wesly, 1990).

2.2.11 Pencampuran Komponen


Secara umum ada dua jenis pencampuran komponen TPN yang digunakan :
a. All-in-one admixture
All-in-one admixture merupakan sediaan TPN yang dibuat dengan
mencampurkan larutan dekstrosa- asam amino dengan emulsi lemak secara
bersamaan. Keuntungan dari sediaan seperti ini adalah penggunaan peralatan seperti
pompa infuse, tube dan lain-lainnya lebih sedikit dibandingkan pencampuran TPN
terpisah, waktu pembuatan dan pemberian yang lebih singkat dan penyiapan V lebih
mudah karena membutuhkan satu kantong plastic steril.
Sedangkan kerugian yang diberikan dengan metoda pembuatan ini adalah
peningkatan resiko infeksi bakteri dan stabilitas serta ketidaktercampuran
komponen dalam sediaan TPN.

b. TPN terpisah
TPN terpisah merupakan sediaan yang nutrisi dimana larutan dekstrosa-
asam amino terpisah wadahnya dari emulsi lemak. Keuntungan dari sediaan bentuk
ini adalah stabilitas dari masing-masing komponen akan lebih lama dibandingkan
all-in-one admixture mencapai 24 bulan setelah pembuatan). Sedangkan krugian

19
dalam pembuatan sediaan metoda ini adalah penggunaan peralatan seperti pompa
infuse, tube dan lain-lainnya lebih banyak dibandingkan all-in-one admixture.

2.2.12 Wadah dan Penyimpanan


Sediaan TPN dikemas dalam botol kaca steril atau botol plastic steril infuse
intravena dengan ukuran yang sesuai. Botol plastic untuk sdiaan TPN terbuat dari etil vinil
asetat (EVA) yang tidak mengandung pemlastik atau pengenyal dan sesuai dengan sediaan
yang mengandung lemak.
Cairan TPN harus segera digunakan begitu selesai dibuat. Jika tidak, harus
disimpan pada suhu 4oC. hal ini bertujuan untuk mengurangi kecepatan degradasi kimia
komponen nutrisi dan meminimalkan kesempatan terjadinya kontaminasi mikroorganisme.

2.2.13 Peranan farmasis


Farmasis memegang peran penting dalam memilih pasien dengan kondisi yang
sesuai untuk pemberian TPN, mengatur regimentasi dosis dan meracikkan sediaan TPN,
memonitor kondisi pasien, memberikan saran kefarmasian, dan edukasi pada pasien
(James-Chatgilaou, 1998; Lund, 2994). Monitoring kondisi pasien meliputi:
a. Kadar Glukosa Darah
Karena tingginya konsentrasi glukosa pada nutrisi parenteral, disarankan untuk
mengawasi kadar glukosa darah pasien pada interval reguler dan batasan hiperglikemia,
menggunakan skala insulin sliding atau subkutan. Hiperglikemia berkelanjutan dapat
menyebabkan kematian
b. Sindrom Refeeding
Diartikan sebagai keadaan meningkatnya elektrolit dan cairan tubuh yang parah
disertai abnormalitas metabolik pada pasien malnutrisi yang sedang menjalani
terapi refeeding, baik secara oral, enteral, maupun parenteral. Hal ini dapat
menyebabkan gangguan jantung, pernafasan, neuromuskular, ginjal, metabolis,
hematologis, hepar dan pencernaan, hingga kematian
c. Kondisi Darah
Pemantauan kondisi darah sangat penting untuk menunjukkan perkembangan
asupan nutrisi parenteral pada pasien. Beberapa parameter yang harus dipantau ialah:
1. Sebelum Pemberian : U & Es, LFTs, bone, Magnesium, glukosa & FBC;
Kadar Fosfat, Magnesium, Natrium dan Kalium perlu diperbaiki untuk
menghindari sindrom refeeding.
2. Pemantauan Harian : Berat badan, kadar gula darah acak, U & Es, glukosa, FBC

20
3. Pemantauan Rutin Seminggu Dua Kali : LFTs, bone, INR, Magnesium;
Osmolalitas serum & urin; Total protein; Albumin
4. Pemantauan Rutin Setiap Dua Minggu : Zinc
(Dartford & Gravesham NHS Trust, 2006)

2.2.14 Contoh sediaan Nutrisi Parenteral Total


a. Clinimix N9G15E
b. Minofusin Paed
larutan asam amino 5% bebas karbohidrat, mengandung elektrolit dan vitamin,
terutama untuk anak-anak dan bayi

2.3 Handling sitostatika


2.3.1 Definisi Sitostatika
Sitostatika adalah suatu pengobatan untuk mematikan sel-sel secara fraksional
(fraksi tertentu mati), sehingga 90 % berhasil daan 10 % tidak berhasil (Hanifa
Wignjosastro, 1997).
Bahan Sitostatika adalah zat/obat yang merusak dan membunuh sel normal dan
sel kanker, serta digunakan untuk menghambat pertumbuhan tumor malignan. Tujuan
penanganan bahan sitostatika adalah untuk menjamin penanganannya yang tepat dan
aman di rumah sakit.
Pajanan obat sitotoksik dan limbah yang terkait dapat terjadi di mana kontrol
tindakan gagal atau tidak di tempat . Paparan dapat terjadi melalui kontak kulit , kulit
penyerapan, menghirup aerosol dan partikel obat , konsumsi dan luka benda tajam.
Paparan dapat terjadi ketika :
a. mempersiapkan obat
b. memberikan obat-obatan
c. mengangkut obat
d. penanganan limbah pasien
e. mengangkut dan membuang limbah
f. membersihkan tumpahan

Mereka yang paling mungkin terlibat dalam kegiatan ini meliputi :

Perawat dan petugas medis


Apoteker
staf laboratorium
Pembersihan, pemeliharaan dan limbah staf pembuangan
Penjaga
Staf kesehatan hewan

21
Petugas ambulans dan driver

Semua bahan sitotoksik universal diidentifikasi oleh symbol ungu yang


menggambarkan sel di akhir telofase seperti gambar berikut :

2.3.2 Cara Menghitung Dosis Sitostatika


Pemberian obat sitostatik memiliki cara perhitungan yang tersendiri yang didasarkan
pada luas permukaan tubuh pasien, maka rumus yang digunakan adalah :

Dosis=LPT x Dosis Lazim

Dimana LPT dapat dihitung dengan rumus :

LPT =
Tinggi Badan x Berat Badan
3600

2.3.3 Definisi dan Tujuan Handling Sitostatika


Handling cytotoxic drugs adalah penanganan penggunaan obat sitostatika. Hal ini
perlu dilakukan karena obat ini dikenal sangat beracun untuk sel, terutama melalui
tindakan mereka pada reproduksi sel. Banyak yang terbukti menjadi karsinogen, mutagen
atau teratogen.
Selain untuk melindungi petugas dan lingkungan dari keterpaparan obat kanker,
preparasi obat sitostatika secara aseptis diperlukan untuk 3 tujuan :
a. Produk harus terlindung dari kontaminasi microba dengan teknik aseptis
22
b. Personal yang terlibat harus terlindung dari exposure bahan berbahaya
c. Lingkungan harus terhindar dari paparan bahan berbahaya

Terpaparnya obat sitostatika ke dalam tubuh dapat melalui inhalasi, absorpsi, atau
ingestion. Adapun tujuan Handling Cytotoxic yaitu :
a. Mencegah kontak langsung atau keterpaparan petugas kesehatan terhadap sitostatika
pada waktu pencampuran, pengoplosan ,dan pemberian kepada pasien.
b. Menjamin sterilitas produk akhir sitostatika setelah dicampur / dioplos
c. Menjamin keamanan buangan sisasitostatika dan material yang dipakai yang telah
terkontaminasi dengan sitostatika

2.3.4 Hal yang harus diperhatikan dalam penanganan sediaan sitostatika


a. Teknik aseptic
Petugas harus menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) sesuai SOP
Masukkan semua bahan melalui Pass Box sesuai SOP
Petugas melepas APD (Alat Pelindung Diri) setelah selesai kegiatan sesuai SOP
b. Pemberian dalam biological safety cabinet
Alat ini digunakan untuk pencampuran sitostatika yang berfungsi untuk
melindungi petugas, materi yang dikerjakan dan lingkungan sekitar. Prinsip kerja dari
alat ini adalah : tekanan udara di dalam lebih negatif dari dari tekanan udara diluar
sehingga aliran udara bergerak dari luar ke dalam BSC. Didalam BSC udara bergerak
vertikal membentuk barier sehingga jika ada peracikan obat sitostatika tidak terkena
petugas. Untuk validasi alat ini harus dikalibrasi setiap 6 bulan (Depkes, 2009).
Penanganan obat berbahaya tidak boleh menggunakan laminar air flow type
horisontal, mengapa demikian Pemakaian alat Biological Safety Cabinet mempunyai
dua fungsi, yaitu :
Melindungi petugas dari exposure (kontak) obat berbahaya.
Menjaga sterihtas sediaan
Terdapat dua type alat Biological Safety Cabinet, yaitu :
Type A, dimana 30 % udara kembali keruangan.
Type B, dimana semua udara keluar area. Type B ini lebihaman digunakan untuk
petugas
c. Petugas yang bekerja harus terlindungi
d. Jaminan mutu produk
e. Dilaksanakan oleh petugas yang terlatih
Personal yang akan terlibat dalam preparasi obat sitostatika harus mendapatkan
pelatihan yang memadai tentang teknik aseptic dan penanganan obat sitostatika.

23
Petugas wanita yang sedang hamil atau merencanakan untuk hamil tidak
dianjurkan untuk terlibat dalam rekonstitusi obat sitostatika.
Petugas wanita yang sedang menyusui tidak dianjurkan terlibat dalam rekonstitusi
obat sitostatika
Petugas yang sedang sakit atau mengalami infeksi pada kulit harus diistirahatkan
dari tugas ini
f. Adanya Prosedur Tetap

2.3.5 Sarana dan Prasarana Handling Cytotoxic

1. Laminar Air Flow Cabinet (LAFC)

Laminar Air Flow Cabinet adalah alat yang memenuhi kriteria ruangan bersih kelas
100. LAFC memiliki sistem penyaringan ganda yang memiliki efisiensi tingkat
tinggi, sehingga dapat berfungsi sebagai penyaring bakteri dan bahan-bahan eksogen
dari udara, menjaga aliran udara tetap konstan dan laminar (teratur), serta mencegah
masuknya kontaminan ke dalam LAFC.

2. Biological Safety cabinet (BSC)


Alat ini digunakan untuk pencampuran sitostatika yang berfungsi untuk
melindungi petugas, materi yang dikerjakan dan lingkungan sekitar. Prinsip kerja dari
alat ini adalah : tekanan udara di dalam lebih negatif dari dari tekanan udara diluar
sehingga aliran udara bergerak dari luar ke dalam BSC. Didalam BSC udara bergerak
vertikal membentuk barier sehingga jika ada peracikan obat sitostatika tidak terkena
petugas. Untuk validasi alat ini harus dikalibrasi setiap 6 bulan.
3. Ruangan
Persyaratan ruang aseptic
Ruang tidak ada sudut atau siku
Dinding terbuat dari epoksi
Partikel udara sangat dibatasi : kelas 100, 1000, 10.000 partikel/liter
Aliran udara diketahui dan terkontrol
Tekanan ruangan diatur
Suhu dan kelembaban udara terkontrol (suhu : 18-22 derajat celcius dan
kelembaban 35-50%)

24
Tata letak ruangan

4. Peralatan
Peralatan yang harus dimiliki untuk melakukan pencampuran sediaan steril
meliputi : Alat Pelindung Diri (APD) . Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan
dalam pencampuran sediaan steril meliputi : Baju Pelindung , Sarung tangan, Tutup
Kepala , Masker & Kaca mata dan Sepatu

2.3.6 Teknik Penanganan Sitostatika


a. Penyiapan
Proses penyiapan sediaan sitostatika sama dengan proses penyiapan pencampuran obat
suntik.
1) Bagian I Semua prosedur yang terlibat dalam penyiapan obat sitotoksik harus
dilakukan di Kelas 11, Tipe A atau tipe B LAF biological safety cabinet. Kabinet
pembuangan harus di luar ruangan untuk mengeliminasi paparan personil dari
obat yang dapat menguap setelah penyimpanan pada LAF. Kabinet pilihan adalah
Type Kelas 11, Type B yang kabinet pembuangan di luar ruangan dengan filter
bag-in/bag-out untuk melindungi personil dan untuk memfasilitasi pembuangan.
2) Untuk keamanan di permukaan kabinet kerja harus ditutupi dengan plastik yang
dilapisi kertas penyerap. Ini akan mengurangi potensi dispersi tetesan dan
tumpahan dan memfasilitasi pembersihan. Kertas harus diganti setelah ada
tumpahan dan pada akhir setiap shift kerja.
3) Personil mempersiapkan obat harus memakai :
Sarung tangan lateks dan baju bedah sekali pakai dengan manset elastis.
Sarung tangan harus diganti secara teratur dan segera jika robek atau bocor.
Pakaian pelindung tidak boleh dipakai di luar wilayah persiapan obat

25
b. Protap melaksanakan persiapan pencampuran sediaan sitostatika
1) Petugas tidak menggunakan perhiasan
2) Mencuci tangan dengan anti septic kemudian membersihkan kuku dengan sikat di
ruang cuci tangan.
3) Petugas menggunakan kelengkapan untuk pencampuran sitostatika di ruang transisi
(baju, topi, masker, sepatu, hanschoen)
4) Petugas masuk ke dalam clean room
5) Menyiapkan biological Safety Cabinet (BSC) membersihkan semua permukaan
BSC dengan alkohol 70 % dari bagian atas ke bawah.
6) Menunggu lima menit untuk menghilangkan residu
7) Memberi alas sitostatika pada meja kerja
8) Meletakkan kantong limbah disamping meja kerja (BSC).

c. PencampuranSediaan Sitostatika
Proses pencampuran sediaan sitotoksik sebagai berikut :

1. Memakai APD sesuai PROSEDUR TETAP


2. Mencuci tangan sesuai PROSEDUR TETAP
3. Menghidupkan biological safety cabinet (BSC) 5 menit sebelum digunakan.
4. Melakukan dekontaminasi dan desinfeksi BSC sesuai PROSEDUR TETAP

Protap Desinfeksi Dan Dekontaminasi

Persiapan Bahan Dan Alat

a) Mempersiapkan bahan yang terdiri dari


Alkohol swab
Alkohol 70 % dalam botol spray
Mendesinfeksi bagian luar kemasan bahan obat sitostatika dan pelarut dengan
menyemprotkan alcohol 70 %
b) Mempersiapkan alat yang terdiri dari
Mensterilkan alas untuk sitostatika
Mensterilkan bahan untuk sealing (parafin)
Mensterilkan sarung tangan , masker, baju, topi, sarung kaki
Spoit inj. Ukuran 2 X vol yang dibutuhkan.
Jarum
Mendesinfektan etiket, label, klip plastik, kantong plastik untuk disposal dengan
menyemprotkan alkohol 70 %.
5. Menyiapkan meja BSC dengan memberi alas sediaan sitostatika.
6. Menyiapkan tempat buangan sampah khusus bekas sediaan sitostatika.

26
7. Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan menyemprot alkohol 70%.
8. Mengambil alat kesehatan dan bahan obat dari passbox.
9. Meletakkan alat kesehatan dan bahan obat yang akan dilarutkan di atas meja BSC.
10. Melakukan pencampuran sediaan sitostatika secara aseptis.
11. Memberi label yang sesuai pada setiap infus dan spuit yang sudah berisi sediaan
sitostatik
12. Membungkus dengan kantong hitam atau aluminium foil untuk obat-obat yang harus
terlindung cahaya.
13. Membuang semua bekas pencampuran obat kedalam wadah pembuangan khusus.
14. Memasukan infus untuk spuit yang telah berisi sediaan sitostatika ke dalam wadah
untuk pengiriman.
15. Mengeluarkan wadah untuk pengiriman yang telah berisi N sediaan jadi melalui
pass box.
16. Menanggalkan APD sesuai prosedur tetap.

2.3.7 Cara Pemberian


Cara pemberiaan sediaan sitostatika sama dengan cara pemberiaan obat suntik
kecuali intramuskular Cara pemberiaan sediaan sitostatika sama dengan cara pemberiaan
obat suntik kecuali intramuscular
1) Injeksi Intravena (i.v.)
Injeksi intravena dapat diberikan dengan berbagai cara, untuk jangka waktu yang
pendek atau untuk waktu yang lama.
a. Injeksi bolus
Injeksi bolus volumenya kecil 10 ml, biasanya diberikan dalam waktu 3-5 menit
kecuali ditentukan lain untuk obat-obatan tertentu.
b. Infus
Infus dapat diberikan secara singkat (intermittent) atau terus-menerus
(continuous).
Infus singkat (intermittent infusion)
Infus singkat diberikan selama 10 menit atau lebih lama. Waktu pemberiaan
infus singkat sesungguhnya jarang lebih dari 6 jam per dosis.
Infus kontinu (continuous infusion)
Infus kontinu diberikan selama 24 jam. Volume infus dapat beragam mulai dari
volume infus kecil diberikan secara subkutan dengan pompa suntik (syringe
pump), misalnya 1 ml per jam, hingga 3 liter atau lebih selama 24 jam,
misalnya nutrisi parenteral.
2) Injeksi intratekal
Injeksi intratekal adalah pemberian injeksi melalui sumsum tulang belakang.
Volume cairan yang dimasukkan sama dengan volume cairan yang dikeluarkan.
3) Injeksi subkutan

27
Injeksi subkutan adalah pemberian injeksi di bawah kulit.

2.3.8 Penanganan Tumpahan dan Kecelakan Kerja


a. Penanganan tumpahan
Membersihkan tumpahan dalam ruangan steril dapat dilakukan petugas tersebut atau
meminta pertolongan orang lain dengan menggunakan chemotherapy spill kit yang
terdiri dari :
1) Membersihkan tumpahan di luar BSC dalam ruang steril
a. Meminta pertolongan, jangan tinggalkan area sebelum diizinkan.
b. Beri tanda peringatan di sekitar area.
c. Petugas penolong menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)
d. Angkat partikel kaca dan pecahan-pecahan dengan menggunakan alat
seperti sendok dan tempatkan dalam kantong buangan.
e. Serap tumpahan cair dengan kassa penyerap dan buang dalam kantong
tersebut.
f. Serap tumpahan serbuk dengan handuk basah dan buang dalam kantong
tersebut.
g. Cuci seluruh area dengan larutan detergent.
h. Bilas dengan aquadest.
i. Ulangi pencucian dan pembilasan sampai seluruh obat terangkat.
j. Tanggalkan glove luar dan tutup kaki, tempatkan dalam kantong pertama.
k. Tutup kantong dan tempatkan pada kantong kedua.
l. Tanggalkan pakaian pelindung lainnya dan sarung tangan dalam,
tempatkan dalam kantong kedua.
m. Ikat kantong secara aman dan masukan dalam tempat penampung khusus
untuk dimusnahkan dengan incenerator.
n. Cuci tangan.
2) Membersihkan tumpahan di dalam BSC
a. Serap tumpahan dengan kassa untuk tumpahan cair atau handuk basah
untuk tumpahan serbuk.
b. Tanggalkan sarung tangan dan buang, lalu pakai 2 pasang sarung tangan
baru.
c. Angkat hati-hati pecahan tajam dan serpihan kaca sekaligus dengan alas
kerja/meja/penyerap dan tempatkan dalam wadah buangan.
d. Cuci permukaan, dinding bagian dalam BSC dengan detergent,bilas
dengan aquadestilata menggunakan kassa. Buang kassa dalam wadah pada
buangan.
e. Ulangi pencucian 3 x.
f. Keringkan dengan kassa baru, buang dalam wadah buangan.

28
g. Tutup wadah dan buang dalam wadah buangan akhir.
h. Tanggalkan APD dan buang sarung tangan, masker, dalam wadah buangan
akhir untuk dimusnahkan dengan inscenerator.
i. Cuci tangan.

b. Penanganan Kecelakaan Kerja


1) Dekontaminasi akibat kontak dengan bagian tubuh:
a. Kontak dengan kulit: Tanggalkan sarung tangan, Bilas kulit dengan air hangat.,
Cuci dengan sabun, bilas dengan air hangat, Jika kulit tidak sobek, seka area
dengan kassa yang dibasahi dengan larutan Chlorin 5 % dan bilas dengan air
hangat. Jika kulit sobek pakai H2O2 3 %., Catat jenis obatnya dan siapkan antidot
khusus, Tanggalkan seluruh pakaian alat pelindung diri (APD), Laporkan ke
supervisor dan Lengkapi format kecelakaan.

b. Kontak dengan mata


Minta pertolongan.
Tanggalkan sarung tangan.
Bilas mata dengan air mengalir dan rendam dengan air hangat selama 5
menit.
Letakkan tangan di sekitar mata dan cuci mata terbuka dengan larutan
NaCl 0,9%.
Aliri mata dengan larutan pencuci mata.
Tanggalkan seluruh pakaian pelindung.
Catat jenis obat yang tumpah.
Laporkan ke supervisor.
Lengkapi format kecelakaan kerja.

c. Tertusuk jarum
Jangan segera mengangkat jarum. Tarik kembali plunge untuk menghisap
obat yang mungkin terinjeksi.
Angkat jarum dari kulit dan tutup jarum, kemudian buang.
Jika perlu gunakan spuit baru dan jarum bersih untuk mengambil obat
dalam jaringan yang tertusuk.
Tanggalkan sarung tangan, bilas bagian yang tertusuk dengan air hangat.
Cuci bersih dengan sabun, bilas dengan air hangat.
Tanggalkan semua APD.
Catat jenis obat dan perkirakan berapa banyak yang terinjeksi.
Laporkan ke supervisor.
Lengkapi format kecelakaan kerja.

29
Segera konsultasikan ke dokter.

2.3.9 Packaging Sediaan Sitotoksi


Penanganan potensial dari agen sitotoksik dapat menjadi resiko yang potensial.
Walaupun kejadiannya tidak pasti, namun perlu dilakukan proses untuk meminimalisasi
paparan yang tidak tentu dengan mengimplementasikan beberapa konsep dasar dan
mengikuti aturan umum seperti:
a. Penggunaan vertical laminar flow-hoods (atau sarung tangan bakteriologik) untuk
penyiapan dan rekonstitusi dari obat sitostatik.
b. Personil yang melakukan rekonstitusi obat ini harus menggunakan sarung tangan dan
masker.
c. Sitostatika harus ditangani secara terpusat. Limbahnya harus ditangani secara special
dengan alat penampung yang didesain khusus serta insenerasi.
d. Personil yang terlibat dalam penanganan campuran sitostatika harus diperiksa
darahnya secara berkala.
e. Personil yang menangani sitostatika harus diberi tahu bahwa dapat terjadi masalah
yang potensial
f. Pelabelan spesial dari wadah harus diperhatikan untuk menjamin penanganan yang
tepat ( Turco, 1994 )

2.3.10 Labelling
Etiket pada wadah produk parenteral harus mencantumkan: (1) nama sediaan;
(2) untuk sediaan cair, perbandingan kadar obat atau jumlah obat yang ada dalam volume
yang ditentukan, atau untuk sediaan obat kering, jumlah zat aktif yang ada dan volume
cairan yang harus ditambahkan ke sediaan kering untuk membentuk larutan atau
suspensi; (3) cara pemberian; (4) pernyataan kondisi penyimpanan dan kadaluarsa; (5)
nama pabrik atau penyalur; (6) nomor lot (batch) pembuatan di mana bila diminta untuk
menyatakan semua proses pembuatan sediaan tersebut.
Obat suntik untuk penggunaan pada hewan dinyatakan/ditulis untuk efek
tersebut. Sediaan yang ditujukan untuk kegunaan sebagai larutan dialisis, hemofiltrasi
atau irigasi harus memenuhi syarat-syarat untuk obat suntik, kecuali yang berhubungan
dengan volume yang terdapat pada wadah, dan harus memuat pernyataan yang
menunjukkan bahwa larutan bukan dimaksudkan untuk disuntikkan. Seluruh wadah

30
sesuai dengan label, harus masih ada di tempat, bagi wadah yang tidak ditutupi label
harus cukup besar bagi memanjang maupun melingkar agar memungkinkan pengamatan
isi wadah. Bila ada obat suntik yang secara pengamatan mata menampakkan partikel-
partikel lain, selain dari zat suspensi yang normal harus ada, obat tersebut harus
disingkirkan (Ansel, 2005).
Penyiapan sediaan sitostatik oleh farmasis akan mengikuti guideline labeling
berikut:
a. Instruksi dosis yang jelas (hindari penggunaan dari as directed sebagai sebuah
arahan menyeluruh).
b. Jika total dosis dibuat dari dua kekuatan yang berbeda, pada label harus dicantumkan
jumlah tablet dari masing-masing dosis maupun sebagai dosis total.
c. Periode yang dimaksudkan dari pengobatan (seperti jumlah harinya).
d. Tanggal memulai dan menghentikan untuk penggunaan singkat atau terapi
intermittent.
e. Dosis dari sitostatika yang dimaksudkan untuk digunakan dalam seminggu harus
spesifik disebutkansekali dalam seminggu dan hari pada saat dosis tersebut
digunakan.
f. Semua wadah harus diberikan label.
g. Label perhatian dan saran (termasuk syarat penyimpanan spesifik secara detail) harus
ditambahkan.
h. Ada stiker peringatan bahwa obat tersebut adalah sitostatika seperti misalnya
cytotoxic, handle with care, pada masing-masing wadah

Semua penyiapan sitostatika harus diberi label secara jelas dengan informasi yang
detail, akurat, dan tentunya terbaca. Label harus secara spesifik didesain dan harus
dikatakan bahwa ada substansi sitostatik dalam sediaan tersebut. Label spesial lainnya
juga harus dilampirkan, di tempat yang tepat, untuk menyampaikan informasi tambahan
atau saran Semua label harus diaplikasikan pada baik immediate container dan
packaging luarnya (seperti kantong yang berisi syringenya). Preparasi obat sitotoksik
yang akan diangkut ke rumah sakit lain harus diberi label menurut persyaratan dari NZS
5433:1988 Transport of hazardous substances on land. Sumber lain juga menyebutkan hal
yang sama dimana pengecekan harus selalu menjadi bagian integral dari prosedur
penanganan sitostatika ini dan label harus menyampaikan:
Terdapatnya substansi sitostatika dalam sediaan

31
Jumlah total dari obat dan total volume dari sediaan
Waktu dan tanggal saat sediaan tidak boleh digunakan lagi
Rekomendasi penyimpanan (Collett and Aulton, 1996).
Label yang disertakan harus menonjol. Umunya sitostatika diidentifikasi dengan
sebuah symbol ungu yang mewakili sebuah sel yang sedang berada pada telofase akhir
dan diletakkan pada kemasan luar.
Khusus untuk sediaan intratekal, label harus diletakkan pada syringe dan juga
pada kemasan luar yang berbunyi for intrathecal use only. Perusahaan harus
menerapkan prosedur yang ketat untuk menjamin produk ini mudah diidentifikasi dan
ditempatkan tersendiri dari produk lainnya.
Untuk pengangkutan, liquid-proof, shatterproof, dan easy-to-clean containers
(seperti box plastik) harus digunakan. Prosedur lokal sebaiknya juga harus dikembangkan
untuk menjamin keamanan transportasi dari sitostatika. Wadah yang didesain secara
spesial dapat digunakan. Jika diperlukan, suatu ketentuan juga harus dibuat untuk infuse
untuk melindungi dari cahaya selama administrasi (Collett and Aulton, 1996).

2.3.11 Penyimpanan Sediaan Sitostatika


a. Obat sitotoksik harus dikemas dalam label, disegel, wadah anti bocor dengan kantong
luar panas yang disegel secara tepat.
b. Obat sitotoksik harus disimpan dalam ruangan berdinding keras dan wadah yang kuat,
tertutup rapat dan diberi label dengan peringatan sitotoksik.
c. Dinginkan obat seperlunya (jika akan digunakan).

2.3.12 Transportasi Sediaan Sitostatika


a. Obat sitotoksik harus diangkut dalam wadah kedap disegel tahan terhadap kerusakan
b. Wadah harus diberi label dengan label ungu peringatan sitotoksik dan digunakan
untuk tujuan-tujuan lain
c. Wadah harus dikembalikan ke apotek setelah digunakan
d. Untuk transportasi antar rumah sakit atau transportasi kerumah pasien, nomor telepon
kontak (Onkologi Farmasi) dan instruksi dalam hal tumpahan harus dimasukkan .

32
2.3.13 Pengelolaan Limbah Sitostatika
Pengelolaan limbah dari sisa buangan pencampuran sediaan sitoatatika (seperti:
bekas ampul,vial, spuit, needle,dll) harus dilakukan sedemikian rupa hingga tidak
menimbulkan bahaya pencemaran terhadap lingkungan. Langkah langkah yang perlu
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Gunakan Alat Pelindung Diri (APD).
b. Tempatkan limbah pada wadah buangan tertutup. Untuk benda-bendatajam seperti
spuit vial, ampul, tempatkan di dalam wadahyang tidak tembus benda tajam, untuk
limbah lain tempatkan dalam kantong berwarna (standar internasional warna ungu)
dan berlogo sitostatika.
c. Beri label peringatan pada bagian luar wadah.
d. Bawa limbah ke tempat pembuangan menggunakan troli tertutup.
e. Musnahkan limbah dengan incenerator 1000C.
f. Cuci tangan.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
a. Therapeutic Drug Monitoring (TDM) juga dikenal dengan istilah Drug Therapy Monitor
yang artinya adalah Pengawasan terhadap kadar atau tingkatan obat didalam darah.

33
b. Nutrisi Lengkap Parenteral atau Total Parenteral Nutrition (TPN) adalah sediaan yang
mengandung nutrient lengkap diberikan secara intravena untuk mengembalikan berat
badan dan keadaan anabolik, jika rute oral dan enteral tidak memungkinkan karena
saluran cerna tidak berfungsi
c. Handling cytotoxic drugs adalah penanganan penggunaan obat sitostatika. Hal ini perlu
dilakukan karena obat ini dikenal sangat beracun untuk sel, terutama melalui tindakan
mereka pada reproduksi sel. Banyak yang terbukti menjadi karsinogen, mutagen atau
teratogen
d. hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam TDM : Usia dan berat badan pasien, Rute
pemberian obat, Tingkat penyerapan obat, Laju ekskresi obat m Tingkat pelepasan obat,
dan dosis , Obat lain yang pasien miliki atau pengobatan lain yang sedang dijalani ,
Penyakit lain yang pasien rasakan atau yang diderita, Kepatuhan pasien mengenai
regimen pengobatan obat dan Metode laboratorium yang digunakan untuk menguji obat.
e. Nutrisi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu
energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan.
f. Sitostatika adalah suatu pengobatan untuk mematikan sel-sel secara fraksional (fraksi
tertentu mati), sehingga 90 % berhasil Tujuan penanganan bahan sitostatika adalah untuk
menjamin penanganannya yang tepat dan aman di rumah sakit.

3.2 SARAN
Saran kami dalam makalah ini semoga para pembaca bisa lebih mengetahui isi dari
makalah ini dan dapat lebih memahami serta dapat membandingkan dengan referensi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bakti Husada, 2009, Pedoman Pencampuran Obat Suntik dan Penanganan Sediaan Sitostatika,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Sarce, 2009, Proteksi Diri Perawat dalam Pemberian Sitostatika di Rumah Sakit Umum
DaerahPropinsi Sulawesi Tenggara, Artikel Riset Keperawatan, Universitas Diponegoro,
Semarang.

34
Dartford and Gravesham NHS Trust. Guidelines for Parenteral Nutrition for Adults. July 2006.

James-Chatgilaou, G. Intensive Care. In: Hughes, J. Donelly, R., James-Chatgilaou, G. (Eds.).


Clinical Pharmacy : A Pharmaceutical Approach. South Yarra : Macmillan Education Australia
Pty Ltd, 1998.

Lund, W. The Pharmaceutical Codex, 12th Ed., London : The Pharmaceutical Press, 1994.

Rollins, C.J. Basic of Enteral and Parenteral Nutrition. In: Wolinsky, I. and Williams, L. (Eds.).
Nutrition in Pharmacy Practice. Washington D.C. : American harmaceutical Association, 2002.

The Joint Formulary Committee. British National Formulary 58.London : BMJ Group and RPS
Publishing, 2009.

35

Anda mungkin juga menyukai