Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH FITOTERAPI

“INTERAKSI OBAT HERBAL DAN TANAMAN TOKSIK”

DOSEN PENGAMPU:
Mamik Ponco R, M.Si., Apt

Kelas C-Kelompok 1
Anggota

Rosita Puspa Nugraheni (1920384288)


Rosmalinda Utami (1920384289)
Silvia Nur Anggraini (1920384290)
Siti Aminah (1920384291)
Siti Fatmah (1920384292)
Siti Nur Kalifah (1920384293)
Siti Nur Muyasyaroh (1920384294)
Siti Radhiya (1920384295)
Siti Zeiniyah (1920384296)
Soni Prabowo Putra (1920384297)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat
obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan
tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan ketrampilan yang secara
turun temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Faktor
pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal adalah usia harapan hidup
yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan
penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas
akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar E Y, 2006).
Efek samping obat tradisional relatif kecil jika digunakan secara tepat. Kebenaran
bahan Tanaman obat di Indonesia terdiri dari beragam spesies yang kadang kala sulit
untuk dibedakan satu dengan yang lain. Kebenaran bahan menentukan tercapai atau
tidaknya efek terapi yang diinginkan. Sebagai contoh lempuyang di pasaran ada beberapa
macam yang agak sulit untuk dibedakan satu dengan yang lain. Lempuyang emprit
(Zingiber amaricans) memiliki bentuk yang relatif lebih kecil, berwarna kuning dengan
rasa yang pahit. Lempuyang emprit ini berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Jenis
yang kedua adalah lempuyang gajah (Zingiber zerumbet) yang memiliki bentuk lebih
besar dan berwarna kuning, jenis ini pun berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Jenis
yang ketiga adalah lempuyang wangi (Zingiber aromaticum) yang memiliki warna agak
putih dan berbau harum. Tidak seperti kedua jenis lempuyang sebelumnya, jenis ini
memiliki khasiat sebagai pelangsing (Sastroamidjojo S, 2001).
Ketepatan dosis Tanaman obat, seperti halnya obat buatan pabrik memang tak
bisa dikonsumsi sembarangan. Tetap ada dosis yang harus dipatuhi, seperti halnya resep
dokter. Buah mahkota dewa, misalnya, hanya boleh dikonsumsi dengan perbandingan 1
buah dalam 3 gelas air. Sedangkan daun mindi baru berkhasiat jika direbus sebanyak 7
lembar dalam takaran air tertentu. Hal ini menepis anggapan bahwa obat tradisional tak
memiliki efek samping. Anggapan bila obat tradisional aman dikonsumsi walaupun gejala
sakit sudah hilang adalah keliru. Sampai batas-batas tertentu, mungkin benar. Akan tetapi
bila sudah melampaui batas, justru membahayakan.
Efek samping tanaman obat dapat digambarkan dalam tanaman dringo (Acorus
calamus), yang biasa digunakan untuk mengobati stres. Tumbuhan ini memiliki
kandungan senyawa bioaktif asaron. Senyawa ini punya struktur kimia mirip golongan
amfetamin dan ekstasi. Dalam dosis rendah, dringo memang dapat memberikan efek
relaksasi pada otot dan menimbulkan efek sedatif (penenang) terhadap sistem saraf pusat.
Namun, jika digunakan dalam dosis tinggi malah memberikan efek sebaliknya, yakni
meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) (Fang Y, et al., 2003). Di samping itu, dringo
bisa menyebabkan penumpukan cairan di perut, mengakibatkan perubahan aktivitas pada
jantung dan hati, serta dapat menimbulkan efek berbahaya pada usus (Chamorro G, et al.,
1999). Takaran yang tepat dalam penggunaan obat tradisional memang belum banyak
didukung oleh data hasil penelitian. Peracikan secara tradisional menggunakan takaran
sejumput, segenggam atau pun seruas yang sulit ditentukan ketepatannya. Penggunaan
takaran yang lebih pasti dalam satuan gram dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
efek yang tidak diharapkan karena batas antara racun dan obat dalam bahan tradisional
amatlah tipis. Dosis yang tepat membuat tanaman obat bisa menjadi obat, sedangkan jika
berlebih bisa menjadi racun.
Ketepatan cara penggunaan Satu tanaman obat dapat memiliki banyak zat aktif
yang berkhasiat di dalamnya. Masing-masing zat berkhasiat kemungkinan membutuhkan
perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya. Sebagai contoh adalah daun Kecubung
jika dihisap seperti rokok bersifat bronkodilator dan digunakan sebagai obat asma. Tetapi
jika diseduh dan diminum dapat menyebabkan keracunan / mabuk (Patterson S, dan
O’Hagan D., 2002). Penelitian yang telah dilakukan terhadap tanaman obat sangat
membantu dalam pemilihan bahan baku obat tradisional. Pengalaman empiris ditunjang
dengan penelitian semakin memberikan keyakinan akan khasiat dan keamanan obat
tradisional (Sari, 2006).

1.2 Rumusan makalah


1. Kandungan apakah yang terdapat dalam herbal kunyit?
2. Interaksi herbal apa sajakah yang dapat terjadi?
1.3 Tujuan makalah
1. Mengetahui kandungan kimia dalam herbal kunyit.
2. Mengetahui interaksi yang mungkin terjadi dalam suatu herbal
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Interaksi obat adalah dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu bersamaan
dapat memberikan efek masing-masing atau saling berinteraksi. Interaksi tersebut dapat
bersifat potensiasi atau antagonis satu obat oleh obat lainnya, atau kadang dapat
memberikan efek yang lain. Interaksi obat dapat bersifat farmakodinamik dan
farmakokinetik.

1. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang mempunyai efek


farmakologi atau efek samping yang serupa atau yang berlawanan. Interaksi ini dapat
disebabkan karena kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang
bekerja pada sistem fisiologik yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diperkirakan
berdasarkan sifat farmakologi obat-obat yang berinteraksi. Pada umumnya, interaksi
yang terjadi dengan suatu obat akan terjadi juga dengan obat sejenisnya. Interaksi ini
terjadi dengan intensitas yang berbeda pada kebanyakan pasien yang mendapat obat-obat
yang saling berinteraksi.

2. Interaksi Farmakokinetik

Yaitu interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi, distribusi,
metabolisme, atau ekskresi obat lain. Dengan demikian interaksi ini meningkatkan atau
mengurangi jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk dapat menimbulkan efek
farmakologinya. Tidak mudah untuk memperkirakan interaksi jenis ini dan banyak
diantaranya hanya mempengaruhi pada sebagian kecil pasien yang mendapat kombinasi
obat-obat tersebut. Interaksi farmakokinetik yang terjadi pada satu obat belum tentu akan
terjadi pula dengan obat lain yang sejenis, kecuali jika memiliki sifat-
sifat farmakokinetik yang sama.

a. Interaksi yang terjadi pada proses absorbsi


Mekanisme interaksi yang melibatkan absorbsi gastrointestinal dapat
terjadi melalui beberapa cara: (1) secara langsung, sebelum absorpsi; (2) terjadi
perubahan pH cairan gastrointestinal; (3) penghambatan transport aktif
gastrointestinal; (4) adanya perubahan flora usus dan (5) efek makanan.
b. Interaksi yang terjadi pada proses distribusi
Mekanisme interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena
pergeseran ikatan protein plasma. Interaksi obat yang melibatkan proses
distribusi akan bermakna klinik jika: (1) obat indeks memiliki ikatan protein
sebesar > 85%, volume distribusi (Vd) obat < 0,15 I/kg dan memiliki batas
keamanan sempit; (2) obat presipitan berikatan dengan albumin pada tempat
ikatan (finding site) yang sama dengan obat indeks, serta kadarnya cukup tinggi
untuk menempati dan menjenuhkan binding-site nya. Contohnya, fenilbutazon
dapat menggeser warfarin (ikatan protein 99%; Vd = 0,14 I/kg) dan tolbutamid
(ikatan protein 96%, Vd = 0,12 I/kg) sehingga kadar plasma warfarin dan
tolbutamid bebas meningkat. Selain itu, fenilbutazon juga menghambat
metabolisme warfarin dan tolbutamid
c. Interaksi yang terjadi pada proses metabolisme
Mekanisme interaksi dapat berupa (1) penghambatan (inhibisi)
metabolisme, (2) induksi metabolisme, dan (3) perubahan aliran darah hepatik.
d. Interaksi yang terjadi pada proses eksresi
Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui
empedu dan pada sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal, dan karena
terjadinya perubahan pH urin. Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi
akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang
sama.

Langkah pertama dalam penatalaksanaan interaksi obat adalah waspada terhadap


pasien yang memperoleh obat-obatan yang mungkin dapat berinteraksi dengan obat lain.
Strategi dalam penataan obat ini meliputi:

1. Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi Jika risiko interaksi obat lebih besar
daripada manfaatnya, maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti.
2. Menyesuaikan dosis Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek
obat, maka perlu dilaksanakan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk
mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut.
3. Memantau pasien Jika kombinasi obat yang saling berinteraksi diberikan,
pemantauan diperlukan.
4. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya Jika interaksi obat tidak bermakna
klinis, atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan
yang optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan tanpa perubahan.

Suatu herbal dapat memiliki efek yang menyerupai, memperkuat atau melawan
efek yang ditimbulkan obat (Ebadi, 2002). Interaksi obat dengan herbal dapat
menyebabkan perubahan ketersediaan hayati (bioavailability) dan efikasi obat (Tuso,
2002). Penggunaan obat herbal secara sering dapat menjadi penyebab terjadinya efek
toksik yang tidak diketahui penyebabnya atau berkurangnya efikasi obat (Newall &
Phillipson, 1998).
Kunyit merupakan salah satu jenis tanaman obat atau herbal yang banyak
memiliki manfaat dan banyak ditemukan diwilayah Indonesia. Kunyit merupakan jenis
rumput – rumputan, tingginya sekitar 1 meter dan bunganya muncul dari puncuk batang
semu dengan panjang sekitar 10 – 15 cm dan berwarna putih. Umbi akarnya berwarna
kuning tua, berbau wangi aromatis dan rasanya sedikit manis. Bagian utamanya dari
tanaman kunyit adalah rimpangnya yang berada didalam tanah. Rimpangnya memiliki
banyak cabang dan tumbuh menjalar, rimpang induk biasanya berbentuk elips dengan
kulit luarnya berwarna jingga kekuning – kuningan (Hartati & Balittro., 2013).
Kunyit memiliki batang semu yang tersusun dari kelopak atau pelepah daun yang
saling menutupi. Daun kunyit tersusun dari pelepah daun, gagang daun dan helai daun.
Panjang helai daun antara 31 – 83 cm. lebar daun antara 10 – 18 cm daun kunyit
berbentuk bulat telur memanjang dengan permukaan agak kasar. Bunga kunyit berbentuk
kerucut runcing berwarna putih atau kuning muda dengan pangkal berwarna putih.
Senyawa kimia utama yang terkandung dalam kunyit adalah kurkuminoid atau
zat warna, yakni sebanyak 2,5 – 6%. Pigmen kurkumin inilah yang memberi warna
kuning orange pada rimpang (Winarto, 2004). Salah satu fraksi yang terdapat dalam
kurkuminoid adalah kurkumin. Komponen kimia yang terdapat didalam rimpang kunyit
diantaranya minyak atsiri, pati, zat pahit, resin, selulosa dan beberapa mineral.
Kandungan minyak atsiri kunyit sekitar 3 – 5%. Disamping itu, kunyit juga mengandung
zat warna lain, seperti monodesmetoksikurkumin dan biodesmetoksikurkumin, setiap
rimpang segar kunyit mengandung ketiga senyawa ini sebesar 0,8% (Winarto, 2004).
Kunyit memiliki efek farmakologis seperti, melancarkan darah dan vital energi,
menghilangkan sumbatan peluruh haid, antiradang (anti–inflamasi), mempermudah
persalinan, antibakteri, memperlancar pengeluaran empedu (kolagogum), peluruh kentut
(carminative)dan pelembab (astringent). Kunyit mempunyai khasiat sebagai jamu dan
obat tradisional untuk berbagai jenis penyakit, senyawa yang terkandung dalam kunyit
(kurkumin dan minyak atsiri) mempunyai peranan sebagai antioksidan, antitumor dan
antikanker, antipikun, menurunkan kadar lemak dan kolesterol dalam darah dan hati,
antimikroba, antiseptic dan antiinflamasi (Hartati & Balittro, 2013).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kunyit

 Klasifikasi kunyit
 Kingdom : Plantae
 Subkingdom : Tracheobionta
 Superdivisi : Spermatophyta
 Divisi : Magnoliophyta
 Kelas : Liliopsida
 Subkelas : Commelinidae
 Ordo : Zingiberales
 Family : Zingiberaceae
 Genus : Curcuma
 Spesies : Curcuma longa L.
(Sumber : Plantamor.com)
 Sinonim
Curcuma domestica Val.
 Nama umum
Indonesia: kunyit, koneng [sun], kunir [jav]; Vietnam: khuong hoang, nghe;
Malaysia: kunyit; Filipina: dilaw; Thailand: kha min; China: yu jin, jiang
huang; Jepang: taamerikku, ukon; Inggris: curcuma, indian saffron, yellow
ginger.
B. Produk

 Sidomuncul sari kunyit merupakan produk herbal dari ekstrak kunyit yang
bermanfaat sebagai suplemen untuk memelihara kesehatan lambung dan
membantu mengatasi maag.
 Komposisi
Setiap kapsul mengandung ekstrak Curcuma domesticae Rhizoma (kunyit) 500
mg, setara dengan kurkuminoid 100 mg terstandar atau 40 g kunyit segar
 Manfaat
Membantu memelihara kesehatan pencernaan.

Zat kurkuminoid mempunyai khasiat anti bakteri dan dapat merangsang dinding
kantung empedu untuk mengeluarkan cairan empedu sehingga dapat memperlancar
metabolisme lemak. Cairan empedu adalah suatu cairan garam berwarna kuning
kehijauan yang mengandung kolesterol, fosfolifid, lesitin serta pigmen empedu. Empedu
mengandung sejumlah garam hasil dari percampuran antara Natrium dan Kalium dengan
asam-asam empedu (asam glikokolat dan taurokolat). Garam-garam ini akan bercampur
dengan lemak di dalam usus halus untuk membentuk misel, jika misel sudah terbentuk
akan menurunkan tegangan antar permukaan lemak dan gerakan mencampur pada saluran
pencernaan berangsur-angsur dapat memecah globulus lemak menjadi partikel yang lebih
halus sehingga lemak dapat dicerna (Darwis dkk, 1991).
Garam-garam empedu yang merupakan garam-garam basa dapat membantu juga
dalam menciptakan suasana yang lebih alkalis dalam chyme intestinal. Garam empedu
menetralisir keasaman isi usus di daerah lekukan duodenum, menghasilkan keadaan yang
alkalis sehingga dapat mencapai tingkat pH, volume, ataupun tingkat kecernaan yang
sesuai (Frandson, 1992).
Minyak atsiri yang terkandung dalam kunyit berkhasiat untuk mengatur
keluarnya asam lambung agar tidak berlebihan dan mengurangi pekerjaan usus yang
terlalu berat dalam pencernaan zat-zat makanan (Darwis dkk, 1991). Glandula fundika
adalah kelenjar lambung yang mengandung sel-sel khusus yaitu sel-sel body chief sebagai
zimogen tidak aktif, yaitu pepsinogen yang diaktifkan menjadi pepsin oleh HCl yang
disekresi oleh sel-sel parietal. Pepsin ini melakukan pemecahan protein menjadi asam
amino. Pepsin juga menimbulkan efek autokatalitik yaitu sejumlah kecil pepsin dapat
menyebabkan pengaktifan pepsinogen yang masih tersisa, yang berarti juga semakin
banyak pepsin yang terbentuk sehingga menyebabkan pemecahan protein yang semakin
baik (Harper dkk, 1980). Pemecahan protein yang semakin baik akan menyebabkan
metabolisme protein dalam tubuh semakin baik yang akan berpengaruh juga pada
pertumbuhan.
Minyak atsiri yang mengontrol asam lambung agar tidak berlebihan dan tidak
kekurangan menyebabkan isi lambung tidak terlalu asam, sehingga apabila isi lambung
tersebut masuk ke duodenum untuk menurunkan keasaman chyme semakin cepat dalam
mengubahnya ke keadaan pH yang sesuai untuk diteruskan ke usus halus untuk diserap
(Darwis dkk, 1991).
Pengaturan sekresi HCl dan pepsin yang semakin lancar akan menyebabkan
pencernaan dan penyerapan zat-zat makanan semakin lancar, dengan demikian akan
menyebabkan peningkatan kekosongan pada lambung yang akan berpengaruh pada
konsumsi dan pertumbuhan.
C. Interaksi herbal dengan obat
Interaksi antara obat dengan herbal dapat menimbulkan aktivitas sinergis maupun
antagonis yang bisa terjadi pada fase farmasetik, farmakokinetik maupun
farmakodinamik. Salah satu contoh interaksi obat dengan herbal adalah interaksi antara
tanaman kunyit dengan obat golongan beta blocker.
Dalam buku Stockley’s Herbal Medicine Interaction (2009), menyebutkan
bahwa ada interaksi yang sederhana antara obat golongan beta blocker, yaitu talinolol
dengan kunyit yang kandungan utamanya adalah kurmumin. mekanisme interaksi yang
terjadi diperkirakan bahwa curcumin menghambat P-glikoprotein dan karenanya
meningkatkan penyerapan substrat P-glikoprotein seperti talinolol. P-glikoprotein
menrupakan protein penting dari membrane sel yang memompa banyak benda asing
keluar dari sel.
Selain itu, terdapat pula studi lain yang membuktikan bahwa terdapat interaksi
antara beta blocker jenis lain, yaitu celiprolol dengan kunyit. Dalam penelitian tersebut
tikus diberi curcumin 60 mg / kg setiap hari selama 5 hari. Tiga puluh menit setelah dosis
terakhir curcumin, diberikan seliprolol 30 mg / kg dosis tunggal. Curcumin meningkatkan
AUC dan konsentrasi plasma maksimum celiprolol masing-masing sebesar 30% dan
90%. Naiknya konsentrasi plasma celiprolol terjadi karena curcumin telah terbukti
menghambat aktivitas eflux P-gp secara in vitro (Anuchapreeda et al., 2002), dan
penelitian tersebut juga telah mengindikasikan bahwa kurkumin melemahkan aktivitas
enzim CYP3A dalam mikrosom hati. Mekanisme tersebut menyebabkan bioavailabilitas
dari celiprolol meningkat. Tingkat P-gp yang lebih rendah juga dapat mengurangi
pembersihan sistemik dari celiprolol.
Kedua penjelasan di atas, menyimpulkan bahwa kurkumin dapat meningkatkan
bioavalaibilitas dari obat golongan beta blocker yang diujikan pada hewan. Namun,
pembuktian secara klinis memberikan hasil yang berbeda, di mana Cmax dan AUC
talinolol menurun dengan pemberian kurkumin. Dalam sebuah studi acak, 12 subyek
sehat diberi dosis tunggal talinolol 50 mg setelah menggunakan curcumin, unsur utama
kunyit, 300 mg setiap hari selama 6 hari. Curcumin ditemukan mengurangi AUC dan
kadar plasma maksimum talinolol masing-masing sebesar 33% dan 28%, tetapi tidak ada
perubahan klinis yang signifikan dalam hal detak jantung atau tekanan darah. Perbedaan
hasil yang diperoleh dari uji terhadap hewan dan manusia ini menunjukkan bahwa
mungkin ada mekanisme lain yang terlibat dalam penyerapan talinolol.
D. Interaksi herbal-herbal

Dari jurnal: Influence of Piperine on the Pharmacokinetics of Curcumin in


Animals and Human Volunteers

Kurkumin (Curcuma Longa L.), Rhizoma dari tanaman ini secara luas digunakan
sebagai pewarna dan bahan tambahan perasa untuk makanan. Kurkumin memiliki
spectrum efek terapi yang luas sebagai anti inflamasi, penyembuhan luka, antispasmodic,
anti koagulan, dan aktivitas antitumor. Farmakokinetik dari kurkumin menunjukkan
pemberian secara oral, lemah di absorpsi dan hanya jejak senyawa yang muncul pada
darah, sementara kebanyakan di ekskresi melalui feses. Transformasi kurkumin menjadi
komponen yang tidak dapat di identifikasi selama absorpsi dan glukoronidasi pada hati
kemungkinan menjadi penyebab rendahnya konsentrasi kurkumin dalam plasma.
Lada hitam (Piper nigrum L.), komponen terbesarnya adalah alkaloid piperine (1-
piperoylpiperidine) yang telah dilaporkan meningkatkan bioavailabilitas dari obat dengan
menghambat glukoronidasi di hati dan usus kecil. Human volunteer studies: Sejumlah 10
relawan sehat usia 20-26 tahun berpartisipasi dalam pengujian ini untuk menentukan
perbandingan bioavailabilitas profil farmakokinetik kurkumin ketika diberikan sendiri
atau bersama dengan piperine. Relawan melakukan pemeriksaan fisik dan tes
laboratorium untuk pemeriksaan darah lengkap, BUN (Blood Urea Nitrogen), alkaline
phosphatase, aspartate transaminase (ASAT), alanine transaminase (ALAT), urine
albumin, hal ini untuk memastikan subjek dalam studi ini dalam kondisi normal. Sampel
yang digunakan adalah 2 gram bubuk kurkumin (4 kapsul @500 mg bubuk kurkumin)
dan 2 gram bubuk kurkumin yang dikombinasikan dengan 20 mg bubuk piperine (4
kapsul @500 mg bubuk kurkumin dan @5 mg bubuk piperine). Sampling darah
dilakukan sebanyak 2x dipisahkan 2 minggu periode wash out selama pengujian dari
relawan yang sama. Relawan tidak boleh merokok, minum alcohol atau mengonsumsi
obat apapun selama pengujian berlangsung.
Hasil penelitian :

Pemberian kurkumin dan kurkumin+piperine dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien
dan tidak ada reaksi efek samping yang terjadi. Grafik diatas menggambarkan pemberian
kurkumin dan ketika diberikan bersama piperine. Level serum pemberian kurkumin
sangat rendah atau tidak dapat terdeteksi pada kebanyakan subjek, dijelaskan pada kurva
konsentrasi serum yang datar. Ketika ditambahkan piperine, konsentrasi serum kurkumin
secara signifikan meningkat.

E. Interaksi herbal-makanan (Cocoa dengan makanan)


Dalam serangkaian penelitian pada 6 subyek sehat, makanan berkarbohidrat tinggi
(roti atau gula) meningkatkan AUC flavanol sekitar 40% setelah konsumsi 125
mikrogram / kg kakao bebas gula, ysng kaya akan flavanol. Makanan kaya lemak dan
protein (mentega atau steak) dan susu murni memiliki sedikit efek pada penyerapan
flavanol. Jus jeruk bali memiliki efek kecil (peningkatan 20%), yang dikaitkan dengan
kandungan karbohidratnya. Studi ini menunjukkan bahwa karbohidrat dapat
meningkatkan penyerapan flavanol oral dari kakao. Namun, tingkatnya sederhana, dan
mungkin sedikit relevan secara klinis.
Susu biasanya dikonsumsi bersama kakao dan produk sampingan. Studi yang
dilakukan pada efek susu pada senyawa polifenol menunjukkan efek yang bertentangan.
Dalam penelitian terbaru yang diterbitkan oleh Serafini et al. (2003) menunjukkan bahwa
susu, baik ditambahkan ke coklat selama pembuatannya atau dikonsumsi dengannya,
mengurangi efisiensi penyerapan polifenol cokelat. Konsumsi makanan yang kaya
karbohidrat yang dikombinasikan dengan cokelat dapat meningkatkan penyerapan
senyawa-senyawa ini (Schramm et al., 2003).
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

1. Ekstrak Curcuma domesticae Rhizoma (kunyit) 500 mg, setara dengan kurkuminoid
100 mg terstandar atau 40 g kunyit segar.
2. Interaksi herbal yang terjadi :
- Interaksi yang sederhana antara obat golongan beta blocker, yaitu talinolol
dengan kunyit yang kandungan utamanya adalah kurmumin.
- Pemberian kurkumin + pipperin menyebabkan konsentrasi serum kurkumin
secara signifikan meningkat.
- Konsumsi makanan yang kaya karbohidrat yang dikombinasikan dengan cokelat
dapat meningkatkan penyerapan senyawa-senyawa ini.
DAFTAR PUSTAKA

Sukandar E Y, Tren dan Paradigma Dunia Farmasi, Industri-KlinikTeknologi Kesehatan,


disampaikan dalam orasi ilmiah Dies Natalis ITB, http://itb.ac.id/focus/
focus_file/orasi-ilmiah-dies-45.pdf, diakses Januari 2006.

Sastroamidjojo S, 2001, Obat Asli Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 170.

Fang Y, Li L, Wu Q, 2003, Effects of beta-asaron on gene expression in mouse brain,


Zhong Yao Cai, 26(9):650-2.

Chamorro G, Salazar M, Tamariz J, Diaz F, Labarrios F., 1999, Dominant lethal study of
alphaasarone in male and female mice after sub-chronic treatment., Phytother Res.,
13(4): 308-11.

Patterson S, O’Hagan D., 2002, Biosynthetic studies on the tropane alkaloid hyoscyamine
in Datura stramonium; hyoscyamine is stable to in vivo oxidation and is not
derived from littorine via a vicinal interchange process., Phytochemistry, 61(3):
323-9.

Sari K., 2006, Pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat dan
keamanannya, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, Program Studi Farmasi
Universitas Jember.

http://pionas.pom.go.id/ioni/lampiran-1-interaksi-obat-0

Gitawati R. 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Media Litbang Kesehatan
Volume XVIII

Ebadi, M., 2002. Pharmacodynamic Basis of Herbal Medicine, Washington: CRC Press
LLC, p. 25-51.

Newall, C.A., Phillipson, J.D., 1998. Interaction of Herbs with Other Medicines, The
European Phytojournal, Issue 1.

Tuso, P.J., 2002. The Herbal Medicine Pharmacy Update, The Permanente Journal,
Volume 6 No.4

Hartati, S. Y dan Balittro. (2013). Khasiat Kunyit Sebagai Obat Tradisional dan Manfaat
Lainnya. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Volume 19 (2):
5-9.
Winarto, W.P. 2004. Manfaat Tanaman Sayur untuk Mengatasi Berbagai
Penyakit. Agromedia pustaka. Jakarta. 99.

Anuchapreeda S, Leechanachai P, Smith M, Ambudkar SV, and Limtrakul P (2002)


Modulation of P-glycoprotein expression and function by curcumin in multidrug
resistant human KB cells. Biochem Pharmacol 64:573–582.

Darwis, S.N., Indo, A.B.D.M. and Hasiyah, S., (1991), Tanaman Obat Familia
Zingiberaceae, in, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Industri, Bogor.

Frandson, R.D., (1992), Anatomi dan Fisiologi, 4th ed., Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Harper, H.A., Rodwell, V.W. and Mayes, P.A., (1980), Biokimia, 17 ed., Penerbit Buku
Kedokteran E. G. C., Jakarta.

Williamson, Elizabeth, Samuel Driver dan Karen Baxter. 2009. Stockley’s Herbal
Medicine Interaction. Pharmaceutical Press : Great Britain.

Zhang W, Tan TMC, Lim L-Y. Impact of curcumin-induced changes in P-glycoprotein


and CYP3A expression on the pharmacokinetics of peroral celiprolol and midazolam
in rats. Drug Metab Dispos (2007) 35, 110–15.

Shoba, G., et all, 1997. Influence of Piperine on the Pharmacokinetics of Curcumin in


Animals and Human Volunteers. Department of Pharmacology, St. Johns Medical
College, Bangalore, India

Anda mungkin juga menyukai