DOSEN PENGAMPU:
Mamik Ponco R, M.Si., Apt
Kelas C-Kelompok 1
Anggota
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Interaksi obat adalah dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu bersamaan
dapat memberikan efek masing-masing atau saling berinteraksi. Interaksi tersebut dapat
bersifat potensiasi atau antagonis satu obat oleh obat lainnya, atau kadang dapat
memberikan efek yang lain. Interaksi obat dapat bersifat farmakodinamik dan
farmakokinetik.
1. Interaksi Farmakodinamik
2. Interaksi Farmakokinetik
Yaitu interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi, distribusi,
metabolisme, atau ekskresi obat lain. Dengan demikian interaksi ini meningkatkan atau
mengurangi jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk dapat menimbulkan efek
farmakologinya. Tidak mudah untuk memperkirakan interaksi jenis ini dan banyak
diantaranya hanya mempengaruhi pada sebagian kecil pasien yang mendapat kombinasi
obat-obat tersebut. Interaksi farmakokinetik yang terjadi pada satu obat belum tentu akan
terjadi pula dengan obat lain yang sejenis, kecuali jika memiliki sifat-
sifat farmakokinetik yang sama.
1. Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi Jika risiko interaksi obat lebih besar
daripada manfaatnya, maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti.
2. Menyesuaikan dosis Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek
obat, maka perlu dilaksanakan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk
mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut.
3. Memantau pasien Jika kombinasi obat yang saling berinteraksi diberikan,
pemantauan diperlukan.
4. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya Jika interaksi obat tidak bermakna
klinis, atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan
yang optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan tanpa perubahan.
Suatu herbal dapat memiliki efek yang menyerupai, memperkuat atau melawan
efek yang ditimbulkan obat (Ebadi, 2002). Interaksi obat dengan herbal dapat
menyebabkan perubahan ketersediaan hayati (bioavailability) dan efikasi obat (Tuso,
2002). Penggunaan obat herbal secara sering dapat menjadi penyebab terjadinya efek
toksik yang tidak diketahui penyebabnya atau berkurangnya efikasi obat (Newall &
Phillipson, 1998).
Kunyit merupakan salah satu jenis tanaman obat atau herbal yang banyak
memiliki manfaat dan banyak ditemukan diwilayah Indonesia. Kunyit merupakan jenis
rumput – rumputan, tingginya sekitar 1 meter dan bunganya muncul dari puncuk batang
semu dengan panjang sekitar 10 – 15 cm dan berwarna putih. Umbi akarnya berwarna
kuning tua, berbau wangi aromatis dan rasanya sedikit manis. Bagian utamanya dari
tanaman kunyit adalah rimpangnya yang berada didalam tanah. Rimpangnya memiliki
banyak cabang dan tumbuh menjalar, rimpang induk biasanya berbentuk elips dengan
kulit luarnya berwarna jingga kekuning – kuningan (Hartati & Balittro., 2013).
Kunyit memiliki batang semu yang tersusun dari kelopak atau pelepah daun yang
saling menutupi. Daun kunyit tersusun dari pelepah daun, gagang daun dan helai daun.
Panjang helai daun antara 31 – 83 cm. lebar daun antara 10 – 18 cm daun kunyit
berbentuk bulat telur memanjang dengan permukaan agak kasar. Bunga kunyit berbentuk
kerucut runcing berwarna putih atau kuning muda dengan pangkal berwarna putih.
Senyawa kimia utama yang terkandung dalam kunyit adalah kurkuminoid atau
zat warna, yakni sebanyak 2,5 – 6%. Pigmen kurkumin inilah yang memberi warna
kuning orange pada rimpang (Winarto, 2004). Salah satu fraksi yang terdapat dalam
kurkuminoid adalah kurkumin. Komponen kimia yang terdapat didalam rimpang kunyit
diantaranya minyak atsiri, pati, zat pahit, resin, selulosa dan beberapa mineral.
Kandungan minyak atsiri kunyit sekitar 3 – 5%. Disamping itu, kunyit juga mengandung
zat warna lain, seperti monodesmetoksikurkumin dan biodesmetoksikurkumin, setiap
rimpang segar kunyit mengandung ketiga senyawa ini sebesar 0,8% (Winarto, 2004).
Kunyit memiliki efek farmakologis seperti, melancarkan darah dan vital energi,
menghilangkan sumbatan peluruh haid, antiradang (anti–inflamasi), mempermudah
persalinan, antibakteri, memperlancar pengeluaran empedu (kolagogum), peluruh kentut
(carminative)dan pelembab (astringent). Kunyit mempunyai khasiat sebagai jamu dan
obat tradisional untuk berbagai jenis penyakit, senyawa yang terkandung dalam kunyit
(kurkumin dan minyak atsiri) mempunyai peranan sebagai antioksidan, antitumor dan
antikanker, antipikun, menurunkan kadar lemak dan kolesterol dalam darah dan hati,
antimikroba, antiseptic dan antiinflamasi (Hartati & Balittro, 2013).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kunyit
Klasifikasi kunyit
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Subkelas : Commelinidae
Ordo : Zingiberales
Family : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma longa L.
(Sumber : Plantamor.com)
Sinonim
Curcuma domestica Val.
Nama umum
Indonesia: kunyit, koneng [sun], kunir [jav]; Vietnam: khuong hoang, nghe;
Malaysia: kunyit; Filipina: dilaw; Thailand: kha min; China: yu jin, jiang
huang; Jepang: taamerikku, ukon; Inggris: curcuma, indian saffron, yellow
ginger.
B. Produk
Sidomuncul sari kunyit merupakan produk herbal dari ekstrak kunyit yang
bermanfaat sebagai suplemen untuk memelihara kesehatan lambung dan
membantu mengatasi maag.
Komposisi
Setiap kapsul mengandung ekstrak Curcuma domesticae Rhizoma (kunyit) 500
mg, setara dengan kurkuminoid 100 mg terstandar atau 40 g kunyit segar
Manfaat
Membantu memelihara kesehatan pencernaan.
Zat kurkuminoid mempunyai khasiat anti bakteri dan dapat merangsang dinding
kantung empedu untuk mengeluarkan cairan empedu sehingga dapat memperlancar
metabolisme lemak. Cairan empedu adalah suatu cairan garam berwarna kuning
kehijauan yang mengandung kolesterol, fosfolifid, lesitin serta pigmen empedu. Empedu
mengandung sejumlah garam hasil dari percampuran antara Natrium dan Kalium dengan
asam-asam empedu (asam glikokolat dan taurokolat). Garam-garam ini akan bercampur
dengan lemak di dalam usus halus untuk membentuk misel, jika misel sudah terbentuk
akan menurunkan tegangan antar permukaan lemak dan gerakan mencampur pada saluran
pencernaan berangsur-angsur dapat memecah globulus lemak menjadi partikel yang lebih
halus sehingga lemak dapat dicerna (Darwis dkk, 1991).
Garam-garam empedu yang merupakan garam-garam basa dapat membantu juga
dalam menciptakan suasana yang lebih alkalis dalam chyme intestinal. Garam empedu
menetralisir keasaman isi usus di daerah lekukan duodenum, menghasilkan keadaan yang
alkalis sehingga dapat mencapai tingkat pH, volume, ataupun tingkat kecernaan yang
sesuai (Frandson, 1992).
Minyak atsiri yang terkandung dalam kunyit berkhasiat untuk mengatur
keluarnya asam lambung agar tidak berlebihan dan mengurangi pekerjaan usus yang
terlalu berat dalam pencernaan zat-zat makanan (Darwis dkk, 1991). Glandula fundika
adalah kelenjar lambung yang mengandung sel-sel khusus yaitu sel-sel body chief sebagai
zimogen tidak aktif, yaitu pepsinogen yang diaktifkan menjadi pepsin oleh HCl yang
disekresi oleh sel-sel parietal. Pepsin ini melakukan pemecahan protein menjadi asam
amino. Pepsin juga menimbulkan efek autokatalitik yaitu sejumlah kecil pepsin dapat
menyebabkan pengaktifan pepsinogen yang masih tersisa, yang berarti juga semakin
banyak pepsin yang terbentuk sehingga menyebabkan pemecahan protein yang semakin
baik (Harper dkk, 1980). Pemecahan protein yang semakin baik akan menyebabkan
metabolisme protein dalam tubuh semakin baik yang akan berpengaruh juga pada
pertumbuhan.
Minyak atsiri yang mengontrol asam lambung agar tidak berlebihan dan tidak
kekurangan menyebabkan isi lambung tidak terlalu asam, sehingga apabila isi lambung
tersebut masuk ke duodenum untuk menurunkan keasaman chyme semakin cepat dalam
mengubahnya ke keadaan pH yang sesuai untuk diteruskan ke usus halus untuk diserap
(Darwis dkk, 1991).
Pengaturan sekresi HCl dan pepsin yang semakin lancar akan menyebabkan
pencernaan dan penyerapan zat-zat makanan semakin lancar, dengan demikian akan
menyebabkan peningkatan kekosongan pada lambung yang akan berpengaruh pada
konsumsi dan pertumbuhan.
C. Interaksi herbal dengan obat
Interaksi antara obat dengan herbal dapat menimbulkan aktivitas sinergis maupun
antagonis yang bisa terjadi pada fase farmasetik, farmakokinetik maupun
farmakodinamik. Salah satu contoh interaksi obat dengan herbal adalah interaksi antara
tanaman kunyit dengan obat golongan beta blocker.
Dalam buku Stockley’s Herbal Medicine Interaction (2009), menyebutkan
bahwa ada interaksi yang sederhana antara obat golongan beta blocker, yaitu talinolol
dengan kunyit yang kandungan utamanya adalah kurmumin. mekanisme interaksi yang
terjadi diperkirakan bahwa curcumin menghambat P-glikoprotein dan karenanya
meningkatkan penyerapan substrat P-glikoprotein seperti talinolol. P-glikoprotein
menrupakan protein penting dari membrane sel yang memompa banyak benda asing
keluar dari sel.
Selain itu, terdapat pula studi lain yang membuktikan bahwa terdapat interaksi
antara beta blocker jenis lain, yaitu celiprolol dengan kunyit. Dalam penelitian tersebut
tikus diberi curcumin 60 mg / kg setiap hari selama 5 hari. Tiga puluh menit setelah dosis
terakhir curcumin, diberikan seliprolol 30 mg / kg dosis tunggal. Curcumin meningkatkan
AUC dan konsentrasi plasma maksimum celiprolol masing-masing sebesar 30% dan
90%. Naiknya konsentrasi plasma celiprolol terjadi karena curcumin telah terbukti
menghambat aktivitas eflux P-gp secara in vitro (Anuchapreeda et al., 2002), dan
penelitian tersebut juga telah mengindikasikan bahwa kurkumin melemahkan aktivitas
enzim CYP3A dalam mikrosom hati. Mekanisme tersebut menyebabkan bioavailabilitas
dari celiprolol meningkat. Tingkat P-gp yang lebih rendah juga dapat mengurangi
pembersihan sistemik dari celiprolol.
Kedua penjelasan di atas, menyimpulkan bahwa kurkumin dapat meningkatkan
bioavalaibilitas dari obat golongan beta blocker yang diujikan pada hewan. Namun,
pembuktian secara klinis memberikan hasil yang berbeda, di mana Cmax dan AUC
talinolol menurun dengan pemberian kurkumin. Dalam sebuah studi acak, 12 subyek
sehat diberi dosis tunggal talinolol 50 mg setelah menggunakan curcumin, unsur utama
kunyit, 300 mg setiap hari selama 6 hari. Curcumin ditemukan mengurangi AUC dan
kadar plasma maksimum talinolol masing-masing sebesar 33% dan 28%, tetapi tidak ada
perubahan klinis yang signifikan dalam hal detak jantung atau tekanan darah. Perbedaan
hasil yang diperoleh dari uji terhadap hewan dan manusia ini menunjukkan bahwa
mungkin ada mekanisme lain yang terlibat dalam penyerapan talinolol.
D. Interaksi herbal-herbal
Kurkumin (Curcuma Longa L.), Rhizoma dari tanaman ini secara luas digunakan
sebagai pewarna dan bahan tambahan perasa untuk makanan. Kurkumin memiliki
spectrum efek terapi yang luas sebagai anti inflamasi, penyembuhan luka, antispasmodic,
anti koagulan, dan aktivitas antitumor. Farmakokinetik dari kurkumin menunjukkan
pemberian secara oral, lemah di absorpsi dan hanya jejak senyawa yang muncul pada
darah, sementara kebanyakan di ekskresi melalui feses. Transformasi kurkumin menjadi
komponen yang tidak dapat di identifikasi selama absorpsi dan glukoronidasi pada hati
kemungkinan menjadi penyebab rendahnya konsentrasi kurkumin dalam plasma.
Lada hitam (Piper nigrum L.), komponen terbesarnya adalah alkaloid piperine (1-
piperoylpiperidine) yang telah dilaporkan meningkatkan bioavailabilitas dari obat dengan
menghambat glukoronidasi di hati dan usus kecil. Human volunteer studies: Sejumlah 10
relawan sehat usia 20-26 tahun berpartisipasi dalam pengujian ini untuk menentukan
perbandingan bioavailabilitas profil farmakokinetik kurkumin ketika diberikan sendiri
atau bersama dengan piperine. Relawan melakukan pemeriksaan fisik dan tes
laboratorium untuk pemeriksaan darah lengkap, BUN (Blood Urea Nitrogen), alkaline
phosphatase, aspartate transaminase (ASAT), alanine transaminase (ALAT), urine
albumin, hal ini untuk memastikan subjek dalam studi ini dalam kondisi normal. Sampel
yang digunakan adalah 2 gram bubuk kurkumin (4 kapsul @500 mg bubuk kurkumin)
dan 2 gram bubuk kurkumin yang dikombinasikan dengan 20 mg bubuk piperine (4
kapsul @500 mg bubuk kurkumin dan @5 mg bubuk piperine). Sampling darah
dilakukan sebanyak 2x dipisahkan 2 minggu periode wash out selama pengujian dari
relawan yang sama. Relawan tidak boleh merokok, minum alcohol atau mengonsumsi
obat apapun selama pengujian berlangsung.
Hasil penelitian :
Pemberian kurkumin dan kurkumin+piperine dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien
dan tidak ada reaksi efek samping yang terjadi. Grafik diatas menggambarkan pemberian
kurkumin dan ketika diberikan bersama piperine. Level serum pemberian kurkumin
sangat rendah atau tidak dapat terdeteksi pada kebanyakan subjek, dijelaskan pada kurva
konsentrasi serum yang datar. Ketika ditambahkan piperine, konsentrasi serum kurkumin
secara signifikan meningkat.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Ekstrak Curcuma domesticae Rhizoma (kunyit) 500 mg, setara dengan kurkuminoid
100 mg terstandar atau 40 g kunyit segar.
2. Interaksi herbal yang terjadi :
- Interaksi yang sederhana antara obat golongan beta blocker, yaitu talinolol
dengan kunyit yang kandungan utamanya adalah kurmumin.
- Pemberian kurkumin + pipperin menyebabkan konsentrasi serum kurkumin
secara signifikan meningkat.
- Konsumsi makanan yang kaya karbohidrat yang dikombinasikan dengan cokelat
dapat meningkatkan penyerapan senyawa-senyawa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Chamorro G, Salazar M, Tamariz J, Diaz F, Labarrios F., 1999, Dominant lethal study of
alphaasarone in male and female mice after sub-chronic treatment., Phytother Res.,
13(4): 308-11.
Patterson S, O’Hagan D., 2002, Biosynthetic studies on the tropane alkaloid hyoscyamine
in Datura stramonium; hyoscyamine is stable to in vivo oxidation and is not
derived from littorine via a vicinal interchange process., Phytochemistry, 61(3):
323-9.
Sari K., 2006, Pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat dan
keamanannya, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, Program Studi Farmasi
Universitas Jember.
http://pionas.pom.go.id/ioni/lampiran-1-interaksi-obat-0
Gitawati R. 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Media Litbang Kesehatan
Volume XVIII
Ebadi, M., 2002. Pharmacodynamic Basis of Herbal Medicine, Washington: CRC Press
LLC, p. 25-51.
Newall, C.A., Phillipson, J.D., 1998. Interaction of Herbs with Other Medicines, The
European Phytojournal, Issue 1.
Tuso, P.J., 2002. The Herbal Medicine Pharmacy Update, The Permanente Journal,
Volume 6 No.4
Hartati, S. Y dan Balittro. (2013). Khasiat Kunyit Sebagai Obat Tradisional dan Manfaat
Lainnya. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Volume 19 (2):
5-9.
Winarto, W.P. 2004. Manfaat Tanaman Sayur untuk Mengatasi Berbagai
Penyakit. Agromedia pustaka. Jakarta. 99.
Darwis, S.N., Indo, A.B.D.M. and Hasiyah, S., (1991), Tanaman Obat Familia
Zingiberaceae, in, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Industri, Bogor.
Frandson, R.D., (1992), Anatomi dan Fisiologi, 4th ed., Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Harper, H.A., Rodwell, V.W. and Mayes, P.A., (1980), Biokimia, 17 ed., Penerbit Buku
Kedokteran E. G. C., Jakarta.
Williamson, Elizabeth, Samuel Driver dan Karen Baxter. 2009. Stockley’s Herbal
Medicine Interaction. Pharmaceutical Press : Great Britain.