(Kelompok 4)
Disusun oleh :
Dosen :
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah interaksi obat
dengan judul interaksi obat pada proses ekskresi. Dan juga kami berterima kasih kepada Ibu
Jenny Pontoan M.Farm., Apt selaku Dosen mata kuliah Interaksi Obat yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai imunisasi. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan
atau mengurangi efektifitas obat yang berinteraksi, jadi terutama bila menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit, misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-
obat sitotastik. Demikian juga interaksi yang menyangkut obat-obat yang biasa digunakan
atau yang sering diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang dipakai.
Salah satu faktor yang dapat mengubah respon terhadap obat adalah pemberian
bersamaan dengan obat-obat lain. Ada beberapa mekanisme dimana obat dapat berinteraksi,
tetapi kebanyakan dapat dikategorikan secara farmakokinetik (absorpsi, distribusi,
metabolisme, eksresi). Pada makalah ini akan dijelaskan mengenai interaksi pada fase
Ekskresi.
Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan pada
saat ini, dan berkembangnya polifarmasi maka kemungkinan terjadinya interaksi obat makin
besar. Interaksi obat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap
pengobatan (Quinn and Day, 1997). Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek
suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan,
sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah (Fradgley, 2003).
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat:
Untuk memeperkaya ilmu dan wawasan dibidang interaksi obat yang membahas tentang
interaksi obat pada tahap ekskresi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan efek obat akibat interaksi obat sangat bervariasi diantara individu karena
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti:
2) Usia
- Pasien geriatric lebih rawan karena umumnya telah terjadi berbagai penyakit
kronis, penurunan fungsi organ, terutama menurunnya fungsi ginjal dan hati.
3) Metabolisme obat,
4) Karakteristik pasien seperti umur, jenis kelamin, unsur genetik dan kondisi kesehatan
pasien (Fangky, 2017).
- Teka dkk (2016), menyatakan bahwa angka kejadian interaksi obat-obat tinggi
pada pasien laki-laki (52%) dibandingkan dengan pasien perempuan (48%).
- Rahmawati dkk (2006), juga menyatakan bahwa jumlah kejadian interaksi obat
pada pasien geriatri rawat inap cukup tinggi (125 kejadian)
2.1.3 Tipe interaksi obat
Tipe interaksi obat-obat yang dikemukakan oleh Hussar (2007) antaralain:
1) Duplikasi yaitu ketika dua obat yang sama efeknya diberikan, efek amping mungkin
dapat meningkat,
2) Opposition yaitu ketika dua obat denganaksi berlawanan diberikan bersamaandapat
berinteraksi, akibatnyamenurunkan efektivitas obat salah satuatau keduanya,
3) Alteration yaituketika suatu obat mungkin dirubahmelalui absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eksresi oleh obat lain.
2.1.4 Kategori signifikansi
Kategori signifikasi yang dikemukakan oleh Tatro (2006) antara lain:
1) Signifikansi 1 : kemungkinan besarterjadi interaksi yang berat dan mengancam jiwa.
Kejadian dapat diduga, telah terbukti atau sangat mungkin (probable) dalam penelitian
terkendali.
2) Signifikansi 2 : interaksi yang terjadi dapat memperburuk status klinis pasien.
Kejadiannya dapat diduga,telah terbukti dan sangat mungkindalam penelitian yang
terkendali.
3) Signifikansi 3 : interaksi menimbul-kan efek ringan, kejadiannya dapat diduga, telah
terbukti dan sangat mungkin dalam penelitian yang terkendali.
4) Signifikansi 4 : interaksi dapat me-nimbulkan efek yang sedang hinggaberat, data yang
ada sangat terbatas.
5) Signifikansi 5 : interaksi dapat me-nimbulkan efek ringan hingga beratdata yang ada
sangat terbatasSuatu studi di Nepal diketahuikejadian potensial interaksi obat-
obatsebesar 53% pada pasien di bangsalpenyakit dalam dan ICU dengan rata-
ratapenggunaan obat sebesar 8,53 obat perresep (Bista et al, 2009).
2.1.5 Tingkat Keparahan interaksi obat
2.1.5.1 Keparahan minor
Interaksi dikatakan minor jika interaksi mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan
potensial berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian. Contohnya yaitu penurunan
absorbs cipro oleh antasida ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setetlahnya (Bailie
et al 2014)
2.1.5.2 Keparahan moderat
Jika satu dari bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien dan monitor sering diperlukan.
Efek keparahan moderat mungkin menyebabkan perubahan status klinis pasien,
menyebabkan perawatan tambahan. Contohnya kombinasi vankomisin dan gentamisin
yang harus dilakukan monitoring nefrotoksisitas (Bailie et al 2014)
2.1.5.3 Keparahan major
Apabila terdapat probabilitas kejadian tinggi yang membahayakan nyawa pasien dan
terjadinya kerusakan permanen (Bailie et al 2014). Contohnya yaitu perkembangan aritmia
yang terjadi karena pemberian eritromisin dan terfenadin (Piscitelli et al 2005).
Interaksi obat sering dianggap sebagai sumber terjadinya efek samping obat (adverse
drug reactions), yakni jika metabolisme suatu obat indeks terganggu akibat adanya obat
lain (precipitant) dan menyebabkan peningkatan kadar plasma obat indeks sehingga terjadi
toksisitas. Selain itu interaksi antar obat dapat menurunkan efikasi obat. Interaksi obat
demikian tergolong sebagai interaksi obat "yang tidak dikehendaki" atau Adverse Drug
Interactions (ADIs). Meskipun demikian, beberapa interaksi obat tidak selalu harus
dihindari karena tidak selamanya serius untuk mencederai pasien.
Merupakan suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa proses yaitu: filtrasi
glomerular, sekresi aktif tubular, dan reabsorbsi obat (Gibaldi, 1984).
a. Filtrasi glomerular
Tidak hanya tergantung pada efisiensi dari membrane filtrasi saja, melainkan
dipengaruhi juga Oleh tekanan filtrasi (17 mmHg). Tekanan filtrasi ini merupakan
suatu fungsi dari laju aliran darah renal dan keseimbangan tekanan hidrostatik, yang
akan meningkatkan proses filtrasi. Sebagian besar obat yang mengalami proses
filtrasi merupakan senyawa yang bersifat polar dan larut dalam air.
Hanya obat dalam bentuk tak terion yang akan direabsorbsi. Jika obat mengalami
pengikatan oleh protein plasma, maka yang mengalami filtrasi adalah obat bebasnya.
Adanya peningkatan kadar obat dalam plasma, baik karena berkurangnya pengikatan
obat oleh protein maupun karena adanya pendesakkan oleh obat lain, dapat
menyebabkan peningkatan proses ekskresi obat melalui ginjal (Gibaldi 1984).
b. Sekresi tubular
Merupakan transport aktif dimana obat berpindah atau berdifusi melawan gradient
kadar dari pembuluh darah kapiler ke tubular ginjal (Gibaldi ,1984). Adanya proses
transport aktif inilah yang menyebabkan beberapa obat seperti diklosiklin, yang
meskipun dapat berikatan kuat dengan protein plasma namun dapat dieliminasi
dengan cepat dari tubuh (Gibaldi ,1984). Ikatan dengan protein plasma tidak
mempengaruhi kecepatan sekresi tubular karena adanya proses transport obat dalam
bentuk tidak terikat dan proses disisiasi obat protein kompleks yang terjadi secara
terus menerus (Gibaldi ,1984).
Seperti pada proses absorbsi aktif di saluran cerna, maka proses sekresi tubular juga
terjadi kompetensi antara obat yang satu dengan obat yang lain, dimana obat yang
satu dapat menghambat proses sekresi dari obat yang lain (Gibaldi, 1984). Hal
tersebut dapat dinukan untuk memperpanjang waktu paruh eliminasi obat seperti
penisilin yang proses eliminasinya sangat dipengaruhi oleh proses sekresi tubular
ginjal. Contoh: probenesid yang merupakan suatu asam organic lemah secara
kompetitif akan menghambat sekresi tubular dari penisilin G dan penisilin lainnya.
Hal tersebut akan mengakibatkan berkurangnya eksresi penisilin G dan penisilin
lainnya (Gibaldi 1984).
c. Reabsorbsi tubular
Setelah melalui proses glomerulus dan sekresi tubular, sebagian obat akan mengalami
reabsorbsi tubular. Reabsorbsi tubular biasanya merupakan proses transport pasif.
Senyawa-senyawa yang larut dalam lemak akan direabsorbsi secara intensif. Senyawa
yang kurang larut dalam lemak dan dalam bentuk terion, hanya sedikit yang akan di
reabsorbsi (Riviere, 1999). Proses reabsorbsi dipengaruhi oleh kecepatan aliran urin
dan pH urin. Semakin cepat aliran urin, maka semakin cepat ekskresinya (Gibaldi
1984). Tentang pengaruh pH urin, tergantung pada sifat obatnya. Pada obat-obat yang
bersifat asam lemah, semakin rendah pH urin, semakin banyak obat yang direabsorbsi.
Sedangkan obat yang bersifat basa lemah, memiliki sifat sebaliknya (Riviere, 1999).
Selain melalui ginjal obat dan metabolitnya dapat dieksresi melalui jalan lain, diantaranya:
Obat yang diekskresi ke oleh sel hati ke dalam empedu, dan selanjutnya dikeluarkan
melalui usus. Obat-obat yang diekskresikan bersama empedu, kemudian masuk ke
dalam usus dan dikeluarkan dari tubuh melalui tinja (Gibaldi, 1984). Terdapat 3 proses
transport aktif dalam proses ekskresi dalam empedu yaitu:
1. Proses yang menghasilkan anion organic, seperti: asam sulfonic, asam empedu,
bilirubin, dan berbagai obat yang produk biotransformasinya menghasilkan
glukuronida dan konjugat asam.
2. Proses yang bertanggung jawab terhadap ekskresi empedu beberapa bentuk keton
organic.
3. Proses yang menghasilkan beberapa bentuk non ionic, yang kurang larut dalam
lemak. Salah satu factor yang mempengaruhi ekskresi obat ke dalam empedu
adalah berat molekul obat yang diekskresi. Ekskresi obat melalui empedu sangat
penting dalam proses eliminasi rifampisin. Waktu paruh eliminasi dari rifampim
pada orang yang memiliki kerusakan pada empedunya akan menjadi 2 kali lebih
lama dibandingkan dengan orang normal (Gibaldi 1984).
Perpindahan obat dari dalam darah ke saliva dipengaruhi oleh kelarutan obat di dalam
lemak, pKa, dan ikatan obat dengan protein plasma. Konsentrasi obat dalam bentuk
tak terion di dalam saliva menggambarkan konsentrasi obat bebas di dalam plasma
(Gibaldi, 1984). Ekskresi obat ke dalam saliva, terutama terjadi melalui mekanisme
transport pasif. Namun pada beberapa jenis obat, ekskresi ke dalam saliva ini dapat
melalui transport aktif (Gibaldi, 1984).
- Fraksi obat yang diekskresikan melalui ginjal cukup besar, lebih dari 30%
- Obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5 - 10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 -7,5
Interaksi yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal hanya akan nyata secara
klinis bila obat atau metabolit aktifnya tereliminasi secara berarti oleh ginjal. pH urin
dapat mempengaruhi aktivitas obat dengan mengubah kecepatan bersihan ginjal.Bila
berada dalam bentuk tak terion, maka obat akan lebih cepat berdifusi dari filtrat
glomerular kembali ke dalam aliran darah. Dengan demikian, untuk obat basa, seperti
amfetamin, sebagian besar berada dalam bentuk tak terion dalam urin basa, sehingga
banyak yang tere-absorbsi ke dalam darah, yang akibatnya dapat memperlama
aktivitasnya.
Gambar. 7 mengilustrasikan situasi pada obat yang bersifat asam lemah. Perbedaan
yang diperoleh kurang berarti secara klinis. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
obat, baik yang bersifat asam lemah atau basa lemah dimetabolisme oleh hati dalam
membentuk metabolit inaktif. Dan sebagian kecil obat di ekskresikan melalui urin
(Stockley, 1995).
http://ioni.pom.go.id/ioni/search/interaksi
Harkness Richard. Interaksi Obat, ITB Bandung. 2015
Shinta Anggraini. Analisis Potensi Interaksi Obat Penyakit Tuberkulosis Paru Pada Pasien
Dewasa Di Unit Pengobatan Penyakit Paru-Paru (Up4) Pontianak Periode Januari-
Desember 2014. Pontianak.2016
Annisa Listyaindra. Identifikasi Interaksi Obat Potensial Pada Pasien Gagal Jantung
Kongestif Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit X Tahun 2016 Surakarta.2018.“
Sinta Octaviana*, Jaka Fadraersada, Rolan Rusli Karakteristik Dan Pengobatan Pasien
Diabetes Melitus Di Rumah Sakit Aji Batara Agung Dewa Sakti. Samarinda. 2016.
Sulistyowati Anita, Pengaruh Perlakuan Antalgin JRG Tablet Berbagai Variasi Dosis
Terhadap Farmakokinetik Paracetamol Pada Tikus Putih Jantan, Fakultas Farmasi,
Yogyakarta, 2005
Gibaldi M., 1984, Biopharmacheutical and Clinical Pharmacokinetik 3rd lea & febiyer,
philedelphia, 33-191.
Amada SR., Studi Potensi Interaksi Obat pada Pasien Systemic Erythemathosus Lupus
(SLE) Rawat Jalan di RSUD dr. Soegiri Lamongan. Fakultas Farmasi. Malang. 2018