Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH INTERAKSI OBAT

INTERAKSI OBAT PADA PROSES EKSKRESI

(Kelompok 4)

Disusun oleh :

Lulu Hayati Addiyar 16330085

Ata Rakhma Kumala 16330087

Irna Cecaria Agustin 16330089

Mia Dwi Rokhmawati 16330091

Nadia Putri Lestari 16330097

Rizal Adhitya 16330101

Fajriyatur Rizqi Ramadanti 16330102

Teguh Pentana 16330107

Putri Ella Agustina 16330111

Dosen :

Jenny Pontoan, M.Farm., Apt

PRODI FARMASI, FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah interaksi obat
dengan judul interaksi obat pada proses ekskresi. Dan juga kami berterima kasih kepada Ibu
Jenny Pontoan M.Farm., Apt selaku Dosen mata kuliah Interaksi Obat yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai imunisasi. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Jakarta, 22 Januari 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan
atau mengurangi efektifitas obat yang berinteraksi, jadi terutama bila menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit, misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-
obat sitotastik. Demikian juga interaksi yang menyangkut obat-obat yang biasa digunakan
atau yang sering diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang dipakai.
Salah satu faktor yang dapat mengubah respon terhadap obat adalah pemberian
bersamaan dengan obat-obat lain. Ada beberapa mekanisme dimana obat dapat berinteraksi,
tetapi kebanyakan dapat dikategorikan secara farmakokinetik (absorpsi, distribusi,
metabolisme, eksresi). Pada makalah ini akan dijelaskan mengenai interaksi pada fase
Ekskresi.
Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan pada
saat ini, dan berkembangnya polifarmasi maka kemungkinan terjadinya interaksi obat makin
besar. Interaksi obat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap
pengobatan (Quinn and Day, 1997). Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek
suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan,
sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah (Fradgley, 2003).

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

1.4 Manfaat:
Untuk memeperkaya ilmu dan wawasan dibidang interaksi obat yang membahas tentang
interaksi obat pada tahap ekskresi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Obat


2.1.1 Pengertian
Interaksi obat merupakan keadaan yang timbul akibat pemberian lebih obat dalam
waktu bersamaan, dimana efek dari masing-masing obat dapat saling mengganggu hingga
berpotensi membahayakan dan atau tidak memberikan efek yang signifikan secara klinis (Meryta
et al 2015))
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat lain
(precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang
memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki
(Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs) yang lazimnya menyebabkan efek samping
obat dan/atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya
menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal.
Sejumlah besar obat baru yang dilepas di pasaran setiap tahunnya menyebabkan munculnya
interaksi baru antar obat akan semakin sering terjadi (Retno, 2008).
Perubahan efek obat akibat interaksi obat sangat bervariasi diantara individu karena
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti dosis, kadar obat dalam darah, rute pemberian obat,
metabolisme obat, durasi terapi dan karakteristik pasien seperti umur, jenis kelamin, unsur
genetik dan kondisi kesehatan pasien (Fangky, 2017).

Mekanisme terjadinya interaksi-obat dapat melalui beberapa cara, yakni:


1) interaksi secara farmasetik (inkompatibilitas)
2) interaksi secara farmakokinetik
3) interaksi secara farmakodinamik.

1) Interaksi farmasetik: Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik


bersifat langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadinya presipitasi,
perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible), yang selanjutnya menyebabkan obat
menjadi tidak aktif. Contoh: interaksi karbcnisilin dengan gentamisin terjadi inaktivasi;
fenitoin dengan larutan dextrosa 5% terjadi presipitasi; amfoterisin B dengan larutan
NaCl fisiologik, terjadi presipitasi.
2) Interaksi farmakokinetik: Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan
kadar plasma obat.6 Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat
tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih dalam
satu kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia, yang
menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. Contohnya, interaksi farmakokinetik
oleh simetidin tidak dimiliki oleh H2-bloker lainnya; interaksi oleh terfenadin, aztemizole
tidak dimiliki oleh antihistamin non-sedatif lainnya; interaksi oleh efedrin yang
merupakan basa lemah dengan obat yang dapat mengasamkan urin seperti Ammonium
Klorida dapat menyebabkan klirens ginjal efedrin menurun.
3) Interaksi farmakodinamik: Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang
bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga
terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma
ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik umumnya dapat
diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena
klasifikasi obat adalah berdasarkan efek farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya
kejadian interaksi farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari
sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obat.6 ' Contoh interaksi obat pada reseptor
yang bersifat antagonistik misalnya: interaksi antara Pbloker dengan agonis-p2 pada
penderita asma; interaksi antara penghambat reseptor dopamin (haloperidol, metoclo-
pramid) dengan levodopa pada pasien parkinson.

2.1.2 Faktor yang mempengaruhi interaksi obat

Perubahan efek obat akibat interaksi obat sangat bervariasi diantara individu karena
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti:

1) Banyaknya obat dalam resep


- Pasien yang mendapat 2-5 macam obat mengalami interaksi obat 9% dan pasien
yang mendapat 6-10 macam obat mengalami 85% interaksi obat

2) Usia

- Pasien geriatric lebih rawan karena umumnya telah terjadi berbagai penyakit
kronis, penurunan fungsi organ, terutama menurunnya fungsi ginjal dan hati.

3) Metabolisme obat,

4) Karakteristik pasien seperti umur, jenis kelamin, unsur genetik dan kondisi kesehatan
pasien (Fangky, 2017).
- Teka dkk (2016), menyatakan bahwa angka kejadian interaksi obat-obat tinggi
pada pasien laki-laki (52%) dibandingkan dengan pasien perempuan (48%).
- Rahmawati dkk (2006), juga menyatakan bahwa jumlah kejadian interaksi obat
pada pasien geriatri rawat inap cukup tinggi (125 kejadian)
2.1.3 Tipe interaksi obat
Tipe interaksi obat-obat yang dikemukakan oleh Hussar (2007) antaralain:
1) Duplikasi yaitu ketika dua obat yang sama efeknya diberikan, efek amping mungkin
dapat meningkat,
2) Opposition yaitu ketika dua obat denganaksi berlawanan diberikan bersamaandapat
berinteraksi, akibatnyamenurunkan efektivitas obat salah satuatau keduanya,
3) Alteration yaituketika suatu obat mungkin dirubahmelalui absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eksresi oleh obat lain.
2.1.4 Kategori signifikansi
Kategori signifikasi yang dikemukakan oleh Tatro (2006) antara lain:
1) Signifikansi 1 : kemungkinan besarterjadi interaksi yang berat dan mengancam jiwa.
Kejadian dapat diduga, telah terbukti atau sangat mungkin (probable) dalam penelitian
terkendali.
2) Signifikansi 2 : interaksi yang terjadi dapat memperburuk status klinis pasien.
Kejadiannya dapat diduga,telah terbukti dan sangat mungkindalam penelitian yang
terkendali.
3) Signifikansi 3 : interaksi menimbul-kan efek ringan, kejadiannya dapat diduga, telah
terbukti dan sangat mungkin dalam penelitian yang terkendali.
4) Signifikansi 4 : interaksi dapat me-nimbulkan efek yang sedang hinggaberat, data yang
ada sangat terbatas.
5) Signifikansi 5 : interaksi dapat me-nimbulkan efek ringan hingga beratdata yang ada
sangat terbatasSuatu studi di Nepal diketahuikejadian potensial interaksi obat-
obatsebesar 53% pada pasien di bangsalpenyakit dalam dan ICU dengan rata-
ratapenggunaan obat sebesar 8,53 obat perresep (Bista et al, 2009).
2.1.5 Tingkat Keparahan interaksi obat
2.1.5.1 Keparahan minor
Interaksi dikatakan minor jika interaksi mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan
potensial berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian. Contohnya yaitu penurunan
absorbs cipro oleh antasida ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setetlahnya (Bailie
et al 2014)
2.1.5.2 Keparahan moderat
Jika satu dari bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien dan monitor sering diperlukan.
Efek keparahan moderat mungkin menyebabkan perubahan status klinis pasien,
menyebabkan perawatan tambahan. Contohnya kombinasi vankomisin dan gentamisin
yang harus dilakukan monitoring nefrotoksisitas (Bailie et al 2014)
2.1.5.3 Keparahan major
Apabila terdapat probabilitas kejadian tinggi yang membahayakan nyawa pasien dan
terjadinya kerusakan permanen (Bailie et al 2014). Contohnya yaitu perkembangan aritmia
yang terjadi karena pemberian eritromisin dan terfenadin (Piscitelli et al 2005).

2.1.6 Implikasi klinis interaksi obat.

Interaksi obat sering dianggap sebagai sumber terjadinya efek samping obat (adverse
drug reactions), yakni jika metabolisme suatu obat indeks terganggu akibat adanya obat
lain (precipitant) dan menyebabkan peningkatan kadar plasma obat indeks sehingga terjadi
toksisitas. Selain itu interaksi antar obat dapat menurunkan efikasi obat. Interaksi obat
demikian tergolong sebagai interaksi obat "yang tidak dikehendaki" atau Adverse Drug
Interactions (ADIs). Meskipun demikian, beberapa interaksi obat tidak selalu harus
dihindari karena tidak selamanya serius untuk mencederai pasien.

2.1.6.1 Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs)


Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs) mempunyai implikasi klinis jika:
1) Obat indeks memiliki batas keamanan sempit
2) Mula kerja (onset of action) obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam
3) Dampak ADIs bersifat serius atau berpotensi fatal dan mengancam kehidupan
4) Indeks dan obat presipitan lazim digunakan dalam praktek klinik secara
bersamaan dalam kombinasi.
Banyak faktor berperan dalam terjadinya ADIs yang bermakna secara klinik,
antara lain faktor usia, faktor penyakit, genetik, dan penggunaan obat-obat
preskripsi bersama-sama beberapa obat-obat OTC sekaligus. Usia lanjut lebih
rentan mengalami interaksi obat. Pada penderita diabetes melitus usia lanjut yang
disertai menurunnya fungsi ginjal, pemberian penghambat ACE (misal: kaptopril)
bersama diuretik hemat kalium (misal: spironolakton, amilorid, triamteren)
menyebabkan terjadinya hyperkalemia yang mengancam kehidupan. Beberapa
penyakit seperti penyakit hati kronik dan kongesti hati menyebabkan penghambatan
metabolisme obatobat tertentu yang dimetabolisme di hati (misalnya simetidin)
sehingga toksisitasnya dapat meningkat. Pemberian relaksans otot bersama
aminoglikosida pada penderita miopati, hipokalemia, atau disfungsi ginjal, dapat
menyebabkan efek relaksans otot meningkat dan kelemahan otot meningkat.
2.1.6.2 Interaksi obat yang dikehendaki
Adakalanya penambahan obat lain justru diperlukan untuk meningkatkan atau
mempertahankan kadar plasma obat-obat tertentu sehingga diperoleh efek terapetik
yang diharapkan. Selain itu, penambahan obat lain diharapkan dapat mengantisipasi
atau mengantagonis efek obat yang berlebihan. Penambahan obat lain dalam bentuk
kombinasi (tetap ataupun tidak tetap) kadang-kadang disebut
pharmacoenhancement, juga sengaja dilakukan untuk mencegah perkembangan
resistensi, meningkatkan kepatuhan, dan menurunkan biaya terapi karena
mengurangi regimen dosis obat yang harus diberikan
2.2 Interaksi obat pada fase ekskresi
Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui empedu dan
pada sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal, dan karena terjadinya perubahan pH
urin. Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan
metabolit obat untuk sistem transport yang sama, contohnya kuinidin menurunkan ekskresi
empedu digoksin, probenesid menurunkan ekskresi empedu rifampisin. Obat-obat tersebut
memiliki sistem transporter protein yang sama, yaitu Pglikoprotein.17 Obat-obat yang
mengham-bat Pglikoprotein di intestin akan meningkatkan bioavailabilitas substrat P-
glikoprotein, sedangkan hambatan P-glikoprotein di ginjal dapat menurunkan ekskresi
ginjal substrat. Contoh, itrakonazol, suatu inhibitor P-glikoprotein di ginjal, akan
menurunkan klirens ginjal digoksin (substrat P-glikoprotein) jika diberikan bersamasama,
sehingga kadar plasma digoksin akan meningkat.
Siklus enterohepatik dapat diputuskan atau diganggu dengan mengikat obat yang
dibebaskan atau dengan mensupresi flora usus yang menghidrolisis konjugat obat,
sehingga obat tidak dapat direabsorpsi. Contoh: kolestiramin,- suatu binding agents-, akan
mengikat parent drug (misalnya warfarin, digoksin) sehingga reabsorpsinya terhambat dan
klirens meningkat. Antibiotik berspektrum luas (misalnya rifampisin, neomisin) yang
mensupresi flora usus dapat mengganggu sirkulasi enterohepatik metabolit konjugat obat
(misalnya kontrasepsi oral/hormonal) sehingga konjugat tidak dapat dihidrolisis dan
reabsorpsinya terhambat dan berakibat efek kontrasepsi menurun.
Penghambatan sekresi ditubulus ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat dan
metabolit obat untuk sistem transport yang sama, terutama sistem transport untuk obat
bersifat asam dan metabolit yang juga bersifat asam. Contoh: fenilbutazon dan indometasin
menghambat sekresi ke tubuli ginjal obat-obat diuretik tiazid dan furosemid, sehingga efek
diuretiknya menurun; salisilat menghambat sekresi probenesid ke tubuli ginjal sehingga
efek probenesid sebagai urikosurik menurun.

1) Ekskresi melalui ginjal

Merupakan suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa proses yaitu: filtrasi
glomerular, sekresi aktif tubular, dan reabsorbsi obat (Gibaldi, 1984).
a. Filtrasi glomerular

Tidak hanya tergantung pada efisiensi dari membrane filtrasi saja, melainkan
dipengaruhi juga Oleh tekanan filtrasi (17 mmHg). Tekanan filtrasi ini merupakan
suatu fungsi dari laju aliran darah renal dan keseimbangan tekanan hidrostatik, yang
akan meningkatkan proses filtrasi. Sebagian besar obat yang mengalami proses
filtrasi merupakan senyawa yang bersifat polar dan larut dalam air.

Hanya obat dalam bentuk tak terion yang akan direabsorbsi. Jika obat mengalami
pengikatan oleh protein plasma, maka yang mengalami filtrasi adalah obat bebasnya.
Adanya peningkatan kadar obat dalam plasma, baik karena berkurangnya pengikatan
obat oleh protein maupun karena adanya pendesakkan oleh obat lain, dapat
menyebabkan peningkatan proses ekskresi obat melalui ginjal (Gibaldi 1984).

b. Sekresi tubular

Merupakan transport aktif dimana obat berpindah atau berdifusi melawan gradient
kadar dari pembuluh darah kapiler ke tubular ginjal (Gibaldi ,1984). Adanya proses
transport aktif inilah yang menyebabkan beberapa obat seperti diklosiklin, yang
meskipun dapat berikatan kuat dengan protein plasma namun dapat dieliminasi
dengan cepat dari tubuh (Gibaldi ,1984). Ikatan dengan protein plasma tidak
mempengaruhi kecepatan sekresi tubular karena adanya proses transport obat dalam
bentuk tidak terikat dan proses disisiasi obat protein kompleks yang terjadi secara
terus menerus (Gibaldi ,1984).

Seperti pada proses absorbsi aktif di saluran cerna, maka proses sekresi tubular juga
terjadi kompetensi antara obat yang satu dengan obat yang lain, dimana obat yang
satu dapat menghambat proses sekresi dari obat yang lain (Gibaldi, 1984). Hal
tersebut dapat dinukan untuk memperpanjang waktu paruh eliminasi obat seperti
penisilin yang proses eliminasinya sangat dipengaruhi oleh proses sekresi tubular
ginjal. Contoh: probenesid yang merupakan suatu asam organic lemah secara
kompetitif akan menghambat sekresi tubular dari penisilin G dan penisilin lainnya.
Hal tersebut akan mengakibatkan berkurangnya eksresi penisilin G dan penisilin
lainnya (Gibaldi 1984).
c. Reabsorbsi tubular

Setelah melalui proses glomerulus dan sekresi tubular, sebagian obat akan mengalami
reabsorbsi tubular. Reabsorbsi tubular biasanya merupakan proses transport pasif.
Senyawa-senyawa yang larut dalam lemak akan direabsorbsi secara intensif. Senyawa
yang kurang larut dalam lemak dan dalam bentuk terion, hanya sedikit yang akan di
reabsorbsi (Riviere, 1999). Proses reabsorbsi dipengaruhi oleh kecepatan aliran urin
dan pH urin. Semakin cepat aliran urin, maka semakin cepat ekskresinya (Gibaldi
1984). Tentang pengaruh pH urin, tergantung pada sifat obatnya. Pada obat-obat yang
bersifat asam lemah, semakin rendah pH urin, semakin banyak obat yang direabsorbsi.
Sedangkan obat yang bersifat basa lemah, memiliki sifat sebaliknya (Riviere, 1999).

2) Ekskresi melalui jalan lain

Selain melalui ginjal obat dan metabolitnya dapat dieksresi melalui jalan lain, diantaranya:

a. Ekskresi ke dalam empedu

Obat yang diekskresi ke oleh sel hati ke dalam empedu, dan selanjutnya dikeluarkan
melalui usus. Obat-obat yang diekskresikan bersama empedu, kemudian masuk ke
dalam usus dan dikeluarkan dari tubuh melalui tinja (Gibaldi, 1984). Terdapat 3 proses
transport aktif dalam proses ekskresi dalam empedu yaitu:

1. Proses yang menghasilkan anion organic, seperti: asam sulfonic, asam empedu,
bilirubin, dan berbagai obat yang produk biotransformasinya menghasilkan
glukuronida dan konjugat asam.

2. Proses yang bertanggung jawab terhadap ekskresi empedu beberapa bentuk keton
organic.

3. Proses yang menghasilkan beberapa bentuk non ionic, yang kurang larut dalam
lemak. Salah satu factor yang mempengaruhi ekskresi obat ke dalam empedu
adalah berat molekul obat yang diekskresi. Ekskresi obat melalui empedu sangat
penting dalam proses eliminasi rifampisin. Waktu paruh eliminasi dari rifampim
pada orang yang memiliki kerusakan pada empedunya akan menjadi 2 kali lebih
lama dibandingkan dengan orang normal (Gibaldi 1984).

b. Ekskresi ke dalam saliva

Perpindahan obat dari dalam darah ke saliva dipengaruhi oleh kelarutan obat di dalam
lemak, pKa, dan ikatan obat dengan protein plasma. Konsentrasi obat dalam bentuk
tak terion di dalam saliva menggambarkan konsentrasi obat bebas di dalam plasma
(Gibaldi, 1984). Ekskresi obat ke dalam saliva, terutama terjadi melalui mekanisme
transport pasif. Namun pada beberapa jenis obat, ekskresi ke dalam saliva ini dapat
melalui transport aktif (Gibaldi, 1984).

2.2.1 Interaksi Obat dengan Perubahan pH Urine


Perubahan pH urin mengakibatkan perubahan bersihan ginjal, melalui perubahan
jumlah reabsorbsi pasif di tubuli ginjal, yang hanya bermakna secara klinis bila:

- Fraksi obat yang diekskresikan melalui ginjal cukup besar, lebih dari 30%
- Obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5 - 10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 -7,5

Interaksi yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal hanya akan nyata secara
klinis bila obat atau metabolit aktifnya tereliminasi secara berarti oleh ginjal. pH urin
dapat mempengaruhi aktivitas obat dengan mengubah kecepatan bersihan ginjal.Bila
berada dalam bentuk tak terion, maka obat akan lebih cepat berdifusi dari filtrat
glomerular kembali ke dalam aliran darah. Dengan demikian, untuk obat basa, seperti
amfetamin, sebagian besar berada dalam bentuk tak terion dalam urin basa, sehingga
banyak yang tere-absorbsi ke dalam darah, yang akibatnya dapat memperlama
aktivitasnya.
Gambar. 7 mengilustrasikan situasi pada obat yang bersifat asam lemah. Perbedaan
yang diperoleh kurang berarti secara klinis. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
obat, baik yang bersifat asam lemah atau basa lemah dimetabolisme oleh hati dalam
membentuk metabolit inaktif. Dan sebagian kecil obat di ekskresikan melalui urin
(Stockley, 1995).

Perubahan ekskresi aktif tubulus ginjal, obat-obat yang menggunakan system


transport aktif yang sama pada tubulus ginjal, akan saling berkompetinsi satu dengan
lainnya untuk diekskresikan ke dalam urin (Stockley, 1995). Contoh: probenesid akan
menurunkan ekskresi penisilin dan obat-obat lain yang memiliki mekanisme ekskresi
yang serupa yang menyebakan penisiline akan tertahan. Sama halnya dengan penisilin,
probenesid juga akan tertahan karena akan direabsorbsi secara pasif di sepanjang
tubulus ginjal (Stockley, 1995).
Persaingan terhadap tempat ikatan pada system transport, seperti yang terjadi pada
penghambatan ekskresi penisilin dan probenesid, secara terapeutik dapat digunakan
untuk meningkatkan kadar penisilin dalam darah pada resistensi penisilin relative
(Mutschler, 1991). Beberapa contoh obat yang mempengaruhi perubahan ekskresi aktif
pada tubulus ginjal dapat dilihat pada table VII.
2.2.2 Interaksi Obat dengan Perubahan Trasnport Aktif
Penghambatan sekresi pada tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antarobat atau
antarmetabolit untuk sistem transpor aktif yang sama, terutama sistem transpor untuk
obat asam atau metabolit yang bersifat asam. Proses ini mungkin melibatkan sistem
enzim di dalam ginjal. Obat-obat tersebut diangkut dari darah melintasi sel-sel tubuli
proksimal dan masuk ke urin, melalui transpor aktif.
Bila obat diberikan bersamaan maka salah satu di antaranya dapat mengganggu
eliminasi obat lainnya.Sebagai contoh, pemberian bersamaan antara probenesid dan
penisilin. Probenesid menghambat ekskresi penisilin sehingga kadar antibiotik ini di
dalam darah tetap tinggi dan efeknya lama. Waktu paruh eliminasi penisilin akan
meningkat 2 – 3 lebih lama. Hal ini merupakan interaksi yang menguntungkan untuk
pengobatan infeksi.
Contoh lain adalah antara fenilbutazon dan asetoheksamid. Fenilbutazon
meningkatkan efek hipoglikemik dari asetoheksamid dengan menghambat ekskresi
metabolit aktif-nya, yakni hidroksiheksamid, se-hingga kadar metabolit tersebut
dalam darah lebih tinggi dari normal, sehingga insulin plasma meningkat dan glukosa
darah berkurang.

2.3 Contoh Interaksi Obat Dalam Fase Ekskresi


 Berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui penggeseran ikatannya dengan
protein.
 Pada penggunaan jangka lama diuretic loop dapat menurunkan klirens litium.
 Penggunaan bersama sefalosporin dapat menigkatkan nefrotoksisitas sefalosporin
 Anti inflamasi non steroid terutama indometasin dan kortikosteroid melawankerja
furosemid
 Pemberian diuretic loop dapat meningkatkan risiko aritmia pada pasien yang juga
mendapat digitalis atau obat antiaritmia.
 Pemberian bersama obat yang bersifat nefrotoksik seperti amininoglikosida dan anti
kanker sispaltin akan meningkatkan risiko nefrositotoksisitas.
DAFTAR PUSTAKA

http://ioni.pom.go.id/ioni/search/interaksi
Harkness Richard. Interaksi Obat, ITB Bandung. 2015
Shinta Anggraini. Analisis Potensi Interaksi Obat Penyakit Tuberkulosis Paru Pada Pasien
Dewasa Di Unit Pengobatan Penyakit Paru-Paru (Up4) Pontianak Periode Januari-
Desember 2014. Pontianak.2016
Annisa Listyaindra. Identifikasi Interaksi Obat Potensial Pada Pasien Gagal Jantung
Kongestif Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit X Tahun 2016 Surakarta.2018.“
Sinta Octaviana*, Jaka Fadraersada, Rolan Rusli Karakteristik Dan Pengobatan Pasien
Diabetes Melitus Di Rumah Sakit Aji Batara Agung Dewa Sakti. Samarinda. 2016.
Sulistyowati Anita, Pengaruh Perlakuan Antalgin JRG Tablet Berbagai Variasi Dosis
Terhadap Farmakokinetik Paracetamol Pada Tikus Putih Jantan, Fakultas Farmasi,
Yogyakarta, 2005
Gibaldi M., 1984, Biopharmacheutical and Clinical Pharmacokinetik 3rd lea & febiyer,
philedelphia, 33-191.
Amada SR., Studi Potensi Interaksi Obat pada Pasien Systemic Erythemathosus Lupus
(SLE) Rawat Jalan di RSUD dr. Soegiri Lamongan. Fakultas Farmasi. Malang. 2018

Anda mungkin juga menyukai