Anda di halaman 1dari 20

INTERAKSI ANTARA OBAT HIV DENGAN

OBAT LAIN

Nama : M. Juniar Ashar


NIM : 51502059
Prodi : S1 Farmasi VI.B
Mata Kuliah : Interaksi Obat
Dosen : Vera Suzalin

STIK SITI KADIJAH PALEMBANG


TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidyah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dari mata kuliah
Interaksi Obat. Makalah ini membahasa tentang interaksi obat HIV AIDS dengan
obat lain, Penulis berharap semoga makalah ini mendapatkan perhatian dan respon
yang baik dari Ibu Dosen dan bermanfaat bagi para Pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik dari
segi isi maupun bahasannya, diharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi menyempurnakan makalah ini.

Palembang, Mei 2018

( Penulis )
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi


bila tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman atau
pun obat-obatan. Interaksi obat adalah perubahan efek suatu Interaksi obat adalah
perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat dengan bahan-bahan lain
tersebut termasuk obat tradisional dan senyawa kimia lain Interaksi obat yang
signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat sekaligus
dalam satu periode (polifarmasi ) digunakan bersama-sama. Pasien yang dirawat
dirumah sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (6-10 macam obat)
karena sebagai subjek untuk lebih dari satu dokter, sehingga sangat mungkin
terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi tingkat keparahan penyaki atau
usia.

Obat dapat berinteraksi dengan obat lain maupun dengan makanan atau
minuman yang dikonsumsi oleh pasien. Hal ini dapat terjadi karena dalam
kehidupan sehari-hari, tidak jarang seorang penderita mendapat obat lebih dari
satu macam obat, menggunakan obat ethical, obat bebas tertentu selain yang
diresepkan oleh dokter maupun mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu
seperti alkohol, kafein. Perubahan efek obat akibat interaksi obat dapat bersifat
membahayakan dengan meningkatnya toksisitas obat atau berkurangnya khasiat
obat. Namun, interaksi dari beberapa obat juga dapat bersifat menguntungkan
seperti efek hipotensif diuretik bila dikombinasikan dengan beta-bloker dalam
pengobatan hipertensi (Fradgley, 2003). Jankel & Speedie (1990) mengemukakan
kejadian interaksi obat pada pasien rawat inap 2,2 % hingga 30 %, dan berkisar
9,2 % - 70,3 % pada pasien di masyarakat. Diantaranya terdapat 11 % pasien
yang benar-benar mengalami gejala akibat interaksi obat. Penelitian lain pada 691
pasien, ditemukan 68 (9,8%) pasien masuk rumah sakit karena penggunaan obat
dan 3 (0,4 %) pasien disebabkan oleh interaksi obat (Stanton et al., 1994). Suatu
survei mengenai insiden efek samping penderita rawat inap yang menerima 0–5
macam obat adalah 3,5 %, sedangkan yang mendapat 16–20 macam obat 54 %.
Peningkatan insidens efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat
diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat (Setiawati, 1995).

Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi interaksi yang melibatkan


aspek farmakokinetika obat dan interaksi yang mempengaruhi respons
farmakodinamik obat. Interaksi farmakikinetik dapat terjadi pada beberapa tahap,
meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi. Interaksi
farmakodinamik adalah interaksi di mana efek suatu obat diubah oleh obat lain
pada tempat aksi (Fradgley, 2003). Beberapa kejadian interaksi obat sebenarnya
dapat diprediksi sebelumnya dengan mengetahui efek farmakodinamik serta
mekanisme farmakokinetika obat-obat tersebut. Pengetahuan mengenai hal ini
akan bermanfaat dalam melakukan upaya pencegahan terhadap efek merugikan
yang dapat ditimbulkan akibat interaksi obat (Quinn and Day, 1997).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGERTIAN

A. Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan salah satu drug related problems (DRPs) yang
dapat mempengaruhi outcome terapi pasien. Interaksi obat adalah peristiwa di
mana aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan
bersamaan. Kemungkinan terjadinya peristiwa interksi harus selalu
dipertimbangkan dalam klinik, manakala dua obat atau lebih diberikan secara
bersamaan atau hampir bersamaan. Tidak semua interaksi obat membawa
pengaruh yang merugikan, beberapa interaksi justru diambil manfaatnya dalam
praktek pengobatan, misalnya saja peristiwa interaksi antara probenesid dengan
penisilin, di mana probenesid akan menghambat sekresi penisilin di tubuhi ginjal,
sehingga akan memperlambat ekskresi penisilin dan mempertahankan penisilin
lebih lama dalam tubuh. Interaksi dapat membawa dampak yang merugikan kalau
terjadinya interaksi tersebut sampai tidak dikenali sehingga tidak dapat dilakukan
upaya-upaya optimalisasi. Secara ringkas dampak negatif dari interaksi ini
kemungkinan akan timbul sebagai,

- Terjadinya efek samping,

- Tidak tercapainya efek terapetik yang diinginkan.

B. Pembagian dan Mekanisme Interaksi

Interaksi obat berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 3


golongan besar,

1. Interaksi farmasetik,

2. Interaksi famakokinetik,
3. Interaksi farmakodinamik

1. Interaksi farmasetikInteraksi ini merupakan interaksi fisiko-kimiawi di


mana terjadi reaksi fisiko-kimiawi antara obat-obat sehingga mengubah
(menghilangkan) aktifitas farmakologik obat. Yang sering terjadi misalnya
reaksi antara obat-obat yang dicampur dalam cairan secara bersamaan,
misalya dalam infus atau suntikan . Campuran penisilin (atau antibiotika
beta-laktam yang lain) dengan aminoglikosida dalam satu larutan tidak
dianjurkan. Walaupun obat-obat ini pemakaian kliniknya sering
bersamaan, jangan dicampur dalam satu suntikan.

2. Interaksi farmakokinetik

Interaksi dalam proses farmakokinetik yaitu absorpsi,


distribusi,metabolisme dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan atau
menurunkan kadar plasma obat. Interaksi obat secara farmakokinetik yang
terjadi pada suatu obat tidak dapat di ekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk
obat lainya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena
adanmya perbedaan sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat
farmakokinetik yang berbeda.

Cth: interaksi farmakokinetik oleh simetidin tidak dimiliki oleh H2-bloker


lainya; interaksi oleh terfenadin, aztemizole tidak dimiliki oleh
antihistamin non sedatif lainya.

3. Interaksi farmakodinamik

Obat-obat yang menghambat p-glikoprotein di intestin akan meningkatkan


bioavailabilitas substrat p-glikoprotein di ginjal dapat menurunkan
ekskresi ginjal substrat. Contoh itrakonazol, suatu inhibitor P-glikoprotein
di ginjal akan menurunkan klirens ginjal digoksin (substrat p-glikoprotein)
jika diberikan bersama-sama sehingga kadar plasma dengan digoksin akan
meningkatkan Sirkulasi enterohepatik dapat diputuskan atau diganggu
dengan mengikat obat yang dibebaskan atau dengan mensupresi flora usus
yang menghidrolisis konjugat obat , sehingga obat tidak dapat
direabsorbsi. Contoh colestiramin suatu binding agents, akan mengikan
parent drug (misalnya warfarin,digoksin sehingga reabsorbsinya terhambat
dan klirens meningkat.

B. Human Immunodeficiency Virus (HIV)

a. Defenisi penyakit
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus
(HIV) yaitu retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh
manusia (terutama CD4 positif T-sel dan makrofag komponen-komponen
utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu
fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem
kekebalan yang terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi
kekebalan tubuh. Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut
tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit-
penyakit. Orang yang kekebalan tubuhnya defisien (Immunodeficient)
menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam infeksi.
Menurut Depkes RI (2003), HIV merupakan virus yang
menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama
sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Gejala-
gejala timbul tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya.
Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh
(kekebalan) yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi
HIV tersebut.
Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang
berpotensial mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan
vagina dan air susu ibu. Sedangkan cairan yang tidak berpotensi untuk
menularkan virus HIV adalah cairan keringat, air liur, air mata dan lain-
lain.
b. Perjalanan Penyakit
Perjalanan infeksi HIV ditandai dalam tiga tahap: penyakit primer akut,
penyakit kronis asimtomatis dan penyakit kronis simtomatis.

Gambar: Perjalanan alamiah infeksi HIV/AIDS

1. Infeksi Primer (sindrom retroviral akut)


Setelah terjadi infeksi HIV mula-mula bereplikasi dalam kelenjar
limfe regional. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah
virus secara cepat di dalam plasma, biasanya lebih dari 1 juta copy/μl.

2. Infeksi HIV Asimptomatis/ dini


Dengan menurunnya penyakit primer, pada kebanyakan pasien
diikuti dengan masa asimtomatis yang lama, namun selama masa tersebut
replikasi HIV terus berlanjut dan terjadi kerusakan sistem imun. Beberapa
pasien mengalami limfadenopati generalisata persisten sejak terjadinya
serokonversi (perubahan tes antibodi HIV yang semula negatif menjadi
positif) perubahan akut (dikenal dengan limfadenopati pada dua lokasi
non-contiguous dengan sering melibatkan rangkaian kelenjar ketiak,
servikal, dan inguinal).

3. Infeksi Simptomatik/ antara


Komplikasi kelainan kulit, selaput lendir mulut dan gejala
konstitusional lebih sering terjadi pada tahap ini.
Stadium Lanjut
Penyakit stadium lanjut ditandai oleh suatu penyakit yang
berhubungan dengan penurunan imunitas yang serius. Keadaan tersebut
disebut sebagai infeksib oportunistik.

4. Kecepatan Perkembangan Infeksi HIV


Kecepatan perkembangan penyakit bervariasi antar individu,
berkisar antara 6 bulan hingga lebih 20 tahun. Waktu yang diperlukan
untuk berkembang menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun, bila tanpa
terapi antiretroviral. Dalam 5 tahun, sekitar 30% ODHA dewasa akan
berkembang menjadi AIDS kecuali bila diobati dengan ARV.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Interaksi obat HIV

Interkasi obat dapat diklasifikasikan kedalam dua kategori besar: 1) interkasi yang
mempengaruhi farmakokinetik dan 2) interakasi yang memperngaruhi
farmakodinamik. Keduanya berpotensi untuk menjadi masalah bagi pasien yang
terapi antiretroviral, interaksi farmakokinetik lebih banyak dan lebih sulit
diprediksi karena sidfat komplek dari metabokime obat.

A. Nucleoside dan nukleotida (NRTI )

Interaksi obat yang melibatkan metabolisme untuk NRTI minimal karena obat ini
diekskresikan melalui eliminasi ginjal dan tidak dimetabolisme oleh sistem enzim
CYP450. Dua jenis interaksi yang telibat dengan kelas obat ini adalah 1) interaksi
farmakokinetik menyebabkan gangguan penyerapan atau penghapusan dan 2)
interaksi farmakodinamik menyebabkan efek antagonis.

Interaksi spesifik:

 Zidovudine dan stavudine jangan diberikan bersamaan karena mereka


memiliki efek antagonis.
 Didanosine tablet dengan buffered formulated dapat menyebabkan
interaksi obat ketika diberikan dengan fluorokuinolon dan tetrasiklin.
Buffer dapat mengurangi aktivitas antimikroba fluorokuinolon dengan
chelating dengan mereka dan dengan demikian merusak penyerapan obat .
Didanosine harus diberikan minimal 2 jam setelah atau 6 jam sebelum
fluorokuinolon untuk meminimalkan interaksi ini. Karena administrasi
simultan didanosine buffered tablet dengan atazanavir PI menurunkan
penyerapan atazanavir, pasien harus diinstruksikan untuk makan obat
didanosine 2 jam sebelum atau 1 jam setelah mengambil atazanavir.
Interaksi ini dapat dihindari dengan menggunakan formulasi kapsul
berlapis enterik, yang tidak mengandung buffer. Namun, obat-obatan
masih jangan digunakan bersamaan karena didanosine kapsul dilapisi
enterik diberikan pada waktu perut kosong dan atazanavir diberikan
dengan makanan.

B. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)

NNRTI yang ekstensif dimetabolisme melalui sistem enzim CYP450: nevirapine


adalah inducer dari CYP3A4; delavirdine adalah inhibitor CYP3A4; dan
efavirenz, in vitro, adalah inhibitor campuran / inducer dari CYP3A4, tapi dalam
studi klinis, efavirenz adalah inducer. Interaksi obat dengan kelas ini diharapkan
jika obat bersamaan juga dimetabolisme oleh CYP3A4. In vitro etravirine (ETR)
adalah CYP3A4, 2C19, dan 2C9 substrat. ETR juga mengalami glucuronidation.
Selain itu, ETR menghambat 2C9 dan 2C19 dan merupakan inducer ringan
CYP3A4, 2B6, dan glucuronidation in vitro.

Interaksi spesifik:

 Nevirapine adalah inducer kuat dari CYP3A4, dengan induksi enzim


maksimal terjadi kira-kira 2 sampai 4 minggu setelah terapi dimulai.
Karena indukser enzim umumnya menyebabkan peningkatan metabolisme
obat, mengurangi konsentrasi obat efek yang diharapkan. Bersamaan
nevirapine dan kontrasepsi oral dapat menyebabkan kegagalan
kontrasepsi; Oleh karena itu, dokter harus merekomendasikan metode
alternatif pengendalian kelahiran dalam pengaturan ini.
 Metadon juga telah dilaporkan bahwa pasien yang memakai nevirapine
bersamaan terjadi peningkatan metadon clearance. klinikan harus
memonitor tanda-tanda dan gejala gangguan dari metadon saat
menambahkan nevirapine untuk rejimen pada pasien yang memakai
metadon.
 Rifabutin dan rifampisin, juga ampuh sebagai indukser CYP3A4, telah
terbukti mengurangi konsentrasi AUC nevirapine oleh 16% dan 37%
 Delavirdine adalah inhibitor poten dari CYP3A4; Oleh karena itu,
pemberian bersama dengan obat yang dimetabolisme oleh jalur ini dapat
menyebabkan kadar obat meningkat dan menyebabkan toksis . Obat yang
dimetabolisme oleh CYP3A4 termasuk derivatif ergot alkaloid, sildenafil,
simvastatin, lovastatin, dan benzodiazepin berikut: alprazolam,
midazolam, triazolam dan. Karena efeknya dapat diperkuat, obat ini harus
dihindari atau digunakan dengan hati-hati pada pasien yang menerima
delavirdine.
 Etravirine adalah inducer CYP3A4 ringan dan penghambat CYP2C9 dan
CYP2C19. Penggunaan bersama PI harus dihindari karena terjadi
penurunan yang signifikan dalam konsentrasi serum PI oleh etravine.
C. Protease Inhibitors (PI)

Terapi PI sering dipersulit oleh interaksi obat karena mereka berpotensi


menghambat CYP3A4. Karena sebagian besar obat lain yang tersedia di pasar
juga dimetabolisme oleh CYP3A4, potensi interaksi obat merupakan perhatian
utama bagi dokter mengobati pasien yang terinfeksi HIV. Banyak obat harus
dihindari selama terapi PI bersamaan karena penghambatan CYP450 dan potensi
peningkatan toksisitas atau dikurangi khasiat.

Interaksi spesifik

 Lopinavir pada dasarnya dimetabolisme oleh CYP3A. Ritonavir


menghambat metabolisme lopinavir, sehingga meningkatkan konsentrasi
plasma lopinavir. Gunakan hati-hati dengan penggunaan bersamaan
Lopinavir/ritonavir dengan obat lain yang memperpanjang interval Plasma
Rate (misalnya beta-blocker, calcium channel blocker, digoxin,
atazanavir), terutama jika obat ini dimetabolisme oleh CYP3A.
 Ritonavir adalah inhibitor yang paling ampuh dari CYP3A4 antara PI
(saquinavir adalah yang paling kuat). Ritonavir juga menghambat
CYP2D6 pada tingkat lebih rendah daripada CYP3A4 dan dapat
menginduksi CYP1A2, CYP2C9, CYP2C19, dan CYP3A4. Pengaruh
ritonavir pada beberapa enzim CYP450 memperparah dan meningkatkan
jumlah serta keparahan interaksi terkait dengan obat ini. Kemampuannya
untuk menghambat metabolisme lainnya PI dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan parameter farmakokinetik co-dikelola PI.

D. CCR5 Co-Receptor Antagonist

Interaksi spesifik

 Maraviroc adalah substrat CYP3A dan P-glikoprotein. Interaksi obat-obat


mungkin terjadi dengan obat NRTI dan enfuvirtide(ART). Penurunan dosis
sebesar 150 mg dianjurkan ketika maraviroc digunakan bersamaan dengan
inhibitor CYP3A (dengan atau tanpa inducer CYP3A). Ini termasuk
protease inhibitor (kecuali tipranavir / ritonavir), delavirdine,
ketoconazole, itraconazole, klaritromisin, dan inhibitor CYP3A kuat
lainnya (yaitu, nefazodone, telitromisin). Pengurangan dosis ini juga
dianjurkan saat digunakan bersamaan dengan lopinavir / ritonavir plus
efavirenz atau saquinavir / ritonavir plus efavirenz.

E. Inhibitor transfer E. HIV-1 Integrase Strand (INSTI)

Raltegravir dimetabolisme melalui UGT-1A1-dimediasi glucuronidation. Ini


bukan substrat, sehingga tidak menstimulasi/menghambat jalur CYP. Sebagai
UGT1A1 inducer kuat, rifampisin mengurangi raltegravir AUC dan Cmin sebesar
40% dan 61%, masing-masing; pemberian harus dihindari karena kurangnya data
klinis. Demikian pula, pemberian dengan fenobarbital dan fenitoin secara
signifikan dapat menurunkan konsentrasi serum raltegravir; penggunaan
bersamaan harus dihindari atau digunakan dengan hati-hati. Sebaliknya,
atazanavir (dengan dan tanpa ritonavir), adalah inhibitor kuat dari UGT1A1.
Meskipun kadar plasma dari raltegravir meningkat dengan atazanavir, tidak ada
penyesuaian dosis raltegravir diperlukan.

F. Antikonvulsan

Ada sedikit data mengenai interaksi obat dengan antikonvulsan. Karena kapasitas
fenitoin, fenobarbital, dan carbamazepine untuk menginduksi enzim metabolik,
obat ini harus dihindari pada pasien yang menerima NNRTI atau PI.

Dokter harus menghindari resep carbamazepine, fenobarbital, dan fenitoin untuk


pasien yang menerima NNRTI atau PI. Levetiracetam dapat dipertimbangkan.

G. Obat Antijamur

Pengelolaan infeksi HIV termasuk obat antijamur yang digunakan untuk


pengobatan kandidiasis oral atau terapi pemeliharaan meningitis kriptokokus.
H. Obat Antimycobacterial

Interaksi obat ini didokumentasikan dengan baik antara obat antimycobacterial


(rifampin, rifabutin, dan klaritromisin) dan ART. Perhatian terbesar adalah dengan
rejimen berbasis rifampisin karena berisiko terjadi penurunan yang signifikan
dalam konsentrasi PI disebabkan oleh induksi enzim yang berkaitan dengan
rifamycin tersebut.

Dibawah ini merupakan tabel penggunaan aman obat rifampin dan rifabutin:

I.Agen Disfungsi Ereksi

Sildenafil, vardenafil, dan tadalafil merupakan obat ekstensif yang dimetabolisme


oleh CYP3A4. Ketika sildenafil diberikan bersamaan dengan indinavir,
saquinavir, atau ritonavir, AUC sildenafil meningkat 2 sampai 11 kali lipat.
kemudian AUC dari vardenafil dan tadalafil meningkat ketika diberikan dengan
ritonavir.

Berdasarkan data tersebut, berikut rekomendasi ketika agen disfungsi ereksi


digabungkan dengan PI:

 Sildenafil - kurangi dosis awal 25 mg q48h dan pantau efek samping


 Tadalafil - dosis awal 5 mg, dan tidak melebihi dosis tunggal 10 mg dalam
72 jam
 Vardenafil - dosis awal 2,5 mg, dan tidak melebihi dosis 2,5 mg tunggal
dalam 72 jam

J. Ergot Alkaloid

Derivatif ergotamine kontraindikasi dengan semua PI karena potensi ergotism


meningkat disebabkan oleh penghambatan CYP450.

K. Terapi Herbal

Semua produk herbal harus digunakan dengan hati-hati sampai data lebih lanjut
yang tersedia mengenai efek mereka pada ART bersamaan.

L. HMG-CoA reduktase Inhibitor

Studi telah dilakukan dan mengevaluasi interaksi potensial antara PI dan inhibitor
HMG-CoA, sering disebut sebagai "statin" (pravastatin, atorvastatin, lovastatin,
rosuvastatin, dan simvastatin). Peningkatan tinggi pada AUC terkait dengan
penggunaan bersamaan ritonavir / saquinavir dan simvastatin menunjukkan bahwa
simvastatin tidak boleh digunakan selama terapi PI. Bahkan, salah satu laporan
kasus dalam literatur menggambarkan seorang pasien yang menerima simvastatin
bersamaan dengan terapi nelfinavir yang mengakibatkan kematian dari
rhabdomyolysis akut.

M. Kontrasepsi Oral

Dokter harus menyarankan wanita yang memakai obat efavirenz, nevirapine,


lopinavir/ritonavir, nelfinavir, ritonavir, tipranavir/ritonavir, darunavir/ritonavir
atau saquinavir harus menggunakan kontrasepsi alternatif lain.

N. Psikotropika Terapi
O. Obat penenang / Hipnotik

Ritonavir telah terbukti secara signifikan mengganggu clearance alprazolam dan


triazolam pada volunteer. Potensi ini dapat meningkatkan kadar obat
benzodiazepine dan menyebabkan potensiasi sedasi dan depresi pernapasan yang
terkait dengan senyawa ini. Meskipun data yang menggambarkan interaksi ini
terutama didasarkan pada penggunaan ritonavir, obat ini tidak boleh diberikan
dengan salah satu PI. Meskipun tidak ada penelitian formal interaksi obat
mengevaluasi kombinasi clonazepam dan PI ada, tingkat clonazepam mungkin
meningkat karena juga dimetabolisme oleh CYP3A4. Obat penenang / obat
hipnotik diterima, termasuk zolpidem, lorazepam, atau temazepam, dapat
digunakan.
BAB IV
KESIMPULAN

Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (indexdrug) berubah akibat
adanya obat lain (precipitant drug) makanan, atau minuman.
Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki (Desirable
Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug
Interaction = ADis)
Interkasi obat dapat diklasifikasikan kedalam dua kategori besar: 1)
interkasi yang mempengaruhi farmakokinetik dan 2) interakasi yang
memperngaruhi farmakodinamik
DAFTAR PUSTAKA

http://www.hivguidelines.org/clinical-guidelines/adults/hiv-drug-drug-
interactions/

Sukandar, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI, Jakarta.

Tjay, Tan Hoan, 2003, Obat-Obat Peting, Edisi V, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai