Anda di halaman 1dari 26

Makalah Interaksi Obat

Interaksi Obat dengan Farmakodinamika

Disusun Oleh
Edi irawan
15330703

Dosen : Dra. Refdanita. M,si. Apt

Fakultas Farmasi
Institut Sains dan Teknologi Nasional
2016
BAB I

LATAR BELAKANG
1.1 Latar Belakang

Penggunaan obat yang rasional dalam pelayanan kesehatan di Indonesia masih


merupakan masalah. Penggunaan polifarmasi dimana seorang pasien rata-rata
mendapatkan 3,5 obat dan lebih dari 50% menerima 4 atau lebih obat di setiap lembar
resepnya.

Pemberian polifarmasi pada pasien tidak saja menjadi problema di negara-negara


yang sedang berkembang, tapi juga merupakan masalah yang cukup serius di negara yang
telah maju. Banyak obat yang tidak ada hubungannya dengan penyakit pasien diberikan
pada pasien, yang tentu saja merupakan pemborosan dan meningkatkan insiden penyakit
karena obat.

Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat dengan obat atau obat
dengan penyakit. Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat
meningkatkan toksisitas atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi. Populasi
lanjut usia memiliki risiko terbesar karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi
dengan proses penuaan. Perubahan fisiologis ini, terutama menurunnya fungsi ginjal dan
hepar, dapat menyebabkan perubahan proses farmakodinamik dan farmakokinetik obat
tersebut.

Prevalensi interaksi obat secara keseluruhan adalah 50% hingga 60%. Obat-
obatan yang mempengaruhi farmakodinamika atau farmakokinetika menunjukkan
prevalensi sekitar 5%-9%. Pada interaksi farmakodinamik tidak terjadi penurunan kadar
objek obat dalam darah. Tetapi yang terjadi adalah perubahan efek objek obat yang
disebabkan oleh obat presipitan karena pengaruhnya pada tempat kerja obat.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah mekanisme dan prinsip dari terjadinya interaksi obat secara


farmakodinamik dan bagaimana mencegah efek samping dari interaksinya
1.3 Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui mekanisme interaksi obat secara farmakodinamik


2. Untuk mengetahui prinsip interaksi obat secara farmakodinamik
3. Obat-obat yang menyebabkan terjadinya interaksi obat secara farmakodinamik
4. Cara pencegahan efek samping dari interaksi obat secara farmakodinamik
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Interaksi Obat

Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi
oleh obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah
efek obat lainnya. Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang Aktif
(Harknes 1989). Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus (Polifarmasi) yang menjadi
kebiasaan para dokter memudahkan terjadinya interaksi obat.
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan
toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah),
misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawati, 2007).
2.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi interaksi obat
a. Faktor Usia
Saat usia bertambah tubuh akan memberikan respon yang berbeda terhadap obat-
obatan. Distribusi obat yang larut dalam lipid (obat-obat yang larut dalam lemak)
mengalami perubahan yang jelas, dimana wanita berusia lanjut memiliki jaringan
lemak 33% lebih banyak dibandingkan wanita yang lebih muda sehingga terjadi
akumulasi obat. Usia juga mempengaruhi klirens obat akibat perubahan yang terjadi
pada hati dan ginjal. Saat tubuh semakin tua aliran darah melalui hati berkurang dan
klirens beberapa obat dapat terhambat sekitar 30-%40%. Keadaan ini terlihat jelas
ketika pasien mengalami gagal jantung. Selain itu enzim-enzim hati yang menjalankan
metabolisme obat mudah melimpah sehingga memperlambat metabolisme dan
akhirnya terjadi peningkatan konsentrasi obat tertentu. Dalam kaitannya dengan ginjal
penurunan ukuran dan aliran darah terjadi sesuai dengan pertambahan usia sehingga
beberapa obat dieliminasi secara lambat. Masalah ini semakin buruk pada kondisi
seperti hipertensi, diabetes, dan dehidrasi. Cara tubuh merespon suatu obat bisa
berubah akibat proses penuaan.
b. Faktor Polifarmasi
Dewasa ini upaya pengobatan dengan menggunakan lebih dari satu macam obat
(polifarmasi) sering dijumpai. Polifarmasi berarti pemakaian obat banyak obat
sekaligus pada seorang pasien lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional
dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Istilah ini mengandung konotasi
yang berlebihan tidak diperlukan dan sebagian besar dapat dihilangkan tanpa
mempengaruhi outcome penderita dalam hasil pengobatannya.
c. Faktor Penyakit
Kadang-kadang obat-obatan yang bermanfaat untuk satu penyakit bisa berbahaya
untuk penyakit lain misalnya beta-bloker yang digunakan untuk penyakit jantung atau
hipertensi dapat memperburuk pasien asma dan mempersulit penderita diabetes untuk
mengetahui ketika gula darah mereka terlalu rendah. Diabetes, hipotensi atau
hipertensi, tukak, glaucoma, pelebaran prostat, kontrol kandung kemih yang buruk dan
insomnia adalah beberapa kondisi yang perlu diperhatikan karena penyakit-penyakit
seperti ini berpeluang lebih tinggi mengalami interaksi obat dengan penyakit.
d. Faktor Genetik
Perbedaan faktor genetik (turunan) di antara individu mempengaruhi apa yang
dilakukan tubuh terhadap suatu obat dan apa yang dilakukan obat terhadap tubuh.
Karena faktor genetic sebagian orang memproses (metabolisme) obat secara lambat
akibatnya suatu obat bisa berakumulasi di dalam tubuh sehingga menyebabkan
toksisitas. Sebaliknya sebagian individu yang memetabolisme obat begitu cepat
sehingga kadar obat di dalam darah tidak akan pernah mencapai angka yang cukup
agar obat bekerja secara efektif. Faktor genetic individu dapat mengubah responnya
terhadap suatu obat. Faktor genetik mempengaruhi farmakokinetika dan
farmakodinamika. Mutasi tak dikenal dapat dikaitkan dengan efek samping obat atau
dapat mempengaruhi besaran interaksi obat.
2.3 Mekanisme Terjadinya Interaksi Obat

Mekanisme interaksi obat dapat melalui beberapa cara, yakni 1) interaksi secara
farmasetik (inkompatibilitas) 2) interaksi secara farmakokinetik dan 3) interaksi secara
farmakodinamik.
1. Interaksi farmasetik:
Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik bersifat
langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadinya presipitasi,
perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible), yang selanjutnya menyebabkan obat
menjadi tidak aktif. Contoh: interaksi karbenisilin dengan gentamisin terjadi
inaktivasi; fenitoin dengan larutan dextrosa 5% terjadi presipitasi; amfoterisin B
dengan larutan NaCl fisiologik, terjadi presipitasi.
2. Interaksi farmakokinetik:
Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma obat.
Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat
diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas
terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat
farmakokinetik yang berbeda. Contohnya, interaksi farmakokinetik oleh simetidin
tidak dimiliki oleh H2-bloker lainnya; interaksi oleh terfenadin, aztemizole tidak
dimiliki oleh antihistamin non-sedatif lainnya.
a. Interaksi yang terjadi pada proses absorpsi gastrointestinal
Mekanisme interaksi yang melibatkan absorpsi gastrointestinal dapat
terjadi melalui beberapa cara: (1) secara langsung, sebelum absorpsi; (2) terjadi
perubahan pH cairan gastrointestinal; (3) penghambatan transport aktif
gastrointestinal; (4) adanya perubahan flora usus dan (5) efek makanan. Interaksi
yang terjadi secara langsung sebelum obat diabsorpsi contohnya adalah interaksi
antibiotika (tetrasiklin, fluorokuinolon) dengan besi (Fe) dan antasida yang
mengandung Al, Ca, Mg, terbentuk senyawa chelate yang tidak larut sehingga obat
antibiotika tidak diabsorpsi. Obat-obat seperti digoksin, siklosporin, asam valproat
menjadi inaktif jika diberikan bersama adsorben (kaolin, charcoal) atau anionic
exchange resins (kolestiramin, kolestipol). Terjadinya perubahan pH cairan
gastrointestinal, misalnya peningkatan pH karena adanya antasida, penghambat-
H2, ataupun penghambat pompa-proton akan menurunkan absorpsi basa-basa
lemah (misal, ketokonazol, itrakonazol) dan akan meningkatkan absorpsi obat-obat
asam lemah (misal, glibenklamid, glipizid, tolbutamid). Peningkatan pH cairan
gastrointestinal akan menurunkan absorpsi antibiotika golongan selafosporin
seperti sefuroksim aksetil dan sefpodoksim proksetil. Mekanisme interaksi melalui
penghambatan transport aktif gastrointestinal, misalnya grapefruit juice, yakni
suatu inhibitor protein transporter uptake pump di saluran cerna, akan menurunkan
bioavailabilitas beta-bloker dan beberapa antihistamin (misalnya, fexofenadin) jika
diberikan bersama-sama.7 Pemberian digoksin bersama inhibitor transporter efflux
pump Pglikoprotein (a.l. ketokonazol, amiodarone, quinidin) akan meningkatkan
kadar plasma digoksin sebesar 60-80% dan menyebabkan intoksikasi (blokade
jantung derajat-3), menurunkan ekskresinya lewat empedu, dan menurunkan
sekresinya oleh sel-sel tubulus ginjal proksimal.8 Adanya perubahan flora usus,
misalnya akibat penggunaan antibiotika berspektrum luas yang mensupresi flora
usus dapat menyebabkan menurunnya konversi obat menjadi komponen aktif. Efek
makanan terhadap absorpsi terlihat misalnya pada penurunan absorpsi penisilin,
rifampisin, INH, atau peningkatan absorpsi HCT, fenitoin, nitrofurantoin,
halofantrin, albendazol, mebendazol karena pengaruh adanya makanan. Makanan
juga dapat menurunkan metabolisme lintas pertama dari propranolol, metoprolol,
dan hidralazine sehingga bioavailabilitas obat-obat tersebut meningkat, dan
makanan berlemak meningkatkan absorpsi obat-obat yang sukar larut dalam air
seperti griseovulvin dan danazol.
b. Interaksi yang terjadipada proses distribusi.
Mekanisme interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena
pergeseran ikatan protein plasma. Interaksi obat yang melibatkan proses distribusi
akan bermakna klinik jika: (1) obat indeks memiliki ikatan protein sebesar > 85%,
volume distribusi (Vd) obat < 0,15 I/kg dan memiliki batas keamanan sempit; (2)
obat presipitan berikatan dengan albumin pada tempat ikatan (finding site) yang
sama dengan obat indeks, serta kadarnya cukup tinggi untuk menempati dan
menjenuhkan binding-site nya. Contohnya, fenilbutazon dapat menggeser warfarin
(ikatan protein 99%; Vd = 0,14 I/kg) dan tolbutamid (ikatan protein 96%, Vd =
0,12 I/kg) sehingga kadar plasma warfarin dan tolbutamid bebas meningkat. Selain
itu, fenilbutazon juga menghambat metabolisme warfarin dan tolbutamid.
c. Interaksi yang terjadi pada proses metabolisme obat.
Mekanisme interaksi dapat berupa (1) penghambatan (inhibisi)
metabolisme, (2) induksi metabolisme, dan (3) perubahan aliran darah hepatik.
Hambatan ataupun induksi enzim pada proses metabolisme obat terutama berlaku
terhadap obat-obat atau zat-zat yang merupakan substrat enzim mikrosom hati
sitokrom P450 (CYP).10 Beberapa isoenzim CYP yang penting dalam
metabolisme obat, antara lain: CYP2D6 yang dikenal juga sebagai debrisoquin
hidroksilase dan merupakan isoenzim CYP pertama yang diketahui, aktivitasnya
dihambat oleh obat-obat seperti kuinidin, paroxetine, terbinafine; CYP3A yang
memetabolisme lebih dari 50% obat-obat yang banyak digunakan dan terdapat
selain di hati juga di usus halus dan ginjal, antara lain dihambat oleh ketokonazol,
itrakonazol, eritromisin, klaritromisin, diltiazem, nefazodon; CYP1A2 merupakan
ezim pemetabolis penting di hati untuk teofilin, kofein, klozapin dan R warfarin,
dihambat oleh obat-obat seperti siprofloksasin, fluvoksamin.11" ' TABEL 1
menunjukkan contoh isoenzim CYP serta beberapa contoh substrat, inhibitor dan
induktornya. Interaksi inhibitor CYP dengan substratnya akan menyebabkan
peningkatan kadar plasma atau peningkatan bioavailabilitas sehingga
memungkinkan aktivitas substrat meningkat sampai terjadinya efek samping yang
tidak dikehendaki. Berikut ini adalah contoh-contoh interaksi yang melibatkan
inhibitor CYP dengan substratnya
Interaksi terfenadin, astemizol, cisapride (substrat CYP3A4/5) dengan
ketokonazol, itrakonazol, etitromisin, atau klaritromisin (inhibitor poten
CYP3A4/5) akan meningkatkan kadar substrat, yang menyebabkan toksisitas
berupa perpanjangan interval QT yang berakibat terjadinya aritmia ventrikel
(torsades de pointes) yang fatal (cardiac infarct).
Interaksi triazolam, midazolam (substrat) dengan ketokonazol, eritromisin
(inhibitor) akan meningkatkan kadar substrat, meningkatkan bioavailabilitas
(AUC) sebesar 12 kali, yang berakibat efek sedasi obat-obat sedative di atas
meningkat dengan jelas. Induktor atau zat yang menginduksi enzim
pemetabolis (CYP) akan meningkatkan sistensis enzim tersebut. Interaksi
induktor CYP dengan substratnya menyebabkan laju kecepatan metabolisme
obat (substrat) meningkat sehingga kadarnya menurun dan efikasi obat akan
menurun; atau sebaliknya, induksi CYP menyebabkan meningkatnya
pembentukan metabolit yang bersifat reaktif sehingga memungkinkan
timbulnya risiko toksik. Berikut adalah contohcontoh interaksi yang
melibatkan induktor CYP dengan substratnya:
Kontraseptik oral (hormon estradiol) dengan adanya induktor enzim
seperti rifampisin, deksametason, menyebabkan kadar estradiol menurun
sehingga efikasi kontraseptik oral menurun.
Asetaminofen (parasetamol) yang merupakan substrat CYP2E1, dengan
adanya inductor enzim seperti etanol, ENH, fenobarbital yang diberikan
secara terus menerus (kronik), menyebabkan peningkatan metabolism
asetaminofen menjadi metabolit reaktif sehingga meningkatkan risiko
terjadinya hepatotoksisitas.
Teofilin (substrat CYP1A2) pada perokok (hidrokarbon polisiklik
aromatik pada asap Media Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor 4
Tahun 2008 177 sigaret adalah induktor CYP1A2), atau jika diberikan
bersama karbamazepin (induktor), akan meningkatkan metabolisme
teofilin sehingga diperlukan dosis teofilin lebih tinggi. Tetapi jika
pemberian karbamazepin dihentikan sementara dosis teofilin tidak diubah,
dapat terjadi intoksikasi teofilin yang berat
d. Interaksiyang terjadi pada proses ekskresi obat.
Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui
empedu dan pada sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal, dan karena
terjadinya perubahan pH urin. Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi
akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama,
contohnya kuinidin menurunkan ekskresi empedu digoksin, probenesid
menurunkan ekskresi empedu rifampisin. Obat-obat tersebut memiliki sistem
transporter protein yang sama, yaitu Pglikoprotein. 17 Obat-obat yang mengham-
bat Pglikoprotein di intestin akan meningkatkan bioavailabilitas substrat P-
glikoprotein, sedangkan hambatan P-glikoprotein di ginjal dapat menurunkan
ekskresi ginjal substrat. Contoh: itrakonazol, suatu inhibitor P-glikoprotein di
ginjal, akan menurunkan klirens ginjal digoksin (substrat P-glikoprotein) jika
diberikan bersamasama, sehingga kadar plasma digoksin akan meningkat.
Sirkulasi enterohepatik dapat diputus-kan atau diganggu dengan mengikat obat
yang dibebaskan atau dengan mensupresi flora usus yang menghidrolisis konjugat
obat, sehingga obat tidak dapat direabsorpsi. Contoh: kolestiramin,- suatu binding
agents-, akan mengikat parent drug (misalnya warfarin, digoksin) sehingga
reabsorpsinya terhambat dan klirens meningkat. Antibiotik berspektrum luas
(misalnya rifampisin,neomisin) yang mensupresi flora usus dapat mengganggu
sirkulasi enterohepatik metabolit konjugat obat (misalnya kontrasepsi
oral/hormonal) sehingga konjugat tidak dapat dihidrolisis dan reabsorpsinya
terhambat dan berakibat efek kontrasepsi menurun. Penghambatan sekresi di tubuli
ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem
transport yang sama, terutama sistem transport untuk obat bersifat asam dan
metabolit yang juga bersifat asam. Contoh: fenilbutazon dan indometasin
menghambat sekresi ke tubuli ginjal obat-obat diuretik tiazid dan furosemid,
sehingga efek diuretiknya menurun salisilat menghambat sekresi probenesid ke
tubuli ginjal sehingga efek probenesid sebagai urikosurik menurun. Perubahan pH
urin akibat interaksi obat akan menghasilkan perubahan klirens ginjal melalui
perubahan jumlah reabsorpsi pasif ditubuli ginjal. Interaksi ini akan bermakna
klinik jika: (1) fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (> 30%),
dan (2) obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam lemah dengan pKa
3,0 - 7,5. Beberapa contoh antara lain: obat bersifat basa lemah (amfetamin,
efedrin,fenfluramin, kuinidin) dengan obat yang mengasamkan urin (NH4C1))
menyebabkan klirens ginjal obat-obat pertama meningkat sehingga efeknya
menurun; obat-obat bersifat asam (salisilat, fenobarbital) dengan obat-obat yang
membasakan urin seperti antasida (mengandung NaHCO3, A1(OH)3, Mg(OH)2),
akan meningkatkan klirens obat-obat pertama, sehingga efeknya menurun.
3. Interaksi Farmakodinamik
Pada interaksi farmakodinamik tidak terjadi penurunan kadar objek obat
dalam darah. Tetapi yang terjadi adalah perubahan efek objek obat yang disebabkan
oleh obat presipitan karena pengaruhnya pada tempat kerja obat. Artinya ada
perubahan tindakan obat tanpa perubahan konsentrasi serum melalui factor-faktor
farmakokinetik.
a. Efek Adisi
Terjadi ketika dua obat atau lebih dengan efek yang sama digabungkan dan
hasilnya adalah jumlah efek secara tersendiri sesuai dosis yang digunakan. Efek
aditif ini mungkin bermanfaat atau berbahaya bagi pasien. Salah satu contohnya
adalah barbiturate dan obat penenang yang diberikan secara bersamaan sebelum
bedah untuk membuat pasien rileks.
b. Efek Sinergis
Terjadi ketika dua obat atau lebih dengan atau tanpa efek yang sama
digunakan secara bersama-sama untuk mengkombinasikan efek yang memiliki
outcome lebih besar dari jumlah komponen aktif satu obat saja.
c. Potensiasi
Menggambarkan efek sinergestik tertentu suatu interaksi dimana hanya satu
dari dua obat yang tindakannya diperbesar oleh keberadaan obat kedua.
d. Reaksi Antagonis
Reaksi ini memiliki efek sinergisme yang sebaliknya dan menghasilkan suatu
efek kombinasi yang lebih rendah dari komponen aktif secara terpisah (Protamin
yang diberikan sebagai antidotum terhadap aksi antikoagulan dari heparin).
Obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik
yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa
ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi
farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan
dengan obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek
farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik
dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme
kerja obat bersifat antagonistik misalnya: interaksi antara Pbloker dengan agonis-
p2 pada penderita asma; interaksi antara penghambat reseptor dopamine
(haloperidol, metoclo-pramid) dengan levodopa pada pasien parkinson. Beberapa
contoh interaksi obat secara fisiologik serta dampaknya antara lain sebagai
berikut: interaksi antara aminogliko-sida dengan furosemid akan meningkatkan
risiko ototoksik dan nefrotoksik dari aminoglikosida; Pbloker dengan verapamil
menimbulkan gagal jantung, blok AV, dan bradikardi berat, benzodiazepin
dengan etanol meningkatkan depresi susunan saraf pusat (SSP); kombinasi obat-
obat trombolitik, antikoagulan dan anti platelet menyebabkan perdarahan.
Penggunaan diuretik kuat (misal furosemid) yang menyebabkan perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit seperti hipokalemia, dapat meningkatkan
toksisitas digitalis jika diberikan bersama-sama. Pemberian furosemid bersama
relaksan otot (misal, d-tubokurarin) menyebabkan paralisis berkepanjangan.
Sebaliknya, penggunaan diuretik hemat kalium (spironolakton, amilorid) bersama
dengan penghambat ACE (kaptopril) menyebabkan hiperkalemia. Kombinasi anti
hipertensi dengan obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) yang
menyebabkan retensi garam dan air, terutama pada penggunaan jangka lama,
dapat menurunkan efek antihipertensi.
2.4 Obat Objek dan Obat Praesipitan

a. Obat Presipitan
Obat Presipitan adalah obat yang mempengaruhi atau mengubah aksi efek obat
lain. Ciri - ciri dari obat presipitan adalah sebagai berikut:
Obat - obat dengan ikatan protein yang kuat sehingga akan menggusur obat dengan
ikatan protein yang lemah. Dengan demikian obat-obat yang tergusur kadarnya
akan bebas dalam darah dan meningkat sehingga menimbulkan efek toksik.
Obat-obat dengan kemampuan menghambat (inhibitor) atau merangsang (Inducer)
enzim-enzim yang memetabolisir obat dalam hati.
Obat-obat yang dapat mempengaruhi atau merubah fungsi ginjal sehinga eliminasi
obat-obat lain dapat dimodifikasi.
b. Obat Objek
Obat objek adalah obat yang hasil atau efeknya dipengaruhi atau diubah oleh obat
lain. Cirinya adalah :
Mempunyai kurva dose response yang curam
Obat-obat dengan rasio toksis yang rendah
2.5 Sasaran Interaksi Obat
Terdapat 4 sasaran interaksi :
a. Interaksi Obat-obat
Tipe interaksi obat dengan obat merupakan interaksi yang paling penting
dibandingkan dengan ketiga interaksi lainnya (Walker dan Edward, 1999). Semua
pengobatan termasuk pengobatan tanpa resep atau obat bebas harus diteliti terhadap
terjadinya interaksi obat, terutama bila berarti secara klinik karena dapat
membahayakan pasien
b. Interaksi Obat makanan
Tipe interaksi ini kemungkinan besar dapat mengubah parameter
farmakokinetik dari obat terutama pada proses absorpsi dan eliminasi, ataupun efikasi
dari obat.
Contoh: MAO inhibitor dengan makanan yang mengandung tiramin (keju, daging,
anggur merah) akan menyebabkan krisis hipertensif karena tiramin memacu pelepasan
norepinefrin sehingga terjadi tekanan darah yang tidak normal (Grahame-Smith dan
Arronson, 1992), makanan berlemak meningkatkan daya serap griseofulvin, (Shim dan
Mason, 1993).
Contoh interaksi obat dengan makanan
Jus jeruk
Jus jeruk menghambat enzim yang terlibat dalam metabolisme obat
sehingga mengintensifkan pengaruh obat-obatan tertentu. Peningkatan pengaruh
obat mungkin kelihatannya baik, padahal tidak. Jika obat diserap lebih dari yang
diharapkan, obat tersebut akan memiliki efek berlebihan. Misalnya, obat untuk
membantu mengurangi tekanan darah bisa menurunkan tekanan darah terlalu jauh.
Konsumsi jus jeruk pada saat yang sama dengan obat penurun kolesterol juga
meningkatkan penyerapan bahan aktifnya dan menyebabkan kerusakan otot yang
parah. Jeruk yang dimakan secara bersamaan dengan obat anti-inflamasi atau
aspirin juga dapat memicu rasa panas dan asam di perut
Kalsium
Kalsium atau makanan yang mengandung kalsium, seperti susu dan produk
susu lainnya dapat mengurangi penyerapan tetrasiklin.
Vitamin K
Makanan yang kaya vitamin K (kubis, brokoli, bayam, alpukat, selada)
harus dibatasi konsumsinya jika sedang mendapatkan terapi antikoagulan
(misalnya warfarin), untuk mengencerkan darah. Sayuran itu mengurangi
efektivitas pengobatan dan meningkatkan resiko trombosis (pembekuan darah).
c. Interaksi Obat penyakit
Acuan medis seringkali mengacu pada interaksi obat dan penyakit sebagai
kontraindikasi relatif terhadap pengobatan. Kontraindikasi mutlak merupakan resiko,
pengobatan penyakit tertentu kurang secara jelas mempertimbangkan manfaat
terhadap pasiennya (Shimp dan Mason, 1993). Pada tipe interaksi ini, ada obat-obat
yang dikontraindikasikan pada penyakit tertentu yang diderita oleh pasien. Misalnya
pada kelainan fungsi hati dan ginjal, pada wanita hamil ataupun ibu yang sedang
menyusui. Contohnya pada wanita hamil terutama pada trimester pertama jangan
diberikan obat golongan benzodiazepin dan barbiturat karena akan menyebabkan
teratogenik yang berupa phocomelia Juga pada pemberian NSAID pada Px riwayat
tukak lambung.
d. Interaksi Obat Hasil lab
Interaksi obat dengan tes laboratorium dapat mengubah akurasi diagnostik tes
sehingga dapat terjadi positif palsu atau negatif palsu. Hal ini dapat terjadi karena
interferensi kimiawi. Misalnya pada pemakaian laksativ golongan antraquinon dapat
menyebabkan tes urin pada uribilinogen tidak akurat (Stockley, 1999), atau dengan
perubahan zat yang dapat diukur contohnya perubahan tes tiroid yang disesuaikan
dengan terapi estrogen (Shimp dan Mason, 1993)
2.6 Implikasi Klinis Interaksi Obat
Interaksi obat sering dianggap sebagai sumber terjadinya efek samping obat (adverse
drug reactions), yakni jika metabolisme suatu obat indeks terganggu akibat adanya obat
lain (precipitant) dan menyebabkan peningkatan kadar plasma obat indeks sehingga
terjadi toksisitas. Selain itu interaksi antar obat dapat menurunkan efikasi obat. Interaksi
obat demikian tergolong sebagai interaksi obat "yang tidak dikehendaki" atau Adverse
Drug Interactions (ADIs). Meskipun demikian, beberapa interaksi obat tidak selalu harus
dihindari karena tidak selamanya serius untuk mencederai pasien.
a. Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs)
Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs) mempunyai implikasi klinis
jika: (1) obat indeks memiliki batas keamanan sempit; (2) mula kerja (onset of action)
obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam; (3) dampak ADIs bersifat serius atau
berpotensi fatal dan mengancam kehidupan; (4) indeks dan obat presipitan lazim
digunakan dalam praktek klinik secara bersamaan dalam kombinasi.1'19 Banyak
faktor berperan dalam terjadinya ADIs yang bermakna secara klinik, antara lain
faktor usia, faktor penyakit, genetik, dan penggunaan obat-obat preskripsi bersama-
sama beberapa obat-obat OTC sekaligus. Usia lanjut lebih rentan mengalami interaksi
obat. Pada penderita diabetes melitus usia lanjut yang disertai menurunnya fungsi
ginjal, pemberian penghambat ACE (misal: kaptopril) bersama diuretik hemat kalium
(misal: spironolakton, amilorid, triamteren) menyebabkan terjadinya hiperkalemia.
yang mengancam kehidupan. Beberapa penyakit seperti penyakit hati kronik dan
kongesti hati menyebabkan penghambatan metabolisme obatobat tertentu yang
dimetabolisme di hati (misalnya simetidin) sehingga toksisitasnya dapat meningkat.
Pemberian relaksans otot bersama aminoglikosida pada penderita miopati,
hipokalemia, atau disfungsi ginjal, dapat menyebabkan efek relaksans otot meningkat
dan kelemahan otot meningkat. Polimorfisme adalah salah satu factor genetik yang
berperan dalam interaksi obat. Pemberian fenitoin bersama INH pada kelompok
polimorfisme asetilator lambat dapat menyebabkan toksisitas fenitoin meningkat.
Obat-obat OTC seperti antasida, NSAID dan rokok yang banyak digunakan secara
luas dapat berinteraksi dengan banyak sekali obat-obat lain.
b. Interaksi obat yang dikehendaki
Adakalanya penambahan obat lain justru diperlukan untuk meningkatkan atau
mempertahankan kadar plasma obat-obat tertentu sehingga diperoleh efek terapetik
yang diharapkan. Selain itu, penambahan obat lain diharapkan dapat mengantisipasi
atau mengantagonis efek obat yang berlebihan. Penambahan obat lain dalam bentuk
kombinasi (tetap ataupun tidak tetap) kadang-kadang disebut pharmacoenhancement,
juga sengaja dilakukan untuk mencegah perkembangan resistensi, meningkatkan
kepatuhan, dan menurunkan biaya terapi karena mengurangi regimen dosis obat yang
harus diberikan. Waktu paruh singkat misalnya prokainamid, dengan simetidin dapat
mengubah parameter farmakokinetik prokainamid. Simetidin akan memperpanjang
waktu paruh prokainamid dan memperlambat eliminasinya. Dengan demikian
frekuensi pemberian dosis prokainamid sebagai anti aritmia dapat dikurangi dari
setiap 4-6 jam menjadi setiap 8 jam/hari, sehingga kepatuhan dapat
ditingkatkan.Dalam regimen pengobatan HIV, diperlukan kombinasi obat-obat
penghambat protease untuk terapi HIV dengan tujuan mengubah profil
farmakokinetik obat-obat jika diberikan tunggal menunjukkan bioavailabilitas rendah
sehingga tidak dapat mencapai kadar plasma yang memadai sebagai antivirus.
Dengan mengombinasikan lopinavir dengan ritonavir dosis rendah, maka
bioavailabilitas lopinavir akan meningkat dan obat mampu menunjukkan efikasi
sebagai antiviral. Ritonavir dosis rendah tidak memiliki efek antiviral namun cukup
adekuat untuk menghambat metabolisme lopinavir oleh CYP3A4 di usus dan hati.
Kombinasi obat-obat anti malaria dengan mula kerja cepat tetapi waktu paruhnya
singkat (misal, artemisinin) dengan obat anti malaria lain yang memiliki waktu paruh
lebih panjang, akan meningkatkan efktivitas obat anti malaria tersebut dan
mengurangi relaps. Kombinasi obat-obat anti tuberkulosis diharapkan akan
memperlambat terjadinya resistensi. Pemberian obat presipitan sebagai antagonis atau
antidotum untuk mengkonter efek samping obat indeks adalah contoh lain dari
interaksi antar obat yang dikehendaki. Misalnya, pemberian antikolinergik untuk
mengatasi efek samping ekstrapiramidal dari obat-obat ami emetik dan anti psikotik;
pemberian nalokson untuk mengatasi overdosis opium; pemberian atropin untuk
intoksikasi antikolinesterase dsb.
2.7 Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi :
a. Menghindari kombinasi obat yang berinterksi.
Jika resiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya maka harus
dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung
pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang berkaitan dengan kelas
obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik.
b. Penyesuaian dosis obat
Jika interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat maka perlu
dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan
atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada saat mulai atau
menghentikan penggunaan obat yang berinteraksi.
c. Pemantauan pasien
Jika kombinasi yang saling berinteraksi diberikan, maka diperlukan pemantauan
pasien. Keputusan untuk memantau atau tidak tergantung pada berbagai faktor,
seperti karaktteristik pasien, penyakit lain yang diderita pasien, waktu mulai
menggunakan obat yang menyebabkan interaksi dan waktu timbulnya reaksi interaksi
obat.
d. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya
Jika interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat yang
berinteraksi tersebut merupakan pengobatan optimal, pengobatan pasien dapat
diteruskan.
2.8 Tingkat Keparahan Interaksi Obat
Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga level :
minor, moderate, atau major.
a. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi mungkin
terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika
terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin oleh antasida
ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, 2004).
b. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari bahaya
potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe intervensi/monitor sering
diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin menyebabkan perubahan status klinis
pasien, menyebabkan perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit dan atau
perpanjangan lama tinggal di rumah sakit. Contohnya adalah dalam kombinasi
vankomisin dan gentamisin perlu dilakukan monitoring nefrotoksisitas (Bailie, 2004).
c. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat
probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang
menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Bailie, 2004).
Contohnya adalah perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian eritromisin
dan terfenadin (Piscitelii, 2005).
2.9 Strategi dalam penatalaksanaan interaksi obat meliputi :
a. Hindari kombinasi obat yang berinteraksi dengan resiko obat lebih besar daripada
manfaatnya, maka harus mempertimbangkan obat pengganti dengan pemilihan obat
pengganti tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang
berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik.
b. Penyesuaian dosis, jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat,
maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi
kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada saat
mulai atau menghentikan penggunaan obat yang menyebabkan interaksi.
c. Memantau pasien,jika hal ini dianggap relevan dan praktis.
Pemantauan dapat meliputi hal hal berikut ini :
Pemantauan klinis untuk menemukan berbagai efek yang tidak diinginkan. Hal ini
dapat dilakukan oleh seorang dokter dan informasi ditulis pada catatan medik
pasien.
Pengukuran kadar obat dalam darah. Hal ini dapat diperlukan bila tersedia sarana
pemantauan yang memadai dan bila ada pertimbangan interaksi potensial yang
berbahaya.
Pengukuran indikator interaksi, contoh pemantauan international normalized ratio
(INR) untuk pasien yang memperoleh pengobatan dengan warfarin.
d. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya bila interaksi obat tidak bermakna klinis,
atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang
optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan tanpa perubahan.
BAB III
PEMBAHASAN

Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi oleh obat
lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat
lainnya. Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang Aktif. Faktor yang
mempengaruhi terjadinya interaksi obat diantaranya faktor usia, polifarmasi, penyakit dan faktor
genetik. Semakin tua usia seseorang akan memperngaruhi responnya terhadap obat-obatan usia
juga mempengaruhi metabolisme dan klirens obat akibat perubahan yang terjadi pada hati dan
ginjal. Polifarmasi juga menyebabkan terjadinya interaksi obat akibat menggunakan lebih dari
satu macam obat untuk mengobati penyakit. Komplikasi penyakit yang diderita pasien juga dapat
memicu terjadinya interaksi obat karena kadang-kadang suatu obat yang bermanfaat untuk suatu
penyakit bisa berbahaya untuk penyakit lain sehingga harus diperhatikan dalam hal peresepan
obat. Faktor genetik juga mempengaruhi apa yang dilakukan tubuh terhadap suatu obat dan apa
yanag dilakukan obat terhadap tubuh sehingga untuk sebagian individu tubuh mereka akan
merubah responnya terhadap suatu obat, semua factor tersebut harus menjadi pertimbangan
dokter dalam memeriksa dan memberikan resep kepada pasien. Interaksi obat terjadi melalui tiga
(3) mekanisme yaitu mekanisme farmasetik, farmakokinetik dan farmakodinamik. Contoh
interaksi farmasetik misalnya terjadinya presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible),
yang selanjutnya menyebabkan obat menjadi tidak aktif. Contoh: interaksi karbenisilin dengan
gentamisin terjadi inaktivasi; fenitoin dengan larutan dextrosa 5% terjadi presipitasi; amfoterisin
B dengan larutan NaCl fisiologik, terjadi presipitasi.
Pada interaksi farmakokinetik terjadi interaksi obat pada proses farmakokinetik di dalam tubuh
yang meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Dikatakan berinteraksi
secara farmakokinetik jika interaksi antara dua obat mempengaruhi absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi salah satu obat. Pada interaksi farmakodinamik, suatu obat bisa
dikatakan berinteraksi secara farmakodinamik jika terjadi perubahan efek obat objek yang
disebabkan oleh obat presipitan karena pengaruhnya pada tempat kerja obat. Obat Presipitan
adalah obat yang mempengaruhi atau mengubah aksi efek obat lain sedangkan obat objek adalah
obat yang hasil atau efeknya dipengaruhi atau diubah oleh obat lain. Interaksi obat dapat terjadi
antara obat dengan obat, obat dengan makanan, obat dengan penyakit, dan obat dengan hasil lab.
Strategi dalam penatalaksanaan interaksi obat dapat dilakukan dengan : menghindari kombinasi
obat yang berinteraksi dengan resiko obat lebih besar daripada manfaatnya, Penyesuaian dosis
jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat maka perlu dilakukan
modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek
obat tersebut, Memantau pasien jika hal ini dianggap relevan dan praktis, Melanjutkan
pengobatan seperti sebelumnya bila interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat
yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal pengobatan pasien dapat
diteruskan tanpa perubahan.

Tabel Interaksi obat secara Farmakodinamik


N Obat Obat Mekanisme Interaksi Efek yang Penanganan Interaksi
o. Objek Presipitan ditimbulkan Obat
1. Quinidine Amiodarone Amiodarone dapat Konsentrasi Dosis Quinidine
meningkatkan kadar kadar Quinidine dikurangi 33%-35%
konsentrasi quinidine serum dalam nya dan pemantauan
serum dalam darah darah meningkat kadar Quinidine serum
menjadi meningkat dalam darah
2. Flekainid Amiodarone Amiodarone dapat Konsentrasi Dosis Flekainid
meningkatkan kadar kadar Flekainid dikurangi 30%-50%
konsentrasi flekainid serum dalam nya dan pemantauan
serum dalam darah darah meningkat kadar Flekainid serum
menjadi meningkat dalam darah
3. Gliclazide Ritonavir Ritonavir Efek antidiabetik Pada penderita diabetes
meningkatkan oral dari obat antiretroviral yang
aktivitas antidiabetik gliclazide dapat diberikan
dari Gliclazide karena meningkat alternatifnya adalah
Gliclazide Ritonavir
dimetabolisme lebih
baik dengan adanya
Rtionavir
4. Gliclazide Efavirenz Efavirenz dapat Efavirenz Memilih alternatif obat
mengurangi aktivitas menurunkan antiretroviral lain yang
gliclazide dalam aktifitas dapat diberikan
menurunkan glukosa antidiabetic Contoh : Ritonavir
darah gliclazide
5. Rosiglitaz Aceclofenac Aceclofenac Aceclofenac Penyesuaian dosis
one menurunkan aktivitas sebagai anti Aceclofenac selama
antidiabetic dari artritik (rematik) penggunaannya dalam
Rosiglitazone menurunkan terapi dengan
aktifitas Rosiglitazone
Rosiglitazone
sebagai anti
diabetik
6. Digoksin, Kolestiramin Terjadi penurunan Penurunan efek Menghindari
tiroksin, efek absorpsi digoksin absorpsi penggunaan obat
warfarin karena reseptor digoksin, tiroksin kolestiramin pada saat
berikatan dengan terapi menggunakan
kolestiramin digoksin, tiroksin dan
warfarin
7. Tetrasiklin Antasida yg Terjadi pembentukan Terbentuk khelat Pada penggunaa susu
mengandung kompleks ( khelat) yang sulit dan antasida diminum

Al3+, Mg2+ , yang sukar diabsorpsi diabsorpsi dua jam sebelum atau
karena ikatan sesudah meminum
Fe2+, Zn,
tertrasiklin dengan tetrasiklin
susu
antasida dan susu
8. Estradiol Rifampisin Rifampisin Penurunan efek Ketika menggunakan
menyebabkan kadar estradiol kontrasepsi estradiol
estradiol menurun dan tidak menggunakan
efektifitas kontrasepsi antibiotic rifampisin.
oral estradiol menurun Sebaiknya memilih
golongan antibiotic lain
9 siprofloxa ion Ca2+, menyebabkan Penurunan Penggunaan antasida
xin Mg2+ dan penurunan dari aktivitas 4 jam sebelum/sesudah

Al3+ dari absorpsi saluran antibiotik menggunakan


siprofloxaxin siprofloxaxin atau
antasida dan cerna,
pemilihan golongan
obat lain bioavailabilitas dan
efek terapetik, antasida lain
karena terbentuknya Co: obat-obat

senyawa kompleks. antagonis reseptor


juga menurunkan H2atau pompa proton
aktivitas antibiotik inhibitor
siprofloxaxin.
10 Fenitoin Asam Asam valproat Kadar Fenitoin Ketika penggunaan dua
. Valproat menggeser ikatan tak terikat dalam obat ini harus dilakukan
Fenitoin dengan darah meningkat pemantauan yang ketat
protein dan sehingga efek dan dilakukan
menghambat samping lebih penyesuaian dosis
metabolisme Fenitoin besar

Dari tabel diatas terdapat 10 macam obat yang berinteraksi. Pada obat 1 dan 2 terjadi interaksi
obat antara sesama obat aritmia kelas III. Dimana obat Amiodarone bersifat sebagai obat
presipitan yang mempengaruhi obat objek, amiodarone menyebabkan kadar serum plasma
Quinidine dan Flekainid meningkat sehingga ketika digunakan bersama dengan amiodarone
perlu dilakukan pematauan kadar serum Quinidin dan Flekainid dalam darah agar tidak terjadi
toksik. Mekanisme amiodarone dalam meningkatkan kadar obat objek adalah dengan
mengurangi kecepatan clearance di ginjal pada obat objek dan amidarone menyebabkan
peningkatan QT di pasien yang telah menggunakan terapi Quinidine dan Flekainid sehingga
dosis Quinidine dan Flekainid harus dikurangi. Pada obat ketiga (3) dan empat (4) adalah
interaksi antara Gliclazide dengan obat antiretroviral Efavirenz dan Ritonavir dimana gliclazide
sebagai antidiabetik oral pada penggunaannya dengan Ritonavir menyebabkan interaksi yang
menguntungkan yaitu Gliclazide efek antidiabetik oralnya menjadi lebih baik karena dengan
adanya interaksi dengan Ritonavir, Gliklazid diketahui dimetabolisme oleh mikrosomal hepatik
enzim CYP2C9 terutama dan sebagian oleh CYP3A4, Ritonavir adalah inhibitor poten terkenal
dari CYP3A436 dan digunakan untuk meningkatkan farmakokinetik dan profil kegiatan anti-
HIV yang diberikan bersama sejak glukosa darah meningkat ritonavir dan insulin menyebabkan
peningkatan pengaruh gliklazid pada glukosa darah mungkin disebabkan karena peningkatan
kadar gliklazid dalam darah dengan ritonavir karena ada kemungkinan interaksi farmakokinetik
pada tingkat metabolisme lebih baik daripada interaksi farmakodinamik. Pada kombinasi
Gliclazide dengan Efavirenz terjadi penurunan aktivitas antidiabetik dari Gliclazide karena
mekanisme interaksi antara efavirenz dan gliklazid disebabkan oleh meningkatnya metabolisme
hepatik mikrosomal enzim oleh efavirenz, seperti yang dikenal sebagai ampuh CYP3A4 inducer.
Namun hal ini akan perlu dilakukan penelitian interaksi farmakokinetik lebih lanjut. Pada
interaksi obat ke lima (5) yaitu interaksi antara Rosiglitazone dengan Aceclofenac dimana
Aceclofenac menurunkan aktifitas antidiabetik dari Rosiglitazone karena Aceclofenac secara
bertahap menurunkan efisiensi rosiglitazone selama 8 jam dalam kemampuannya mengontrol
gula darah , kombinasi ini masih kurang baik dibandingkan pengobatan dengan Rosiglitazone
saja. Aceclofenac merupakan turunan asam asetat fenil yang menunjukkan aktivitas analgesik
dan antiartritik dan profil tolerabilitas yang baik dalam kondisi sakit. Pada interaksi obat ke enam
(6) adalah interaksi antara obat digoksin dengan kolestiramin yang menyebabkan penurunan
absorpsi digoksin karena reseptornya berikatan dengan kolestiramin, dapat terjadi karena Bila
dua atau lebih obat yang sangat terikat protein digunakan bersama-sama, terjadi kompetisi
pengikatan pada tempat yang sama, yang mengakibatkan terjadi penggeseran salah satu obat dari
ikatan dengan protein, dan akhirnya terjadi peninggatan kadar obat bebas dalam darah. Bila satu
obat tergeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain, akan terjadi peningkatan kadar obat
bebas yang terdistribusi melewati berbagai jaringan. Pada tabel interaksi obat yang ke tujuh (7)
adalah interaksi obat antara tetrasiklin dengan (antasida dan susu) yang menyebabkan
terbentuknya kompleks tak larut dan khelat yang akan sukar dicerna tubuh sehingga jika
menggunakan tetrasiklin dapat memilih alternatif obat antasida yang lain dan member jarak 2
jam jika hendak meminum susu/antasida setelah meminum tetrasiklin. Pada interaksi obat yang
ke delapan (8) yaitu interaksi antara Estradiol dan Rifampisin , dengan Rifampisin menyebabkan
kadar Estradiol menurun dan terjadi penurunan efek Kontrasepsi oral Estradiol menurun, hal ini
terjadi karena pemberian suatu obat bersamaan dengan obat lain yang enzim pemetabolismenya
sama dapat terjadi gangguan metabolisme yang dapat menurunkan kadar obat dalam plasma,
sehingga menurunkan efeknya atau toksisitasnya. Pada interaksi obat ke sembilan (9) yaitu
interaksi antara Siprofloxaxin dengan ion Ca2+, Mg2+ dan Al3+ dari antasida dan obat lain yang
menyebabkan penurunan dari absorpsi saluran cerna, bioavailabilitas dan efek terapetik, karena
terbentuknya senyawa kompleks. juga menurunkan aktivitas antibiotik siprofloxaxin. Efek
interaksi ini dapat secara signifikan dikurangi dengan memberikan antasida beberapa jam
sebelum atau setelah pemberian fluorokuinolon. Jika antasida benar-benar dibutuhkan,
penyesuaian terapi, misalnya penggantian dengan obat-pbat antagonis reseptor H2atau inhibitor
pompa proton dapat dilakukan. Pada interaksi obat yang ke sepuluh (10) yaitu interaksi antara
Fenitoin dengan Asam Valproat, Asam valproat dapat menggeser fenitoin dari ikatannya dengan
protein dan juga menghambat metabolisme fenitoin. Jika pasien mengkonsumsi kedua obat ini,
kadar fenitoin tak terikat akan meningkat secara signifikan, menyebabkan efek samping yang
lebih besar. Sebaliknya, fenitoin dapat menurunkan kadar plasma asam valproat. Terapi
kombinasi kedua obat ini harus dimonitor dengan ketat serta dilakukan penyesuaian dosis.

Pada prinsipnya interaksi farmakodinamik terjadi karena adanya perubahan efek obat objek yang
disesbabkan oleh obat presipitan karena pengaruhnya terhadap tempat kerja obat (reseptor).
Perubahan efek ini dapat meningkatkan/menurunkan efek obat objek. Penurunan efek obat ini
terjadi karena reseptor dalam tubuh yang seharusnya diduduki oleh obat objek ditempati oleh
obat presipitan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan
1. Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi oleh
obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah
efek obat lainnya. Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang aktif.
2. Mekanisme interaksi obat ada tiga yaitu interaksi secara farmasetik, farmakokinetik
dan farmakodinamik.
3. Interaksi obat secara farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi karena adanya
perubahan efek obat objek yang disebabkan oleh obat presipitan karena pengaruhnya
terhadap tempat kerja obat (reseptor). Perubahan efek ini dapat menyebabkan
meningkat/menurunnya efek obat objek terhadap tubuh. Pada prinsipmya ialah
reseptor obat objek yang diduduki dan digeser oleh reseptor obat presipitan.
4. Obat-obat yang berinteraksi secara farmakodinamik contohnya adalah Quinidine dan
Flekainid yang berinteraksi dengan Amiodarone, yang menyebabkan terjadinya
peningkatan kadar serum Quinidine dan Flekainid dalam darah yang toksisitasnya
harus dipantau, dan dilakukan penurunan dosis.
5. Cara pencegahan interaksi obat yaitu dengan penurunan dosis, memberi jarak waktu
konsumsi obat 2 jam, pemantauan kadar obat dalam darah, pemilihan penggunaan
obat dengan golongan yang lain.

b. Saran
Dari uraian makalah ini dapat disarankan :
1. Gunakan sesedikit mungkin jenis obat untuk setiap pasien untuk menghindari
terjadinya interaksi antar obat.
2. Hendaknya praktisi kesehatan (Dokter dan Farmasis) mengetahui mekanisme kerja
obat dan menggunakan logikanya dalam peresepan.
3. Hendaknya dilakukan monitoring kondisi pasien jika terdapat obat-obat yang
berinteraksi
DAFTAR PUSTAKA

1. Syamsudin. 2011. Interaksi Obat Konsep Dasar dan Klinis. UI-Press. Jakarta

2. http://medicafarma.blogspot.com/2010/11/interaksi-obat.html

3. http://yosefw.wordpress.com/2009/03/20/654/

4. http://indrianimedicine.blogspot.com/2012/02/interaksi-obat.html

5. http://pharmacistsucces.wordpress.com/2013/01/06/interaksi-pada-obat-analgesik-

antiinflamasi-2/

6. http://www.ploscompbiol.org/article/fetchObject.action?uri=info%3Adoi%2F10.1371%2

Fjournal.pcbi.1002998&representation=PDF

7. http://www.chsjournal.org/files/PDF_CHSJ/2011/1/CHSJ_2011.1.08.pdf

8. http://www.ijppsjournal.com/Vol4Issue2/3642.pdf

9. http://www.iosrphr.org/papers/v1i1/E011035043.pdf

10. http://dewisriwulandaricases.wordpress.com/2012/01/22/polifarmasi/

11. http://keluargasehat.wordpress.com/2009/09/17/tinjauan-pustaka-masalah-pemberian-

polifarmasi/

12. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26532/4/Chapter%20II.pdf

13. http://alx14all.blogspot.com/2011/12/interaksi-obat-di-luar-tubuh.html

14. http://dovesays.blogspot.com/2009/10/tipe-interaksi-macam-interaksi-obat-1.html

15. http://farmasiiqbal.blogspot.com/2013/01/interaksi-obat-dengan-obat-lain.html

16. http://materikuliahprofesiapoteker.blogspot.com/2011/12/interaksi-obat.html

Anda mungkin juga menyukai