Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara umum suatu interaksi obat dapat digambarkan sebagai suatu interaksi
antara suatu obat dan unsur lain yang yang dapat mengubah kerja salah satu atau
keduanya, atau menyebabkan efek samping tak diduga. Pada prinsipnya interaksi obat
dapat menyebabkan dua hal penting. Yang pertama, interaksi obat dapat mengurangi
atau bahkan menghilangkan khasiat obat. Yang kedua, interaksi obat dapat
menyebabkan gangguan atau masalah kesehatan yang serius, karena meningkatnya
efek samping dari obat- obat tertentu. Risiko kesehatan dari Interaksi obat ini sangat
bervariasi, bisa hanya sedikit menurunkan khasiat obat namun bisa pula fatal.
Obat yang ada saat ini sangat efektif dan sangat berkhasiat. Interaksi yang
terjadi merupakan masalah yang besar. Sangatlah sulit bagi seorang dokter atau
apoteker yang sibuk untuk meluangkan waktu memantau interaksi obat bagi tiap
pasien, walaupun dokter atau apoteker yang bersangkutan sedang mencari berbagai
kemugkinan interaksi. Bisa kita simak masalah ini dan kenyataan bahwa banyak
pasien menerima pengobatan ganda termasuk pengobatan sendiri serta banyak dokter
sendiri tidak menyadari interaksi berbahaya pada umumnya, dapatlah anda bayangkan
gawatnya masalah ini.
Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi respons tubuh terhadap
pegobatan terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat
kimia yang masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain. Untuk itu, dalam makalah
ini akan dibahas mengenai

interaksi obat dalam distribusi yang meliputi waktu

transport obat dalam darah serta efek-efek yang diberikan dari obat-obat yang
berinteraksi.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana interaksi obat yang terjadi sewaktu transport dalam darah.
2. Mengetahui jenis-jenis interaksi obat dalam pemberian dua atau lebih jenis obat
yang bermanfaat atau yang berbahaya.
3. Mengetahui golongan obat apa saja yang dapat berinteraksi dengan golongan obat
lain jika digunakan secara bersamaan.
1

4. Mengetahui permasalahan dan pemecahan dari interaksi obat yang terjadi pada
distribusi dalam darah.
1.3 Manfaat Penulisan
Diharapkan dapat memanfaatkan pengetahuan dari macam macam interaksi
obat dan penyebabnya, sehingga dalam penggunaan dua obat atau lebih dapat
dikombinasi dengan baik dan bermanfaat. Dengan demikian, pemecahan masalah dari
efek negatif pemberian kombinasi obat dapat dihindari jika berbahaya dan tidak
menimbulkan efek kronis pada pasien.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Interaksi Obat
Apa yang dimaksud dengan interaksi obat ? secara singkat dapat dikatakan
interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat lainnya. Kerja obat yang
diubah dapat menjadi lebih atau kurang aktif. Richard Harkness, 1989.
Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drugrelated problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang
dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika
farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu
2

atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005). Dua atau lebih obat yang diberikan
pada waktu yang sama dapat berubah efeknya secara tidak langsung atau dapat
berinteraksi. Interaksi bisa bersifat potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat
lainnya, atau adakalanya beberapa efek lainnya (BNF 58, 2009).
Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat
di keluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi,
metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila berbagai
macam obat diberikan secara bersamaan dapat menimbulkan suatu interaksi. Selain
itu, obat juga dapat berinteraksi dengan zat makanan yang dikonsumsi bersamaan
dengan obat.
Interaksi yang terjadi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
interaksi farmakodinamik dan interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakodinamik
adalah interaksi antar obat (yang diberikan berasamaan) yang bekerja pada reseptor
yang sama sehingga menimbulkan efek sinergis atau antagonis. Interaksi
farmakokinetik adalah interaksi antar dua atau lebih obat yang diberikan bersamaan
dan saling mempengaruhi dalam proses ADME (absorpsi, distribusi, metabolisme,
dan eliminasi) sehingga dapat meningkatkan atau menurunkan salah satu kadar obat
dalam darah.
2.2 Jenis jenis Interaksi Obat
Pada dasarnya interaksi obat dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) macam,
yaitu : interaksi secara Farmasetik, interaksi secara farmkokinetik dan interaksi secara
farmakodinamik.
1. Interaksi secara Farmasetik
Merupakan reaksi fisika-kimia yang terjadi pada saat obat diformulasikan atau
disiapkan sebelum obat digunakan oleh penderita. Misalnya : interaksi antara obat
dengan larutan infus IV yang dicampur bersamaan dapat menyebabkan pecahnya
emulsi atau terjadi pengendapan, Rifampicin Isoniazid (INH) Bila digerus
bersamaan akan menurunkan aktivitas INH karena sifat rifampicin yang
higroskopis. INH mengalami penurunan aktivitas maka kedua obat harus
diberikan terpisah.
Bentuk interaksi secara fisika dapat berupa : terjadinya perubahan kelarutan dan
terjadinya penurunan titik beku. Sedangkan interaksi secara kimia dapat berupa
tejadinya reaksi satu dengan yang lain atau terhidrolisisnya suatu obat selama
proses pembuatan ataupun selama dalam penyimpanan.
2. Interaksi secara Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi jika salah satu obat mempengaruhi absorpsi,


distribusi metabolisme atau ekskresi obat kedua, sehingga kadar plasma obat
kedua meningkat atau menurun. Akibatnya terjadi peningkatan toksisitas atau
penurunan efektivitas obat tersebut. (Farmakologi dan Terapi Edisi 5, 2012)
Interaksi Farmakokinetik meliputi :
a. Interaksi pada absorbsi obat
1) Efek perubahan pH gastrointestinal
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada
apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan.
Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH
isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat.
Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar
terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).
2) Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus
untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan
beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang
diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah
besar

obat-obatan.

Sebagai

contoh,

antibakteri

tetrasiklin

dapat

membentuk khelat dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen,


seperti kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang
kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).
3) Perubahan Motilitas Gastrointestinal
Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil,
obat-obatan

yang

mengubah

laju

pengosongan

lambung

dapat

mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan


lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen),
sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya (Stockley, 2008).
4) Induksi atau inhibisi protein transport obat
Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter
obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah Pglikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan
yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi
ketersediaan hayati digoksin (Stockley, 2008).
5) Malabsorbsi dkarenakan obat
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu
penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat
(Stockley, 2008).
4

b. Interaksi pada distribusi obat


1) Interaksi ikatan protein
Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh
sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak
yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan
sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat
dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara
molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat
yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).
2) Induksi dan inhibisi protein transport obat
Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi
oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara
aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif.
Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan
substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS
(Stockley, 2008).
c. Interaksi pada metabolisme obat
1) Perubahan pada metabolisme obat
Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak
berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi
senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal.
Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan
terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini
disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadangkadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum,
ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang
ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis
reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan
oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih
polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat
lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi)
untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidadi fase I
dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008)
5

2) Induksi Enzim
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus
dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik
yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim
mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya
(Stockley, 2008).
3) Inhibisi Enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga
obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang
mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk
berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2
sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur
metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh
isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi
enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika
serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara
klinis (Stockley, 2008).
4) Faktor genetik dalam metabolisme obat
Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa
isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti
bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda
aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian
kecil populasi varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme
lambat. Sebagian lainnya memiliki iso enzim cepat atau metabolisme
ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan
tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang
mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari
gejala (Stockley, 2008).
5) Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi
Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi
isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak
mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara
ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008).
6

d. Interaksi pada sekresi obat


1) Perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5)
sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak
dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin
dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5
sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah
obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat. (Stockley,
2008)
2) Perubahan ekskresi aktif tubular renal
Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus
ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh,
probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan
meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal,
sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak
obat anionik lain dengan transporter anion organik (OATs). (Stockley,
2008)
3) Perubahan aliran darah renal
Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator
prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi
beberapa obat dari ginjal dapat berkurang. (Stockley, 2008)
3. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang
memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama.
Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obatobat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat
diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi
(BNF 58, 2009).
a. Interaksi aditif atau sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan
bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan
SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar
obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan
7

mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik


(misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan
perpanjangan interval QT) (Stockley, 2008).
b. Interaksi antagonis atau berlawanan
Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan
yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang
waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K.
Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan
waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat
terapi pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008).
2.3 Penatalaksanaan Interaksi Obat
Langkah pertama dalam penatalaksanaan interaksi obat adalah waspada
terhadap pasien yang memperoleh obat-obat yang mungkin dapat berinteraksi dengan
obat lain. Kemudian dinilai apakah interaksi yang terjadi bermakna klinis dan
ditemukan kelompok-kelompok pasien yang beresiko mengalami interaksi obat.
Langkah berikutnya adalah memberitahu dokter dan mendiskusikan berbagai langkah
yang dapat diambil untuk meminimalkan berbagai efek samping yang mungkin
terjadi.
Startegi penatalaksanaan interaksi obat dapat dilakukan dengan cara:
1) Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi.
Jika resiko terjadinya interaksi obat lebih besar dari manfaatnya, maka harus
dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti.
2) Penyesuaian Dosis
Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat, maka perlu
dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi
kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada
saat mulai atau menghentikan penggunaaan obat yang menyebabkan interaksi.
3) Memantau pasien
Keputusan dari memantau atau tidak memantau tergantung dari faktr seperti
karaterisik pasien, penyakit lain yang di derita pasien, waktu mulai menggunakan
obat yang menyebabkan interaksi, dan waktu timbulnya reaksi interaksi obat.
4) Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya dengan modifikasi
Jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang
optimal, atau bila interaksi tersebut tidak bermakna secara klinis.
8

2.4 Definisi Distribusi


Distribusi obat adalah proses-proses yang berhubungan dengan transfer
senyawa obat dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam tubuh. Distribusi merupakan
perjalanan obat ke seluruh tubuh. Setelah senyawa obat memasuki sistem sirkulasi
melalui absorpsi atau injeksi, senyawa tersebut akan didistribusikan ke seluruh tubuh.
Setelah melalui proses absorpsi, obat akan di distribusikan keseluruh tubuh
melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga
ditentukan oleh sifat fisika kimianya. Obat yang mudah larut dalam lemak akan
melintasi membran sel, terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut
dalam lemak akan sulit menembus membran sel, sehingga distribusinya terbatas,
terutama dicairan ekstra sel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein
plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat
ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat ( Kemampuan obat
untuk mengikat reseptor) terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sedikit.
2.5 Faktor- Faktor yang mempengaruhi distribusi
Proses distribusi dipengaruhi oleh beberapa faktor :
1. Pengikatan protein plasma
Obat terikat dalam protein plasma dalam taraf yang bervariasi. Ikatan protein pada
obat akan mempengaruhi intensitas kerja, lama kerja dan eliminasi bahan obat
sebagai berikut: bagian obat yang terikat pada protein plasma tidak dapat berdifusi
dan pada umumnya tidak mengalami biotransformasi dan eliminasi. Jadi hanya
obat obat bentuk bebas saja yang akan mencapai tempat kerja dan berkhasiat.
2. Kelarutan obat dalam lipid (yaitu, apakah obat tersebut larut dalam jaringan
lemak)
Kelarutan lipid merupakan taraf larutnya obat di dalam jaringan lemak tubuh.
Tubuh secara kimiawi tersusun dari sejumlah kompartemen cairan dan jaringan
lemak. Sebagian besar obat didistribusikan ke seluruh kompartemen cairan dalam
tubuh, dan kemudian akan diteruskan ke dalam jaringan lemak dalam taraf yang
besar/kecil. Taraf penyebaran obat ke seluruh tubuh disebut volume distribusi.
3. Sifat keterikatan obat

Beberapa obat memiliki karakteristik pengikatan yang tidak lazim. Contoh:


tetrasiklin terikat dengan tulang dan gigi.Obat anti-malaria klorokuin dapat terikat
dengan retina orang dewasa/janin.
4. Aliran darah ke dalam organ dan keadaan sirkulasi
Sebagian jaringan tubuh menerima pasokan darah yang lebih baik daripada
lainnya; contoh: aliran darah ke dalam otak jauh lebih tinggi daripada aliran darah
ke tulang. Kondisi sirkulasi darah ini menentukan distribusi obat. Sirkulasi darah
diutamakan pada jantung, otak, dan paru-paru. Karena volume sirkulasi terbatas,
obat akan terdapat pada konsentrasi tinggi di dalam jaringan yang bisa
dijangkaunya.
5. Kondisi penyakit
Contohnya, gagal ginjal dan kegagalan fungsi hati akan mengganggu kemampuan
tubuh dalam mengeliminasi sebagian besar obat. Obat juga akan menumpuk
dalam tubuh jika pasien mengalami dehidrasi. Jika terjadi penumpukan obat, efek
sampingnya akan semakin berat. Keadaan lain yang dapat mempengaruhi
distribusi obat meliputi: gagal jantung, syok, penyakit tiroid, penyakit GI. Karena
proses distribusi obat sangat mempengaruhi transfer senyawa obat ke lokasi-lokasi
pengobatan yang diharapkan, berbagai cara ditempuh dalam pembuatan obat dan
jenis sediaannya untuk meningkatkan efektivitas ditribusi obat.
2.6 Interaksi Obat Dalam Proses Distribusi
A. Transport obat di dalam aliran darah
Pengikatan bahan kimia endogen pada protein darah (serum) merupakan
suatu proses fisik yang normal yang melarutkan dan mengikat hormon serta
metabolit sehingga melepaskannya secara perlahanlahan dan konstan pada
tempat-tempat reseptor dan eksresi. Proses ini juga berperan dalam mengangkut
obat yang relatif tidak larut di dalam cairan tubuh pada pH 7,4 (pH fisiologis).
Obat-obat ini diangkut di dalam aliran darah ke berbagai tempat yakni tempat
aksi (reseptor), tempat metabolisme (hati), dan tempat ekskresi (ginjal), sebagai
kompleks yang lemah yang terikat pada protein plasma.
Sebagian obat lebih mudah terikat dari pada yang lainnya. Obat yang terikat
itu, secara farmakologi tidak aktif karena aksi obat tergantung pada absorbsi
(penyerapan) obat bebas pada sisi reseptor yang aktif. Pengikatan obat dapat
terjadi pada beberapa tempat selain aliran darah, seperti jaringan penghubung,
10

adiposa, ruang antar sel, dan lain-lain. Obat yang terikat ini berperan sebagai
cadangan dan bila obat bebas telah termetabolisme, terakumulasi dalam jaringan
lain atau tereksresi, maka tambahan atau pasokan obat berasal dari pelepasan
ikatan tersebut. Dengan demikian terjadi proses ke-setimbangan dinamik yang
terus menerus dengan bagian obat yang tetap berada dalam keadaan bebas.
B. Interaksi dalam ikatan protein plasma
Banyak obat terikat pada protein plasma, obat yang bersifat asam terutama
pada albumin, sedangkan obat yang bersifat basa pada asam 1-glikoprotein.
Oleh karena jumlah protein plasma terbatas, maka terjadi kompetisi antara obat
obat yang bersifat basa untuk berikatan dengan protein yang sama. Tergantung
dari kadar obat dan afinitasnya terhadap protein plasma, maka suatu obat dapat
digeser dari ikatanya dengan protein plasma oleh obat lain, dan peningkatan kadar
obat bebas menimbulkan peningkatatan efek farmakologiknya. Akan tetapi
keadaan ini hanya berlangsung sementara karena peningkatan kadar obat bebas
juga meningkatkan eliminasinya sehingga akhirnya tercapai keadaan mantap yang
baru dimana kadar obat total menurun tetapi kadar obat bebas kembali seperti
sebelumnya (mekanisme kompensasi).
Interaksi dalam ikatan protein ini, meskipun banyak terjadi, tetapi yang
menimbulkan masalah dalam klinik hanyalah yang menyangkut obat dengan sifat
berikut untuk obat yang di geser :
1. Mempunyai ikatan yang kuat dengan protein plasma (minimal 85%) dan
volume distribusi yang kecil ( 0,15 L/kg) sehingga pergeseran sedikit saja
akan meningkatkan kadar obat bebas secara bermakna; ini berlaku terutama
untuk obat bersifat asam, karena kebanyakan obat berifat basa volume
distribusi sangat luas.
2. Mempunyai batas keamanan yang sempit sehingga peningkatan kadar obat
bebas tersebut dapat mencapai kadar toksik.
Efek toksik yang serius telah terjadi sebelum kompensasi diatas tersebut
terjadi, misalnya terjadi pendarahan pada antikoagulan oral, hipoglikemia pada
anti diabetic oral; atau eliminasinya mengalami kejenuhan, misalnya penitoin,
salisilat dan dikumarol, sehingga peningkatan kadar obat bebas tidak segera
disertai dengan peningkatan kecepatan eliminasinya. Interaksi ini lebih nyata
dengan hipoalbuminemia, gagal ginjal atau penyakit yang berat akibat
11

berkurangnya albumin plasma ikatan obat bersifat asam dengan albumin, serta
menurunya eliminasi obat.
Bagi obat penggeser yang dapat menimbulkan pergeseran protein yang
bermakna adalah yang bersifat sebagai berikut :
1. Berikatan dengan albumin di tempat ikatan yang sama dengan obat yang
dapat digeser (site I atau site II) dengan ikatan yang kuat.
2. Pada dosis terapi kadarnya cukup tinggi untuk mulai menjenuhkan tempat
ikatanya pada albumin sebagai contoh, fenilbutazon akan menggeser
warfarin (ikatan protein 99%, Vd=0,14 L/kg) dan tolbutamid (ikatan protein
96%, Vd=0,12 L/kg).
Faktor faktor yang mempengaruhi konsentrasi protein plasma :
1. Sintesis protein
2. Katabolisme protein
3. Distribusi albumin antara ruang intra dan ekstra vaskuler
4. Eliminasi protein plasma yang berlebihan terutama albumin
5. Perubahan kualitas protein plasma afinitas obat terhadap protein berubah
Contoh penyakit hati/ginjal kualitas protein plasma berubah kapasitas
protein plasma terhadap obat berubah.
Faktor faktor yang mempengaruhi ikatan protein plasma :
1. Sifat fisikokimia obat
2. Konsentrasi obat dalam tubuh
3. Jumlah protein plasma
4. Afinitas antara obat dengan protein
5. Kompetisi obat dengan zat lain pada ikatan protein
6. Kondisi patofisiologis penderita
2.7 Prinsip Transport Obat di dalam aliran darah
Interaksi dalam mekanisme distribusi (kompetisi dalam ikatan protein plasma).
Distribusi adalah proses pengiriman zat-zat dalam obat kepada jaringan dan sel-sel
target. Proses ditribusi dipengaruhi oleh sistem sirkulasi tubuh, jumlah zat yang dapat
terikat dengan protein tubuh serta jaringan atau sel tujuan dari obat tersebut. Ketika
obat didistribusikan di dalam plasma kebanyakan berikatan dengan protein (terutama
albumin).
Molekul protein sangat besar dibandingkan dengan molekul obat dan dapat
megandung lebih dari satu tipe tempat pengikatan untuk obat. Bila obat berikatan
dengan plasma protein seperti albumin, maka molekulnya menjadi sangat besar
sehingga sulit untuk berdifusi. Obat-obat yang lebih besar dari 80% berikatan dengan
protein dikenal sebagai obat-obat yang berikatan dengan tinggi protein. Salah satu
contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazepam : yaitu : 98%
12

berikatan dengan protein, aspirin 49% berikatan dengan protein, tolbutamid 96%
berikatan dengan protein.
Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif, dan bagian obat selebihnya yang
tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak
berikatan dengan protein yang bersifat aktif dan dapat menimbulkan respons
farmakologik. Dengan menurunnya kadar obat bebas dalam jaringan, maka lebih
banyak obat yang berada dalam ikatan dibebaskan dari ikatannya dengan protein
untuk menjaga keseimbangan dari obat yang dalam bentuk bebas. Jika ada dua obat
yang berikatan tinggi dengan protein diberikan bersama-sama maka terjadi persaingan
untuk mendapatkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga lebih banyak obat
bebas yang dilepaskan ke dalam sirkulasi. Hal ini menyebabkan obat yang
mempunyai pengikatan terhadap plasma protein yang tinggi dapat mengurangi
seluruh bersihan obat. Demikian pula sebaliknya, kadar protein rendah menurunkan
jumlah tempat pengikatan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam
plasma. Jika hal tersebut terjadi, maka dapat terjadi kelebihan dosis.

13

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Contoh Interaksi Obat Dalam Proses Distribusi (Transport Dalam Darah)
Beberapa contoh obat yang berinteraksi di dalam proses distribusi yang
memperebutkan ikatan protein adalah sebagai berikut :
No

Obat Objek

Obat

Mekanisme

Efek/ akibat yg

(A)

Presipitan

Interaksi

ditimbulkan

1.

Warfarin

Penanganan

(B)
Fenilbutazon,

Obat B menggeser

Oksifenbutazon,

obat A dari ikatannya

menggunakan obat ini

Salisilat,

dengan

hendaknya dihindari.

klofibrat,

plasma

fenitoin,

toksisitas obat A

protein

Pendarahan

Terapi

yang

efek/

sulfinipirazon,
asam
mefenamat

Kedua obat ini terikat


kuat

pada

protein

plasma.

Namun,

fenilbutazon
memiliki
yang

afinitas

lebih

besar,

sehingga

mampu

mengeser

warfarin

dan

meningkatkan

jumlah
warfarin

atau

kadar
bebas

14

2.

Walfarin

Kloralhidrat

meningkat.
Metabolit utama dari
kloralhidrat

adalah

Meningkatkan
respon koagulan

Walfarin

Simetidin

Digunakan

yang

hypnotik yang lain ,

sangat

kuat

bila

plasma. Kloralhidrat

interaksi,

diganti

mendesak

diazepam

atau

warfarin

plasma
Cimetidin terikat ole
P-450

sehingga

(Warfarin)

adanya

flurazepam
Meningkatkan
Respon
antikoagulan

interaksi ini yaitu dapat


dilakukan

dengan

pemeriksaan nilai INR


(International

enzim mikrosom hati,

Normalized

sehingga

secara rutin dan bila

obat

lain

terakumulasi

bila
4.

terlihat

menurunkan aktivitas

akan

Metronidazol

obt

terikat pada protein

sitokrom

Antikoalgulan

tidak boleh bersamaan,

asam trikloro asetat

dari ikatan protein


3.

Terapi pemberian obat

mungkin

diberikan

Ratio)
mengurangi

dosis Warfarin.

bersama Cimetidin.
Metronidazol

Efek antikoagulan

Sebaiknya

menghambat

meningkat,

obat tersebut dihindari.

metabolisme

akibatnya

warfarin,

juga

meningkatkan

resiko

Bila digunakan pasien

pendarahan

harus

meningkat.

apakah

hypoprotrombinemia

kombinasi

dimonitor

,
efek

antikoagulan
meningkat pada awal
pemberian
metronidazole, sampai
saat penghentian.
Biasanya

dosis

antikoagulan diperkecil
dahulu

pada

saat

memulai terapi dengan


obat lain, tersebut, dan
baru ditingkatkan lagi
setelah
5.

Warfarin

Allopurinol

Efek warfarin atau


antikoagulan

Pendarahan

pengobatan

dengan obat itu selesai.


Diamati apakah terjadi
hypoprotrombinaemia
bila

terjadi

15

hypoprotrombinaemia
pada saat pemberian
antikoagulan

dengan

allopurinol pada awal


atau

beberapa

saat

setelah pemberian obat


tersebut, di stop dulu
pemberian

warfarin

dan

warfarin

dosis

disesuaikan..
6.

Tolbutamid,

Fenilbutazon,

Pemberian

Hipoglikemia

klorpropamid

oksifenbutazon,

klorpropamid

salisilat

dengan

Dosis

antikoagulan

diperkecil.

Fenilbutazon

akan

meningkatkan
distribusi

dari

Klorpropamid.

Hal

ini

dikarenakan

didalam
senyawa

darah
obat

dari

klorpropamid
berinteraksi

dengan

protein

plasma,

sehingga

senyawa

asam

akan

berikatan
albumin

dengan
dan

basa

yang

berikatan

dengan

1-

glikoprotein,
sehingga
klorpropamid

dan

fenilbutazon bersaing
beriktatan

dengan

protein

plasma,

sehingga

proses

distribusi

dari

fenilbutazon

akan

terhambat.

16

7.

Metotreksat

Salisilat,
Sulfonamid

Obat B menggeser

Pansitopenia

Jika

Obat A dari ikatannya

ikatan

albumin

dengan protein

Pansitopenia

plasma

adalah

efek/toksisitas Obat

pengurangan

signifikan jumlah

obat-

subnormal,

maka dosis obat pada


pemberian
single dose harus kecil

eritrosit, semua

Obat

Salisilat menggeser

jenis sel darah

afinitas tinggi terhadap

Metrotreksat dari

putih, dan

albumin dan memiliki

ikatannya dengan

trombosit di

Vd kecil maka dosis

albumin dan

sirkulasi darah.

obat pada pemberian

menurunkan

yang

memiliki

kronik

sekreseinya ke dalam

harus

disesuaikan

nephron oleh
kompetisi dengan
anion secretory
8.

Fenitoin

Fenilbutazon,

carrier.
Obat B menggeser

Toksisitas

Bila

oksifenbutazon,

Obat A dari ikatannya

Fenitoin

hindarkan penggunaan

salisilat

dengan protein

dimungkinkan

keduanya.

plasma
efek/toksisitas Obat
A
9.

10.

Antikoagulan

Asam Valporat

Rifampicin

Fenitoin

Menurunkan

Kadar obat dalam

Rifampicin

bioavailabilitas

darah

beberapa jam sebelum

rifampicin

efek antikoagulan

sediaan tersebut.

menurun,

diberikan

Asam

valporat

dapat berkurang
Efek
fenitoin

Tidak boleh diberikan

mendesak

fenitoin

meningkat terjadi

berbarengan.

dari ikatan protein

reaksi

plasma

samping

efek

Banyak obat yang terikat protein plasma sehingga hanya obat dalam bentuk bebas
di dalam plasma yang menghasilkan efek farmakologi. Biasanya obat terikat albumin
namun sebagian obat (seperti kuinin) terikat ke -globulin dan asam glikoprotein. Obatobat yang bersifat asam seperti walfarin dan analgetik non steroid (NSAID) memiliki
afinitas yang tinggi terhadap albumin plasma, namun sebagian obat basa seperti
antidepresan dapat berikatan juga.

17

Meskipun obat-obatan berikatan dengan banyak makro-molekul, pengikatan


ke protein plasma lazim terjadi. Dari protein plasma ini albumin yang terdiri dari 5%
total protein mengikat paling banyak jenis obat. Obat-obat yang bersifat asam biasanya
mengikat albumin, sementara obat-obatan yang bersifat basa berikatan dengan glikoprotein dan lipoprotein. Banyak senyawa endogen steroid, vitamin dan ion mineral
berikatan dengan globulin.

3.2 Pembahasan Tabel


1. Walfarin Fenilbutazon
Warfarin adalah golongan obat antikoagulan untuk mencegah terjadinya
pembekuan darah. Warfarin merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan
tromboemboli sistemik pada anak-anak (bukan neonatus) setelah heparinisasi awal.
Warfarin mempengaruhi sintesisVitamin-K yang berperan dalam pembekuan darah
sehingga terjadi deplesi faktor II, VII, IX dan X. Ia bekerja di hati dengan
menghambat karboksilasi vitamin K dari protein perkursornya.
Fenilbutazon adalah obat anti-inflamasi non-steroid (AINS) yang bekerja sebagai
anti-inflamasi melalui penghambatan enzim siklooksigenase dan penghambatan
terhadap pembentukan mediator inflamasi, seperti prostaglandin.
Mekansime Interaksi Obatnya :
Fenilbutazon dapat menggeser warfarin (ikatan protein 99%, Vd = 0,14 l/kg)

dan

tolbutamid (ikatan protein 96%, Vd = 0,12 l/kg), sehingga kadar plasma warfarin
dan tolbutamid bebas meningkat. Selain itu fenilbutazon juga menghambat
metabolisme warfarin dan tolbutamid. (Farmakologi dan Terapi Edisi 5, 2012).
Kedua obat ini terikat kuat pada protein plasma, tetapi fenilbutazon memiliki
afinitas lebih besar, sehingga mampu menggeser warfarin dan dalam jumlah/kadar
warfarin bebas meningkat sehingga aktivitas antikoagulan meningkat dan terjadi
resiko pendarahan.
Penanganan, sebaiknya penanganan terapi yang menggunakan obat ini wajib
untuk dihindari.
2. Walfarin Kloralhidrat
Warfarin merupakan antikoagulan oral. Lebih dari 90% dari warfarin terikat
pada albumin plasma, yang mungkin menjadi penyebab kenapa volume
distribusinya

kecil

(ruang

albumin),

jika

albumin plasma rendah maka


18

obat bebas dari warfarin ini akan meningkat, oleh karenanya ia disebut
obat dengan indeks terapi sempit (Katzung, 2004; Jaffer, Bragg, 2003).
Kloralhidrat adalah aldehida yang terikat dengan air, menjadi alkohol. Efek bagi
pasien-pasien yang gelisah, juga sebagai obat pereda pada penyakit saraf hysteria.
Berhubung cepat terjadinya toleransi dan resiko akan ketergantungan fisik dan
psikis, obat ini hanya digunakan untuk waktu singkat (1-2 minggu) (Tjay, 2002).
Mekanisme Interaksi Obat Metabolit utama dari kloralhidrat adalah asam
triklorasetat yang sangat kuat terikat pada protein plasma. Kloralhidrat mendesak
warfarin dari ikatan protein sehingga meningkatkan respon antikoagulan.
Penanganan
Sebaiknya pola terapi yang menggunakan kombinasi obat ini hedaknya dihindari,
jika sangat terdesak pemberian warfarin dengan kloralhidrat diberikan dengan
interval waktu. Selain itu, digunakan obat hypnotik yang lain , bila terlihat adanya
interaksi, diganti diazepam atau flurazepam.
3. Warfarin dan Simetidin
Warfarin merupakan antikoagulan oral. Lebih dari 90% dari warfarin terikat
pada albumin plasma, yang mungkin menjadi penyebab kenapa volume
distribusinya

kecil

(ruang

albumin),

jika

albumin plasma rendah maka

obat bebas dari warfarin ini akan meningkat, oleh karenanya ia disebut
obat dengan indeks terapi sempit (Katzung, 2004; Jaffer, Bragg, 2003).
Simetidin merupakan antihistamin penghambat reseptor Histamin H2

yang

berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan lambung. Simetidin


menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible, bioavailabilitas simetidin
sekitar 70 % sama dengan pemberian IV atau Im ikatan protein plasma hanya 20
%.

Cimetidin terikat ole sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim

mikrosom hati, sehingga obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama
Cimetidin. Contohnya: warfarin, fenitoin, kafein, fenitoin, teofilin, fenobarbital,
karbamazepin, diazepam, propanolol, metoprolol dan imipramin. (Interaksi Obat,
Retno Gitawati).
Mekanisme Interaksi Obat :
Interaksi yang terjadi yaitu farmakokinetik (penghambatan enzim) Simetidin dapat
menghambat enzim hepatic yang terlibat dalam metabolisme dan klirens warfarin ;
jadi efek warfarin diperpanjang dan meningkat. Makna klinis yang terjadi adalah

19

warfarin memiliki entang terapi yang sempit dan penggunaan anti koagulan yang
berlebihan dapat menyebabakan perdarahan yang serius.
Penanganan untuk interaksi ini yaitu dapat dilakukan dengan pemeriksaan nilai
INR (International Normalized Ratio) secara rutin dan bila mungkin mengurangi
dosis Warfarin. Pilihan lain dapat menggunakan antagonis

H2 lain seperti

Ranitidin yang tidak berinteraksi dengan Warfarin. (Interaksi Obat, Heni Suprapti).
4. Antikoagulan dan Metronidazol
Antikoagulansia adalah at-zat yang dapat mencegah pembekuan darah dengan
jalan menghambat pembentukan fibrin.
Metronidazol oral atau infus IV memperkuat efek antikoagulan oral sehingga
memperpanjang waktu protrombin.
Mekansime Inteaksi Obat : antikoagulan dan metronidazol menimbulkan efek
antikoagulan dapat meningkat. (Interaksi Obat, Richard Harkness. 1984)
Penanganan : Pemakaian metronidazol bersama antikoagulan sebaiknya dihindari
sebisa mungkin. Jika metronidazol digunakan pada pasien yang menerima
antikoagulan oral, waktu protrombin harus dimonitor dan dosis antikoagulan harus
disesuaikan dengan dosis metronidazol. Sebaiknya kombinasi obat tersebut
dihindari. Bila digunakan pasien harus dimonitor, apakah efek antikoagulan
meningkat pada awal pemberian metronidazole, sampai saat penghentian. Biasanya
dosis antikoagulan diperkecil dahulu pada saat memulai terapi dengan obat lain,
tersebut, dan baru ditingkatkan lagi setelah pengobatan dengan obat itu selesai.
5. Wafarin dan Allopurinol
Warfarin merupakan antikoagulan oral. Lebih dari 90% dari warfarin terikat
pada albumin plasma, yang mungkin menjadi penyebab kenapa volume
distribusinya

kecil

(ruang

albumin),

jika

albumin plasma rendah maka

obat bebas dari warfarin ini akan meningkat, oleh karenanya ia disebut
obat

dengan indeks terapi sempit (Katzung, 2004; Jaffer, Bragg, 2003).

Allopurinol bekerja terhadap katabolisme purin, tanpa mengganggu biosistesis


purin. Allopurinol menurunkan produksi asam urat dengan menghambat reaksi
biokimia sesaat sebelum pembentukan asam urat.
Mekanisme Interaksi Obat : Allopurinol menghambat metabolisme hati, dari
warfarin (antikoagulan), sehingga efek antikoagulan akan meningkat.

20

Penanganan : Diamati apakah terjadi hypoprotrombinaemia, bila terjadi


hypoprotrombinaemia pada saat pemberian antikoagulan dengan allopurinol pada
awal atau beberapa saat setelah pemberian obt-obt tersebut ,di stop dulu pemberian
antikoagulan, dan dosis antikoagulan disesuaikan.
6. Klorpropamid dan Fenilbutazon
Klorpropamid : Klorpropamid digunakan untuk mengobati diabetes tipe 2
(kondisi di mana tubuh tidak dapat menggunakan insulin dengan normal dan
karena itu tidak dapat mengendalikan kadar gula dalam darah), terutama pada
penderita diabetes yang tidak dapat dikontrol dengan diet saja. Klorpropamid
menurunkan gula darah dengan merangsang pankreas mensekresi insulin dan
membantu tubuh untuk menggunakan insulin secara efisien. pankreas harus dapat
bekerja memproduksi insulin agar obat dapat bekerja. Klorpropamid tidak
digunakan untuk mengobati diabetes tipe 1 (kondisi dimana tubuh tidak
memproduksi insulin dan karena itu tidak dapat mengendalikan kadar gula dalam
darah). Klorpropamid memiliki waktu paruh 32 jam dan dimetabolisme pada hepar
secara lambat. Kurang lebih 20-30% terdapat dalam urine tanpa perubahan.
Fenilbutazon : Fenilbutazon memiliki efek sebagai anti inflamasi kuat, dan biasa
diresepkan untuk terapi jangka pendek gout artritis dan artritis rhematoid akut.
Derivat pyrazolidin ini mirip dengan rumus inti dengan fenazon. Efek
inflamasi

fenilbutazon

untuk

penyakit

atritis

reumatoid

dan

anti-

sejenisnya

sama kuat dengan salisilat, tetapi efek toksiknya berbeda. Efek analgesik terhadap
nyeri yang sebabnya nonreumatik lebih lemah dari salisilat. Fenilbutazon
memperlihatkan retensi natrium klorida yang nyata, disertai dengan pengurangan
diuresis dan dapat menimbulkan udem. Fenilbutazon memperlihatkan efek
urikosurik ringan dengan menghambat reabsorpsi asam urat melalui tubuli.
Mekanisme Interaksi : Pemberian klorpropamid dengan Fenilbutazon akan
meningkatkan distribusi dari Klorpropamid. Hal ini dikarenakan didalam darah
senyawa obat dari klorpropamid berinteraksi dengan protein plasma, sehingga
senyawa asam akan berikatan dengan albumin dan yang basa berikatan
dengan

1-glikoprotein,

sehingga klorpropamid dan fenilbutazon bersaing

beriktatan dengan protein plasma, sehingga proses distribusi dari fenilbutazon akan
terhambat.
Penanganan : sebaiknya untuk dosis antikoagulannya diperkecil.
7. Metotreksat dan Salisilat
21

Metotreksat : Pengobatan untuk neoplasma trofoblatik, leukemia, psoriasis,


reumatoid artritis, termasuk terapi poliartikular juvenile reumatoid artritis (JDR);
karsinoma payudara, karsinoma leher dan karsinoma kepala,karsinoma paru,
osteosarkoma, sarcoma jaringan lunak, karsinoma saluran gastrointestinal,
karsinoma esofagus, karsinoma testes, karsinoma limfoma.
Mekanisme Interaksi Obat : Obat B menggeser Obat A dari ikatannya dengan
protein plasma efek/toksisitas Obat A. Salisilat menggeser Metrotreksat dari
ikatannya dengan albumin dan menurunkan sekreseinya ke dalam nephron oleh
kompetisi dengan anion secretory carrier. (Interaksi Obat, Heni Suprapti)
Efek : Efek Metotreksat ditingkatkan oleh Salisilat, Efek meningkatkan/toksisitas
contohnya Pansitopenia. (Farmakolofi dan Terapi, Edisi V. 2005).
Pengobatan bersama dengan NSAID telah menghasilkan supresi sum-sum tulang
berat, anemia aplastik dan toksisitas pada saluran gastrointestinal. NSAID tidak
boleh digunakan selama menggunakan metotreksat dosis sedang atau tinggi
karena dapat meningkatkan level metotreksat dalam darah (dapat menaikkan
toksisitas). Salisilat bisa meningkatkan level metotreksat, bagaimanapun
penggunaan salisilat untuk profilaksis dari kejadian kardiovaskular tidak mendapat
perhatian.
Penanganan : Jika

ikatan

obat-albumin subnormal, maka dosis

obat pada

pemberian single dose harus kecil. Obat yang memiliki afinitas tinggi terhadap
albumin dan memiliki Vd kecil maka dosis obat pada pemberian kronik harus
disesuaikan.
8. Fenitoin Dan Fenilbutazon
Fenitoin merupakan obat epilepsi, fenitoin menstabilkan membran sel saraf
terhadap depolarisasi dengan cara mengurangi masuknya ion ion natrium dalam
neutron pada keadaan istirahat atau selama depolarisasi. Fenitoin juga menekan
dan mengurangi infulks ion kalsium selama depolarisasi dan menekan
perangsangan sel msaraf yang berulang ulang. Absorbsi oral fenitoin lambat,
tetapi sekali diabsorbsi distribusinya cepat dan
konsentrasi fenitoin dalam otak yang tinggi.
Fenilbutazon : Fenilbutazon adalah obat anti-inflamasi non-steroid (AINS) yang
bekerja sebagai anti-inflamasi melalui penghambatan enzim siklooksigenase dan
penghambatan terhadap pembentukan mediator inflamasi, seperti prostaglandin.

22

Fenilbutazon memiliki kemampuan untuk menghambat enzim yang memetabolisir


obat lain dikenal sebagai penghambat enzim (enzyme inhibitor). Akibat dari
penghambatan metabolisme obat ini adalah meningkatnya kadar obat dalam darah
dengan segala konsekuensinya, oleh karena terhambatnya proses eliminasi obat.
Mekanisme Interaksi Obat : Pengikatan fenitoin oleh protein, terutama oleh
albumin plasma

kira kira

90%. Orang sehat dan wanita pemakai obat

kontrasepsi oral, fraksi bebasnya kira kira 10%, sedangkan diketahui bahwa efek
farmakologi fenitoin hanya bergantung dari bentuk

bebasnya.

penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit hepatorenal dan

Pasien

dengan

neonatal fraksi

bebasnya rata rata diatas 15%. Pada pasien epilepsi fraksi bebas berkisar
antara 5,8-12,6%
Distribusi obat ke berbagai bagian tubuh ternyata tidak sama, misalnya konsentrasi
fenitoin di otak ternyata 1-3 kali dari konsentrasi di plasma. Interaksi antara
fenitoin dan fenilbutazon terikat dengan protein plasma, sehingga akan
terjadi

kompetisi untuk mengikat albumin, tergantung afinitas terhadap albumin

mana yang lebih kuat. Keadaan ini akan mengakibatkan peningkatan bentuk
bebas

dari fenitoin, akibat ikatan dengan albumin diduduki oleh fenilbutazon.

Volume distribusi fenitoin lebih berkurang 64% dari berat badan tapi sekitar
tujuh kali lebih besar bila dihitung dengan kadar obat bebas. Waktu
paruh

pemberian

fenitoin

peroral

18-24

jam sedangkan mencapai kadar

optimal adalah 5-10 hari.


9. Antikoagulan dan Rifampicin
Antikoagulan : adalah at-zat yang dapat mencegah pembekuan darah dengan jalan
menghambat pembentukan fibrin.
Rifampicin : Rifampisina adalah antibiotika oral yang mempunyai aktivitas
bakterisida terhadap Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium leprae.
Mekanisme kerja rifampisina dengan jalan menghambat kerja enzim DNAdependent RNA polymerase yang mengakibatkan sintesa RNA mikroorganisme
dihambat. Untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah resistensi kuman
selama pengobatan, rifampisina sebaiknya dikombinasikan dengan antituberkulosis
lain seperti INH atau Etambutol. Dengan antibiotika lain rifampisina tidak
menunjukkan resistensi silang.
Mekanisme Interaksi Obat

Rifampicin

dapat

menginduksi

enzim

mikrosomosal, sehingga mempercepat inaktivasi beberapa macam obat lain, seperti

23

obat antikoagulan oral golongan kumarin, obat kontrasepsi oral. Sehingga Kadar
obat dalam darah menurun, efek antikoagulan dapat berkurang.
Penanganan : sebaiknya jangan diberikan obat secara berbarengan.
10. Fenitoin dan Asam Valproat
Fenitoin dan Asam Valproat Asam valproat mendesak fenitoin dari ikatan protein
plasma sehingga kadar fenitoin bebas

meningkat dengan nyata yang

mengakibatkan terjadinya reaksi sampingan. Dosis Phenytoin disesuaikan dengan


kadar dalam plasma, tetapi pengukuran ini tidak membedakan antara phenytoin
yang terikat ataupun yang bebas, tapi merupakan kadar total obat.
Sehingga Efek fenitoin meningkat terjadi reaksi efek samping, penanganannya
tidak boleh diberikan berbarengan.

24

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Interaksi obat atau lebih dikenal dengan istilah drug interaction, merupakan
interaksi yang terjadi antara obat yang dikonsumsi secara bersamaan. Efek - efeknya
bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas, atau menghasilkan efek baru yang tidak
dimiliki sebelumnya. Pada interaksi obat melibatkan dua jenis obat yaitu : Obat objek.
Adalah obat - obat yang kemungkinan besar menjadi obyek interaksi / efeknya
dipengaruhi oleh obat lain. Obat presipitan. adalah obat yang dapat mempengaruhi
atau mengubah aksi efek obat lain.
Distribusi merupakan perjalanan obat ke seluruh tubuh. Proses ini dipengaruhi
oleh : Pengikatan protein plasma, kelarutan obat dalam lipid (yaitu, apakah obat
tersebut larut dalam jaringan lemak), sifat-keterikatan obat, aliran darah ke dalam
organ dan keadaan sirkulasi, stadium dalam siklus kehidupan, misalnya kehamilan,
masa bayi, kondisi penyakit, misalnya preeklampsia atau gagal jantung.
Prinsip Distribusi obat yang mendasari adalah interaksi dalam ikatan protein
plasma, serta transport obat di dalam plasma.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Farmakologi. BPK Penabur. Jakarta.

25

Mutschler, E., 1985, Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi, 88-93, Penerbit
ITB, Bandung
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Informatorium Obat Nasional Indonesia
2000. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2000
Departemen farmakologi dan Terapeutik. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta :
Fakultas kedokteran-Universitas Indonesia. 2007
Prof. Dr. Elin Yulinah Sukandar, Apt, dkk. Iso Farmakoterapi. PT ISFI Penerbitan :
Jakarta
Harkness Richard, R. PH. 1984. Interaksi Obat. Penerbit ITB : Bandung
Syamsudin. Interaksi Obat Konsep Dasar dan Klinis. Penerbit Universitas Indonesia :
Jakarta
Ira, Oktaviani. 2012. Aspek Farmakokinetika Klinik Obat- Obat yang digunakan pada
pasien sirosis hati di Bangsal interne RS UP DR. M.Djamil Padang Periode Oktober
2011- Januari 2012. Padang.
Suprapti Herni, Interaksi Obat. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.
Surabaya.
Gitawati, Retno. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya

26

Anda mungkin juga menyukai