PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Interaksi obat merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi respon
tubuh terhadap pengobatan. Obat dapat berinteraksi dengan makanan atau
minuman, zat kimia atau dengan obat lain. Dikatakan terjadi interaksi apabila
makanan, minuman, zat kimia, dan obat lain tersebut mengubah efek dari
suatu obat yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan (Ganiswara,
2000).
Beberapa obat sering diberikan secara bersamaan pada penulisan resep,
maka mungkin terdapat obat yang kerjanya berlawanan. Obat pertama dapat
memperkuat atau memperlemah, memperpanjang atau memperpendek kerja
obat kedua. Interaksi obat harus lebih diperhatikan, karena interaksi obat pada
terapi obat dapat menyebabkan kasus yang parah dan tingkat kerusakan-
kerusakan pada pasien, dengan demikian jumlah dan tingkat keparahan kasus
terjadinya interaksi obat dapat dikurangi (Mutschler, 1991).
Kejadian interaksi obat yang mungkin terjadi diperkirakan berkisar
antara 2,2% sampai 30% dalam penelitian pasien rawat inap di rumah sakit,
dan berkisar antara 9,2% sampai 70,3% pada pasien di masyarakat.
Kemungkinan tersebut sampai 11,1% pasien yang benar-benar mengalami
gejala yang diakibatkan oleh interaksi obat (Fradgley, 2003). Salah satu obat
yang paling banyak berinteraksi adalah obat-obat antiepilepsi.
Dalam kehidupan sehari-hari, Epilepsi merupakan salah satu masalah
kesehatan yang menonjol di masyarakat, karena permasalahan tidak hanya
dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita
maupun keluarganya. Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang
sering dijumpai, terdapat pada semua bangsa, segala usia yaitu 1 - 3% dimana
laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita (Djoenaidi, 2000).
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang
umur dan ras. Secara umum jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2%
populasi, puncak insiden terdapat pada golongan anak dan lanjut usia. Para
peneliti umumnya mendapatkan insidens 20 - 70 per 100.000 per tahun dan
prevalensi sekitar 0,5 - 2 per 100.000 pada populasi umum. Sedangkan pada
populasi anak diperkirakan 0,3 - 0,4% di antaranya menderita epilepsi (Baker
et al.,1999). Peneliti dari Afrika telah banyak melakukan penelitian
epidemiologi epilepsi yang menunjukan berbagai tingkat prevalensi yaitu 2,1
- 58 per 1000 populasi. Prevalensi yang menduduki angka tertinggi telah
dilaporkan di Kamerun, Liberia, Nigeria dan Ethiopia, sedangkan tingkat
yang terendah berada di Afrika Utara dan di Afrika Selatan (Amadou et al.,
2003).
Berpijak pada gambaran di atas, maka penulis tertarik untuk membuat
makalah tentang interaksi obat-obat antiepilepsi dan interaksinya. Dalam
makalah ini, dimuat berbagai macam obat-obat antirpilepsi yang ada
dipasaran serta berbagai macam interaksinya, mulai dari interaksi farmasetik,
interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.
I.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas ialah :
1. Apa definisi interaksi obat dan mekanisme interaksi obat?
2. Bagaimana epidemiologi epilepsi?
3. Bagaimana etiologi penyakit epilepsi?
4. Apa saja obat-obat yang digunakan pada pengobatan epilepsi?
5. Apa saja efek samping obat antiepilepsi?
6. Apa saja interaksi antara obat-obat antiepilepsi dan interaksi antara obat
antiepilepsi dengan obat lain?
7. Bagaimana interaksi yang terjadi pada obat antiepilepsi?
I.3 Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diambil dari materi ini ialah mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami interaksi yang terjadi pada obat-obat
antiepilepsi dan mekanisme terjadinya interaksi obat.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Definisi Interaksi Obat Dan Mekanisme Interaksi Obat
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat
akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, atau
bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan
atau toksisitas satu atau lebih akan berubah (Fradgley, 2003). Interaksi obat
terjadi ketika modifikasi aksi obat yang satu dengan obat yang lain di dalam
tubuh. Biasanya seperti aksi kuantitatif, yaitu peningkatan atau penurunan
dalam ukuran respon yang diharapkan. Interaksi obat mungkin merupakan
hasil perubahan farmakokinetik, perubahan farmakodinamik, atau kombinasi
keduanya (Katzung dan Trevor, 2002).
Menurut jenis mekanisme kerjanya, interaksi obat dibedakan menjadi 3
macam, yaitu:
1. Interaksi farmasetik
Interaksi farmasetik terjadi jika antara dua obat yang diberikan
bersamaan tersebut terjadi inkompatibilitas atau terjadi reaksi langsung,
yang umumnya di luar tubuh, dan berakibat berubahnya atau hilangnya
efek farmakologik obat yang diberikan. Sebagai contoh, pencampuran
penisilin dan aminoglikosida akan menyebabkan hilangnya efek
farmakologik yang diharapkan (Anonim, 2000).
2. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik adalah perubahan yang terjadi pada
absorpsi, distribusi, metabolisme atau biotransformasi, atau ekskresi dari
satu obat atau lebih (Kee dan Hayes, 1996).
a. Interaksi pada proses absorpsi
Interaksi ini dapat terjadi akibat perubahan harga pH obat pertama.
Pengaruh absorpsi suatu obat kedua mungkin terjadi akibat
perpanjangan atau pengurangan waktu huni dalam saluran cerna atau
akibat pembentukan kompleks (Mutschler, 1991).
b. Interaksi pada proses distribusi
Dua obat yang berikatan tinggi dengan protein atau albumin bersaing
untuk mendapatkan tempat pada protein atau albumin di dalam plasma.
Akibatnya terjadi penurunan dalam pengikatan dengan protein pada
salah satu atau kedua obat itu, sehingga lebih banyak obat bebas yang
bersirkulasi dalam plasma dan meningkatkan kerja obat (Kee dan
Hayes, 1996). Kompetisi dalam plasma dan meningkatkan kerja obat
misalnya antara digoksin dan kuinidin, dengan akibat peningkatan
kadar plasma digoksin (Setiawati, 2005).
c. Interaksi pada proses metabolism
Suatu obat dapat meningkatkan metabolisme dari obat yang lain
dengan merangsang (menginduksi) enzim-enzim hati (Kee dan Hayes,
1996). Dengan cara yang sama seperti pada albumin plasma, mungkin
terjadi persaingan terhadap enzim yang berfungsi untuk
biotransformasi obat, khususnya sitokrom P450 dan dengan demikian
mungkin terjadi metabolisme yang diperlambat. Biotransformasi suatu
obat kedua selanjutnya dapat diperlambat atau dipercepat berdasarkan
penghambatan enzim atau induksi enzim yang ditimbulkan oleh obat
pertama (Mutschler, 1991).
d. Interaksi pada proses eliminasi
Interaksi pada eliminasi melalui ginjal dapat terjadi akibat perubahan
hingga pH dalam urin atau karena persaingan tempat ikatan pada
sistem transport yang berfungsi untuk sekresi atau reabsorpsi aktif
(Mutschler, 1991). Kompetensi terjadi antara obat-obat yang
menggunakan mekanisme transport aktif yang sama di tubulus
proksimal. Contohnya, probenesid yang menghambat ekskresi banyak
obat, termasuk golongan penisilin, beberapa sefalosporin, indometasin
dan dapson. Mekanisme yang sama, asetosal meningkatkan toksisitas
metotreksat (Anonim, 2000).
3. Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah hal-hal yang menimbulkan efek-
efek obat yang aditif, sinergis (potensiasi), atau antagonis. Jika dua obat
yang mempunyai kerja yang serupa atau tidak serupa diberikan, maka efek
kombinasi dari kedua obat itu dapat menjadi aditif (efek dua kali lipat),
sinergis (lebih besar dari dua kali lipat), atau antagonis (efek dari salah
satu atau kedua obat itu menurun) (Kee dan Hayes, 1996).
Efek dan tingkat keparahan interaksi obat dapat bervariasi antara pasien
yang satu dengan yang lain. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan
pasien terhadap interaksi obat, antara lain yaitu:
a. Pasien lanjut usia
b. Orang yang minum lebih dari satu macam obat
c. Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
d. Pasien dengan penyakit akut
e. Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
f. Pasien yang memiliki karakteristik genetik tertentu
g. Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter (Fradgley, 2003).
Reaksi yang merugikan dan interaksi obat yang terjadi pada pasien
lanjut usia adalah tiga sampai tujuh kali lebih banyak daripada mereka yang
berusia pertengahan dan dewasa muda. Pasien lanjut usia menggunakan
banyak obat karena penyakit kronis dan banyaknya penyakit mereka, oleh
karena itu mereka mudah mengalami reaksi dan interaksi yang merugikan
(Kee dan Hayes, 1996). Reaksi yang merugikan dan interaksi obat yang
terjadi pada pasien lanjut usia lebih tinggi karena beberapa sebab, yaitu:
1. Pasien lanjut usia menggunakan banyak obat karena penyakit kronik dan
banyaknya penyakit mereka.
2. Banyak dari pasien lanjut usia melakukan pengobatan diri sendiri dengan
obat bebas, memakai obat yang diresepkan untuk masalah kesehatan yang
lain, menggunakan obat yang diberikan oleh beberapa dokter,
menggunakan obat yang diresepkan untuk orang lain, dan tentunya proses
penuaan fisiologis yang terus berjalan.
3. Perubahan-perubahan fisiologis yang berkaitan dengan proses penuaan
seperti pada sistem gastrointestinal, jantung dan sirkulasi, hati dan ginjal
dan perubahan ini mempengaruhi respon farmakologik terhadap terapi
obat.
Langkah pertama dalam penatalaksanaan interaksi obat adalah waspada
terhadap pasien yang memperoleh obat-obatan yang mungkin dapat
berinteraksi dengan obat lain. Langkah berikutnya adalah memberitahu dokter
dan mendiskusikan berbagai langkah yang dapat diambil untuk
meminimalkan berbagai efek samping obat yang mungkin terjadi. Strategi
dalam penataan obat ini meliputi :
1. Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi
Jika risiko interaksi obat lebih besar daripada manfaatnya, maka harus
dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti.
2. Menyesuaikan dosis
Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka
perlu dilaksanakan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk
mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut.
3. Memantau pasien
Jika kombinasi obat yang saling berinteraksi diberikan, pemantauan
diperlukan.
4. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya
Jika interaksi obat tidak bermakna klinis, atau jika kombinasi obat yang
berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal, pengobatan
pasien dapat diteruskan tanpa perubahan (Fradgley, 2003).
Menurut Hansten dan Horn (2002) signifikansi klinis dibuat dengan
mempertimbangkan kemungkinan bagi pasien dan tingkat dokumentasi yang
tersedia. Setiap interaksi telah ditandai dengan salah satu dari tiga kelas,
yaitu: Mayor, Moderat, atau Minor. Sistem klasifikasi tersebut telah
disesuaikan dengan banyak provider lain dari informasi interaksi obat.
Pengetahuan signifikansi klinis dari suatu interaksi hanya menyediakan
sedikit informasi untuk memilih strategi manajemen yang tepat untuk pasien
khusus. Interaksi obat ditandai dengan salah satu dari tiga kelas berdasarkan
interevensi yang dibutuhkan untuk meminimalisasi risiko dari interaksi.
Interaksi ditandai berdasarkan nomer signifikansi sebagai berikut:
1) Interaksi kelas 1
Sebaiknya kombinasi ini dihindari, karena lebih banyak risikonya
dibandingkan keuntungannya.
2) Interaksi kelas 2
Biasanya kombinasi ini dihindari, sebaiknya penggunaan kombinasi
tersebut hanya pada keadaan khusus
3) Interaksi kelas 3
Interaksi kelas 3 ini risikonya minimal, untuk itu perlu diambil
tindakan yang dibutuhkan untuk mengurangi risiko.
II.2 Epidemiologi Epilepsi
Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronis yang ditandai dengan
seizures yang terjadi secara berulang-ulang. Dalam kehidupan sehari-hari,
Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di
masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga
sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Epilepsi
merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada
semua bangsa, segala usia yaitu 1 - 3% dimana laki-laki sedikit lebih banyak
dari wanita (Djoenaidi, 2000).
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang
umur dan ras. Secara umum jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2%
populasi, puncak insiden terdapat pada golongan anak dan lanjut usia. Para
peneliti umumnya mendapatkan insidens 20 - 70 per 100.000 per tahun dan
prevalensi sekitar 0,5 - 2 per 100.000 pada populasi umum. Sedangkan pada
populasi anak diperkirakan 0,3 - 0,4% di antaranya menderita epilepsi (Baker
et al.,1999).
Peneliti dari Afrika telah banyak melakukan penelitian epidemiologi
epilepsi yang menunjukan berbagai tingkat prevalensi yaitu 2,1 - 58 per 1000
populasi. Prevalensi yang menduduki angka tertinggi telah dilaporkan di
Kamerun, Liberia, Nigeria dan Ethiopia, sedangkan tingkat yang terendah
berada di Afrika Utara dan di Afrika Selatan (Amadou et al., 2003).
Peneliti dari India yang bernama Sridharan dan Murthy bahwa pada
tahun 1999 jumlah penderita epilepsi mengalami peningkatan menjadi 5,5
juta berdasarkan studi populasi. Sedangkan jumlah kasus baru pada epilepsi
mendekati angka 0,5 juta, dikarenakan 75% di India masyarakat hidup di
pedesaan. Tingkat prevalensi di daerah perkotaan dan pedesaan masing-
masing adalah 5,27 dan 5,38 per 1000 dari jumlah populasi. Di Indonesia
penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun
bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan, maka dapat diperkirakan
bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan
antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi. Pada penelitian
sebelumnya pada tahun 1998 di RS Hasan Sadikin, Bandung dari 1.320
pasien epilepsi yang menunjukan bahwa 42,6% mengalami keterkaitan
epilepsi lokal (Suryani, 2007).
II.3 Etiologi Penyakit Epilepsi
Epilepsi dikenal sebagai sindrom aktivitas elektrik yang terganggu
dalam otak yang dapat disebabkan oleh berbagai stimulus. Aktivitas elektrik
yang terganggu tersebut berejung pada terjadinya seizures. Seizures terjadi
karena pelepasan abnormal dari neuron dalam system saraf pusat (SSP).
Bahkan sedikit pelepasan abnormal dapat mendestabilkan hemeostatis
elektrik neuron sehingga mengakibatkan peningkatan kecenderungan atas
aktivitas abnormal lainnya dan perkembangan aktivitas seizures.
Timbulnya seizures pada pasien yang rentan dapat terjadi sebagai akibat
dari berabagai factor pemicu. Hiperventilasi, tidur, kurang tidur dan
rangsangan sensoris dan emosional telah terlibat semuanya. Perubahan
hormonal yang berhubungan dengan menstruasi dan beberapa obat yang
diresepkan dan golongan obat dapat juga mempengaruhi onset atau frekuensi
aktivitas seizures pada pasien dengan epilepsi. Selain itu, banyak obat
antiepilepsi (AED = Antiepileptic drug) dikenal dapat menyebabkan seizures
pada konsentrasi berlebih.
II.4 Antiepileptic Drug
Tujuan utama terapi epilepsi adalah membebaskan penderita dari
serangan epilepsy bentuk apapun tanpa mengganggu fungsi normal susunan
saraf pusat. Namun tidak jarang terjadi kegagalan terapi epilepsi karena :
a. Tidak tepatnya diagnose bentuk/tipe epilepsi sehingga mempengaruhi
pemilihan obat
b. Dosis yang diberikan tidak tepat.
c. Terlalu sering mengganti obat
d. Kurangnya kepatuhan penderita untuk minum obat secara teratur.
Obat-obat antiepilepsi dikembangkan atas dasar adanya hubungan
struktur kimia dan aktiitas farmakologik yang ditimbulkan yang dapat dibagi
dalam beberapa kelompok kimiawi berikut :
1. Barbital
Barbital merupakan senyawa heterosiklik terdiri dari 6 atom yang bekerja
efektif di susunan saraf pusat. Digunakan barbital dengan kerja panjang
guna menjamin pencegahan serangan grand mal yang terus-menerus
umumnya dikombinasikan dengan kafein atau efedrin guna melawan
efek hipnotiknya. Juga efektif terhadap serangan psikomotorik dan tidak
diberikan pada serangan absence karena justru dapat memprovokasi
serangan. Zat hipnotik ini bersifat menginduksi enzim hingga
biotransformasi enzimnya dipercepat, juga penguraian zat-zat lain.
2. Hidantoin
Struktur kimia obat ini menyerupai barbital, tetapi dengan cincin lima
hidantoin. Obat ini tidak berkhasiat hipnotik seperti senyawa barbital,
suksinimida dan aksazolidon. Terutama efektif pada serangan grand mal
dan psikomotorik, tidak boleh diberikan pada serangan mioklonik,
akinetik dan petit mal karena dapat memprovokasi serangan. Hidantoin
merupakan obat pilihan untuk terapi awal pada pasien dewasa, juga
digunakan untuk mencegah serangan kejang sewaktu pembedahan otak.
Untuk terapi sering digunakan fenitoin, sedang derivat-derivat seperti
ethoin, mephenytoin jarang digunakan pada pengobatan.
3. Suksinimida
Suksinimida merupakan senyawa heterosiklik terdiri dari 5 atom turunan
hidantoin. Obat-obat gilingan ini digunakan pada serangan psikomotor,
mioklonik, akinetik dan serangan petit mal. Tidak efektif jika digunakan
pada serangan grand mal, kurang efektif pada terapi kerusakan otak.
Khasiat dan juga efek sampingnya lebih ringan dari kelompok
oksazolidon. Kerjanya panjang dengan waktu paruh antara 2-4 hari.
Contohnya adalah etoksuksinimida.
4. Oksazolidon
Senyawa heterosiklik terdiri dari 5 atom yang merupakan turunan
hidantoin. Sangat efektif terhadap serangan-serangan petit mal murni
atau absence yang tidak dapat diobati oleh obat lainnya. Penggunaannya
sudah terdesak dengan pemakaian golongan suksininida, karena efek
sampingnya yang hebat terhadap hati dan limpa. Contohnya trimetadion.
5. Benzodiazepine dan turunannya
a. Diazepam
Disamping berkhasiat antianxietas, hipnotik dan tranquilliger
senyawa benzodiazepine ini juga berkhasiat sebagai antikonvulsi.
Digunakan untuk serangan kejang yang akut dan merupakan obat
pilihan pada pengobatan status apileptikus.
b. Klonazepam
Merupakan derivate-klor dari nitrazepam dengan kerja antikonvulsan
lebih kuat. Dalam bentuktunggal atau kombinasi untuk pengobatan
mioklonik atau serangan akinetik, terutama digunakan pada serangan
absence anak-anak. Pada status epileptikus klonezepam adalah obat
pilihan utama (I.V), karena kerjanya lebih kuat dan 2-3 kali lebih
cepat dari diazepam.
6. Karbamazepin
Senyawa trisiklik ini berkhasiat antidepresan dan antikonvulsan dengan
efekfarmakologi yang seperti golongan hidantoin. Digunakan pada
epilepsy grand mal dan psikomotor, satu-satunya obat yang efektif
terhadap nyeri urat saraf yang hebat dibagian muka. Tidak boleh
diberikan bersama alcohol, kombinasi dengan fenitoin atau fenobarbital
dapat menyulitkan terapi.
7. Asetazolamida
Senyawa ini bersifat inhibitor karbonik anhydrase dan diguanakan
sebagai diuretic. Khasiat antikonvulsan diperkirakan berdasarkan
peningkatan ion-ion natrium dan bikarbonat yang mengakibatkan
asidosis, sehingga hal ini mengurangi kepekaan pusat-pusat epilepsy bagi
berbagai macam rangsangan. Efektif hanya selama beberapa hari,
terutama digunakan pada terapi wanita dengan serangan kejang selama
menstruasi.
8. Asam valproat
Senyawa turanan asam asetat dengan khasiat antikonvulsan yang
ditemukan secara kebetulan. Kini diguanakan sebagai obat pilihan utama
serangan absence. Khasiat antikonvulsan diperkirakan dengan
menghambat enzim yang menguraikan GABA, hingga kadar
neurotransmitter ini diotak meningkat.
II.6 Efek Samping Obat Epilepsi
EFEK SAMPING AKUT EFEK SAMPING
AED
Tergantung kadar idiosinkratis KRONIS
Meningkatka
Isoniazid
n PHT
Meningkatka
Prpoksifen Menurunkan
n PHT vitamin D
vitamim D
Meningkatka
Warfarin
n PHT
Meningkatka
alkohol
n PHT
Menurunka
Meningkatka Kontraseps efikasi
Simetidin
n CBZ i oral kontrasepsi
oral
Menurunkan
doksisiklin
Meningkatka doksisikli
Eritromisin Karbamazepi
n CBZ Menurunkan
n Teofilin
teofilin
(CBZ)
Meningkatka
Fluoksetin
n CBZ
Meningkatka Menurunkan
Isoniazid Warfarin
n CBZ warfarin
Meningkatka
propoksifen
n CBZ
Menurunkan
okskarbazepi Kontraseps
- - efikasi
n i oral
kontrasepsi
oral
Meningkatka Menurunkan
Simetidin Asam Kontraseps
VPA efikasi
valproate i
Meningkatka kontrasepsi
salisilat (VPA) oral
n VPA bebas ora
Meningkatka
Simetidin
n gabapentin
Antasida
Gabapentin - -
yang Menurunkan
mengandung gabapentin
aluminium
Menurunkan
Topiramat Kontraseps efikasi
- -
(TPM) i oral kontrasepsi
oral
Menurunkan
Meningkatka Tiagabin Kontraseps efikasi
simetidin
n TGB (TGB) i oral kontrasepsi
oral
Felbamat Meningkatka
- - Warfarin
(FBM) n warfarin
II.7 Interaksi Yang Terjadi Pada Obat Antiepilepsi
1. Fenitoin
Fenitoin sebagai antiepilepsi membatasi peningkatan potensial aksi
yang ditimbulkan oleh depolarisasi berkelanjutan. Efek ini dimediasi oleh
melambatnya laju aktivasi tegangan pada saluran natrium dari keadaan
inaktif. Pada konsentrasi terapi, efek pada saluran natrium selektif, tanpa
perubahan aktivitas spontan atau respon terhadap GABA atau glutamat.
Pada konsentrasi lima sampai sepuluh kali lipat lebih tinggi, efek lain dari
fenitoin termasuk pengurangan aktivitas spontan dan peningkatan respon
terhadap GABA yang mungkin mendasari beberapa toksisitas terkait
dengan dosis tinggi fenitoin (Brunton, 2008). Efek samping yang serius
pada kulit, sumsum tulang, dan hati, mungkin adalah manifestasi dari
alergi obat dan mengharuskan penghentian konsumsi obat. Reaksi
hipersensitivitas termasuk ruam pada 2-5% pasien dan terkadang reaksi
kulit yang lebih serius, termasuk sindrom Stevens-Johnson.
Hypoprothrombinemia dan perdarahan dapat terjadi pada bayi baru lahir
dari ibu yang menerima fenitoin selama kehamilan (Brunton, 2008).
7. Topiramat
Topiramat tampaknya tidak mengubah metabolisme atau eliminasi
AED lain. CBZ menginduksi metabolism topiramat sehingga memerlukan
penyesuaian dosis topiramat ketika digunakan bersamaan obat lain. Obat
penginduksi enzim yang poten lainnya seperti fenitoin atau fenobarbital
dapat memperlihatkan efek serupa. Juga harus dicatat bahwa penyesuaian
dosis akan diperlukan pada penghentian pemakaian obat penginduksi
enzim sewaktu melanjutkan penggunaan topiramat.
8. Tiagabin
Banyak obat yang diketahui menghambat atau menginduksi
golongan isozim 3A dari system sitokrom. Penggunaan obat yang
mengubah metabolisme melalui isozim ini harus diharapkan dapat
mengubah metabolisme tiagabin. Konsentrasi tiagabin dalam plasma akan
menurun dengan penambahan obat penginduksi enzim, seperti CBZ dan
fenitoin, sedangkan konsentrasi akan meningkat dengan penambahan obat
yang menghambat enzim seperti simetidin.
Walaupun tiagabin terikat pada protein secara kuatt, konsentrasi
plasma cukup rendah sehingga interaksi pemindahan signifikan tidak
terjasi.
9. Felbamat
Felbamat telah dilaporkan menghambat metabolisme fenitoin dan asam
valproate. Sering felbamat meningkat, metabolisme konsentrasi serum
CBZ menurun, sedangkan konsentrasi metabolit epoksida meningkat.
Dosis fenitoin, CBZ, dan VPA harus diturunkan sekitar 30% ketika
felbramat diberikan bersamaan. Penginduksi enzim, seperti fenitoin dan
CBZ, dapat meningkatkan metabolisme felbamat. Felbamat juga telah
ditujukkan dapat menurunkan metabolisme fenobarbitasl dan warfarin.
10. Levetirasetam
Penelitian farmakokinetik dari Levetirasetam mengindikasikan
bahwa terjadi interaksi semacam ini yang signifikan secara klinis.
Levetirasetam tidak menginduksi atau menghambat isozim sitokrom p450
atau mengubah UDP-glukuronidasi.
11. Vigabatrin
Beberapa interaksi obat signifikan secara klinis telah diidentifikasi
dengan vigabatrin. Penggunaan vigabatrin dapat meningkatkan
konsentrasi fenitoin di serum sebanyak 30% walaupun mekanisme dari
interaksi ini tidak diketahui.
12. Zonisamida
Walaupun zonisamida dimetabolisme melalui system isozim
CYP3A4, senyawa ini belum diketahui dapat mengubah farmakokinetik
obat lain yang dimetabolisme melalui isozim itu. Sebaliknya, CBZ,
fenitoin, fosfenitoin dan fenobarbital telah diketahui dapat meningkatkan
bersihan zonisamida. Dampak klinis dari interaksi ini tidak diketahui
selama belum ada tingkat terapeutik untuk zonisamida yang telah
ditetapkan.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Epilepsi merupakan kondisi neurologis umum yang memengaruhi
pasien segala usia, walaupun insiden ini lebih tinggi diantara segmen
populasi usia paling muda dan paling tua. Menurut sejarah penggunaan obat
antiepilepsi telah penuh dengan komplikasi, beberapa diantaranya dapat
dicirikan pada banyaknya interaksi obat farmakokinetik yang ditemukan
dengan golongan obat-obat ini.
III.2 Saran
Pembaca diharapkan dapat memperbanyak membaca jurnal-jurnal
penelitian terbaru guna memperbaharui ilmu tentang interaksi obat
antiepilepsi, dimana tidak terpaku pada makalah ini, karena ada beberapa
factor yang dapat mempengaruhi interaksi obat antiepilepsi.
DAFTAR PUSTAKA
Bray G.P, Harrison P.M, O’Grady J.G, Tredger J.M, Williams JM, Williams R.
1992. Long-term anticonvulsant therapy worens outcome in
paracetamolinduced fulminant hepatic failure. Hum Exp Taxicol. 11, 265-70.
Fradgley, S., Aslam, M., Tan, C.K., Prayitno, A., 2003, Interaksi Obat dalam
Farmasi Klinis Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien,
Universitas Surabaya, Elex Media Komputindo, Jakarta, 120-130.
Lakehal F, Wurden C.J, Kalhorn T.F, Levy R.H., 2002 Carbamazepine and
Oxarbazepine decrease phenytoin metabolism through inhibition of
CYP2C19, Epilepsy Res 52, 79-83.
Somsak Tiamkao M.D, Nattakarn Mayurasakorn M.D, Panit Suko M.D, Suthipun
Jitpimolmard M.D., 2007, Very-high-dose phenobarbital for refractory status
epilepticus. J Med Assoc Thai 90 (12): 2597-600