Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH INTERAKSI OBAT

“Interaksi Obat dengan Farmakodinamika”

Di susun oleh :

Nama : Annes Aulidya

NIM : 16330072
Kelas : C

PROGRAM STUDI FARMASI S1


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2020
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Interaksi Obat
dengan Farmakodinamika” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah Interaksi Obat. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, September 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Interaksi obat dapat didifinisikan sebagai penggunaan dua atau lebih obat pada
waktu yang sama yang dapat memberikan efek masing – masing atau saling
berinteraksi. Interaksi yang terjadi dapat bersifat potensial atau antagonis satu obat oleh
obat lainnya atau dapat menimbulkan efek yang lainnya (PIONAS, 2015).
Interaksi obat merupakan dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu bersamaan
dapat memberikan efek masing-masing atau saling berinteraksi. Interaksi obat tersebut
dapat bersifat potensial atau antagonis satu obat oleh obat lainnya, atau kadang dapat
memberikan efek yang lain (IONI, 2008).
Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat
(drugrelated problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat
yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika
farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu
atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005).
Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah efeknya
secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat potensiasi atau
antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek lainnya
(BNF 58, 2009).
Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat
herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi
yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya,
atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley,
2008).
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan
toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah),
misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawati, 2007).
Prevalesi interaksi obat secara keseluruhan adalah 50% hingga 60%. Obat-obatan
yang mempengaruhi farmakodinamika atau farmakokinetika menunjukan prevalensi
sekitar 5% hingga 9%. Sekitar 7% efek samping pemberian obat di rumah sakit
disebabkan oleh interaksi obat. Jika jumlah obat yang digunakan pasien semakin tinggi,
maka potensi interaksi obat semakin tinggi. Prediktor potensial lainnya untuk interaksi
obat adalah keparahan penyakit yang sedang di obati, usia pasien, fungsi ginjal dan hati
(Syamsudin, 2011).

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa saja jenis tipe interaksi obat dan jenis obat?


b. Apa yang dimaksud dengan clinical significance dan onset?
c. Bagaimana interaksi farmamodinamik dapat terjadi?
d. Apa saja contoh-contoh interaksi obat?

1.3 Tujuan

a. Agar dapat mengetahui jenis tipe interaksi obat dan jenis obat.
b. Agar dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan clinical significance dan
onset.
c. Agar dapat mengetahui bagaimana interaksi farmamodinamik dapat terjadi.
d. Agar dapat mengetahui contoh-contoh interaksi obat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Obat

Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi
oleh obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat
mengubah efek obat lainnya. Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang
Aktif (Harkness, 1989).

Interaksi Obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap obat lain, di dalam
tubuh. Interaksi obat dapat terjadi pada farmakokinetik, atau farmakodinamik,atau
gabungan keduanya. Interaksi obat invitro (campuran pada larutan atau sediaan injeksi)
disebut dengan “drug incompatibilities”, bukan interaksi obat.Salah satu atau kedua
obat yang bercampur menjadi tidak aktif.

Interaksi obat merupakan efek suatu obat yang disebabkan bila dua obat atau
lebih berinteraksi dan dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan.
Hasilnya berupa peningkatan atau penurunan efek yang dapat mempengaruhi outcome
terapi pasien (Yasin et al., 2005).

Sedangkan menurut Stockley interaksi obat terjadi ketika efek dari satu obat
yang dikonsumsi diubah oleh adanya obat lain, jamu, makanan, minuman, atau oleh
beberapa agen kimia lainnya (Baxter, 2008)

Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus (Polifarmasi) yang menjadi


kebiasaan para dokter memudahkan terjadinya interaksi obat. Suatu survey yang di
laporkan pada tahun 1997 mengenai Polifarmasi pada penderita yang dirawat di rumah
sakit menunjukkan bahwa insidens efek samping pada penderita yang mendapat 0-5
macam obat adalah 3,5%, sedangkan yang mendapat 16-20 macam obat adalah 54%.
Peningkatan insidens efek samping yang jauh melebihi Peningkatan jumlah obat yang
di berikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga makin
Meningkat (Setiawati, 2003).

2.2 Macam-Macam Interaksk Obat

Ada 3 jenis interaksi obat, yaitu :

1) Interaksi Obat Farmasetik

Interaksi obat farmasetik adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada


saat obat diformulasikan/disiapkan sebelum obat digunakan oleh si penderita.
Misalnya interaksi antara obat dan larutan infus IV yang dicampur bersamaan
dapat menyebabkan pecahnya emulsi atau terjadi pengendapan.Bentuk
interaksi ini ada 2 macam :

 Interaksi secara fisik : misalnya terjadi perubahan kelarutan


 Interaksi secara khemis : misalnya terjadi reaksi satu dengan yang lain atau
terhidrolisisnya suatu obat selama dalam proses pembuatan ataupun selama
dalam penyimpanan.
2) Interaksi Obat Farmakokinetik
Pada interaksi ini obat mengalami perubahan pada proses absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi yang disebabkan karena adanya obat atau
senyawa lain.
3) Interaksi Obat Farmakodinamik
Merupakan interaksi yang terjadi di tempat kerja obat. Dua atau lebih
obat dapat beriteraksi di tempat yang sama atau ditempat yang berlainan.
Hasilnya bisa merupakan antagonistik (saling meniadakan) dan sinergistik
(saling memperkuat).
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Tipe Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan efek suatu obat yang disebabkan bila dua obat atau
lebih berinteraksi dan dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan.
Hasilnya berupa peningkatan atau penurunan efek yang dapat mempengaruhi outcome
terapi pasien (Yasin et al., 2005).

Menurut Hussar (2007) tipe interaksi obat-obat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:

1) Duplikasi yaitu ketika dua obat yang sama efeknya diberikan, efek samping
mungkin dapat meningkat.
2) Opposition yaitu ketika dua obat dengan aksi berlawanan diberikan bersamaan
dapat berinteraksi, akibatnya menurunkan efektivitas obat salah satu atau
keduanya.
3) Alteration yaitu ketika suatu obat mungkin dirubah melalui absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi oleh obat lain.

3.2 Jenis Obat

Menurut Tatro (2006) interaksi obat dapat terjadi minimal melibatkan 2 jenis
obat, yaitu :

1) Obat obyek, yaitu obat yang aksinya atau efeknya dipengaruhi atau diubah oleh
obat lain.
2) Obat presipitan, yaitu obat yang mempengaruhi atau mengubah aksi atau efek
obat lain.

3.3 Pentingnya Interaksi

Banyak interaksi obat tidak berbahaya tetapi banyak juga interaksi yang
potensial berbahaya hanya terjadi pada sebagian kecil pasien. Terlebih, derajat
keparahan suatu interaksi bervariasi dari satu pasien ke pasien lain. Obat-obat dengan
indeks terapi sempit (misalnya fenitoin) dan obat-obat yang memerlukan kontrol dosis
yang ketat (antikoagulan, antihipertensi dan antidiabetes) adalah obat-obat yang paling
sering terlibat. Pasien dengan peningkatan risiko mengalami interaksi obat adalah
lansia dan orang-orang dengan gagal ginjal atau hati.

3.4 Clinical Significance

Clinical significance adalah derajat dimana obat yang berinteraksi akan


mengubah kondisi pasien. Clinical significance dikelompokan berdasarkan keparahan
dan dokumentasi interaksi yang terjadi. Level signifikansi menurut Tatro (2006)
terdapat pada tabel dibawah ini :

Terdapat 5 macam dokumentasi interaksi, yaitu established (interaksi obat


sangat mantap terjadi),probable(interaksi obat dapat terjadi), suspected (interaksi obat
diduga terjadi), possible (interaksi obat belum pasti terjadi), unlikely (kemungkinan
besar interaksi obat tidak terjadi). Derajat keparahan (severity) akibat interaksi
diklasifikasikan menjadi minor (dapat diatasi dengan baik), moderat (efek sedang,
dapat menyebabkan kerusakan organ), mayor (efek fatal, dapat menyebabkan
kematian) (Tatro, 2006).

Menurut Tatro (2006) level signifikansi diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Signifikansi 1 : kemungkinan besar terjadi interaksi yang berat dan mengancam


jiwa. Kejadian dapat diduga, telah terbukti atau sangat mungkin (probable)
dalam penelitian terkendali.
2) Signifikansi 2 : interaksi yang terjadi dapat memperburuk status klinis pasien.
Kejadiannya dapat diduga, telah terbukti dan sangat mungkin dalam penelitian
yang terkendali.
3) Signifikansi 3 : interaksi menimbulkan efek ringan, kejadiannya dapat diduga,
telah terbukti dan sangat mungkin dalam penelitian yang terkendali.
4) Signifikansi 4 : interaksi dapat menimbulkan efek yang sedang hingga berat,
data yang ada sangat terbatas.
5) Signifikansi 5 : interaksi dapat menimbulkan efek ringan hingga berat, data
yang ada sangat terbatas.

3.5 Onset (kecepatan)

Merupakan alat ukur untuk melihat seberapa cepat efek klinis interaksi obat
yang dapat terjadi untuk menentukan urgensi interaksi dengan tindakan pencegahan
untuk dapat menghindari konsekuensi dari interaksi obat (Tatro, 2006). Dua level onset
yang digunakan adalah :

1) Rapid (cepat) : efek akan terlihat dalam waktu 24 jam dari pemberian obat.
Tindakan segera perlu dilakukan untuk menghindari efek interaksi.
2) Delayed (lambat) : efek tidak akan terlihat sampai obat yang berinteraksi
selama beberapa hari atau minggu. Tidak memerlukan tindakan segera.

3.6 Interaksi Farmakodinamik

Farmakodinamik merupakan subdisiplin ilmu farmakologi yang mempelajari


efek biokimiawi, fisiologi obat, dan mekanisme kerjanya dengan tujuan meneliti efek
utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui respon yang terjadi
(Anonim, 2013).

Interaksi farmakodinamik terjadi antara obat-obat yang mempunyai efek


samping yang serupa atau berlawanan. Interaksi ini disebabkan oleh kompetisi pada
reseptor yang sama atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologi
yang sama. Interaksi farmakodinamik dapat diekstrapolasi ke obat lain yang
segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat memang
berdasarkan persamaan efek farmakodinamiknya. Disamping itu, kebanyakan efek
farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya, karena itu dapat dihindarkan bila
dokter mengetahui mekanisme keja obat yang bersangkutan (Ganiswara, 1995).

Interaksi ini biasanya dapat diperkirakan dari pengetahuan tentang farmakologi


obatobatan yang berinteraksi. Pada umumnya, interaksi yang terjadi dengan suatu obat
akan terjadi juga dengan obat-obat sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas
yang berbeda pada kebanyakan pasien yang mendapat obat-obat yang berinteraksi
(Anonim, 2000).

Efek yang terjadi pada interaksi farmakodinamik yaitu (Fragley, 2003) :

a. Sinergisme

Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme


antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel atau enzim yang sama
dengan efek farmakologi yang sama.

b. Antagonisme
Interaksi terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi
yang berlawanan sehingga mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan
dari satu atau lebih obat.
c. Efek reseptor tidak langsung
Kombinasi ini dapat bekerja melalui mekanisme saling mempengaruhi
efek reseptor yang meliputi sirkulasi kendali fisiologi atau biokimia. Efek dan
keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien yang satu dengan
yang lain. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap
interaksi obat. Pasien yang rentan terhadap interaksi obat antara lain :
1) Pasien lanjut usia
2) Pasien yang minum lebih dari satu macam obat
3) Pasien yang mempunyai ganguan fungsi hati dan ginjal
4) Pasien dengan penyakit akut
5) Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
6) Pasien yang mempunyai karakteristik genetik tertentu
7) Pasien yang dirawat lebih dari satu dokter

Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi (Fragley, 2003) :

1) Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi.


Jika resiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya maka
harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat
pengganti tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan
interaksi yang berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek
obat yang spesifik.
2) Penyesuaian dosis obat.
Jika interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat maka perlu
dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi
kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan
pada saat mulai atau menghentikan penggunaan obat yang berinteraksi.
3) Pemantauan pasien
Jika kombinasi yang saling berinteraksi diberikan, maka diperlukan
pemantauan pasien. Keputusan untuk memantau atau tidak tergantung pada
berbagai faktor, seperti karaktteristik pasien, penyakit lain yang diderita
pasien, waktu mulai menggunakan obat yang menyebabkan interaksi dan
waktu timbulnya reaksi interaksi obat.
4) Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya.
Jika interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat yang
berinteraksi tersebut merupakan pengobatan optimal, pengobatan pasien
dapat diteruskan.

3.7 Prinsip Interaksi Farmakodinamik

Interaksi antara obat pada sistem reseptor, tempat kerja yang aditif, sinergis,
antagonistik dan potensiasi.Interaksi fisiologik pada sistem yang sama dapat
nenurunkan atau menaikan respon.
3.8 Contoh Interaksi Obat

1) Ranitidine dengan Paracetamol


Aksi terapeutik dari paracetamol (NSAIDs) kemungkinan dapat diubah oleh
ranitidine (Histamine H2 Antagonist). Dalam manajemennya tidak ada
tindakan klinik khusus (Tatro, 2006 : 737).
2) Ranitidine dengan Ketorolac
Aksi terapeutik dari ketorolac (NSAIDs) kemungkinan dapat diubah oleh
ranitidine (Histamine H2 Antagonist). Dalam manajemennya tidak ada
tindakan klinik khusus (Tatro, 2006 : 737)
3) Ondansetrondengan Tramadol
Ondansetron dapat menurunkan efek dari tramadol di beberapa pasien. Perlu
dilakukan penyesuaian dosis dari tramadol. Penggunaan 5-HT3 reseptor
antagonis dengan tramadol dapat meningkatkan serotonin sindrom dan juga
dapat menurunkan efikasi analgesic dari tramadol. Dalam manajemennya,
pasien perlu melakukan monitoring untuk tanda-tanda dari serotonin sindrom
selama pengobatan, jika serotonin sindrom berkembang selama terapi, semua
agen serotonergik harus dihentikan.
4) Albuterol dengan Ondansetron
Penggunaan beta-2-adrenergik dapat menyebabkan perpanjangan dose-related
dari hilangnya potassium. Sebagai efek tambahan dapat meningkatkan resiko
aritmia ventricular. Dalam manajemennya dapat diberikan perhatian bahwa
penggunaan beta-2-agonist dalam kombinasi dengan obat lain dapat
memperpanjang interval QT. Pasien dapat disarankan untuk melihat tanda-
tanda seperti flu, irama jantung yang tidak teratur, dan nafas pendek.
5) Albuterol dengan Antasida
Penggunaan antasida dapat menyebabkan kehilangan elektrolit dan
meningkatkan resiko aritmia ventricular. Elektrolit akan terganggu dan juga
termasuk hypokalemia dan hypomagnesemia. Manajemen yang dapat
dilakukan adalah memonitoring keseimbangan elektrolit secara periodik.
6) Ondansetron dengan Antasida
Penggunaan antasida dapat menyebabkan kehilangan elektrolit dan
meningkatkan resiko aritmia ventricular. Elektrolit akan terganggu dan juga
termasuk hypokalemia dan hypomagnesemia. Manajemen yang dapat
dilakukan adalah memonitoring keseimbangan elektrolit secara periodic.
7) Ranitidine dengan Antasida
Bioavailabilitas dari ranitidine (Histamine H2 Antagonist) kemungkinan dapat
menurun, dan menurunkan pula efek farmakologisnya. Berdasarkan data yang
ada untuk manajemennya
tidak ada tindakan klinik khusus yang dibutuhkan (Tatro, 2006 : 831).
8) Spironolacton dengan Valsartan
Penggunaan kombinasi spironolacton bersamaan dengan valsartan dapat
meningkatkan level potassium dalam darah. Level potassium yang tinggi dapat
disebut dengan hyperkalemia. Manajemen yang dapat dilakukan adalah dengan
memonitoring level potassium dalam darah selama pengobatan.
9) Ceftriaxone dengan Furosemide
Penggunaan furosemide (diuretik) bersamaan dengan ceftriaxone
(sefalosporin) dapat berpotensi mengakibatkan nefrotoksik. Furosemide dapat
meningkatkan konsentrasi plasma atau menurunkan klirens dari ceftriaxone.
Manajemen yang dilakukan adalah memonitoring fungsi renal.
10) Furosemide dengan Digoksin
Elektrolit yang diinduksi oleh furosemide (diuretik) dapat terganggu dan
mempengaruhi digoksin (digitalis) dalam menginduksi aritmia. Peningkatan
eksresi urin dari potassium dan magnesium mempengaruhi aksi otot jantung.
Manajemen yang dapat dilakukan adalah mengukur level plasma dari
potassium dan magnesium ketika menggunakan kombinasi kedua obat ini
(Tatro, 2006 : 348).
11) Aspirin dengan Digoksin
NSAIDs kemungkinan dapat meningktakan konsentrasi plasma dari digoksin,
dengan menurunkan klirens renal. Manajemen yang dilakukan adalah
memonitor efek farmakologis dari digoksin dan untuk meningkatkan level
plasma.
12) Furosemide dengan Aspirin
Respon diuretic dari furosemide dapat terhambat pada pasien dengan gangguan
sirosis dan ascites. Dalam manajemennya tidak ada tindakan secara umum,
namun pasien dengan sirosis dan ascites yang menggunakan furosemide
(diuretik) dan menerima aspirin (salisilat) perlu diberikan peringatan (Tatro,
2006 : 642).
13) Aspirin dengan Spironolacton
Aspirin (salisilat) akan menghambat induksi natriuresis oleh spironolacton.
Manajemen yang dapat dilakukan adalah memonitor tekanan darah dan serum
sodium dalam pasien kronik yang menerima spironolacton dan aspirin.
Meningkatkan dosis dari spironolacton dapat mengembalikan efek interaksi
(Tatro, 2006 : 850).
14) Digoksin dengan Spironolacton
Spironolacton memungkinkan dapat meminimalisir dampak positif inotropic
dari digoksin. Dalam serum kadar digoksin meningkat, serta spironolacton juga
dapat mengganggu radioimmunoassay dari digoksin. Mekanisme efek inotropic
positif dari digoksin dilemahkan oleh efek ionotropik negative spironolacton.
Spironolacton dapat menghalangi sekresi tubular dari digoksin, menyebabkan
kadar dalam plasma meningkat. Manajemen yang dapat dilakukan adalah perlu
menyesuaikan dosis digoksin pada pemberian bersama dengan spironolacton
(Tatro, 2006 : 399)
15) Captopril dengan Diazepam
Beberapa psikotropik (diazepam) dapat menyebabkan efek hypotensi, terutama
dengan kombinasi antihipertensi (captopril). Manajemennya adalah dengan
memberikan perhatian pada pengobatan ini dengan memonitoring tekanan
darahnya selama pengobatan.
16) Captopril dengan Amlodipin
Kalsium kanal bloker (amlodipin) dan ACE-inhibitor (captopril) dimungkinkan
dapat menyebabkan efek hypotensi. Diperlukan memonitoring tekanan darah
selama pengobatan.
17) Aspirin dengan Amlodipin
Beberapa kalsium kanal bloker (amlodipin) dapat menghambat
siklooksigenase.Ketika NSAIDs dikombinasikan dengan amlodipin,
peningkatan tekanan darah dapat terjadi. Manajemen yang dapat dilakukan
adalah memonitoring tekanan darah selama pengobatan.
18) Aspirin dengan Irbesartan
Penggunaan NSAIDs dapat melemahkan efek dari antihipertensi (irbesartan)
dalam reseptor antagonis angiotensis II.NSAIDs menghambat induksi sintesis
prostaglandin di renal. NSAIDs juga dapat menyebabkan retensi cairan yang
berefek pada tekanan darah.Manajemen yang dapat dilakukan adalah
memonitoring tekanan darah selama pengobatan.
19) Aspirin dengan Insulin
Insulin dapat berpotensi menurunkan serum glukosa. Konsentrasi dari basal
insulin akan meningkat dan respon insulin untuk mersepon beban glukosa dapat
ditingkatkan. Manajemen yang perlu dilakukan adalah memonitor glukosa
dalam darah dan diperlukan penyesuaian regimen insulin (Tatro, 2006 : 565).
20) Furosemide dengan Ramipril
Efek dari furosemide kemungkinan dapat menurun.Dimana mekanisme yang
terjadi yaitu penghambatan angiotensin II oleh kaptopril.Manajemen yang perlu
dilakukan adlah kekeantalan cairan dalam tubuh dan berat tubuh pasien harus
dimonitor pada pasien yang mengkonsumsi furosemide bersamaan dengan
kaptopril (Tatro, 2006 : 635).
21) Digoksin dengan Ramipril
Kadar digoksin dalam plasma dapat meningkat atau bahkan menurun.
Manajemen yang dapat dilakukan adalah diperlukan pemantauan rutin untuk
toksisitas dari digoksi, serta pemantauan kadar dalam plasma dapat berguna
untuk menentukan apakah diperlukan adanya penyesuaian dosis atau tidak
(Tatro, 2006 : 372)
22) Ranitidine dengan Ketoprofen
Aksi terapeutik dari ketoprofen (NSAIDs) kemungkinan dapat diubah oleh
ranitidine (Histamine H2 Antagonist). Dalam manajemennya tidak ada
tindakan klinik khusus (Tatro, 2006 : 737)
23) Captopril dengan Aspirin
Efek vasodilator dan hipotensi dari captopril (ACE-Inhibitor) dapat
menurun.Dalam mekanisme menghambat system dan sitesis prostaglandin.
Manajemen yang dapat dilakukan adalah jika dinyatakan ada interaksi maka
perlu dilakukan monitoring tekanan darah dan parameter hemodinamik sebagai
indikasi serta menghentikan penggunaan aspiri jika memungkinkan (Tatro,
2006 : 47)
24) Aspirin dengan Clopidogrel
Clopidogrel berpotensi dalam menghambat agregasi platelet pada aspirin. Pada
studi clinical trial penggunaan aspirin tunggal terjadi perdarahan pada saluran
GI sebesar 0,3%, namun pada penggunaan clopidogrel dan aspirin secara
bersamaan terjadi peningkatan perdarahan pada GI yang cukup besar yaitu
1,3%. Manajemen yang dapat dilakukan adalah dengan member perhatian pada
pasien dengan melihat tanda-tanda perdarahan.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
 Tipe interaksi obat-obat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu duplikasi, opposition.
Dan alteration sedangkan jenis obat dibedakan menjadi 2 yaitu obat obyek dan
obat presipitan.
 Clinical significance adalah derajat dimana obat yang berinteraksi akan
mengubah kondisi pasien. Clinical significance dikelompokan berdasarkan
keparahan dan dokumentasi interaksi yang terjadi sedangkan onset merupakan
alat ukur untuk melihat seberapa cepat efek klinis interaksi obat yang dapat
terjadi untuk menentukan urgensi interaksi dengan tindakan pencegahan untuk
dapat menghindari konsekuensi dari interaksi obat.
 Interaksi farmakodinamik dapat terjadi antara obat-obat yang mempunyai efek
samping yang serupa atau berlawanan. Interaksi ini disebabkan oleh kompetisi
pada reseptor yang sama atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem
fisiologi yang sama. Interaksi farmakodinamik dapat diekstrapolasi ke obat lain
yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat
memang berdasarkan persamaan efek farmakodinamiknya. Disamping itu,
kebanyakan efek farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya, karena itu
dapat dihindarkan bila dokter mengetahui mekanisme keja obat yang
bersangkutan.
 Contoh-contoh interaksi obat yaitu Ranitidine dengan Paracetamol, Ranitidine
dengan Ketorolac, Ondansetrondengan Tramadol, Albuterol dengan
Ondansetron, Albuterol dengan Antasida, Ondansetron dengan Antasida,
Ranitidine dengan Antasida, Spironolacton dengan Valsartan, Ceftriaxone
dengan Furosemide, Furosemide dengan Digoksin, dll.
Daftar Pustaka

 BPOM RI, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI), Badan


Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.
 Badan POM RI.2015.Pusat Informasi Obat Nasional.http://pionas.pom.go.id
 Piscitelli, S. C., & Rodvold, K. A. (2005). Drug Interaction in Infection Disease
Second Edition. New Jersey: Humana Press.
 BNF, 2009, British National Formulary, Edisi 57, British Medical Association
 Royal Pharmacetical of Great Britain, England.
 Stockley, 2008. Stockley’s Drug Interaction, 8th Edition. Pharmaceutical
Press., London.
 Setiawati, A., 2007, Interaksi Obat dalam Gunawan, S.G, 2007, Farmakologi
dan Terapi, Edisi 5, hal 862-873, Bagian Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta.
 Syamsudin. 2011. Buku Ajar Farmakoterapi Kardiovaskular Dan Renal.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika pp 31
 Harkness, R. 1989, Interaksi Obat, diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan
mathilda S. Widianto, Institut Teknologi Bandung, Bandung 9-10.
 Yasin, N. M., Widyastuti, H.T., dan Dewi, E.K., 2005, Kajian Interaksi Obat
Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di RS Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun
2005.
 Baxter, K., 2008, Stockley ’ s Drug Interactions 8th ed. K. Baxter, ed., London:
Pharmaceutical Press.
 Setiawati, A. 2003, Interaksi Obat. Di dalam: Ganiswara SG, editor.
Farmakologi dan terapi, Edisi keempat. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
UI
 Tatro D.S. 2006. Drug Interaction Fact, fifth Edition, facts and comparisons A.
California :Wolter Kluwer Company.
 Ganiswara, S. 1995. Farmakologi dan Terapi, ed. IV, 271-288 dan 800-810.
Jakarta : Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Fradgley, S. 2003. InteraksiObatdalamAslam, M, Tan., C. K., dan Prayitno.,
FarmasiKlinis 120-130. Jakarta :PT Elex Media KomputindoGramedia.

Anda mungkin juga menyukai