STUDI KASUS
Disusun oleh :
FAKULTAS FARMASI
2019
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “STUDI KASUS INTERAKSI OBAT” dalam waktu yang ditentukan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Interaksi Obat. Makalah ini
tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.Untuk itu kritik dan saran
yang membangun dalam perbaikan karya tulis ini sangat kami harapkan.Kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3
3.2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Lakrimalis ................. Error! Bookmark not defined.
3.3. Anatomi dan Fisiologi Bola Mata ............................. Error! Bookmark not defined.
3.6. Anatomi Tambahan pada mata .................................. Error! Bookmark not defined.
3.7. Cara Kerja Indra Penglihatan .................................... Error! Bookmark not defined.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b) Induksi Enzim
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus
dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik
yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim
mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya
(Stockley, 2008).
c) Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga
obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang
mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk
berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai
3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur
metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh
isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi
enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum
tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis
(Stockley, 2008).
d) Faktor genetik dalam metabolisme obat
Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa
isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti bahwa
beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitas.
Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian kecil populasi
memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat.
Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif.
Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat
menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang mengalami toksisitas
ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari gejala (Stockley, 2008).
2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang
memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama.
Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-
obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat
diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF
58, 2009).
a. Interaksi Aditif Atau Sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan
bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP,
jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat
(misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk
berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif
ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval
QT) (Stockley, 2008).
Tidak semua interaksi obat akan bermakna secara signifikan, walaupun secara
teoritis mungkin terjadi. Banyak interaksi obat yang kemungkinan besar berbahaya
terjadi hanya pada sejumlah kecil pasien. Namun demikian seorang farmasis perlu selalu
waspada terhadap kemungkinan timbulnya efek merugikan akibat interaksi obat ini untuk
mencegah timbulnya resiko morbiditas atau bahkan mortalitas dalam pengobatan pasien
(Rahmawati, 2006).
Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah obat yang
digunakan oleh individu. Hal ini juga menyiratkan risiko yang lebih besar pada orang tua
dan mengalami penyakit kronis, karena mereka akan menggunakan obat-obatan lebih
banyak daripada populasi umum. Risiko juga meningkat bila rejimen pasien berasal dari
beberapa resep. Peresepan dari satu apotek saja mungkin dapat menurunkan risiko
interaksi yang tidak terdeteksi (McCabe, et.al., 2003).
Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien rawat inap yang diresepkan
banyak pengobatan. Prevalensi interaksi obat meningkat secara linear seiring dengan
peningkatan jumlah obat yang diresepkan, jumlah kelas obat dalam terapi, jenis kelamin
dan usia pasien (Mara and Carlos, 2006).
2.7.2 Kasus 2
Tn X seorang veteran berumur 68 tahun dirawat di RS dengan keluhan tekanan
darah tinggi pengobatan yang diterimanya adalah Propanolol 80 mg, 2x sehari. Tn
X tidak pernah merokok dan mempunyai riwayat penyakit maag. Untuk mengobati
maag tuan doni diberi simetidin prn. Tuan X sering mengalamai lesu lemah dan
napas berbunyi seperti penderita asma atau sulit bernapas.
2.7.3 Kasus 3
Nyonya Santi umur 59 tahun dirawat di rumah sakit karena merasa lemas, diare
lebih dari 5 kali. Mempunyai riwayat imsommia yang sulit diobati dan hipertensi.
Nyonya Santi masih mendapat pengobatan fenobarbital prn dan atenolol 50 mg
1dd. Nyonya Santi sedang mengalami batuk pilek dan diberi obat obat flu dan batuk
yang mengandung pelega hidung yaitu pseudoefedrin.
2.7.4 Kasus 4
Tn. Kogoro Mori 40 tahun mendapat pengobatan karena menjalani perawatan
TBC pada fase lanjutan (INH, rifampisin, dan vitamin B6) yaitu bulan keempat.
Tanda pemberian obat TBC sebelum makan (ante coenam).
2.7.5 Kasus 5
Ny. Hikaru Utada (29 th) datang ke apotik bersama suami dan bayinya untuk
membeli obat pusing dan obat anti alergi karena tadi tiba-tiba saja muncul ruam-
ruam di kulit. Sering maag sehingga mendapatkan juga simetidin dengan aturan
pakai prn 1 tab. Dia mempunyai riwayat epilepsi sejak kecil dan terkontrol baik
dengan menggunakan resep fenitoin dari dokter 2 dd 1 caps. Dia juga rutin
memakai nifedipin 10 mg 2 dd 1 tab untuk mengontrol tekanan darahnya tetapi
kadang lupa minum.
BAB III
PEMBAHASAN
No. Obat Objek Obat Mekanisme Interaksi Efek Pemecahan
(A) Presipitan (B) Masalah
1. Glibenklamid Simetidin Simetidin merintangi Efek glibenklamid Menghentikan
enzim-enzim oksidatif ditingkatkan oleh pemakaian simetidin
hati sehingga simetidin karena dan menggunakan
perombakan obat-obat eliminasi terapi non
lain dapat diperlambat, diperlambat. farmakologi untuk
mengakibatkan kerja mencegah maag nya
hati semakin berat. kambuh kembali.
Pemecahan Masalah
Terapi Farmakologi
Menghentikan pengkonsumsian paracetamol, cimetidin, dan glibenklamid secara oral.
Untuk mengatasi hepatitis akutnya dengan pemberian injeksi asetil sistein untuk mencegah
hepatitis akut menjadi kronis, karena sel-sel hati dapat meregenerasi sel-selnya sendiri.
Untuk mengatasi diabetes melitusnya di gunakan obat-obat yang ekskresinya melalui
ginjal dan injeksi.
Terapi Non Farmakologi
Perbanyak konsumsi buah dan sayuran yang banyak mengandung antioksidan,
vitamin C, E dan betakaroten seperti apel, jeruk, wortel, tomat, bayam, dan mangga dan
menghentikan minum alkohol.
Pemecahan Masalah
Terapi Farmakologi
Menghentikan penggunaan simetidin dan mengganti simetidin dengan pemberian
antasida lainnya agar tidak terjadi interaksi obat.
Terapi Non Farmakologi
Tuan X dapat mengontrol tekanan darah tinggi dengan mengontrol makanan dengan
mengurangi asupan garam. Untuk pencegahan penyakit maag dapat dengan mengatur
pola makan yang teratur.
Pemecahan Masalah
Terapi Farmakologi
Pemberian obat atenolol dengan febobarbital jangan bersamaan. Pemberian obat
diberi jarak paling sedikit satu jam.
Terapi Non Farmakologi
Penghentian obat pseudoefedrin. Pengobatan batuk dapat dengan terapi non
farmakologi dengan istirahat yang cukup, banyak minum air putih hangat dan mengurangi
makanan yang berminyak.
Pemecahan Masalah
o Pemberian obat harus sebelum makan agar absorpsi tidak terganggu dan tidak ada interaksi
antara obat dengan makanan.
o Pemberian Vitamin B6 dengan dosis 10 mg/hari.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
1. Interaksi obat atau lebih dikenal dengan istilah drug interaction, merupakan
interaksi yang terjadi antar obat yang dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi obat
dapat menghasilkan efek baik terhadap pasien, namun tidak jarang menghasilkan
efek buruk.
2. Obat yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug, sedangkan obat yang
dipengaruhi disebut sebagai object drug.
3. Dalam makalah ini ada beberapa kasus, diantaranya adalah mengenai diabetes,
hipertensi dan TBC. Ketiga penyakit tersebut merupakan salah satu penyakit dengan
kasus Interaksi Obat yang sering terjadi. Dalam terapi penyakit ini penggunaan
obatnya lebih dari satu secara bersamaan (polifarmasi), yang akan memudahkan
terjadinya Interaksi Obat.
4.2 SARAN
1. Dengan adanya kasus interaksi obat yang sering terjadi, diharapkan tenaga kesehatan
khusnya dokter dan apoteker, lebih hati-hati dalam terapi dan pemberian obat lebih
dari satu secara bersamaaan.
2. Diharapkan adanya penanganan yang paling optimal atas kasus-kasus yang sering
terjadi.
3. Dokter dan apoteker diharapkan juga bisa mencegah agar kasus-kasus interaksi obat
dapat diminimalisir dan tidak semakin parah.