Kelompok 9 :
FAKULTAS FARMASI
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kekuatan, kamampuan, dan rahmat - Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Interaksi Obat dengan judul “Study Kasus Interaksi Obat”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Refdanita, M.Si, Apt selaku Dosen
Pengampu pada mata kuliah ini yang telah memberikan bimbingan, dorongan dan ilmu yang telah
di berikan kepada kami, serta pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik pada teknik
penulisan maupun materi. Kritik dan saran sangat penyusun harapkan untuk perbaikan maupun
pengembangan sehingga makalah ini lebih bermanfaat.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KASUS 1 ...................................................................................................................... 16
KASUS 2 ...................................................................................................................... 17
KASUS 3 ...................................................................................................................... 17
KASUS 4 ...................................................................................................................... 18
KASUS 5 ...................................................................................................................... 18
ii
BAB IV PENUTUP .......................................................................................................... 20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2. Salah satu tujuan tugas Interaksi Obat ini adalah
a dalah untuk nilai tambahan.
3. Mahasiswa dapat menangani Interaksi seperti pada kasus-kasus dalam makalah ini.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
maupun mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu seperti alkohol, kafein.
Perubahan efek obat akibat interaksi obat dapat bersifat membahayakan dengan
meningkatnya toksisitas obat atau berkurangnya khasiat obat. Namun, interaksi dari
beberapa obat juga dapat bersifat menguntungkan seperti efek hipotensif diuretik bila
dikombinasikan dengan beta-bloker dalam pengobatan hipertensi (Fradgley, 2003).
Jankel & Speedie (1990) mengemukakan kejadian interaksi obat pada pasien
rawat inap 2,2 % hingga 30 %, dan berkisar 9,2 % - 70,3 % pada pasien di masyarakat.
Diantaranya terdapat 11 % pasien yang benar-benar mengalami gejala akibat interaksi
obat. Penelitian lain pada 691 pasien, ditemukan 68 (9,8%) pasien masuk rumah sakit
karena penggunaan obat dan 3 (0,4 %) pasien disebabkan oleh interaksi obat (Stanton et
al., 1994).
Suatu survei mengenai insiden efek samping penderita rawat inap yang menerima
0 – 5 macam obat adalah 3,5 %, sedangkan yang mendapat 16 – 20 macam obat 54 %.
Peningkatan insidens efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat
diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat (Setiawati, 1995).
4
d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi
yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai
contohnya obat antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah
antineoplastik dan obat-obat imunosupresan (Hashem, 2005).
5
lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen),
sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya (Stockle y, 2008).
6
c. Interaksi Pada Metabolisme Obat
a) Perubahan pada metabolisme fase pertama
Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak
berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi
senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal.
Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus
memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut
metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang
detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal,
kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang
ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis
reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan
oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih
polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain
(misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk
membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I
dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).
c) Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga
obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang
mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk
berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2
sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur
metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh
isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi
enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika
7
serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara
klinis (Stockley, 2008).
8
probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan
meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal,
sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak
obat anionik lain dengan transporter anion organik (OATs) (Stockley,
2008).
2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang
memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama.
Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-
obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat
diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF
58, 2009).
a. Interaksi Aditif Atau Sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan
bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP,
jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat
(misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk
berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif
ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval
QT) (Stockley, 2008).
9
2.3 TINGKAT KEPARAHAN INTERAKSI OBAT
Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
level : minor, moderate, atau major.
1. Keparahan Minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi mungkin
terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika
terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin oleh antasida
ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, 2004).
2. Keparahan Moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari bahaya
potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe intervensi/monitor sering
diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin menyebabkan perubahan status klinis
pasien, menyebabkan perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit dan atau
perpanjangan lama tinggal di rumah sakit. Contohnya adalah dalam kombinasi
vankomisin dan gentamisin perlu dilakukan monitoring nefrotoksisitas (Bailie,
2004).
3. Keparahan Major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas
yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang
menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Bailie, 2004).
Contohnya adalah perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian
eritromisin dan terfenadin (Piscitelii, 2005).
Tidak semua interaksi obat akan bermakna secara signifikan, walaupun secara
teoritis mungkin terjadi. Banyak interaksi obat yang kemungkinan besar berbahaya
terjadi hanya pada sejumlah kecil pasien. Namun demikian seorang farmasis perlu
selalu waspada terhadap kemungkinan timbulnya efek merugikan akibat interaksi obat
ini untuk mencegah timbulnya resiko morbiditas atau bahkan mortalitas dalam
pengobatan pasien (Rahmawati, 2006).
10
o Sifat keturunan
o Penyakit yang sedang diderita
o Fungsi hati dan ginjal
Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah obat
yang digunakan oleh individu. Hal ini juga menyiratkan risiko yang lebih besar pada
orang tua dan mengalami penyakit kronis, karena mereka akan menggunakan obat-
obatan lebih banyak daripada populasi umum. Risiko juga meningkat bila rejimen
pasien berasal dari beberapa resep. Peresepan dari satu apotek saja mungkin dapat
menurunkan risiko interaksi yang tidak terdeteksi (McCabe, et.al., 2003).
Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien rawat inap yang diresepkan
banyak pengobatan. Prevalensi interaksi obat meningkat secara linear seiring dengan
peningkatan jumlah obat yang diresepkan, jumlah kelas obat dalam terapi, jenis
kelamin dan usia pasien (Mara and Carlos, 2006).
11
c. Obat yang mempengaruhi renal clearance object drug . Contohnya: Furosemid
(diuretik-peluruh kencing), dapat menghambat ekskresi gentamisin, sehingga
menimbulkan toksik.
Sedangkan object drug , biasanya merupakan obat yang mempunyai kurva dose
respone yang curam. Obat-obat ini menimbulkan perubahan reaksi terapeutik yang
besar dengan perubahan dosis kecil. Kelainan yang ditimbulkan bisa mmperbesar efek
terapinya. Juga bila dosis toksik suatu object drug, dekat dengan dosis terapinya, maka
mudah keracunan obat bila terjadi suatu interaksi. Pada umumnya akan terjadi dua hal,
yaitu pengurangan efek terapinya dan terjadinya efek samping. Contoh obat dengan
profil demikian seperti antibiotika golongan aminoglikosida, antikoagulan, antikonvulsi
dan obat-obat sitotoksik dan imunosupresan, kontasepsi oral serta obat-obat susunan
syaraf pusat.
12
Data laboratorium yang ada :
SGPT : 60 unit/liter
SGOT : 45 unit/liter
Icterus Indeks : 8 satuan
Albumin : jumlah normal
GGT : 90 IU/L
2.7.2 Kasus 2
Tn X seorang veteran berumur 68 tahun dirawat di RS dengan keluhan
tekanan darah tinggi pengobatan yang diterimanya adalah Propanolol 80 mg, 2x
sehari. Tn X tidak pernah merokok dan mempunyai riwayat penyakit maag.
Untuk mengobati maag tuan doni diberi simetidin prn. Tuan X sering mengalamai
lesu lemah dan napas berbunyi seperti penderita asma atau sulit bernapas.
2.7.3 Kasus 3
Nyonya Santi umur 59 tahun dirawat di rumah sakit karena merasa lemas,
diare lebih dari 5 kali. Mempunyai riwayat imsommia yang sulit diobati dan
hipertensi. Nyonya Santi masih mendapat pengobatan fenobarbital prn dan
atenolol 50 mg 1dd. Nyonya Santi sedang mengalami batuk pilek dan diberi obat
obat flu dan batuk yang mengandung pelega hidung yaitu pseudoefedrin.
2.7.4 Kasus 4
Tn. Kogoro Mori 40 tahun mendapat pengobatan karena menjalani
perawatan TBC pada fase lanjutan (INH, rifampisin, dan vitamin B6) yaitu bulan
keempat. Tanda pemberian obat TBC sebelum makan (ante coenam).
2.7.5 Kasus 5
Ny. Hikaru Utada (29 th) datang ke apotik bersama suami dan bayinya untuk
membeli obat pusing dan obat anti alergi karena tadi tiba-tiba saja muncul ruam-
ruam di kulit. Sering maag sehingga mendapatkan juga simetidin dengan aturan
pakai prn 1 tab. Dia mempunyai riwayat epilepsi sejak kecil dan terkontrol baik
dengan menggunakan resep fenitoin dari dokter 2 dd 1 caps. Dia juga rutin
memakai nifedipin 10 mg 2 dd 1 tab untuk mengontrol tekanan darahnya tetapi
kadang lupa minum.
13
BAB III
PEMBAHASAN
14
menurunkan efek dari diobati dengan atenolol dan
beta bloker. golongan beta bloker fenobarbital secara
tidak terkendali bersamaan. Diberi
dengan baik. jarak paling sedikit
satu jam.
6. Atenolol Pseudoefedrin Pesudoefedrin dapat Tekanan darah yang Menghentikan
menurunkan efek dari diobati dengan pemberian obat
beta bloker. golongan beta bloker pseudoefedrin dan
mungkin tidak menggantikan
terkendali dengan dengan terapi non
baik. farmakologi.
7. Vitamin B6 Isoniazida Kombinasi vitamin B6 Hilangnya vitamin Harus diberikan
dan isoniazida dapat B6 dalam tubuh. Vitamin B6
menghilangkan vitamin tambahan.
B6 dari tubuh.
8. INH, Makanan Makanan dapat Efek terapi tidak Pemberian obat
rifampisin, mengurangi absorbsi dapat dicapai. sebelum makan pada
dan vitamin obat. saat lambung dalam
B6 keadaan kosong.
9. Nifedipin Fenitoin Fenitoin menurunkan Menurunkan Mengganti nifedipin
efek nifedipin karena konsentrasi dengan obat
eliminasi obat nifedipine dalam antihipertensi lain.
dipercepat. plasma.
10. Fenetoin dan Simetidin Efek fenetoin dan Meningkatnya Pemakaian simetidin
Nifedipin nifedipin ditingkatkan konsentrasi kedua diganti dengan
oleh simetidin karena obat ini dalam antasida.
eliminasi diperlambat. plasma.
15
KASUS 1 (Tabel No. 1, 2 dan 3)
Analisa Kasus
1. Tn. Andi mengalami hepatitis atau gangguan hati dikarenakan adanya interaksi antara
alkohol dan parasetamol. Parasetamol bisa menyebabkan perlukaan sel-sel hati pada over
dosis yang disengaja atau karena tidak disengaja. Alkohol dapat memperkuat efek atau
mengubah metabolisme bermacam-macam obat. Potensi interaksi antara alcohol dengan
paracetamol adalah sangat berbahaya dan dapat terjadi dalam praktek sehari-hari di
klinik.
2. Efek glibenklamid ditingkatkan oleh simetidin karena eliminasi diperlambat. Efek
glibenklamid ditingkatkan juga oleh alcohol karena interaksi dengan metabolisme
karbohidrat, sehingga dapat menyebabkan hipoglikemi. Penggunaan glibenclamid 3dd 1
tab tidak sesuai aturan pakai yang seharusnya 1dd 1 tab. Hal ini semakin memperbesar
tejadinya hipoglikemi dan memberatkan kerja hati.
3. Simetidin merintangi enzim-enzim oksidatif hati sehingga perombakan obat-obat lain
dapat diperlambat, sehingga kerja hati semakin berat.
4. Pusing dan maag yang disebabkan stress dan pola makan yang tidak teratur.
5. Warna kuning pada kulit disebabkan karena Alkalin fosfate (ALP). Enzim ALP
ditemukan pada sel-sel hati (liver) yang berada di dekat saluran empedu. Peningkatan
kadar ALP menunjukkan adanya penyumbatan atau pada saluran empedu. Peningkatan
kadar ALP biasanya disertai dengan gejala fisik yaitu warna kuning pada kulit, kuku
ataupun bagian putih bola mata.
6. Adanya gangguan fungsi sintesis hati (liver) salah satunya ditunjukkan dengan
menurunnya kadar SGPT dan SGOT pasien seperti pada data hasil laboratorium.
7. Kadar SGOT dan SGPT yang normalnya 41 dan 56 unit/ liter. Pada data lab. pasien
kenaikan kadar SGPT dan SGOT tidak sampai 3 kali lipat dari kadar normal, sehingga
pasien tersebut digolongkan dalam hepatitis akut.
Pemecahan Masalah
Terapi Farmakologi
Menghentikan pengkonsumsian paracetamol, cimetidin, dan glibenklamid secara
oral. Untuk mengatasi hepatitis akutnya dengan pemberian injeksi asetil sistein untuk
mencegah hepatitis akut menjadi kronis, karena sel-sel hati dapat meregenerasi sel-
selnya sendiri.
16
Untuk mengatasi diabetes melitusnya di gunakan obat-obat yang ekskresinya
melalui ginjal dan injeksi.
Terapi Non Farmakologi
Perbanyak konsumsi buah dan sayuran yang banyak mengandung antioksidan,
vitamin C, E dan betakaroten seperti apel, jeruk, wortel, tomat, bayam, dan mangga dan
menghentikan minum alkohol.
Pemecahan Masalah
Terapi Farmakologi
Menghentikan penggunaan simetidin dan mengganti simetidin dengan pemberian
antasida lainnya agar tidak terjadi interaksi obat.
Terapi Non Farmakologi
Tuan X dapat mengontrol tekanan darah tinggi dengan mengontrol makanan dengan
mengurangi asupan garam. Untuk pencegahan penyakit maag dapat dengan mengatur
pola makan yang teratur.
17
Pemecahan Masalah
Terapi Farmakologi
Pemberian obat atenolol dengan febobarbital jangan bersamaan. Pemberian obat
diberi jarak paling sedikit satu jam.
Terapi Non Farmakologi
Penghentian obat pseudoefedrin. Pengobatan batuk dapat dengan terapi non
farmakologi dengan istirahat yang cukup, banyak minum air putih hangat dan
mengurangi makanan yang berminyak.
Pemecahan Masalah
o Pemberian obat harus sebelum makan agar absorpsi tidak terganggu dan tidak ada
interaksi antara obat dengan makanan.
o Pemberian Vitamin B6 dengan dosis 10 mg/hari.
18
dalam plasma. Penggunaan simetidin yang bersamaan dengan fenitoin atau nifedipin dapat
meningkatkan konsentrasi kedua obat ini dalam plasma.
Pemecahan Masalah
Terapi Farmakologi
Penggantian obat dilakukan pada nifedipin sebagai antihipertensi. Selain nifedipin,
penggunaan simetidin juga diganti dengan antasida yang memberi efek lokal seperti
kombinasi Alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida.
Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan mengontrol asupan dan pola makan,
diet sehat, mengurangi konsumsi garam, olahraga, menghindari merokok dan minum
alkohol serta konsumsi sayuran dan buah segar. Selain itu pengontrolan tekanan darah
harus dilakukan berkala untuk tetap menjaga tekanan darah dalam keadaan normal.
Fenitoin diberikan 2 jam sebelum atau sesudah makan untuk mencegah penurunan
bioavailibilitasnya.
19
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
1. Interaksi obat atau lebih dikenal dengan istilah drug i nteraction
, merupakan
interaksi yang terjadi antar obat yang dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi obat
dapat menghasilkan efek baik terhadap pasien, namun tidak jarang menghasilkan
efek buruk.
2. Obat yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug , sedangkan obat yang
dipengaruhi disebut sebagai object drug .
3. Dalam makalah ini ada beberapa kasus, diantaranya adalah mengenai diabetes,
hipertensi dan TBC. Ketiga penyakit tersebut merupakan salah satu penyakit
dengan kasus Interaksi Obat yang sering terjadi. Dalam terapi penyakit ini
penggunaan obatnya lebih dari satu secara bersamaan (polifarmasi), yang akan
memudahkan terjadinya Interaksi Obat.
4.2 SARAN
1. Dengan adanya kasus interaksi obat yang sering terjadi, diharapkan tenaga
kesehatan khusnya dokter dan apoteker, lebih hati-hati dalam terapi dan pemberian
obat lebih dari satu secara bersamaaan.
2. Diharapkan adanya penanganan yang paling optimal atas kasus-kasus yang sering
terjadi.
3. Dokter dan apoteker diharapkan juga bisa mencegah agar kasus-kasus interaksi
obat dapat diminimalisir dan tidak semakin parah.
20
DAFTAR PUSTAKA
Muttschler,Emest. 1999. Dinamika Obat : Farmakologi dan Toksikologi, Penerbit ITB: Bandung
21