Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KELOMPOK 1

FARMASETIKA LANJUTAN

INTERAKSI FARMAKOLOGI OBAT

Dosen Pengampu :

Apt, Sinta Ratna Dewi, S.Farm.,M.Si

Disusun Oleh :

Farhan Fadillah 1811102415035

Muhammad Fiqri Ramadan 1811102415077

Maulidina Anandamas Tasya 2011102415010

Muhammad Dony Pratama 2011102415015

Nur Laras Suci Abdullah 2011102415016

Regita Meylinda 2011102415012

Ruly Emi Ruswanti 2011102415008


Tania Nazelilla 2011102415014

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok mata kuliah Farmasetika Lanjutan, dengan judul : Interaksi
Farmakologi Obat.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan Doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.

Samarinda, 13 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Cover........................................................................................................................................i

Kata pengantar....................................................................................................................... ii

Daftar Isi..................................................................................................................................iii

BAB I Pendahuluan................................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................................2

BAB II Pembahasan............................................................................................................... 3

A. Pengertian Interaksi Obat............................................................................................. 3


B. Mekanisme Interaksi Obat............................................................................................4
C. Interaksi Farmakologi Obat Antibiotik.........................................................................6
D. Interaksi Farmakologi Obat Antiaritmia.......................................................................7
E. Interaksi Farmakologi Obat Antihipertensi.................................................................. 8
F. Interaksi Farmakologi Obat Antidepresan....................................................................9
G. Interaksi Farmakologi Obat Obat Saluran Cerna..........................................................13
H. Interaksi Farmakologi Obat Lipid-Regulating Drug.................................................... 15

BAB III Penutup..................................................................................................................... 17

A. Kesimpulan................................................................................................................... 17

Daftar Pustaka........................................................................................................................ 18

Lampiran................................................................................................................................. 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Obat merupakan substansi yang dapat mempengaruhi fungsi dari sel-sel hidup,
digunakan dalam dunia kesehatan untuk menyembuhkan, mencegah terjadinya penyakit dan
ketidakstabilan tubuh, serta memperpanjang hidup seseorang atau pasien.

Obat yang masuk kedalam tubuh melalui berbagai cara pemberian pada umumnya
mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai ditempat kerja dan
menimbulkan efek, dengan atau tanpa metabolisme/biotransformasi, terutama di hati berupa
tranformasi enzimatik, kemudian obat tersebut diekskresikan dari dalam tubuh. Aktivitas
biologis obat didalam tubuh dipengaruhi oleh fase-fase yang dilalui obat tersebut didalam
tubuh. Dikenal tiga fase perjalanan obat didalam tubuh yaitu:

1) Fase Biofarmasetika adalah waktu mulai penggunaan sediaan obat hingga


pelepasan zat aktifnya kedalam tubuh dan siap untuk diabsorpsi;
2) Fase farmakokinetik adalah fase atau tahapan yang dilalui obat setelah dilepas
dari bentuk sediaan. Fase farmakokinetik obat diawali dengan tahap absorpsi di
usus, dilanjutkan dengan tahap transportasi dalam darah, hingga tahap distribusi
obat kejaringan-jaringan dalam tubuh. Didalam darah, obat mengikat protein
darah dan obat akan dimetabolisme, terutama ketika obat melewati hepar (hati)
hingga pada akhirnya obat diekskresikan dari tubuh.
3) Fase farmakodinamik adalah fase atau tahapan terjadinya interaksi obat dengan
reseptor tubuh (Cartika, 2016).

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut
sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Palingpenting untuk diperhatikan adalah cara
pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus karena
memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200 meter persegi (panjang 280 cm,
diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili) (Noviani & Nurilawati, 2017).

1
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh, melalui
jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pada level seluler, obat diabsorpsi
melalui beberapa metode, terutama transport aktif dan transport pasif.
Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan
pada saat ini, dan berkembangnya polifarmasi maka kemungkinan terjadinya interaksi obat
makin besar. Interaksi obat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi respon tubuh
terhadap pengobatan. Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat
obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, sehingga keefektifan atau
toksisitas satu obat atau lebih berubah.
Obat dapat berinteraksi dengan obat lain maupun dengan makanan atau minuman yang
dikonsumsi oleh pasien. Hal ini dapat terjadi karena dalam kehidupan sehari-hari, tidak
jarang seorang penderita mendapat obat lebih dari satu macam obat, menggunakan obat
ethical, obat bebas tertentu selain yang diresepkan oleh dokter maupun mengkonsumsi
makanan dan minuman tertentu seperti alkohol, kafein. Perubahan efek obat akibat interaksi
obat dapat bersifat membahayakan dengan meningkatnya toksisitas obat atau berkurangnya
khasiat obat. Namun, interaksi dari beberapa obat juga dapat bersifat menguntungkan seperti
efek hipotensif diuretik bila dikombinasikan dengan beta-bloker dalam pengobatan
hipertensi (Rahmawati et al., 2006).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah adalah “Apakah terdapat Interaksi Obat Pada kelas terapi Antibiotik, antiaritmia,
antihipertensi, antidepresan, obat saluran cerna dan lipid-regulating drug?”.

C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui interaksi obat
pada kelas terapi Antibiotik, antiaritmia, antihipertensi, antidepresan, obat saluran cerna
dan lipid-regulating drug.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan perubahan efek kerja dari suatu obat karena adanya obat lain
ketika diberikan bersamaan sehingga efektifitas atau toksisitas obat lain berubah (Hanutami
NP & Dandan, 2013). Interaksi obat adalah suatu fenomena yang terjadi ketika efek
farmakodinamik dan farmakokinetik dari suatu obat berubah karena adanya pemberian obat
yang lain. Interaksi obat dikatakan sebagai suatu kejadian dimana respons farmakologis atau
klinis dari pemberian suatu kombinasi obat, tidak sama dengan efek yang diharapkan timbul
bila dua obat diberikan sendiri-sendiri. Atau kata lain mendefinisikan interaksi obat terjadi
bila efek dari satu obat berubah apabila diberikan bersama dengan obat lainnya, makanan,
minuman atau zat kimiawi lingkungan (Selvam, 2018).

Interaksi obat dibagi menjadi 3 tipe yaitu, duplikasi, opposition dan alteration.
Duplikasi yaitu ketika dua obat dengan efek yang sama diberikan secara bersamaan, maka
dapat meningkatkan resiko terjadinya efek samping. Opposition adalah ketika dua obat
dengan efek yang berlawanan diberikan secara bersamaan dapat berinteraksi yang
mengakibatkan menurunkan efektivitas salah satu obat atau keduanya. Alteration yaitu
terjadinya perubahan dari fungsi atau performa absorbsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi suatu obat akibat obat yang lain (Selvam, 2018).

Berdasarkan keparahan dari konsekuensi klinis yang dapat ditimbulkan akibat


interaksi obat, maka tingkat signifikansi interaksi obat dapat digolongkan menjadi beberapa
kelompok yaitu: ringan (minor), sedang (moderate) dan berat (severe). Kategori minor
adalah jika interaksi obat yang terjadi tidak menimbulkan masalah kesehatan yang bermakna.
Kategori moderat adalah apabila interaksi terjadi pada pasien yang menyebabkan kondisi
klinis pasien harus diawasi. Efek interaksi moderat mungkin dapat menyebabkan perawatan
tambahan atau pasien semakin lama tinggal di rumah sakit. Kategori mayor apabila interaksi
tersebut membahayakan pasien termasuk nyawa pasien dan kerusakan / kecacatan mungkin
terjadi (Selvam, 2018).

3
Beberapa penyebab yang mempengaruhi interaksi obat:

1) Pemberian dua atau lebih obat secara bersamaan


Interaksi obat terjadi apabila meresepkan lebih banyak obat pada suatu waktu, yang
disebut sebagai polifarmasi.
2) Pasien mengunjungi banyak dokter
Kadang-kadang seorang pasien tidak puas dengan satu dokter dan dapat
berkonsultasi dengan dokter lain tanpa memberitahukan tentang konsultasi dan
pengobatan yang diberikan dari dokter sebelumnya.
3) Polifarmasi irasional
Polifarmasi irasional terjadi apabila pasien menggunakan obat yang diresepkan dan
yang tidak diresepkan. Pasien mengkonsumsi obat-obatan yang tersedia tanpa resep
dokter seperti aspirin, antasid. Pada saat yang bersamaan pasien juga mendapatkan
obat lain yang diresepkan oleh dokter seperti digoksin atau tetrasiklin. Pada kondisi
seperti ini besar kemungkinan akan terjadi interaksi obat.
4) Pasien tidak mematuhi instruksi
Terkadang pasien tidak mematuhi instruksi yang diberikan oleh dokter seperti
mengkonsumsi bahan makanan yang dipantang, misalnya konsumsi keju pada saat
mendapatkan terapi obat penghambat monoamine oxidase yang dapat menyebabkan
krisis hipertensi berat (Selvam, 2018).

B. Mekanisme Interaksi Obat

Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi interaksi yang melibatkan aspek
farmakokinetika obat dan interaksi yang mempengaruhi respons farmakodinamik obat.
Interaksi farmakikinetik dapat terjadi pada beberapa tahap, meliputi absorpsi, distribusi,
metabolisme, atau ekskresi. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi di mana efek suatu
obat diubah oleh obat lain pada tempat aksi. Beberapa kejadian interaksi obat sebenarnya
dapat diprediksi sebelumnya dengan mengetahui efek farmakodinamik serta mekanisme
farmakokinetika obat-obat tersebut. Pengetahuan mengenai hal ini akan bermanfaat dalam
melakukan upaya pencegahan terhadap efek merugikan yang dapat ditimbulkan akibat
interaksi obat (Rahmawati et al., 2006).

4
Perubahan efek obat akibat interaksi obat sangat bervariasi diantara individu karena
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti dosis, kadar obat dalam darah, rute pemberian obat,
metabolisme obat, durasi terapi dan karakteristik pasien seperti umur, jenis kelamin, unsur
genetik dan kondisi kesehatan pasien (Rahmawati et al., 2006).

Mekanisme interaksi obat dapat terjadi secara farmasetika, farmakokinetik dan


farmakodinamik :

1) Interaksi farmasetika
Interaksi farmasetika atau inkompatibilitas adalah interaksi yang terjadi di luar tubuh
(sebelum obat diberikan) antara obat yang tidak dapat dicampur (inkompatibel).
Pencampuran obat demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik
atau kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan,
perubahan warna dan lain – lain. Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat .
2) Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik dapat terjadi beberapa tahap yaitu absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Jika salah satu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi,
metabolisme atau ekskresi obat kedua, sehingga kadar plasma obat kedua meningkat
atau menurun. Akibatnya terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas
obat tersebut
3) Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik berbeda dengan interaksi farmakokinetik. Interaksi
farmakodinamik terjadi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja
atau sistem fisiologik yang sama, sehingga terjadi efek yang aditif, sinergis, atau
antagonis tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam plasma atau seringkali interaksi
obat terjadi karena secara langsung berkompetisi dengan reseptor (Sa’adah et al.,
2016)
a) Interaksi sinergis
Interaksi sinergis terjadi apabila dua obat dengan efek farmakologis yang
sama diberikan bersama-sama dapat menyebabkan efek aditif. Interaksi
sinergis ini dapat terjadi pada pemberian beberapa macam obat yang
walaupun bekerja pada reseptor yang berbeda, tapi memiliki efek yang sama

5
sehingga saling memperlambat efek satu sama lain. Mekanisme ini sering
berkontribusi terhadap interaksi obat yang merugikan. Contohnya,
penggunaan obat bersamaan dengan efek depresi CNS, seperti antidepresan,
hipnotik, antiepilepsi dan antihistamin dapat menyebabkan mengantuk
berlebihan (Selvam, 2018).
b) Interaksi antagonis
Interaksi antagonis adalah obat dengan aksi antagonis pada tipe reseptor
tertentu akan berinteraksi dengan antagonis pada reseptor. Interaksi antagonis
atau berlawanan yaitu berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang
obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain (Sa’adah et al., 2016).

C. Interaksi Farmakologi Obat Antibiotik

Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia terkait
dengan banyaknya kejadian infeksi bakteri. Penggunaan obat dalam jumlah banyak juga
dapat menyebabkan meningkatnya resiko pengobatan tidak tepat (interaksi obat dan
duplikasi terapi), ketidak patuhan dan efeksamping obat. Interaksi obat terjadi jika efek
suatu obat berubah akibat adanya obatl ain, makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat
menghasilkan efek yang memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang
tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs) yang lazimnya
menyebabkan efek samping obat dan/atau toksisitas karena meningkatnya kadarobat di
dalam plasma, atau sebaliknya menurunnya kadarobat dalam plasma yang menyebabkan
hasil terapi menjadi tidak optimal. Misalnya Interaksi triazolam, midazolam (substrat)
dengan ketokonazol, eritromisin (inhibitor) akan meningkatkan kadar substrat,
meningkatkan bioavailabilitas (AUC) sebesar 12 kali, yang berakibat efek sedasi obat-obat
sedatif di atas meningkat dengan jelas (Wibowo et al., 2018)
Interaksi obat golongan antibiotik yang ditemukan berinteraksi secara farmakokinetik
pada penggunaan obat isoniazid dengan parasetamol serta rifampisin dan parasetamol pada
penderita TBC. Interaksi tersebut terjadi pada fase metabolisme yang menyebabkan
isoniazid dan rifampisin dapat meningkatkan efek obat parasetamol dengan mempengaruhi
metabolism enzim CYP2E1. Isoniazid dan rifampisin akan menginduksi sitokrom P450

6
isoenzim CYP2E1 sehingga metabolism parasetamol menjadi metabolit toksik sehingga
menyebabkan meningkatnya hepatotoksisitas (Wibowo et al., 2018).
Interaksi rifampisin dengan metilprednisolon juga termasuk dalam kategori interaksi
farmakokinetik. Mekanisme interaksi tersebut terjadi pada fase metabolisme dimana
rifampisin akan menginduksi enzim metabolisme CYP450 kortikosteroid sehingga
mengurangi efektivitas pada dapat dan bioavailability dari kortikosteroid (Wibowo et al.,
2018).
Isoniazid dan metilprednisolon juga termasuk jenis interaksi farmakokinetik karena
terjadi pada pada fase metabolisme. Penggunaan isoniazid dan kortikosteroid secara
bersamaan akan menyebabkan penurunan konsentrasi serum isoniazid melalui peningkatan
asetilasi hepatik atau renal clearance oleh isoniazid (Wibowo et al., 2018).

D. Interaksi Farmakologi Obat Antiaritmia

Aritmia atau disritmia adalah gangguan urutan irama, atau gangguan kecepatan dari
proses depolarisasi, repolarisasi, atau keduaduanya padajantung. Keadaan ini dapat disertai
dengan atau tanpa penyakit jantung, dapat juga dengan atau tidak dengan gejala klinis
(Rendayu & Sukohar, 2018).

Ada beberapa interaksi yang dapat terjadi jika propranolol dikonsumsi dengan obat-
obatan tertentu, antara lain: Peningkatan risiko semakin memburuknya kondisi aritmia jika
dikonsumsi dengan amiodarone atau antagonis kalsium.

Peningkatan risiko semakin memburuknya kondisi aritmia jika dikonsumsi dengan


amiodarone atau antagonis kalsium
Peningkatan risiko terjadinya depresi jika dikonsumsi secara berkelanjutan dengan
obat reserpine
Penurunan efek antihipertensi jika dikonsumsi dengan OAINS, seperti ibuprofen atau
indomethacin
Peningkatan kadar propranolol dalam darah dan risiko terjadinya perdarahan jika
dikonsumsi bersama dengan warfarin
Peningkatan risiko terjadinya hipotensi jika digunakan dengan obat bius
Peningkatan konsentrasi plasma dari propanolol jika dikonsumsi dengan lidocaine

7
E. Interaksi Farmakologi Obat Antihipertensi

Hipertensi merupakan suatu penyakit yang prevalensinya meningkat seiring


bertambahnya usia. Sebanyak 90% usia dewasa dengan tekanan darah normal berkembang
menjadi hipertensi tingkat satu, hipertensi dapat terjadi pada usia dewasa karena penyebab
antara lain: stres, mengkonsumsi garam berlebih, gaya hidup (olahraga tidak teratur,
merokok serta konsumsi alkohol) dan obesitas). Hipertensi dicirikan dengan peningkatan
tekanan darah diastolic dan sistolik yang intermiten atau menetap (Astuti & Endang, 2018).

Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah arteri yang persisten. Peningkatan


tekanan darah biasanya disebabkan kombinasi berbagai kelainan (multifaktorial). Bukti
epidemiologic menunjukkanaanya factor keturunan (genetik), ketegangan jiwa, factor
lingkungan, dan makanan (banyak garam dan barangkali kurang asupan kalsium) mungkin
sebagai contributor berkembangnya hipertensi (Astuti & Endang, 2018).

Interaksi yang menguntungkan misalnya penisilin dengan probenesid, probenesid


dapat menghambat sekresi penisilin ditubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penisilin
dalam plasma, kombinasi obat antihipertensi, dapat meninglatkan efektivitas dan
mengurangi efek samping. Adapula yang berakibat merugikan yaitu warfarin jika diberikan
bersama dengan fenibutason, fenibutason menghambat metabolisme warfarin sehingga
kadar warfarin dalam tubuh meningkat yang akan menyebabkan pendarahan.

Hipertensi merupakan suatu penyakit yang prevalensinya meningkat seiring


bertambahnya usia. Sebanyak 90% usia dewasa dengan tekanan darah normal berkembang
menjadi hipertensi tingkat satu, hipertensi dapat terjadi pada usia dewasa karena penyebab
antara lain: stres, mengkonsumsi garam berlebih, gaya hidup (olahraga tidak teratur,
merokok serta konsumsi alkohol) dan obesitas). Hipertensi dicirikan dengan peningkatan
tekanan darah diastolic dan sistolik yang intermiten atau menetap (Astuti & Endang, 2018).

Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah arteri yang persisten. Peningkatan


tekanan darah biasanya disebabkan kombinasi berbagai kelainan (multifaktorial). Bukti
epidemiologic menunjukkanaanya factor keturunan (genetik), ketegangan jiwa, factor

8
lingkungan, dan makanan (banyak garam dan barangkali kurang asupan kalsium) mungkin
sebagai contributor berkembangnya hipertensi.
Interaksi yang menguntungkan misalnya penisilin dengan probenesid, probenesid
dapat menghambat sekresi penisilin ditubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penisilin
dalam plasma, kombinasi obat antihipertensi, dapat meninglatkan efektivitas dan
mengurangi efek samping. Adapula yang berakibat merugikan yaitu warfarin jika diberikan
bersama dengan fenibutason, fenibutason menghambat metabolisme warfarin sehingga
kadar warfarin dalam tubuh meningkat yang akan menyebabkan pendarahan.

Ceftriaxone dengan Furosemide. Penggunaan furosemide (diuretik) bersamaan


dengan ceftriaxone (sefalosporin) dapat berpotensi mengakibatkan nefrotoksik. Furosemide
dapat meningkatkan konsentrasi plasma atau menurunkan klirens dari ceftriaxone.
Manajemen yang dilakukan adalah memonitoring fungsi renal (Bintarizki, 2016).

Furosemide dengan Digoksin. Elektrolit yang diinduksi oleh furosemide (diuretik)


dapat terganggu dan mempengaruhi digoksin (digitalis) dalam menginduksi aritmia.
Peningkatan eksresi urin dari potassium dan magnesium mempengaruhi aksi otot jantung.
Manajemen yang dapat dilakukan adalah mengukur level plasma dari potassium dan
magnesium ketika menggunakan kombinasi kedua obat ini (Bintarizki, 2016).

Aspirin dengan Digoksin. NSAIDs kemungkinan dapat meningktakan konsentrasi


plasma dari digoksin, dengan menurunkan klirens renal. Manajemen yang dilakukan adalah
memonitor efek farmakologis dari digoksin dan untuk meningkatkan level plasma.

Furosemide dengan Aspirin. Respon diuretic dari furosemide dapat terhambat pada
pasien dengan gangguan sirosis dan ascites. Dalam manajemennya tidak ada tindakan secara
umum, namun pasien dengan sirosis dan ascites yang menggunakan furosemide (diuretik)
dan menerima aspirin (salisilat) perlu diberikan peringatan (Bintarizki, 2016).

Digoksin dengan Spironolacton. Spironolacton memungkinkan dapat meminimalisir


dampak positif inotropic dari digoksin. Dalam serum kadar digoksin meningkat, serta
spironolacton juga dapat mengganggu radioimmunoassay dari digoksin. Mekanisme efek
inotropic positif dari digoksin dilemahkan oleh efek ionotropik negative spironolacton.

9
Spironolacton dapat menghalangi sekresi tubular dari digoksin, menyebabkan kadar dalam
plasma meningkat. Manajemen yang dapat dilakukan adalah perlu menyesuaikan dosis
digoksin pada pemberian bersama dengan spironolacto (Bintarizki, 2016).

Captopril dengan Diazepam. Beberapa psikotropik (diazepam) dapat menyebabkan


efek hypotensi, terutama dengan kombinasi antihipertensi (captopril). Manajemennya adalah
dengan memberikan perhatian pada pengobatan ini dengan memonitoring tekanan darahnya
selama pengobatan.

Captopril dengan Amlodipin Kalsium kanal bloker (amlodipin) dan ACE-inhibitor


(captopril) dimungkinkan dapat menyebabkan efek hypotensi. Diperlukan memonitoring
tekanan darah selama pengobatan (Bintarizki, 2016).

Aspirin dengan Amlodipin. Beberapa kalsium kanal bloker (amlodipin) dapat


menghambat siklooksigenase.Ketika NSAIDs dikombinasikan dengan amlodipin,
peningkatan tekanan darah dapat terjadi. Manajemen yang dapat dilakukan adalah
memonitoring tekanan darah selama pengobatan (Bintarizki, 2016).

Aspirin dengan Irbesartan. Penggunaan NSAIDs dapat melemahkan efek dari


antihipertensi (irbesartan) dalam reseptor antagonis angiotensis II. NSAIDs menghambat
induksi sintesis prostaglandin di renal. NSAIDs juga dapat menyebabkan retensi cairan yang
berefek pada tekanan darah.Manajemen yang dapat dilakukan adalah memonitoring tekanan
darah selama pengobatan (Bintarizki, 2016).

Furosemide dengan Ramipril. Efek dari furosemide kemungkinan dapat


menurun.Dimana mekanisme yang terjadi yaitu penghambatan angiotensin II oleh kaptopril.
Manajemen yang perlu dilakukan adlah kekeantalan cairan dalam tubuh dan berat tubuh
pasien harus dimonitor pada pasien yang mengkonsumsi furosemide bersamaan dengan
kaptopril (Bintarizki, 2016).

Interaksi yang terjadi antara amlodipin dan simvastatin yaitu interaksi


farmakokinetik. Amlodipin secara signifikan meningkatkan AUC HMG-CoA reductase
inhibitors setelah pemberian simvastatin. Karena obat ini sering digunakan bersamaan untuk
pasien dengan hipertensi dan hiperkolesterolemia (Mahamudu et al., 2017).

10
F. Interaksi Farmakologi Obat Antidepresan

Antidepresan adalah obat yang dapat digunakan untuk memperbaiki perasaan (mood)
yaitu dengan meringankan atau menghilangkan gejala keadaan murung yang disebabkan
oleh keadaan sosial – ekonomi, penyakit atau obat- obatan. Antidepresan merupakan obat-
obat yang efektif pada pengobatan depresi, meringankan gejala gangguan depresi, termasuk
penyakit psikis yang dibawa sejak lahir. Antidepresan digunakan untuk tujuan klinis dalam
sejumlah indikasi untuk mengurangi perasaan gelisah, panik, danstres, meringankan
insomnia, untuk mengurangi kejang/ serangan dalam perawatan epilepsi, menyebabkan
relaksasi otot pada kondisi ketegangan otot, untuk menurunkan tekanan darah dan atau
denyut jantung dan untuk meningkatkan mood dan atau meningkat kan kesupelan (Adelina,
2013). Penggolongan obat anti depresan mencakup 3 golongan obat yaitu:
1) Antidepresan Klasik (Trisiklik dan Tetrasiklik)
Mekanisme kerja: Obat–obat ini menghambat resorpsi dari serotonin dan
Noradrenalin dari selasinaps di ujung-ujungsaraf.
2) Antidepresan Generasi ke-2
Mekanisme kerja :
a. SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor) menghambat resorpsi dari
serotonin.
b. NaSA (Noradrenalin and Serotonin Antidepressants) tidak berkhasiat selektif,
menghambat re-uptake dari serotonin dan noradrenalin. Terdapat beberapa
indikasi bahwa obat-obat ini lebih efektif daripada SSRI.
3) Antidepresan MAO.
Monoamine Oxidase Inhibitor (MAO) merupakan suatu system enzim kompleks
yang terdistribusi luas dalam tubuh, berperan dalam dekomposisi aminbiogenik,
seperti norepinefrin, epinefrin, dopamin, serotonin. MAOI menghambat system
enzim mono aminoksidase, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi amin
endogen (Adelina, 2013).

Fluoksetin dan triheksifenidil. Triheksifenidil merupakan golongan obat


antikolinergik yang diindikasikan untuk meringankan gejala esktrapiramidal yang
ditimbulkan golongan antipsikotik. Efek samping yang ditimbulkan akibat kombinasi obat

11
pada pasien skizofrenia, seperti sindrom parkinsonisme, distonia, akatisia, diskinesia dapat
diatasi dengan penggunaan antikolinergik, seperti triheksifenidil (Puspitasari & Angeline,
2019).
Interaksi obat dengan tingkat keparahan mayor yaitu interaksi antara fluoksetin
dengan risperidon. Fluoksetin sebagai lini pertama terapi antidepresan dan risperidon
sebagai antipsikotik atipikal yang memiliki manfaat yang lebih baik dalam mengatasi gejala
positif dibandingkan antipsikotik tipikal menjadi pilihan terapi kombinasi yang sering
digunakan. Penggunaan bersama fluoksetin dengan risperidon dapat meningkatkan
konsentrasi risperidon karena fluoksetin menghambat enzim CYP2D6 yang bertangggung
jawab dalam metabolisme risperidon melalui penghambatan jalur hidroksilasi sehingga
mengurangi klirens risperidon. Dengan demikian, pemantauan kadar risperidon dalam
plasma atau efek farmakologi yang dihasilkan dan monitoring efek samping risperidon perlu
dilakukan jika kedua obat tersebut diresepkan agar toksisitas risperidon dapat dihindari.
Pasien disarankan untuk menghubungi dokter jika gejala ekstrapiramidal semakin dirasakan,
seperti tremor, kekakuan lidah, kejang atau kekakuan otot dan pergerakan yang tidak
disadari. Selain itu, penyesuaian dosis juga dapat dilakukan jika diperlukan. Pada pasien
yang mengalami akatisia dan gejala Parkinson, penambahan obat antikolinergik mungkin
dapat dipertimbangkan (Puspitasari & Angeline, 2019).
Interaksi obat dengan tingkat keparahan moderat yaitu antara obat fluoksetin dengan
klobazam. Penggunaan golongan benzodiazepin pada peresepan pasien skizofrenia
bermanfaat mengurangi tingkat ansietas dan insomnia. Mekanisme interaksi obat fluoksetin
dengan klobazam dapat meningkatkan konsentrasi plasma fluoksetin. Hal ini disebabkan
klobazam dapat menghambat enzim CYP2D6 yang berperan dalam memetabolisme
fluoksetin. Jika terapi kombinasi ini diperlukan, maka dosis fluoksetin harus diturunkan.
Monitoring efek samping juga perlu dilakukan dan pasien perlu diinformasikan Untuk
menghubungi dokter atau apoteker jika efek samping berupa kesulitan bernafas, gangguan
koordinasi, konfusi, rasa lelah berlebih, sedasi, dan produksi air liur berlebih timbul
(Puspitasari & Angeline, 2019).

12
G. Interaksi Farmakologi Obat Obat Saluran Cerna

Sistem pencernaan meliputi penerimaan makanan dan mempersiapkannya untuk


diasimilasi oleh tubuh. Saluran pencernaan terdiri atas mulut, faring, esophagus, ventrikulus,
tekak, kerongkongan lambung, usus halus dan usus besar.

Saluran cerna berfungi untuk menyerap zat makanan, zat-zat penting, garam dan air
serta mengeskresi bagian-bagian makanan yang tak diserap dan sebagian hasil akhir
metabolisme. Pencernaan makanan adalah suatu proses biokimia yang bertujuan mengolah
makanan yang dimakan menjadi zat-zat yang mudah diserap oleh selaput lendir usus, zat
tersebut dapat berlangsung secara optimal dan efisien bila dipengaruhi oleh enzim-enzim
yang dikeluarkan oleh fraktus digestivus sendiri maka enzim-enzim tersebut dapat
mempengaruhi proses pencernaan secara optimal dan efisien sehingga dibutuhkan kontak
enzim dengan makanan.

Pada kondisi tertentu dapat terjadi gangguan pada saluran pencernaan, yang salah
satunya adalah diare. Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair
atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya, lebih
dari 200 gram atau 200 mililiter per 24 jam, buang air besar tersebut dapat atau tanpa disertai
lendir dan darah. Diare dapat dibedakan berdasarkan durasinya menjadi diare akut, diare
persisten dan diare kronik. Diare akut adalah pasase abnormal feses yang semisolid atau cair
dari usus berkali-kali, berlangsung kurang dari 14 hari.

Penanganan umum dan nonspesifik pada diare akut adalah beristirahat dan mengganti
cairan yang hilang. Pengobatan simtomatik terhadap diare dapat menggunakan derivat
opioid, bismuth subsalisilat, obat pengeras tinja, dan obat antisekretorik; sedangkan
pengobatan kausatif diare adalah dengan menggunakan obat antibakteri. Dalam pengobatan
diare, masih dijumpai adanya efek samping obat, seperti ensefalopati, sehingga saat ini obat
tradisional digunakan sebagai alternatif pengobatan diare yang relatif lebih aman.

Pengobatan alternatif diare dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman obat.


Dalam dekade belakangan ini, terdapat kecenderungan masyarakat global untuk
menggunakan pengobatan herbal. Faktor - faktor yang menyebabkan masyarakat
mendayagunakan obat tradisional antara lain adalah efek samping beberapa obat sintetis dan

13
promosi melalui media massa. Penggunaan obat tradisional di Indonesia sudah lama
berlangsung. Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di
dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki 25.000 – 30.000 spesies tanaman yang merupakan
80% jenis tanaman di dunia, dan 90% jenis tanaman di Asia.

Ondansetron dengan Tramadol. Ondansetron dapat menurunkan efek dari tramadol


di beberapa pasien. Perlu dilakukan penyesuaian dosis dari tramadol. Penggunaan 5-HT3
reseptor antagonis dengan tramadol dapat meningkatkan serotonin sindrom dan juga dapat
menurunkan efikasi analgesic dari tramadol. Dalam manajemennya, pasien perlu melakukan
monitoring untuk tanda-tanda dari serotonin sindrom selama pengobatan, jika serotonin
sindrom berkembang selama terapi, semua agen serotonergik harus dihentikan (Bintarizki,
2016).

Albuterol dengan Antasida. Penggunaan antasida dapat menyebabkan kehilangan


elektrolit dan meningkatkan resiko aritmia ventricular. Elektrolit akan terganggu dan juga
termasuk hypokalemia dan hypomagnesemia. Manajemen yang dapat dilakukan adalah
memonitoring keseimbangan elektrolit secara periodic (Bintarizki, 2016).

Ondansetron dengan Antasida. Penggunaan antasida dapat menyebabkan kehilangan


elektrolit dan meningkatkan resiko aritmia ventricular. Elektrolit akan terganggu dan juga
termasuk hypokalemia dan hypomagnesemia. Manajemen yang dapat dilakukan adalah
memonitoring keseimbangan elektrolit secara periodic (Bintarizki, 2016).

Ranitidine dengan Antasida. Bioavailabilitas dari ranitidine (Histamine H2


Antagonist) kemungkinan dapat menurun, dan menurunkan pula efek farmakologisnya.
Berdasarkan data yang ada untuk manajemennya tidak ada tindakan klinik khusus yang
dibutuhkan (Bintarizki, 2016).

Antasida dan Alprazolam. Sejumlah penelitian melaporkan bahwa antasida bisa


menunda penyerapan dan mengurangi konsentrasi Cmax pada benzodiazepin.
Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi kemungkinan terkait dengan pengosongan
lambung atau kation yang mengikat benzodiazepin tersebut. Dampaknya onset
benzodiazepin tertunda dan efek klinis berkurang (Prakoso, 2016).

14
Omeprazol dan Isosorbid dinitrat. Dapat menghambat distribusi obat nitrat oral.
Efek samping antiangina mungkin akan berkurang, tetapi ini dapat memperburuk iskemik
miokard. Alternatifnya dapat mempertimbangkan terapi acid-suppresant (Prakoso, 2016)

Omeprazol dan Alprazolam. Omeprazol dapat meningkatkan efek farmakologis


benzodiazepin melalui penghambatan enzim hepatik. Penghambatan dilakukan pada
sitokrom P-450, dan P-glikoprotein. Penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan
mengurangi dosis benzodiazepin terutama pada orang tua, atau bisa menggunakan obat
golongan benzodiazepin lain yang tidak dimetabolisme melalui proses oksidasi seperti
lorazepam, oxazepam, temazepam (Prakoso, 2016).

Omeprazol dan Diazepam. Sama halnya dengan alprazolam, omeprazol juga


meningkatkan efek farmakologis dari diazepam karena berada pada satu golongan.
Omeprazol dapat meningkatkan efek farmakologis benzodiazepin melalui penghambatan
enzim hepatik. Penghambatan dilakukan pada sitokrom P450, dan P-glikoprotein.
Penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan mengurangi dosis benzodiazepin terutama pada
orang tua, atau bisa menggunakan obat golongan benzodiazepin lain yang tidak
dimetabolisme melalui proses oksidasi seperti lorazepam, oxazepam, temazepam (Prakoso,
2016).

Omeprazol dan Clopidogrel. Mekanismenya adalah PPI dapat menghambat


bioaktivasi CYP450 2C19 yang dimediasi oleh klopidogrel yang berakibat aktifitas enzim
berkurang dan bahkan tidak ada. Dampaknya dapat meningkatkan resiko serangan jantung,
strok, serta angina yang tidak stabil (Prakoso, 2016).

H. Interaksi Farmakologi Oba Lipid-Regulating Drug


Statin merupakan obat penurun kolesterol darah yang menjadi lini pertama dalam
terapi dyslipidemia dan pencegahan primer serta sekunder penyakit kardiovaskular
aterosklerosis. Obat ini bekerja dengan menghambat konversi HMG-CoA menjadi prekursor
kolesterol, mevalonat, melalui penghambatan enzim HMG-CoA reduktase3. Berbagai
penelitian randomised trial statin secara signifikan dapat menurunkan tingkat kejadian
penyakit koroner mayor, revaskularisasi koroner, dan stroke sekitar 20% per mmol/L

15
penurunan kolesterol LDL4. Penggunaan statin telah diketahui cukup aman dan efek
samping yang timbul relatif dapat ditoleransi. Namun, statin tidak terlepas dari berbagai efek
yang tidak diinginkan yang cukup serius. Efek yang tidak diinginkan (adverse effect) dari
statin yang paling sering terjadi adalah miopati. Selain itu berdasarkan penelitian klinis
diketahui peggunaan statin dapat menyebabkan efek samping lainnya antara lain hilangnya
fungsi kognisi, neuropati, disfungsi pankreas dan hati dan disfungsi seksual.
Adanya lipid dapat memicu terjadinya penggumpalan protein seperti yang terjadi pada
pembentuk plak amyloid pada penyakit Alzheimer. Ditemukan terdapat hubungan antara
kadar LDL yang tinggi dan HDL rendah dengan adanya plak amyloid dalam hasil PET. Beta
amyloid merupakan suatu protein penanda penyakit Alzheimer yang berperan dalam
patogenesis dan perkembangan penyakit Alzheimer. Protein ini terdeposit dalam otak dan
membentuk plak neuritik (Nuraliyah & Sinuraya, 2017).
Selain itu penyakit jantung koroner berkaitan erat dengan salah satu faktor risiko yaitu
hiperkolesterolemia. Penanganan hiperkolesterolemia dimulai dengan diet dan aktifitas fisik,
namun seringkali tetap diperlukan obat-obat penurun kolesterol agar kadar kolesterol sesuai
anjuran ATP III tercapai. Ezetimibe obat penurun kolesterol baru, bekerja dengan
mengurangi absorpsi lemak secara selektif di brush border. Penggunaan ezetimibe dapat
tunggal, namun lebih efektif bila dikombinasikan dengan statin, suatu penghambat enzim
HMG-CoA reduktase. Statin cukup efektif menurunkan kadar kolesterol plasma, namun
penggunaan statin dosis tinggi dapat memicu timbulnya efek samping seperti mialgia sampai
efek fatal seperti rhabdomiolisis. Ezetimibe mungkin dapat mengurangi insidens tersebut.
Pengobatan kombinasi ezetimibe dengan statin dibarengi dengan penurunan dosis statin,
sehingga kejadian efek samping statin pun dapat ditekan (Simatupang, 2007).

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Beberapa penyebab yang mempengaruhi interaksi obat:

1) Pemberian dua atau lebih obat secara bersamaan


Interaksi obat terjadi apabila meresepkan lebih banyak obat pada suatu waktu, yang
disebut sebagai polifarmasi.
2) Pasien mengunjungi banyak dokter
Kadang-kadang seorang pasien tidak puas dengan satu dokter dan dapat berkonsultasi
dengan dokter lain tanpa memberitahukan tentang konsultasi dan pengobatan yang
diberikan dari dokter sebelumnya.
3) Polifarmasi irasional
Polifarmasi irasional terjadi apabila pasien menggunakan obat yang diresepkan dan
yang tidak diresepkan. Pasien mengkonsumsi obat-obatan yang tersedia tanpa resep
dokter seperti aspirin, antasid. Pada saat yang bersamaan pasien juga mendapatkan obat
lain yang diresepkan oleh dokter seperti digoksin atau tetrasiklin. Pada kondisi seperti
ini besar kemungkinan akan terjadi interaksi obat.
4) Pasien tidak mematuhi instruksi
Terkadang pasien tidak mematuhi instruksi yang diberikan oleh dokter seperti
mengkonsumsi bahan makanan yang dipantang, misalnya konsumsi keju pada saat
mendapatkan terapi obat penghambat monoamine oxidase yang dapat menyebabkan
krisis hipertensi berat

17
DAFTAR PUSTAKA

Adelina, R. (2013). Kajian Tanaman Obat Indonesia yang Berpotensi sebagai Antidepresan.
Jurnal Kefarmasian Indonesia, 3(1), 9–18.
https://media.neliti.com/media/publications/104374-ID-kajian-tanaman-obat-indonesia-
yang-berpo.pdf
Astuti, S. D., & Endang, E. (2018). Kajian Penggunaan Antihipertensi dan Potensi Interaksi Obat
Pada Pengobatan Pasien Hipertensi Dengan Komplikasi. Jurnal Farmasi Indonesia, 15(2),
148–162. https://doi.org/10.31001/jfi.v15i2.483
Cartika, H. (2016). Kimia Farmasi. Badan PPSDM Kesehatan. Kemenkes.
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/Kimia-Farmasi-
Komprehensif.pdf
Hanutami NP, B., & Dandan, K. L. (2013). Identifikasi Potensi Interaksi Antar Obat Pada Resep
Umum Di Apotek Kimia Farma 58 Kota Bandung Bulan April 2019. Jurnal Farmaka,
4(April), 1–15.
Mahamudu, Y. S., Citraningtyas, G., & Rotinsulu, H. (2017). Kajian Potensi Interaksi Obat
Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Primer Di Instalasi Rawat Jalan Rsud Luwuk Periode
Januari – Maret 2016. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi, 6(3), 1–9.
https://doi.org/10.35799/pha.6.2017.16418
Noviani, N., & Nurilawati, V. (2017). FARMAKOLOGI (Vol. 148). Pusdik SDM Kesehatan.
BPPSDMK. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/11/Farmakologi_bab_1-3.pdf
Nuraliyah, N., & Sinuraya, R. K. (2017). Efek Neuroprotektif dan Gangguan Kognitif Statin.
Farmaka, 15(2), 115.
Prakoso, R. B. (2016). Potensi Interaksi Obat Pada Pasien Gangguan Lambung (Dispepsia,
Gastritis, Tukak Peptik) Rawat Inap Di Rumah Sakit Keluarga Sehat Pati Tahun 2015. In
Universitas Muhammadiyah Surakarta. http://waset.org/publications/14223/soil-resistivity-
data-computations-single-and-two-layer-soil-resistivity-structure-and-its-implication-on-
earthing-design%0Ahttp://www.jo-mo.com/fadoohelp/data/DotNet/Ethical
securty.pdf%0Ahttp://link.springer.com/10.10
Puspitasari, A. W., & Angeline, L. (2019). Analisis Potensi Interaksi Obat Golongan
Antidepresan pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Tahun
2016. Pharmaceutical Sciences and Research, 6(1), 13–20.
https://doi.org/10.7454/psr.v6i1.4196
Rahmawati, F., Handayani, R., & Gosal, V. (2006). Kajian retrospektif interaksi obat di Rumah
Sakit Pendidikan Dr. Sardjito Yogyakarta A retrospective study on drug interactions in Dr.
Sardjito Hospital Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia, 17(4), 177–183.

18
Rendayu, I., & Sukohar, A. (2018). Pemilihan Jenis Obat Antiaritmia yang Tepat untuk
Penyembuhan Pasien Aritmia. Majority, 7(3), 249–254.
Sa’adah, F. Z., Lestari, F., & Yuniarni, U. (2016). Kajian Probabilitas Interaksi Obat Antidiabetes
Golongan Sulfonilurea di Satu Rumah Sakit Umum Swasta Kota Bandung. Prosiding
Farmasi, 2(2), 326–331.
https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/11040/150100199.pdf?sequence=1
&isAllowed=y
Selvam, A. A. (2018). Kajian Interaksi Obat yang Diberikan Kepada Pasien Geriatrik Rawat
Jalan di Rumah Sakit Universitas Sumatera [UNIVERSITAS SUMATERA UTARA].
https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/11040/150100199.pdf?sequence=1
&isAllowed=y
Simatupang, A. (2007). EZETIMIBE, Golongan Baru Penurun Kolesterol. In Majalah
Kedokteran.
Wibowo, M. I. N. A., Pratiwi, R. A., & Sundhani, E. (2018). Studi Prospektif Potensi Interaksi
Obat Golongan Antibiotik Pada Pasien Pediatri Di Rumah Sakit Ananda Purwokerto.
15(02), 2018.

Bintarizki, Lila. (2016). Pengaruh Rekonsiliasi Obat (Medication Reconciliation) Terhadap


Potensi Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Di Rsud Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

19
LAMPIRAN

20
21
22
23

Anda mungkin juga menyukai