Anda di halaman 1dari 28

Makalah Ilmu Dasar Keperawatan II (IDK II)

PENGANTAR FARMAKOLOGI : FARMAKODINAMIK DAN


FARMAKOKINETIK

Dosen Pengampu : Dr. Yuliana Syam, S.Kep., Ns., M.Kes.

OLEH :

KELOMPOK VI

Jierlzycha Noviantri Kunang (R011191026)

Nurfadillah Dwi Lestari (R011191048)

Miftah Ainul Mughira (R011191070)

Mildasari (R011191096)

Khasatun Prasasti Saputri (R011191118)

Nur Arda (R011191136)

Sindi Setianingsih (R011191148)

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2020
i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat meyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya,
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat
pada waktunya.
Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpah nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu Dasar
Keperawatan II (IDK II) dengan judul “Pengantar Farmakologi : Farmakodinamika dan
Farmakokinetik”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dan mendukung dalam penyelesaian makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Makassar, 15 Maret 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul...................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................2
C. Tujuan...............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................3

A. Farmakologi......................................................................................3
B. Farmakodinamika..............................................................................4
C. Farmakokinetik................................................................................. 8
D. Mekanisme Kerja Obat.....................................................................14
E. Interaksi dan Efek Samping Obat.....................................................15
F. Peran Perawat dan Hak Pasien Dalam Pemberian Obat...................18

BAB III PENUTUP...............................................................................23

A. Keimpulan.........................................................................................23
B. Saran..................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA............................................................................24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Farmakologi merupakan ilmu yang sangat krusial dan penting terutama dalam
bidang kesehatan dimana farmakologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang obat
khususnya yang berkaitan dengan pengaruh sifaf fisika-kimiawinya terhadap tubuh,
respons bagian-bagian tubuh terhadap sifat obat, nasib yang dialami obat dalam
tubuh, dan kegunaan obat bagi kesembuhan. Makalah ini merupakan perkenalan awal
mengenai farmakologi, dan pentingnya mempelajari ilmu Farmakologi.
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase : farmasetik,
farmakokinetik, dan farnakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase
farmasetik obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membran
biologis. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuskular, atau intravena,
maka tidak terjadi fase farmasetik. Fase kedua yaitu farmakokinetik terdiri dari empat
proses (subfase) absorbsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi), dan
ekskresi. Dalam fase farmakodinamik atau fase ketiga, terjadi respon biologis atau
fisiologis.
Perawat berperan penting dalam memberikan obat-obatan sebagai hasil
kolaborasi dengan dokter kepada pasien. Mereka bertanggung jawab dalam
pemberian obat – obatan yang aman. Untuk itu, perawat harus mengetahui semua
komponen dari perintah pemberian obat dan mempertanyakan perintah tersebut jika
tidak lengkap atau tidak jelas atau dosis yang diberikan di luar batas yang
direkomendasikan. Secara hukum perawat bertanggung jawab jika mereka
memberikan obat yang diresepkan dan dosisnya tidak benar atau obat tersebut
merupakan kontraindikasi bagi status kesehatan klien. Sekali obat telah diberikan,
perawat bertanggung jawab pada efek obat yang diduga bakal terjadi.
Agar dapat menyusun perencanaan keperawatan atau intervensi yang tepat
berkaitan dengan pemberian obat, perawat hendaknya mempelajari tentang obat-
obatan, meliputi konsep dasar farmasetika, farmakodinamik, farmakokinetik,
penggolongan obat berdasarkan sistem tubuh, meliputi dosis, indikasi-kontra indikasi
obat, efek samping dan pertimbangan pemberian obat pada pasien. Selanjutnya, peran
kolaboratif perawat dalam pelaksanaan prinsip farmakologi serta penghitungan dosis,

1
termasuk bagaimana implikasinya dalam keperawatan juga merupakan hal penting
yang harus dikuasai oleh perawat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud farmakologi?
2. Apa yang dimaksud farmakodinamik?
3. Apa yang dimaksud dengan farmakokinetik?
4. Bagaimana mekanisme kerja obat?
5. Bagaimana interaksi dan efek samping obat?
6. Bagaimana Peran Perawat dan Hak Pasien Dalam Pemberian Obat ?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk menyelesaikan tugas
Mata Kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II (IDK II) dan untuk menambah
wawasan/pengetahuan mengenai sebagai berikut :
1. Mengetahui yang dimaksud farmakologi, farmakodinamik, dan
farmakokinetik.
2. Memahami proses mekanisme kerja obat
3. Memahami interaksi dan efek samping obat
4. Serta mengetahui Peran Perawat dan Hak Pasien Dalam Pemberian Obat

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. FARMAKOLOGI
Farmakologi berasal dari Kata “Farmakon” Yang berarti “obat” dalam arti
sempit, dan dalam makna luas adalah, “Semua zat selain makanan yang dapat
mengakibatkan perubahan susunan atau fungsi jaringan tubuh”. Logos yaitu “ilmu”.
Singkatnya Farmakologi ialah ilmu yang mempelajari cara kerja obat didalam tubuh.
Banyak definisi tentang farmakologi yang dirumuskan olah para ahli, antara
lain :
 Farmakologi dapat dirumuskan sebagai kajian terhadap bahan-bahan yang
berinteraksi dengan sistem kehidupan melalui proses kimia, khususnya
melalui pengikatan molekul-molekul regulator yang mengaktifkan/
menghambat proses-proses tubuh yang normal (Betran G. Katzung).
 Ilmu yg mempelajari hal ihwal mengenai obat, mencakup sejarah, sumber,
sifat kimia & fisik, komponen; efek fisiologi & biokimia, mekanisme kerja,
absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi & penggunaan obat.
(Farmakologi & Terapi UI).
Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan
obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan
fisiologi, resorpsi, dan nasibnya dalam organisme hidup. Dan untuk menyelidiki
semua interaksi antara obat dan tubuh manusia khususnya, serta penggunaannya pada
pengobatan penyakit disebut farmakologi klinis.
Dapat juga diartikan sebagai Farmakologi adalah ilmu yang memelajari
pengetahuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya,
kegiatan fisiologi, resorbsi, dan nasibnya dalam organisme hidup. Obat didefinisikan
sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit
atau gangguan, atau menimbulkan kondisi tertentu. Misalnya, membuat seseorang
infertile, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan. Ilmu khasiat obat ini
mencakup beberapa bagian, yaitu farmakognosi, biofarmasi, farmakokinetika, dan
farmakodinamika, toksikologi, dan farmakoterapi.

3
Farmakologi terbagi menjadi 2 subdisiplin, yaitu:
1. Farmakokinetik ialah apa yang dialami obat yang diberikan pada suatu
makhluk hidup, yaitu absorbsi (A), distribusi (D), metabolisme atau
biotransformasi (M), dan ekskresi (E);
2. Farmakodinamik merupakan pengaruh obat terhadap sel hidup, organ atau
makhluk Hidup.

B. FARMAKODINAMIKA
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular
dan mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer
atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek
sekunder mungkin diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu contoh dari obat
dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (Benadryl), suatu
antihistamin. Efek primer dari difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala
alergi, dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang
menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang
mengendarai mobil, tetapi pada saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena
menimbulkan sedasi ringan.
Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat adalah untuk meneliti efek utama obat,
mengetahui interaksi obat dengan sel dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum
efek dan respons yang terjadi.
1. Mula, Puncak, dan Lama Kerja
Mula kerja dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir
sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC= Minimum Effective
Concentration). Apabila kadar obat dalam plasma atau serum menurun di
bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak
tercapai. Namun demikian, kadar obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
toksisitas). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi
dalam darah atau plasma.
Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis.
Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain
dapat memakan waktu beberapa jam atau hari. Kurva respons-waktu menilai
tiga parameter dari kerja obat: mula kerja, puncak kerja, dan lama kerja obat.

4
Empat kategori dari kerja obat meliputi perangsangan atau penekanan,
penggantian, pencegahan atau membunuh organisme, dan iritasi.
Kerja obat yang merangsang akan meningkatkan kecepatan aktivitas
sel atau meningkatkan sekresi dari kelenjar. Obat-obat pengganti, seperti
insulin, menggantikan senyawa-senyawa tubuh yang esensial. Obat-obat yang
mencegah atau membunuh organisme dapat menghambat pertumbuhan sel
bakteria. Penisilin mengadakan efek bakterisidalnya dengan menghambat
sintesis dinding sel bakteri. Obat-obat juga dapat bekerja melalui mekanisme
iritasi. Laksatif dapat mengiritasi dinding kolon bagian dalam, sehingga
meningkatkan peristaltik dan defekasi.
Kerja obat dapat berlangsung beberapa jam, hari, minggu, atau bulan.
Lama kerja tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan
pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat. Obat- obat
dengan waktu paruh pendek, seperti penisilin G (t ½ : 2 jam), diberikan
beberapa kali sehari; obat-obat dengan waktu paruh panjang, seperti digoksin
(36 jam), diberikan sekali sehari. Jika sebuah obat dengan waktu paruh
panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi penimbunan
obat di dalam tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksisitas obat. Jika
terjadi gangguan hati atau ginjal, maka waktu paruh obat akan meningkat.
Dalam hal ini, dosis obat yang tinggi atau seringnya pemberian obat dapat
menimbulkan toksisitas obat.

2. Indeks Terapeutik dan Batasan Terapeutik


Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI),
yang perhitungannya akan diuraikan dalam bagian ini, memperkirakan batas
keamanan sebuah obat dengan menggunakan rasio yang mengukur dosis
terapeutik efektif pada 50% hewan (ED50) dan dosis letal (mematikan) pada
50% hewan (LD50). Semakin dekat rasio suatu obat kepada angka 1, semakin
besar bahaya toksisitasnya.
Obat-obat dengan indeks terapeutik rendah mempunyai batas
keamanan yang sempit. Dosis obat mungkin perlu penyesuaian dan kadar obat
dalam plasma (serum) perlu dipantau karena sempitnya jarak keamanan antara
dosis efektif dan dosis letal. Obat-obat dengan indeks terapeutik tinggi
mempunyai batas keamanan yang lebar dan tidak begitu berbahaya dalam

5
menimbulkan efek toksik. Kadar obat dalam plasma (serum) tidak perlu
dimonitor secara rutin bagi obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang
tinggi. Batas terapeutik dari konsentrasi suatu obat dalam plasma harus berada
di antara MEC (konsentrasi obat terendah dalam plasma untuk memperoleh
kerja obat yang diinginkan), dan efek toksiknya.
Jika batas terapeutik diberikan, maka ini mencakup baik bagian obat
yang berikatan dengan protein maupun yang tidak. Buku referensi obat
memberikan banyak batas terapeutik obat dalam plasma (serum). Jika batas
terapeutik sempit, seperti digoksin, 0,5-2 ng/mL (nano-gram per milimeter),
kadar dalam plasma perlu dipantau secara periodik untuk menghindari
toksisitas obat. Pemantauan batas terapeutik tidak diperlukan jika obat tidak
dianggap sangat toksik.

3. Kadar Puncak dan Terendah


Kadar obat puncak adalah konsentrasi plasma tertingi dari sebuah obat
pada waktu tertentu. Jika obat diberikan secara oral, waktu puncaknya
mungkin 1 sampai 3 jam setelah pemberian obat, tetapi jika obat diberikan
secara intravena, kadar puncaknya mungkin dicapai dalam 10 menit. Sampel
darah harus diambil pada waktu puncak yang dianjurkan sesuai dengan rute
pemberian.
Kadar terendah adalah konsentrasi plasma terendah dari sebuah obat
dan menunjukkan kecepatan eliminasi obat. Kadar terendah diambil beberapa
menit sebelum obat diberikan, tanpa memandang apakah diberikan secara oral
atau intravena. Kadar puncak menunjukkan kecepatan absorpsi suatu obat, dan
kadar terendah menunjukkan kecepatan eliminasi suatu obat. Kadar puncak
dan terendah diperlukan bagi obat-obat yang memiliki indeks terapeutik yang
sempit dan dianggap toksik, seperti aminoglikosida (antibiotika). Jika kadar
terendah terlalu tinggi, maka toksisitas akan terjadi.

4. Dosis Pembebanan
Jika ingin didapatkan efek obat yang segera, maka dosis awal yang
besar, dikenal sebagai dosis pembebanan, dari obat tersebut diberikan untuk

6
mencapai MEC yang cepat dalam plasma. Setelah dosis awal yang besar,
maka diberikan dosis sesuai dengan resep per hari. Digoksin, suatu preparat
digitalis, membutuhkan dosis pembebanan pada saat pertama kali diresepkan.
Digitalisasi adalah istilah yang dipakai untuk mencapai kadar MEC untuk
digoksin dalam plasma dalam waktu yang singkat.

5. Efek Samling, Reaksi yang Merugikan, dan Efek Toksik


Hasil yang tidak diharapkan ini disebut efek samping.
 Paliative ; Mengurangi gejala penyakit tetapi tidak berpengaruh
terhadap penyakit itu sendiri. Contoh: Morphin sulfat atau Aspirin
untuk rasa nyeri.
 Curative ; Menyembuhkan kondisi atau suatu penyakit. Contoh:
Penicilline untuk infeksi.
 Supportive ; Mendukung fungsi tubuh sampai penatalaksaan lain atau
respon tubuh ditangani. Contoh: Norepinephrine bitartrate untuk
tekanan darah rendah & aspirin untuk suhu tubuh tinggi.
 Substitutive ; Menggantikan cairan atau substansi yang ada dalam
tubuh. Contoh: Thyroxine untuk hypothryroidism, insulin untuk
diabetes mellitus.
 Chemoterapeutik ; Merusak sel-sel maligna. Contoh: Busulfan untuk
leukemia.
 Restorative ; Mengembalikan kesehatan tubuh. Contoh: vitamin &
suplement mineral.

Efek samping adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek
obat yang diinginkan. Semua obat mempunyai efek samping baik yang
diinginkan maupun tidak. Bahkan dengan dosis obat yang tepat pun, efek
samping dapat terjadi dan dapat diketahui bakal terjadi sebelumnya. Efek
samping terutama diakibatkan oleh kurangnya spesifitas obat tersebut, seperti
betanekol (Urecholine).
Efek samping biasanya dapat diprediksikan dan mungkin berbahaya
atau kemungkinan berbahaya. Contoh :Difenhidramin memiliki efek
terapeutik berupa pengurangan sekresi selaput lendir hidung sehingga
7
melegakan hidung, sedangkan efek sampingnya adalah mengantuk. Namun
ketika difenhidramin digunakan untuk mengatasi masalah sukar tidur, maka
efek terapeutik difenhidramin adalah mengantuk dan efek sampingnya adalah
kekeringan pada selaput lendir.
Efek samping terjadi karena interaksi yang rumit antara obat dengan
sistem biologis tubuh, antar individu bervariasi. Efek samping obat bisa terjadi
antara lain :
 Penggunaan lebih dari satu obat sehingga interaksi antara obat menjadi
tumpang tindih pengaruh obat terhadap organ yang sama
 Obat-obat tersebut punya efek saling berlawanan terhadap organ
tertentu.

Dalam beberapa masalah kesehatan, efek samping mungkin menjadi


diinginkan, seperti Benadryl diberikan sebelum tidur, karena efek sampingnya
yang berupa rasa kantuk menjadi menguntungkan. Tetapi pada saat-saat lain,
efek samping dapat menjadi reaksi yang merugikan. Istilah efek samping dan
reaksi yang merugikan kadang-kadang dipakai bergantian.
Reaksi yang merugikan adalah batas efek yang tidak diinginkan (yang
tidak diharapkan dan terjadi pada dosis normal) dari obat-obat yang
mengakibatkan efek samping yang ringan sampai berat, termasuk anafilaksis
(kolaps kardiovaskular). Reaksi yang merugikan selalu tidak diinginkan. Efek
toksik, atau toksisitas suatu obat dapat diidentifikasi melalui pemantauan batas
terapeutik obat tersebut dalam plasma (serum). Tetapi, untuk obat-obat yang
mempunyai indeks terapeutik yang lebar, batas terapeutik jarang diberikan.
Untuk obat-obat gang mempunyai indeks terapeutik sempit, seperti antibiotika
aminoglikosida dan antikonvulsi, batas terapeutik dipantau dengan ketat. Jika
kadar obat melebihi batas terapeutik, maka efek toksik kemungkinan besar
akan terjadi akibat dosis yang berlebih atau penumpukan obat.

C. FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek
tubuh terhadap obat (Setiawati, 2008). Dalam arti sempit farmakokinetika khususnya

8
mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya di dalam
darah dan jaringan sebagai fungsi dari waktu (Tjay dan Rahardja, 2007).
Farmakokinetik mencakup 4 proses, yakni proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Metabolisme atau biotransformasi, dan ekskresi bentuk
utuh atau bentuk aktif, merupakan proses eliminasi obat (Setiawati, 2008).

Farmakokinetika, meneliti perjalanan obat mulai dari saat pemberiannya,


bagaimana absorpsi dari usus, transpor dalam darah dan distribusinya ke tempat
kerjanya dan jaringan lain. Begitu pula bagaimana perombakannya (biotransformasi)
dan akhirnya ekskresinya oleh ginjal. Singkatnya farmakokinetika mempelajari segala
sesuatu tindakan yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat.

1. Absorpsi
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran
gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif,
atau pinositosis. Dapat juga diartikan sebagai proses masuknya obat dari
tempat pemberian ke dalam darah. Tempat pemberian obat adalah oral, kulit,
paru, otot, dan lain-lain. Tempat pemberian obat yang utama adalah per oral,
karena mempunyai tempat absorbsi yang sangat luas pada usus halus, yakni
200 m2.
Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja
permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari vili ini berkurang, karena
pengangkatan sebagian dari usus halus, maka absorpsi juga berkurang. Obat-
obat yang mempunyai dasar protein, seperti insulin dan hormon pertumbuhan,
dirusak di dalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan. Absorpsi pasif
umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke
konsentrasi rendah).
Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energi untuk menembus
membran. Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak
melawan perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat membawa
obat-obat menembus membran. Pinositosis berarti membawa obat menembus
membran dengan proses menelan. Membran gastrointestinal terutama terdiri
dari lipid (lemak) dan protein, sehingga obat-obat yang larut dalam lemak
cepat menembus membran gastrointestinal. Obat-obat yang larut dalam air
membutuhkan karier, baik berupa enzim maupun protein, untuk melalui

9
membran. Partikel-partikel besar menembus membran jika telah menjadi tidak
bermuatan (nonionized, tidak bermuatan positif atau negatif). Obat-obat asam
lemah, seperti aspirin, menjadi kurang bermuatan di dalam lambung, dan
aspirin melewati lambung dengan mudah dan cepat. Asam hidroklorida
merusak beberapa obat, seperti penisilin G; oleh karena itu, untuk penisilin
oral diperlukan dalam dosis besar karena sebagian hilang akibat cairan
lambung. Obat-obat yang larut dalam lemak dan tidak bermuatan diabsorpsi
lebih cepat daripada obat-obat yang larut dalam air dan bermuatan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, stres,
kelaparan, makanan, dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat
vasokonstriktor, atau penyakit dapat merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stres,
dan makanan yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa
pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung.
Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan mengalihkan darah lebih
banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi ke saluran
gastrointestinal.
Obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat diabsorpsi lebih
cepat di otot-otot yang memiliki lebih banyak pembuluh darah, seperti deltoid,
daripada otot-otot yang memiliki lebih sedikit pembuluh darah, sehingga
absorpsi lebih lambat pada jaringan yang demikian. Beberapa obat tidak
langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik setelah absorpsi tetapi melewati
lumen usus masuk ke dalam hati, melalui vena porta. Di dalam hati,
kebanyakan obat dimetabolisasi menjadi bentuk yang tidak aktif untuk
diekskresikan, sehingga mengurangi jumlah obat yang aktif. Proses ini, yaitu
obat melewati hati terlebih dahulu disebut sebagai efek first-pass, atau first-
pass hepatik. Contoh-contoh obat-obat dengan metabolisme first-pass adalah
warfarin (Coumadin) dan morfin. Lidokain dan nitrogliserin tidak diberikan
secara oral, karena kedua obat ini mengalami metabolisme first-pass yang
luas, sehingga sebagian besar dari dosis yang diberikan akan dihancurkan.

2. Distribusi
Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan
tubuh dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah,

10
afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, dan efek pengikatan
dengan protein. Ketika obat di distribusi di dalam plasma, kebanyakan
berikatan dengan protein (terutama albumin) dalam derajat (persentase) yang
berbeda-beda.
Obat-Obat yang lebih besar dari 80% berikatan dengan protein dikenal
sebagai obat-obat yang berikatan tinggi dengan protein. Salah satu contoh obat
yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazepam (Valium): yaitu 98%
berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein clan termasuk
obat yang berikatan sedang dengan protein.
Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif, dan bagian obat selebihnya
yang tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau
yang tidak berikatan dengan protein yang bersifat aktif dan dapat
menimbulkan respons farmakologik. Dengan menurunnya kadar obat bebas
dalam jaringan, maka lebih banyak obat yang berada dalam ikatan dibebaskan
dari ikatannya dengan protein untuk menjaga keseimbangan dari obat yang
dalam bentuk bebas. Jika ada dua obat yang berikatan tinggi dengan protein
diberikan bersama-sama maka terjadi persaingan untuk mendapatkan tempat
pengikatan dengan protein, sehingga lebih banyak obat bebas yang dilepaskan
ke dalam sirkulasi.
Demikian pula, kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat
pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam
plasma. Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena
dosis obat yang diresepkan dibuat berdasarkan persentase di mana obat itu
berikatan dengan protein. Dengan demikian penting sekali untuk memeriksa
persentase pengikatan dengan protein dari semua obat-obat yang diberikan
kepada klien untuk menghindari kemungkinan toksisitas obat.
Seorang perawat juga harus memeriksa kadar protein plasma dan
albumin plasma klien karena penurunan protein (albumin) plasma akan
menurunkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga memungkinkan lebih
banyak obat bebas dalam sirkulasi. Selanjutnya tergantung dari obat (obat-
obat) yang diberikan, banyaknya obat atau obat-obatan berada dalam sirkulasi
dapat mengancam nyawa. Abses, eksudat, kelenjar dan tumor juga
mengganggu distribusi obat. Antibiotika tidak dapat didistribusi dengan baik

11
pada tempat abses dan eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk
dalam jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata, dan otot.

3. Metabolisme atau Biotransformasi


Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran retikulum
endoplasma dan sitosol. Tempat metabolisme ekstrahepatik adalah dinding
usus, ginjal, paru, darah, otak, kulit dan lumen kolon. Tujuan metabolisme
obat adalah mengubah obat yang nonpolar menjadi polar agar dapat di
ekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini umumnya obat
diubah dari aktif menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif
(prodrugs), kurang aktif, atau menjadi toksik. Reaksi metabolisme terdiri dari
fase I dan reaksi fase II:
 Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis yang
mengubah obat menjadi lebih polar dengan akibat menjadi inaktif,
lebih aktif, atau kurang aktif.
 Reaksi fase II merupakan konjugasi dengan substrat endogen, yaitu
asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dengan
akibat obat menjadi sangat polar, dengan demikian hampir selalu tidak
aktif.
Obat dapat mengalami reaksi fase I atau fase II saja, atau reaksi fase I
diikuti oleh reaksi fase II.
Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat di-
inaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah atau ditransformasikan
oleh enzim-enzim hati menjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air
untuk diekskresikan. Ada beberapa obat ditransformasikan menjadi metabolit
aktif, sehingga menyebabkan peningkatan respons farmakologik.
Penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi
metabolisme obat. Waktu paruh, dilambangkan dengan t½, dari suatu obat
adalah waktu yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk
dieliminasi. Metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat,
contohnya, pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi
lebih panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi.

12
Jika suatu obat diberikan terus menerus, maka dapat terjadi penumpukan
obat. Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari
90% obat itu dieliminasi. Jika seorang klien mendapat 650 mg (miligram)
aspirin dan waktu paruhnya adalah 3 jam, maka dibutuhkan 3 jam untuk waktu
paruh pertama untuk mengeliminasi 325 mg, dan waktu paruh kedua (atau 6
jam) untuk mengeliminasi 162 mg berikutnya, dan seterusnya, sampai pada
waktu paruh keenam (atau 18 jam) di mana tinggal 10 mg aspirin terdapat
dalam tubuh. Waktu paruh selama 4-8 jam dianggap singkat, dan 24 jam atau
lebih dianggap panjang. Jika suatu obat memiliki waktu paruh yang panjang
(seperti digoksin, yaitu selama 36 jam), maka diperlukan beberapa hari agar
tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya. Waktu paruh obat juga
dibicarakan dalam bagian mengenai farmakodinamik, karena proses
farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.

4. Ekskresi atau Eliminasi


Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain
meliputi empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat
bebas, yang tidak berikatan, yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak
diubah, difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak
dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan ikatannya dengan protein,
maka obat menjadi bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin.
Faktor lain yang memengaruhi ekskresi obat adalah pH urin, yang bervariasi
dari 4,5 sampai 8. Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang
bersifat basa lemah. Urin yang bersifat asam akan meningkatkan eliminasi
obat-obat yang bersifat basa lemah.
Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses:
a) Filtrasi glomerulus : Filtrasi glomerulus menghasilkan ultra filtrat,
yaitu plasma minus protein. Jadi semua obat bebas akan keluar dalam
ultra filtrat, sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam darah.
b) Reabsorbsi : Reabsorbsi pasif terjadi disepanjang tubulus untuk
bentuk-bentuk nonion obat yang larut dalam lemak. Oleh karena itu,
derajat ionisasi tergantung dari pH larutan.

13
c) Sekresi aktif : Sekresi aktif dari darah menuju tubulus proksimal terjadi
melalui transporter membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP
(multidrug-resistence protein) dengan selektivitas yang berbeda, yaitu
MRP untuk anion organik dan konjugat (penisilin, probenesid,
glukoronat, dan lain-lain) dan P-gp untuk kation organik dan zat netral
(kuinidin, digoksin, dan lain-lain).

Ekskresi obat utama yang kedua adalah melalui empedu kedalam usus
dan keluar bersama feses. Obat hasil metabolisme yang dikeluarkan melalui
empedu dapat diuraikan oleh flora usus menjadi obat awal yang dapat diserap
kembali dari usus kedalam aliran darah yang disebut siklus enterohepatik.
Ekskresi obat juga dapat melalui paru (anastetik umum), ASI, saliva, keringat,
dan air mata (minor). Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas
anestetik umum.
Aspirin, suatu asam lemah, dieksresi dengan cepat dalam urin yang
basa. Jika seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium
bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice
cranberry dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga
terbentuk urin yang bersifat asam.

D. Mekanisme Kerja Obat


Mekanisme Kerja Obat Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi
dengan reseptornya pada sel organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini
mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk
obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional; hal ini
mencakup 2 konsep penting. Pertama obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal
tubuh. Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi
yang sudah ada. Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis dan
sebaliknya obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsic sehingga menimbulkan efek
dengan menghambat kerja suatu agonis disebut antagonis.
Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat digolongkan sebagai
berikut.
1. Secara fisis, misalnya anastetika terbang, laksansia, diuretika osmotic. Contoh
aktivitas anastetika inhalasi berhubungan langsung dengan sifat lipofilnya,

14
obat ini diperkirakan melarut dalam membran sel dan memengaruhi
eksitabilitas membrane, diuretic osmotic (urea, manitol), katartik osmotic
MgSO4, pengganti plasma (polivinil-pirolidon = PVP) untuk menambah
volume intravascular.
2. Secara kimiawi, misalnya antasida, zat chelator. Zat-zat chelator mengikat ion
logam berat sehingga tidak toksik lagi dan mudah diekskresikan oleh ginjal.
Contoh, penisilamin mengikat Cu2+ bebas yang menumpuk dalam hati dan
otak pasien penyakit Wilson menjadi kompleks yang larut dalam air,
dimerkaprol (BAL = British antilewisite) untuk mengikat logam berat (As, Sb,
Hg, Au, Bi) yang bebas maupun dalam kompleks organic menjadi kompleks
yang larut dalam air dan dikeluarkan melalui urin.
a. Melalui proses metabolisme. Amoksisilin mengganggu pembentukan
dinding sel kuman, 6-merkaptopurin berinkorporasi dalam asam nukleat
sehingga mengganggu fungsinya, detergen sebagai antiseptic-
desinfektan merusak integritas membrane lipoprotein.
b. Secara kompetisi Kompetisi untuk reseptor spesifik atau enzim.

E. Interaksi dan Efek Samping Obat


Interaksi obat berarti saling pengaruh antar obat sehingga terjadi perubahan
efek. Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat di
keluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi,
metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila berbagai
macam obat diberikan secara bersamaan dapat menimbulkan suatu interaksi. Selain
itu, obat juga dapat berinteraksi dengan zat makanan yang dikonsumsi bersamaan
dengan obat. Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat
lain (interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain.
Dengan kata lain interaksi obat adalah situasi di mana suatu zat memengaruhi
aktivitas obat, yaitu meningkatkan atau menurunkan efeknya, atau menghasilkan efek
baru yang tidak diinginkan atau direncanakan.
Interaksi dapat terjadi antar-obat atau antara obat dengan makanan serta obat-
obatan herbal. Secara umum, interaksi obat harus dihindari karena kemungkinan hasil
yang buruk atau tidak terduga. Interaksi dapat disebabkan karena faktor
farmakokinetika dan farmakodinamika. Interaksi pada faktor farmakokinetika
meliputi faktor absorbsi (karena adanya interaksi langsung, adanya perubahan PH

15
pada saluran cerna, dan karena faktor pengosongan lambung). Faktor lainnya adalah
pada faktor distribusi, metabolisme dan eksresi. Interaksi farmakodinamik berebeda
dengan interaksi farmakikinetik.
Pada interaksi farmakokinetik teradi perubahan kadar obat obyek oleh karena
perubahan pada proses absorbs, distribusi, metabolism, dan ekskresi obat. Pada
interaksi farmakodinamik tidak terjadi perubahan kadar obat obyek dalam darah,
tetapi yang terjadi adalah perubahan efek obat obyek yang disebabkan oleh obat
presipitan karena pengaruhnya pada tempat kerja obat, artinya ada perubahan
tindakan obat tanpa perubahan konsentrasi serum melalui faktor- faktor
farmakokinetik.
Efek samping adalah segala sesuatu khasiat yang tidak diinginkan untuk
tujuan terapi yang dimaksudkan pada dosis yang dianjurkan. Misalnya, rasa mual
pada penggunaan digoksin, ergotamine, atau estrogen sehingga pasien membutuhkan
obat tambahan untuk menghilangkan rasa mual (meklizin, proklorperazin). Kadang-
kadang efek samping merupakan kelanjutan efek utama, misalnya rasa kantuk pada
fenobarbital bila digunakan sebagai obat epilepsi.
Cara pemberian obat turut menentukan cepat atau lambatnya dan lengkap atau
tidaknya resorpsi obat oleh tubuh. Tergantung dari efek yang diinginkan, yaitu efek
sistemis (di seluruh tubuh) atau efek lokal (setempat), keadaan pasien dan sifat-sifat
fisika-kimia obat.
1. Efek Sistemis
1) Oral,
Pemberiannya melalui mulut, mudah dan aman pemakaiannya,
lazim dan praktis tidak semua obat dapat diberikan per-oral, misalnya :
Obat yang bersifat merangsang (emetin, aminofilin) atau yang
diuraikan oleh getah lambung (benzilpenisilin, insulin dan oksitoksin),
dapat terjadi inaktifasi oleh hati sebelum diedarkan ke tempat kerjanya,
dapat juga untuk mencapai efek lokal misalnya : obat cacing, obat
diagnostik untuk pemotretan lambung – usus, baik sekali untuk
mengobati infeksi usus, bentuk sediaan oral : Tablet, Kapsul, Obat
hisap, Sirup dan Tetesan.
2) Oromukosal, Pemberian melalui mukosa di rongga mulut, ada dua
macam cara yaitu :
a. Sub Lingual

16
Obat ditaruh dibawah lidah, Tidak melalui hati sehingga
tidak diinaktif, dari selaput di bawah lidah langsung ke dalam
aliran darah, sehingga efek yang dicapai lebih cepat misalnya :
Pada pasien serangan Jantung dan Asma, keberatannya kurang
praktis untuk digunakan terus menerus dan dapat merangsang
selaput lendir mulut, hanya untuk obat yang bersifat lipofil,
bentuknya tablet kecil atau spray, contoh : Isosorbid Tablet.
b. Bucal Obat diletakkan diantara pipi dan gusi, obat langsung
masuk ke dalam aliran darah, Misalnya obat untuk
mempercepat kelahiran bila tidak ada kontraksi uterus, contoh :
Sandopart Tablet.
3) Injeksi Adalah pemberian obat secara parenteral atau di bawah atau
menembus kulit / selaput lendir. Suntikan atau injeksi digunakan untuk
memberikan efek dengan cepat. Macam – macam jenis suntikan :
 Subkutan / hypodermal (s.c) : Penyuntikan di bawah kulit
 Intra muscular (i.m) : Penyuntikan dilakukan kedalam otot
 Intra vena (i.v) : Penyuntikan dilakukan di dalam pembuluh
darah
 Intra arteri (i.a) : Penyuntikan ke dalam pembuluh nadi
(dilakukan untuk membanjiri suatu organ misalnya pada
penderita kanker hati)
 Intra cutan (i.c) : Penyuntikan dilakukan di dalam kulit
 Intra lumbal : Penyuntikan dilakukan ke dalam ruas tulang
belakang (sumsum tulang belakang)
 Intra peritoneal : Penyuntikan ke dalam ruang selaput (rongga)
perut.
 Intra cardial : Penyuntikan ke dalam jantung.
 Intra pleural : Penyuntikan ke dalam rongga pleura
 Intra articuler : Penyuntikan ke dalam celah – celah sendi.
4) Implantasi
Obat dalam bentuk pellet steril dimasukkan di bawah kulit
dengan alat khusus (trocar), digunakan untuk efek yang lama.
5) Rektal

17
Pemberian obat melalui rektal atau dubur. Cara ini memiliki
efek sistemik lebih cepat dan lebih besar dibandingkan peroral dan
baik sekali digunakan untuk obat yang mudah dirusak asam lambung.
6) Transdermal
Cara pemakaian melalui permukaan kulit berupa plester, obat
menyerap secara perlahan dan kontinyu masuk ke dalam sistem
peredaran darah, langsung ke jantung.
2. Efek Lokal ( pemakaian setempat )
1) Kulit (Percutan)
Obat diberikan dengan jalan mengoleskan pada permukaan
kulit, bentuk obat salep, cream dan lotion.
2) Inhalasi
Obat disemprotkan untuk disedot melalui hidung atau mulut
dan penyerapan dapat terjadi pada selaput mulut, ternggorokkan dan
pernafasan
3) Mukosa Mata dan Telinga
Obat ini diberikan melalui selaput / mukosa mata atau telinga,
bentuknya obat tetes atau salep, obat diresorpsi ke dalam darah dan
menimbulkan efek.
4) Intra vaginal
Obat diberikan melalui selaput lendir mukosa vagina, biasanya
berupa obat antifungi dan pencegah kehamilan.
5) Intra nasal
Obat ini diberikan melalui selaput lendir hidung untuk
menciutkan selaput mukosa hidung yang membengkak, contohnya
Otrivin.

F. Peran Perawat dan Hak Pasien Dalam Pemberian Obat


Dalam menjalankan perannya, perawat menggunakan pendekatan proses
keperawatan dengan memperhatikan 7 hal benar dalam pemberian obat, yaitu :
1. Benar pasien
Klien yang benar dapat dipastikan dengan memeriksa identitas klien
dan meminta klien menyebutkan namanya sendiri. Sebelum obat diberikan,

18
identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di tempat tidur, gelang
identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau keluarganya. Jika
pasien tidak sanggup berespon secara verbal, respon non verbal dapat dipakai,
misalnya pasien mengangguk
2. Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat. Untuk menghindari kesalahan, sebelum
memberi obat kepada pasien, label obat harus dibaca tiga kali : (1) pada saat
melihat botol atau kemasan obat, (2) sebelum menuang/ mengisap obat dan (3)
setelah menuang/mengisap obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak
boleh dipakai dan harus dikembalikan ke bagian farmasi. Perawat harus ingat
bahwa obat-obat tertentu mempunyai nama yang bunyinya hampir sama dan
ejaannya mirip, misalnya digoksin dan digitoksin, quinidin dan quinine,
Demerol dan dikumaro.
3. Dosis
Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu,
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau apoteker,
sebelum dilanjutkan ke pasien.Sebelum menghitung dosis obat, perawat harus
mempunyai dasar pengetahuan mengenai rasio dan proporsi. Jika ragu-ragu,
dosis obat harus dihitung kembali dan diperiksa oleh perawat lain. Jika pasien
meragukan dosisnya perawat harus memeriksanya lagi.
Ada beberapa obat baik ampul maupun tablet memiliki dosis yang
berbeda tiap ampul atau tabletnya. Misalnya dapat dilihat pada gambar
dibawah, Diazepam Tablet, dosisnya berapa? Ini penting !! karena 1 tablet
amplodipin dosisnya ada 5 mg, ada juga 10 mg. Jadi anda harus tetap hati
tetap hati-hati dan teliti! Implikasi dalam keperawatan adalah perawat harus
menghitung dosis dengan benar.
4. Rute pemberian
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien,
kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat

19
kerja yang diinginkan. Obat dapat diberikan melalui oral, sublingual,
parenteral, topikal, rektal, inhalasi.
5. Waktu
Waktu yang benar adalah saat dimana obat yang diresepkan harus
diberikan. Dosis obat harian diberikan pada waktu tertentu dalam sehari,
seperti b.i.d (dua kali sehari), t.i.d (tiga kali sehari), q.i.d (empat kali sehari),
atau q6h (setiap 6 jam), sehingga kadar obat dalam plasma dapat
dipertahankan. Jika obat mempunyai waktu paruh (t ½) yang panjang, maka
obat diberikan sekali sehari. Obat-obat dengan waktu paruh pendek diberikan
beberapa kali sehari pada selang waktu yang tertentu.
Pemberian obat harus benar-benar sesuai dengan waktu yang
diprogramkan, karena berhubungan dengan kerja obat yang dapat
menimbulkan efek terapi dari obat.
1) Pemberian obat harus sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
2) Dosis obat harian diberikan pada waktu tertentu dalam sehari.
Misalnya seperti dua kali sehari, tiga kali sehari, empat kali sehari dan
6 kali sehari sehingga kadar obat dalam plasma tubuh dapat
diperkirakan
3) Pemberian obat harus sesuai dengan waktu paruh obat (t ½ ). Obat
yang mempunyai waktu paruh panjang diberikan sekali sehari dan
untuk obat yang memiliki waktu paruh pendek diberikan beberapa kali
sehari pada selang waktu tertentu
4) Pemberian obat juga memperhatikan diberikan sebelum atau sesudah
makan atau bersama makanan
5) Memberikanobat-obat seperti kalium dan aspirin yang dapat
mengiritasi mukosa lambung sehingga diberikan bersama-sama dengan
makanan
6) Menjadi tanggung jawab perawat untuk memeriksa apakah klien telah
dijadwalkan untuk memeriksa diagnostik, seperti tes darah puasa yang
merupakan kontraindikasi pemeriksaan obat.

Implikasi dalam keperawatan mencakup :


1) Berikan obat pada saat yang khusus. Obat-obat dapat diberikan ½ jam
sebelum atau sesudah waktu yang tertulis dalam resep.

20
2) Berikan obat-obat yang terpengaruh oleh makanan seperti captopril,
diberikan sebelum makan
3) Berikan obat-obat, seperti kalium dan aspirin, yang dapat mengiritasi
mukosa lambung, diberikan bersama-sama dengan makanan.
4) Tanggung jawab perawat untuk memeriksa apakah klien telah
dijadwalkan untuk pemeriksaan diagnostik, seperti endoskopi, tes
darah puasa, yang merupakan kontraindikasi pemberian obat.
5) Periksa tanggal kadaluarsa. Jika telah melewati tanggalnya, buang atau
kembalikan ke apotik (tergantung peraturan).
6) Antibiotika harus diberikan dalam selang waktu yang sama sepanjang
24 jam (misalnya setiap 8 jam bila di resep tertulis t.i.d) untuk menjaga
kadar terapeutik dalam dar
6. Dokumentasi
Sebagai suatu informasi yang tertulis, dokumentasi keperawatan
merupakan media komunikasi yang efektif antar profesi dalam suatu tim
pelayanan kesehatan pasien. Disamping itu dokumentasi keperawatan
bertujuan untuk perencanaan perawatan pasien sebagai indikator kualitas
pelayanan kesehatan, sumber data untuk penelitian bagi pengembangan ilmu
keperawatan, sebagai bahan bukti pertanggung jawaban dan
pertanggunggugatan pelaksanaan asuhan.
Dokumentasi merupakan suatu metode untuk mengkomunikasikan
suatu informasi yang berhubungan dengan manajemen pemeliharaan
kesehatan, termasuk pemberian obat-obatan. Dokumentasi merupakan tulisan
dan pencatatan suatu kegiatan/aktivitas tertentu secara sah/legal.
Pendokumentasian asuhan keperawatan merupakan penulisan dan pencatatan
yang dilakukan oleh perawat tentang informasi kesehatan klien termasuk data
pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi keperawatan
(Carpenito, 1998)
7. Benar dalam informasi.
Pasien harus mendapatkan informasi yang benar tentang obat yang
akan diberikan sehingga tidak ada lagi kesalahan dalam pemberian obat.
Perawat mempunyai tanggungjawab dalam melakukan pendidikan kesehatan
pada pasien, keluarga dan masyarakat luas terutama yang berkaitan dengan
obat seperti manfaat obat secara umum, penggunaan obat yang baik dan benar,

21
alasan terapi obat dan kesehatan yang menyeluruh, hasil yang diharapkan
setelah pembeian obat, efek samping dan reaksi yang merugikan dari obat,
interaksi obat dengan obat dan obat dengan makanan, perubahan-perubahan
yang diperlukan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari selama sakit, dsb

Hak Klien dalam Pemberian Obat


Hak merupakan kekuasaan/kewenangan yang dimiliki oleh seseorang atau
suatu badan hukum untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat sesuatu.
Terkait dengan pemberian obat-obatan, pasien memiliki hak sebagai berikut ;
1. Hak klien mengetahui alasan pemberian obat
Hak ini adalah prinsip dari memberikan persetujuan setelah
mendapatkan informasi (informed concent), yang berdasarkan pengetahuan
individu yang diperlukan untuk membuat suatu keputusan.
2. Hak klien untuk menolak pengobatan
Klien dapat menolak pemberian pengobatan. Adalah tanggung jawab
perawat untuk menentukan, jika memungkinkan, alasan penolakan dan
mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mengusahakan agar klien mau
menerima pengobatan. Jika suatu pengobatan ditolak, penolakan ini harus
segera didokumentasikan. Perawat yang bertanggung jawab, perawat primer,
atau dokter harus diberitahu jika pembatalan pemberian obat ini dapat
membahayakan klien, seperti dalam pemberian insulin. Tindak lanjut juga
diperlukan jika terjadi perubahan pada hasil pemeriksaan laboratorium,
misalnya pada pemberian insulin atau warfarin (Taylor, Lillis and LeMone,
1993; Kee and Hayes, 1996).

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari kajian pustaka kami, dapat disimpulkan bahwa farmakologi merupakan ilmu
yang sangat penting dimana berhubungan dengan obat-obatan. Dalam ilmu ini dipelajari
mengenai penelitian mengenai penyakit-penyakit, kemungkinan penyembuhan, penelitian
obat-obat baru, serta penelitian efek samping obat-obatan atau teknologi baru terhadap
beberapa penyakit berkaitan dengan perjalanan obat di dalam tubuh serta perlakuan tubuh
terhadapnya. Obat merupakan tiap-tiap zat kimia yang bisa mempengaruhi suatu proses
hidup pada tingkat molekuler. Dimasa lalu, farmakologi ini mencakup semua bidang ilmu
pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat-sifat fisik serta kimia, komposisi, efek-efek
biokimia dan juga fisiologi, mekanisme kerja, absorpsi, biotransformasi, eksresi, penggunaan
terapi, dan juga penggunaan lainnya dari obat.Pemberian obat harus sesuai tata cara dan
dosisnya.

B. Saran
Kami sangat mengharapkan agar pembaca dapat mengaplikasikan secara tepat
proses dan mekanisme pemberian obat. Jangan pernah lupa untuk mengecek kode BPOM,
kode expired, dan komposisi obat sebelum digunakan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Kee dan Hayes. 1996. Translation of Pharmacology a Nursing Process Approach. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC.

Kemendikbud. 2013. Dasar-Dasar Farmakologi 1. Diunduh dari:


http://repositori.kemdikbud.go.id/10435/1/DASAR-DASAR%20FARMAKOLOGI
%201.pdf (15 Maret 2020).

Kemenkes RI. 2016. Farmakologi dalam Keperawatan. Diunduh dari :


http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/Farmakologi-
dalam-Keperawatan-Komprehensif.pdf (13Maret 2020)

Kemenkes RI. 2016. Farmakologi. Diunduh dari :


http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/Farmakologi-
Komprehensif.pdf (13 Maret 2020)

Kuntarti. (n.d.) .Pengantar Farmakologi. Diunduh dari:


http://staff.ui.ac.id/system/files/users/kuntarti/material/pengantarfarmakologi.pdf (15
Maret 2020)

Nuryati. 2017. Bahan Ajar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (RMIK): Farmakologi.
Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Marega, Erich. (n.d.). Pengantar Farmakologi. Diunduh dari: :


https://www.academia.edu/11776657/pengantar_farmakologi (15 Maret 2020).

24
25

Anda mungkin juga menyukai