Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

INTERAKSI OBAT ANTI-HIV

DOSEN PENGAMPU :
Apt.Gita susanti S.Farm., M.kes

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 3

1. Delly Damayanti (482011805022) 12. Anelka (482011906008)


2. Dewi Tri Astuti (482011805025) 13. Lika (402011906045)
3. Dina Savitri (402011805027) 14. Agustina (482011906002)
4. Hengki Krisna W (482011805039) 15. Armalinda (482011906012)
5. Icha Pratiwi (482011805043) 16. Maryani (482011906053)
6. Ayu walinda (482011906015) 17. Laura risda a (482011906042)
7. Febi setia ningsih (482011906032) 18. Erma tasya (482011906029)
8. Cici windari (482011906017) 19. Iin winarsih (482011906036)
9. Juai novianti (482011906039) 20. Fitri wahyuni (48201190603)
10. Lilis kartika (482011906046) 21. Sela septiazen (482011905092
11. Lia Tri Hariani (482011805058) 22. M Fadly Dwi Ananda(482011906049)
12. M.Fernando meiko.s (482011906050)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SITI KHADIJAH


PALEMBANG TAHUN AKADEMIK 2021

1
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada kita semua hingga sampai saat ini penulis masih diberi kesempatan
untuk menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang interaksi
obat pada HIV

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mengalami hambatan akan tetapi
dengan bantuan dari berbagai pihak, kesalahan itu bisa teratasi. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini, semoga kebaikan yang dilakukan mendapatkan balasan yang
setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Sebagai penulis saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada pembaca,terima kasih.

Palembang,12 Okt 2021

Penulis

2
KATA PENGANTAR................................................................................................................2

DAFTAR ISI...............................................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................................4

1.1 Latar Belakang..........................................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................14
1.3 Tujuan ....................................................................................................................14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................15

1.1 Interaksi obat...........................................................................................................15


1.2 Pengertian TBC.......................................................................................................15
1.3 Pengertian HIV.......................................................................................................16
1.4 Interaksi obat pada pengobatan HIV dan TBC.......................................................17
1.5 Efek toksik OAT dan obat antiretrovirus yang tumpang tindih..............................17
1.6 Permasalahan farmakokinetik obat dalam pengobatan TB dengan HIV/AIDS......18
1.7 Interaksi antara obat golongan Rifamycin dengan obat antiretrovirus...................19
1.8 Dampak klinis interaksi antara Rifamycin dengan obat antiretrovirus...................19
1.9 Tata laksana penanganan interaksi antara obat golongan Rifamycin dengan obat
antiretrovirus.......................................................................................................... 20
1.10 Reaksi paradokasi (immune restorstion syndromes).............................................22
1.11 Penatalaksana pemberian obat anti tuberculosis pada penderita HIV/AIDS........24
1.12 Pencegahan TB pada HIV/AIDS..........................................................................25

BAB III PEMBAHASAN.........................................................................................................27

BAB IV KESIMPULAN..........................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................29

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila


tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman ataupun obat-
obatan. Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat dengan
bahan-bahan lain tersebut termasuk obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi
obat yang signifikan dapat terjadi jika duaatau lebih obat sekaligus dalam satu periode
(polifarmasi ) digunakanbersama-sama. Pasien yang dirawat di rumah sakit sering
mendapat terapi denganpolifarmasi (6-10 macam obat) karena sebagai subjek untuk lebih
darisatu dokter, sehingga sangat mungkin terjadi interaksi obat terutama yangdipengaruhi
tingkat keparahan penyakit atau usia.

Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan atau merugikan.Interaksi yang


menguntungkan, misalnya (1) Penicillin dengan probenesit:probenesit menghambat
sekresi penilcillin di tubuli ginjal sehinggameningkatkan kadar penicillin. dalam plasma
dan dengan demikianmeningkatkan efektifitas dalam terapi gonore; (2) Kombinasi obat
antihipertensi: meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping: (3)Kombinasi
obat anti kanker: juga meningkatkan efektifitas dan mengurangiefek samping (4)
kombinasi obat anti tuberculosis: memperlambattimbulnya resistansi kuman terhadap
obat; (5) antagonisme efek toksikobat oleh antidotnya masing-masing.

Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatantoksisitas dan/atau


pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikanterutama bila menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit(indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida
jantung, antikoagulan danobat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-
obat yang biasa digunakan bersama-sama.
Mekanisme Interaksi obat
Menurut jenisnya, interaksi obat dapat dibedakan menjadi :
1. Interaksi Obat dengan obat
o Interaksi Farmakokinetika
o Interaksi Farmakodinamika
2. Interaksi Obat dengan makanan

4
Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada berbagai tahap, meliputiabsorpsi,
distribusi, metabolism dan ekskresi. Interaksi ini meningkatkanatau mengurangi jumlah
obat yang tersedia (dalam tubuh) untukmenimbulkan efek farmakologinya. Interaksi
farmakokinetik tidak dapatdiekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat
yangberinteraksi sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obatsegolongan
terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkanvariasi sifat-sifat
farmakokinetiknya.

A. Absorpsi
Absorpsi obat tergantung pada formulasi farmasetik, pKa dankelarutan obat dalam
lemak, pH, flora usus, dan aliran darah dalam organpencernaan. Dalam hal ini perlu
dibedakan antara interaksi yangmengurangi kecepatan absorpsi dan interaksi yang
mengurangi jumlahobat yang diabsorpsi. Sebagian besar interaksi yang berkaitan
denganabsorpsi, tidak bermakna secara klinis dan dapat diatur denganmemisahkan waktu
pemberian obat.
Obat-obat yang digunakan secara oral biasanya diserap darisaluran cerna ke dalam
sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadiinteraksi selama obat melewati saluran
cerna. Absorpsi obat dapat terjadimelalui transport pasif maupun aktif, di mana sebagian
besar obatdiabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah dengan
kadar tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif terjadi
perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion dan molekul yang
larut air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi obat secara transport aktif lebih
cepat dari pada secara tansport pasif. Obat dalam bentuk tak-terion larut lemak dan
mudah berdifusi melewati membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut
lemak dan tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi fisiologi normal absorpsinya agak
tertunda tetapi tingkat absorpsinya biasanya sempurna.

Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah
terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan kadar puncak
plasma yang cepat untuk mendapatkanefek. Mekanisme interaksi akibat gangguan
absorpsi antara lain :

5
1. Interaksi langsung
Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum
absorpsi dapat mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan atau sangat
dikuangi bila obat yang berinteraksi diberikan dalam jangka waktu minimal 2 jam.

2. Perubahan pH saluran cerna


Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat adanya antasid, akan
meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam saluran cerna,
misalnya aspirin. Dengan demikian dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan
mempercepat absorpsinya. Akan tetapi, suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi
kelarutan beberapa obat yang bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran
cerna, sehingga mengurangiabsorpsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh
antasidaakan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asamsehingga
meningkatkan bioavailabilitasnya.Ketokonazol yang diminum per oral membutuhkan
medium asamuntuk melarutkan sejumlah yang dibutuhkan sehingga tidakmemungkinkan
diberikan bersama antasida, obat antikolinergik, penghambatan H 2, atau inhibitor pompa
proton (misalnyaomeprazol). Jika memang dibutuhkan, sebaiknya abat-obat inidiberikan
sedikitnya 2 jam setelah pemberian ketokonazol.

3. Pembentukan senyawa kompleks tak larut atau khelat, dan adsorsi

Interaksi antara antibiotik golongan fluorokinolon (siprofloksasin,enoksasin,


levofloksasin, lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasindan sparfloksasin) dan ion-ion
divalent dan trivalent (misalnya ionCa2+, Mg2+dan Al3+dari antasida dan obat lain)
dapatmenyebabkan penurunan yang signifikan dari absorpsi salurancerna,
bioavailabilitas dan efek terapetik, karenaterbentuknyasenyawa kompleks. Interaksi ini
juga sangat menurunkan aktivitasantibiotik fluorokuinolon. Efek interaksi ini dapat
secara signifikandikurangi dengan memberikan antasida beberapa jam sebelumatau
setelah pemberian fluorokuinolon. Jika antasida benar-benardibutuhkan, penyesuaian
terapi, misalnya penggantian denganobat-obat antagonis reseptor H2 atau inhibitor pompa
proton dapatdilakukan. Beberapa obat antidiare (yang mengandung atapulgit)menyerap
obat-obat lain, sehingga menurunkan absorpsi.

Walaupun belum ada riset ilmiah, sebaiknya interval pemakaianobat ini dengan
obat lain selama mungkin.

6
4. obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu (BAS : bileacid sequestrant)
Kolestiramin dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedudan mencegah
reabsorpsinya, akibatnya dapat terjadi ikatandengan obat-obat lain terutama yang bersifat
asam (misalnyawarfarin). Sebaiknya interval pemakaian kolestiramin ataukolestipol
dengan obat lain selama mungkin (minimal 4 jam).

5. perubahan fungsi saluran cerna (percepatan atau lambatnyapengosongan


lambung, perubahan vaksularitas atau permeabilitasmukosa saluran cerna, atau
kerusakan mukosa dinding usus).

Contoh-contoh interaksi obat pada proses absorpsi dapat dilihat pada


tabel berikut:
Obat yang Obat yang Efek interaksi
dipengaruhi mempengaruhi
digoksin Metoklopramida Absorpsi digoksin
dikurangi
Propantelin Absorpsi digoksin
Kolestiramin
ditingkatkan (karena
Tiroksin
Waefarin perubahan motilitas
usus)
Ketokonazol Antasida Absorpsi
Penghambat H2
ketokonazol dikurangi
karena disolusi yang
berkurang
Penisilamin Antasida yang Pembentuknya
mengandung Al2+, khelat penisilamin yang
Mg2-, preparat besi, kurang larut
makanan menyebabkan
nerkurangnya absorpsi
penisilamin
Penisilin Neomisin Kondisi
malabsorpsi yang
diinduksi neomisin

7
Antibiotik Antasida yg Terbentuknya
kuinolon mengandung kompleks yang sukar
Al3+,Mg2+,Fe2+, Zn, terabsorpsi
susu
Tetrasiklin Antasida yang Terbentuknya
mengandung Al3+, kompleks yang sukar
Mg2+ , Fe2+ Zn, susu terabsorpsi

Di antara mekanisme di atas, yang paling signifikan adalahpembentukan kompleks


tak larut, pembentukan khelat atau bila obatb terikat resin yang mengikat asam empedu.
Ada juga beberapa obat yangmengubah pH saluran cerna (misalnya antasida) yang
mengakibatkanperubahan bioavailabilitas obat yang signifikan.

B. Distribusi
Setelah obat diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ketempat kerja di
mana obat akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuhdan atau reseptor. Selama
berada di aliran darah, obat dapat terikat padaberbagai komponen darah terutama protein
albumin. Obat-obat larutlemak mempunyai afinitas yang tinggi pada jaringan adiposa,
sehinggaobat-obat dapat tersimpan di jaringan adiposa ini. Rendahnya aliran darahke
jaringan lemak mengakibatkan jaringan ini menjadi depot untuk obat-obat larut lemak.
Hal ini memperpanjang efek obat. Obat-obat yangsangat larut lemak misalnya golongan
fenotiazin, benzodiazepin danbarbiturat.Sejumlah obat yang bersifat asam mempunyai
afinitas terhadap
protein darah terutama albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyaiafinitas
untukberikatan dengan asam-α-glikoprotein. Ikatan proteinplasma (PPB : plasma protein
binding) dinyatakan sebagai persen yangmenunjukkan persen obat yang terikat. Obat
yang terikat albumin secarafarmakologi tidak aktif, sedangkan obat yang tidak terikat,
biasa disebut
fraksi bebas, aktif secara farmakologi. Bila dua atau lebih obat yangsangat kuat
terikatprotein digunakan bersama-sama, terjadi kompetisipengikatan pada tempat yang
sama, yang mengakibatkan terjadipenggeseran salah satu obat dari ikatan dengan protein,
dan akhirnyaterjadi peninggatan kadar obat bebas dalam darah. Bila satu obattergeser
dari ikatannya dengan protein oleh obat lain, akan terjadipeningkatan kadar obat bebas

8
yang terdistribusi melewati berbagaijaringan. Pada pasien dengan hipoalbuminemia
kadar obat bebas ataubentuk aktif akan lebih tinggi.

Asam valproat dilaporkan menggeser fenitoin dari ikatannyadengan protein dan


juga menghambat metabolisme fenitoin. Jika pasienmengkonsumsi kedua obat ini, kadar
fenitoin tak terikat akan meningkatsecara signifikan, menyebabkan efek samping yang
lebih besar.Sebaliknya, fenitoin dapat menurunkan kadar plasma asam valproat.Terapi
kombinasi kedua obat ini harus dimonitor dengan ketat sertadilakukan penyesuaian
dosis.

Obat-obat yang cenderung berinteraksi pada proses distribusi


adalah obat-obat yang :
a. persen terikat protein tinggi ( lebih dari 90%)
b. terikat pada jaringan
c. mempunyai volume distribusi yang kecil
d. mempunyai rasio eksresi hepatic yang rendah
e. mempunyai rentang terapetik yang sempit
f. mempunyai onset aksi yang cepat
g. digunakan secara intravena.

Obat-obat yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menggeser obat laindari


ikatan dengan protein adalah asam salisilat, fenilbutazon, sulfonamiddan anti-inflamasi
nonsteroid.

B. Metabolisme
Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzimsitokrom P450
monooksigenase. Induksi enzim oleh suatu obat dapatmeningkatkan kecepatan
metabolisme obat lain dan mengakibatkanpengurangan efek. Induksi enzim melibatkan
sintesis protein, jadi efekmaksimum terjadi setelah dua atau tiga minggu. Sebaliknya,
inhibisi enzimdapat mengakibatkan akumulasi dan peningkatan toksisitas obat
lain.Waktu terjadinya reaksi akibat inhibisi enzim merupakan efek langsung,biasanya
lebih cepat daripada induksi enzim.

9
Untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harusmencapai reseptor,
berarti obat harus dapat melewati membran plasma.Untuk itu obat harus larut lemak.
Metabolisme dapat mengubah senyawaaktif yang larut lemak menjadi senyawa larut air
yang tidak aktif, yangnantinya akan diekskresi terutama melalui ginjal. Obat dapat
melewati duafasemetabolisme, yaitu metabolisme fase I dan II. Pada metabolisme faseI,
terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa, dsb. oleh enzim mikrosomal hatiyang berada di
endothelium,menghasilkan metabolit obat yang lebih larutdalam air. Pada metabolisme
fase II, obat bereaksi dengan molekul yanglarut air (misalnya asam glukuronat, sulfat,
dsb) menjadi metabolit yangtidak atau kurang aktif, yang larut dalam air. Suatu senyawa
dapatmelewati satu atau kedua fasemetabolisme di atas hingga tercapai bentukyang larut
dalam air.Sebagian besar interaksi obat yang signifikan secaraklinis terjadi akibat
metabolisme fase I dari pada fase II.
Mekanisme interaksi akibat gangguan metabolisme antara lain :
1. Peningkatan metabolisme
Beberapa obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yangterlibat dalam
metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbitalmeningkatkan metabolismewarfarin
sehingga menurunkanaktivitas antikoagulannya. Pada kasus ini dosis warfarin
harusditingkatkan, tapi setelah pemakaian fenobarbital dihentikan dosiswarfarin harus
diturunkan untuk menghindari potensi toksisitas.Sebagai alternative dapat digunakan
sedative selain barbiturate,misalnya golongan benzodiazepine. Fenobarbital
jugameningkatkan metabolisme obat-obat lain seperti hormone steroid. Barbiturat lain
dan obat-obat seperti karbamazepin, fenitoin danrifampisin juga menyebabkan induksi
enzim.Piridoksin mempercepat dekarboksilasi levodopa menjadi metabolitaktifnya,
dopamine, dalam jaringan perifer. Tidak seperti levodopa,dopamine tidak dapat melintasi
sawar darah otak untukmemberikan efek antiparkinson. Pemberian karbidopa
(suatupenghambat dekarboksilasi) bersama dengan levodopa, dapatmencegah gangguan
aktivitas levodopa oleh piridoksin,

2. Penghambatan metabolisme
Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengandampak
memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yangdipengaruhi. Sebagai contoh,
alopurinol mengurangi produksi asamurat melalui penghambatan enzim ksantin
oksidase, yangmemetabolisme beberapa obat yang potensial toksis seperti

10
merkaptopurin dan azatioprin. Penghambatan ksantin oksidasedapat secara
bermakna meningkatkan efek obat-obat ini. Sehinggajika dipakai bersama alopurinol,
dosis merkaptopurin atauazatioprin harus dikurangi hingga 1/3 atau ¼ dosis biasanya.
Simetidin menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapatmeningkatkan aksi
obat-obat yang dimetabolisme melalui jalur ini(contohnya karbamazepin, fenitoin,
teofilin, warfarin dan sebagianbesar benzodiazepine). Simetidin tidak mempengaruhi
aksibenzodiazein lorazepam, oksazepam dan temazepam, yangmengalami konjugasi
glukuronida. Ranitidin mempunyai efekterhadap enzim oksidatif lebih rendah dari pada
simetidin,sedangkan famotidin dan nizatidin tidak mempengaruhi jalurmetabolisme
oksidatif. Eritromisin dilaporkan menghambat metabolisme hepatik beberapa obat seperti
karbamazepin dan teofilin sehingga meningkatkan efeknya. Obat golongan
fluorokuinolon seperti siprofloksasin juga meningkatkan aktivitas teofilin, diduga
melalui mekanisme yang sama.

D. Ekskresi
Obat dieliminasi melalui ginjal dengan filtrasi glomerulus dansekresi tubular aktif.
Jadi, obat yang mempengaruhi ekskresi obat melaluiginjal dapat mempengaruhi
konsentrasi obat lain dalam plasma. Hanyasejumlah kecil obat yang cukup larut dalam
air yang mendasarkanekskresinya melalui ginjal sebagai eliminasi utamanya, yaitu obat
yangtanpa lebih dulu dimetabolisme di hati.

Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obatdiekskresi lewat empedu


atau urin. Darah yang memasuki ginjalsepanjang arteri renal, mula-mula dikirim ke
glomeruli tubulus, dimanamolekul-molekul kecil yang cukup melewati membran
glomerular (air,garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke tubulus. Molekul-
molekulyang besar seperti protein plasma dan sel darah ditahan. Aliran darahkemudian
melewati bagian lain dari tubulus ginjal dimana transport aktifyang dapat memindahkan
obat dan metabolitnya dari darah ke filtrattubulus. Sel tubulus kemudian melakukan
transport aktif maupun pasif
(melalui difusi) untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena :
a. Perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal
b. perubahan pH urin
c. Perubahan aliran darah ginjal

11
Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja padasistem


fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang sinergistik atauantagonistik. Interaksi
farmakodinamik merupakan sebagian besar dariinteraksi obat yang penting dalam klinik.
Berbeda dengan interaksifarmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat
diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yangberinteraksi,
karena penggolongan obat memang berdasarkan perlamaanefek farmakodinamiknya.
Disamping itu, kebanyakan interaksi
farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya, karena itu dapatdihindarkan bila
dokter mengetahui.
Efek yang terjadi pada interaksi farmakodinamik yaitu :

a. Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalahsinergisme antara dua
obat yang bekerja pada sistem organ, selatau enzim yang sama dimana kekuatan obat
pertama diperkuatoleh kekuatan obat yang kedua, karena efek farmakologisnyasearah,
misalnya Sulfonamid mencegah bakteri untuk mensintesadihidrofolat, sedangkan
trimetoprim menghambat reduksidihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Kedua obat ini bila
diberikan
bersama-sama akan memiliki efek sinergistik yang kuat sebagaiobat anti
bakteri.Bila jumlah kekuatannya sama dengan jumlah kekuatan masing-masing obat
disebut adisi atau sumasi, misalnya asetosal danparasetamol. Bila jumlah kekuatannya
lebih besar dari kekuatanmasing-masing obat disebut potensiasi, misalnya, banyak
diuretikayang menurunkan kadar kalium plasma, dan yang akanmemperkuat efek
glikosid jantung yang mempermudah timbulnyatoksisitas glikosid, kemudian
Penghambat monoamin oksidase
meningkatkan jumlah noradrenalin di ujung syaraf adrenergik dankarena itu
memperkuat efek obat-obat seperti efedrin dan tiraminyang bekerja dengan cara
melepaskan noradrenalin.

b. Antagonisme
Dimana kegiatan obat pertama dikurangi atau ditiadakan samasekali oleh obat yang
kedua, karena mempunyai khasiatfarmakologi yang bertentangan, misalnya antagonis

12
reseptor beta( beta bloker) mengurangi efektifitas obat-obat bronkhodilatorseperti
salbutamol yang merupakan agonis beta reseptor. Hal inidapat disebabkan karena
mempunyai reseptor yang samasehingga terjadi persaingan ( kompetitif ).

Interaksi dengan makanan

Setiap saat, ketika suatu makanan atau minuman mengubah efeksuatu obat,
perubahan tersebut dianggap sebagai interaksi obat-makananInteraksi seperti itu bisa
terjadi. Tetapi tidak semua obat dipengaruhi olehmakanan, dan beberapa obat hanya
dipengaruhi oleh makanan tertentu.Interaksi obat-makanan dapat terjadi dengan obat
yang diresepkan olehdokter, obat yang dibeli bebas, produk herbal, dan suplemen
diet.Meskipun beberapa interaksi mungkin berbahaya atau bahkan fatal padakasus yang
langka, interaksi yang lain bisa bermanfaat dan umumnyatidak akan menyebabkan
perubahan yang berarti terhadap kesehatananda.

Salah satu cara yang paling umum terjadi, dimana makananmempengaruhi efek
obat adalah dengan mengubah cara obat tersebutdiuraikan ( dimetabolisme ) oleh tubuh.
Jenis protein yang disebut enzim,memetabolisme banyak obat. Pada sebagian besar obat,
metabolismeadalah proses yang terjadi di dalam tubuh terhadap obat dimana obatyang
semula aktif/ berkhasiat, diubah menjadi bentuk tidak aktifnyasebelum dikeluarkan dari
tubuh. Sebagian obat malah mengalami halyang sebaliknya, yakni menjadi aktif setelah
dimetabolisme, dan setelahbekerja memberikan efek terapinya, dimetabolisme lagi
menjadi bentuklain yang tidak aktif untuk selanjutnya dikeluarkan dari tubuh.
Beberapamakanan dapat membuat enzim-enzim ini bekerja lebih cepat atau lebihlambat,
baik denganmemperpendek atau memperpanjang waktu yangdilalui obat di dalam tubuh.
Jika makanan mempercepat enzim, obat akanlebih singkat berada di dalam tubuh dan
dapat menjadi kurang efekteif.Jika makanan memperlambat enzim, obat akan berada
lebih lama dalamtubuh dan dapat menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.

Makanan yang mengandung zat Tyramine ( seperti bir, anggur,alpukat, beberapa


jenis keju, dan berbagai daging olahan ) memperlambatkerja enzim yang memetabolisme
obat penghambat MAO ( kelompok obatantidepresi ) dan dapat menyebabkan efek yang
berbahaya, termasuktekanan darah tinggi yang serius. Beberapa jenis makanan
dapatmencegah obat tertentu untuk diserap ke dalam darah setelah ditelan,dan yang lain

13
sebaliknya dapat meningkatkan penyerapan obat.Contohnya, segelas susu dengan obat
antibiotik tetrasiklin, calcium yangada dalam susu akan mengikat tertrasiklin,
membentuk senyawa yangtidak mungkin dapat diserap oleh tubuh ke dalam darah.
Sehingga efekyang diharapkan dari obat tetrasiklin tidak akan terjadi. Di sisi
lain,meminum segelas jus citrus bersamaan dengan suplemen yangmengandung zat besi
akan sangat bermanfaat karena vitamin C yang adadalam jus akan meningkatkan
penyerapan zat besi. Akhirnya, beberapa
makanan benar-benar bisa mengganggu efek yang diinginkan dari obat.Contohnya,
orang yang menggunakan obat pengencer darah warfarinseharusnya tidak mengkonsumsi
secara bersamaan dengan makananyang banyak mengandung vitamin K seperti brokoli,
atau bayam.

1.2 Permasalahan
Dalam makalah ini penulis membatasi masalah dengan mengambilcontoh kasus
interaksi obat dengan obat lain dimana interaksi ditinjau dariefek merugikan yang
ditimbulkan, dan hal tersebut tidaklah mudahmengingat Kejadian interaksi obat dalam
klinis sukar diperkirakan karena :
a. Dokumentasinya masih sangat kurang
b. Seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan
akanmekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal inimengakibatkan interaksi
obat berupa peningkatan toksisitas dianggapsebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah
satu obat, sedangkaninteraksi berupa penurunan efektivitas dianggap diakibatkan
bertambahparahnya penyakit pasien
c. Kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasiindividual, di
mana populasi tertentu lebih peka misalnya pasiengeriatric atau berpenyakit parah, dan
bisa juga karena perbedaankapasitas metabolisme antar individu. Selain itu faktor
penyakit tertentuterutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah dan faktor-faktorlain
(dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberiakronik).

1.3 Tujuan
Mengetahui interaksi obat yang terjadi dalam studi kasuspengobatan penyakit TBC
dan HIV secara bersamaan.

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Interaksi Obat
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat dengan bahan-
bahan lain tersebut termasuk obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang
signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat sekaligus dalam satu periode (polifarmasi )
digunakan bersama-sama.

Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau
pengurangan efektivitas obat.Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan
batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung,
antikoagulan dan obat-obat sitostatik.Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa
digunakan bersama-sama.

2.2 Pengertian TBC


Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh
Mycobakterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan
yang terinfeksi.Mycobacterium tuberculosis adalah kuman aerob yang dapat hidup terutama
di paru / berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi.Penyakit tuberculosis
ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk
meninges, ginjal, tulang, nodus limfe.Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah
pemajanan.Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau
ketidakefektifan respon imun.

Mycobakterium tuberculosis merupakan batang aerobic tahan asam yang tumbuh


lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar UV. Pada tuberculosis, basil tuberculosis
menyebabkan suatu reaksi jaringan yang aneh di dalam paru-paru meliputi : penyerbuan
daerah terinfeksi oleh makrofag, pembentukan dinding di sekitar lesi oleh jaringan fibrosa
untuk membentuk apa yang disebut dengan tuberkel. Banyaknya area fibrosis menyebabkan
meningkatnya usaha otot pernafasan untuk ventilasi paru dan oleh karena itu menurunkan
kapasitas vital, berkurangnya luas total permukaan membrane respirasi yang menyebabkan
penurunan kapasitas difusi paru secara progresif, dan rasio ventilasi-perfusi yang abnormal di
dalam paru-paru dapat mengurangi oksigenasi darah.

15
2.3 Pengertian HIV
AIDS ( Acquired Immune Deficiency Syndrome ) adalah sekumpulan gejala dan
infeksi yang timbul karena rusaknya system kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus
HIV; atau infeksi virus-viruslain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan
lain-lain).Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (ataudisingkat HIV)
yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuhmanusia. Orang yang terkena virus ini
akan menjadi rentan terhadapinfeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun
penangananyang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namunpenyakit ini
belum benar-benar bisa disembuhkan.
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIVadalah retrovirus yang
biasanya menyerang organ-organ vital system kekebalan manusia, seperti sel T CD4+(sejenis
sel T), makrofaga, dan seldendritik. HIV merusak sel T CD4+secara langsung dan tidak
langsung,padahal sel T CD4+dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapatberfungsi baik.
Bila HIV telah membunuh sel T CD4+hingga jumlahnyamenyusut hingga kurang dari 200
per mikroliter darah, maka kekebalan ditingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi
yang disebut AIDS.Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian
timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasidengan memeriksa
jumlah sel T CD4+di dalam darah serta adanya infeksitertentu.

Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi


AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami
AIDS hanya sekitar 9,2 bulan. Namundemikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap
orang sangatbervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun.Banyak faktor
yangmempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahanmelawan HIV
(seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yangterinfeksi.Orang tua umumnya memiliki
kekebalan yang lebih lemahdaripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko
mengalamiperkembangan penyakit yang pesat.Akses yang kurang terhadapperawatan
kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, jugadapat mempercepat
perkembangan penyakit ini.Warisan genetik orangyang terinfeksi juga memainkan peran
penting.Sejumlah orang kebalsecara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki
beberapavariasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akanmenyebabkan laju
perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula.Terapi antiretrovirus yang sangat aktif

16
akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu
kemampuan penderita bertahan hidup.

2.4 Interaksi Obat pada Pengobatan HIV dan TBC


Di beberapa negara, pasien menjalani perawatan TBC bersamaandengan perawatan
HIV. Perawatan TBC menggunakan obat anti TBCrifampicin akan mengganggu kerja obat
antiretrovirus berbasis nevirapine.Obat antiretrovirus berbasis nevirapine merupakan obat
yang dipakaidalam perawatan HIV yang banyak dipakai di negara berkembang
karenaharganya yang murah.

Menurut peneliti, kedua obat ini apabila diberikan secarabersamaan akan memberikan
efek toksisitas dan interaksi obat yangberlawanan. Sebelumnya juga telah diketahui bahwa
terapi anti TBCberbasis rifampicin dapat mengurangi konsentrasi obat antiretrovirusefavirenz
dan nevirapine dalam plasma darah, namun masih belum jelas
bagaimana interaksi ini dapat mempengaruhi virus

Gambar 1.virus HIV

Dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB di Indonesia(DepKes RI 2002)


disebutkan bahwa prosedur pengobatan penderita TBdengan HIV/AIDS adalah sama dengan
TB tanpa HIV/AIDS. Namunbeberapa penelitian telah melaporkan beberapa permasalahan
yangtimbul pada pengobatan TB dengan HIV/AIDS.
Pengggunaan antiretrovirus pada penderita HIV/AIDS yang sedang dalampengobatan dengan
obat antituberkulosis (OAT) dapat menimbulkanbeberapa permasalahan yaitu adanya
tumpang tindih toksisitas dari obatantiretrovirus dan OAT, malabsorbsi OAT, interaksi OAT
dan obatantiretrovirus yang kompleks, serta adanya reaksi paradoksal.

2.4.1 Efek toksik OAT dan obat antiretrovirus yang tumpang tindih

17
Pemakaian OAT dan obat antiretrovirus secara bersamaan dapatmenyebabkan efek
samping yang sering kali sulit ditentukanpenyebabnya.Efek samping OAT sering didapatkan
pada penderita TBdengan HIV/AIDS. Obat antiretrovirus dapat juga menimbulkan
efeksamping, sehingga penggunaan kedua golongan obat-obat tersebut dapat
menyebabkan timbulnya efek samping yang saling tumpang tindih ( tabel
1). Untuk menghindari efek tersebut maka dilakukan penyederhanaanpengobatan dengan cara
menunda pemberian antiretrovirus hingga 1-2bulan untuk mempermudah deteksi dini efek
samping OAT

Tabel 1. Gambaran klinis efek samping obat yang tumpang tindih


akibat OAT lini pertama dan obat antiretrovirus
Efek samping Kemungkinan penyebab
Obat anti TB Obat-obat antiretrovirus
Skin rash Pyrizinamide, Rifampin, Nevirapine, Delavirdine,
Rifabutin, INH Efavirenz, Abacavir
Mual, muntah Pyrazinamide, Rifampin, Zidovudine, Ritonavir,
Rifabutin, INH Amprenavir, Indinavir
Hepatitis Pyrazinamide, Rifampin, Nevirapine, PI. Perbaikan
Rifabutin, INH respon setelah pemberian
antiretrovirus pada penderita
dengan hepatitis virus kronik.
Leukopenia, anemia Rifabutin, Rifampin Zidovudine

2.4.2 Permasalahan farmakokinetik obat dalam pengobatan TB dengan HIV/AIDS

Dalam pengobatan TB dengan HIV/AIDS ada 2 permasalahanmengenai


farmakokinetik obat yaitu adanya kemungkinan malabsorbsiOAT, dan adanya interaksi yang
kompleks antara obat antiretrovirusdengan Rifamycins yang merupakan obat utama untuk
pengobatan TBjangka pendek. Saat ini data yang mengenai kecenderungan malabsorbsiOAT
pada penderita HIV/AIDS masih kontroversi.Tailer S dkk (1997),dalam penelitiannya
mendapatkan bahwa konsentrasi OAT dalam serumpenderita HIV/AIDS lebih rendah.Untuk
mengatasi hal ini beberapapeneliti menganjurkan untuk melakukan monitoring konsentrasi
OATdalam darah. Walaupun demikian dari beberapa penelitian mengenai
efektifitaspengobatan TB pada HIV/AIDS dengan obat-obat lini pertama (Rifampisin,INH,

18
Ethambutol, Pirazinamid) ternyata didapatkan angka cure rate 95% yang hampir menyamai
respon pengobatan pada penderita TB tanpa HIV/AIDS. Data ini menunjukkan bahwa
standard yang ada mengenai konsentrasi OAT dalam serum pada orang yang normal tidak
dapat dipakai sebagai therapeutic ranges. Monitoring obat dianjurkan untuk dilakukan hanya
pada keadaan dimana respon terapi terhadap OAT lini pertama tidak adekuat.

2.4.3 Interaksi antara obat golongan Rifamycin dengan obat antiretrovirus

Saat ini regimen antiretrovirus biasanya terdiri dari 3 atau lebih obat dari dua atau tiga
kelas yang berbeda yaitu nucleoside analogues, non nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NNRTIs) dan protease inhibitors (PIs). Dua dari kelas ini yaitu NNRTIs dan PIs
dapat berinteraksi dengan Rifamycin. Interaksi antara obat-obat antiretrovirus dan Rifamycin
terjadi melalui sistem cytochrome P450-3A (CYP3A) yang terdapat pada dinding usus dan
hati. Rifamycin merupakan inducer CYP3A, sehingga dapat menurunkan kadar obat-obat
yang dimetabolisme oleh system enzim tersebut. Kekuatan induksi CYP3A obat-obat
golongan Rifamycin berbeda-beda.Rifampin merupakan inducer yang paling kuat kemudian
Rifapentine dengan kekuatan menengah serta Rifabutin yang paling lemah. Protease inhibitor
dan NNRTI dimetabolisme oleh CYP3A sehingga kadar kedua golongan obat tersebut dalam
darah akan dipengaruhi oleh Rifamycin.

Delavirdine dan PI merupakan inhibitor CYP3A sehingga dapat meningkatkan kadar


obat-obat yang dimetabolisme oleh sistem enzim ini. Rifabutine merupakan substrat dari
CYP3A sehingga hambatan pada CYP3A akan meningkatkan kadar Rifabutin hingga
mencapai kadar yang toksik. Sedangkan untuk Rifampin dan Rifapentin walaupun keduanya
adalah inducer CYP3A, tetapi bukan merupakan substrat enzim tersebut, sehingga hambatan
pada CYP3A tidak akan mempengaruhi kadar kedua obat tersebut.

2.4.4 Dampak klinis interaksi antara Rifamycin dengan obat antiretrovirus

Beberapa interaksi obat dari kedua golongan obat tersebut dapat menimbulkan efek
yang dramatis sehingga tidak boleh digunakan secara bersama-sama. Rifampin dapat
menyebabkan penurunan kadar obat PIs (kecuali Ritoravir) hingga 75-95%, sehingga
menyebabkan penurunan aktifitas antivirus yang nyata dan akibatnya dapat mempercepat

19
timbulnya resistensi terhadap PIs tersebut. Selain itu kadar Delavirdine akan menurun hingga
> 90% bila diberikan bersama-sama Rifampin atau Rifabutin sehingga obat antiretrovirus
tersebut tidak boleh digunakan bersama-sama dengan semua golongan Rifamycin. Sebaliknya
Rifabutin bila diberikan dengan dosis standard (300 mg/hari) bersama-sama
dengan PIs dapat menyebabkan peningkatan kadarnya hingga 2-4 kali lipat sehingga
menyebabkan efek samping. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan modifikasi
dosis Rifabutin.

2.4.5 Tatalaksana penanganan interaksi antara obat golongan Rifamycin dan


obatantiretrovirus

Jika penderita HIV/AIDS dengan infeksi TB memerlukan obat antiretrovirus maka


untuk pengobatan tuberkulosisnya sebaiknya digunakan Rifabutin.Rifabutin dapat diberikan
bersama dengan obat golongan NNRTIs (kecuali Delavirdine). Rifabutin mempunyai
efektifitas yang sama dengan Rifampin untuk pengobatan tuberkulosis dengan atau tanpa
HIV. Untuk menghindari toksisitas maka dosis harian Rifabutin harus dikurangi menjadi 150
mg/hari bila diberikan bersamaan dengan PI (kecuali Saquinavir).

Pengobatan dengan cara DOTS sangat dianjurkan dengan pemberian Rifabutin secara
intermiten. Pada pemberian Rifabutin secara intermiten yang perlu diperhatikan adalah harus
dihindarkan pemberian dosis yang tidak adekuat. Karena itu pedoman terapi yang saat ini
dianjurkan adalah Rifabutin 450 – 600 mg bila diberikan bersama Efavirenz, dan bila
diberikan 2 – 3 kali seminggu bersama dengan PI ( kecuali Ritonavir ) digunakan dosis 300
mg/hari. Bila diberikan bersama dengan Ritonavir maka dosisnya dikurangi menjadi 150 mg
2 kali seminggu ( tanpa Ritonavir dosis ini sebanding dengan Rifabutin 300 mg perhari ).

Bila Rifabutin digunakan bersama dengan 2 obat dari golongan PI atau diberikan
bersama dengan PI dan NNRTI akan terjadi interaksi obat yang lebih kompleks sehingga
menimbulkan dampak yang masih harus diteliti lebih lanjut. Untuk sementara ini dosis
Rifabutin yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Rekomendasi dosis Rifabutin dan antiretrovirus selama terapi kombinasi


Regimen Dosis Rifabutin Penyesuaian dosis

20
antiretrovirus antiretrovirus
Protase inhibitor (PI) Turun hingga 150 mg jika Nelfinavir 1250 mg tiap 12 jam
Nelfinavir, Indinavir, atau Rifabutin diberi tiap hari; Indinavir : tingkatkan sampai
Amprenavir (+2 nucleusida) 300mg untuk terapi 1000 mg tiap 8 jam (bila perlu)
intermiten Amprenavir : tetap
Saquinavir (+2 nucleusida) 300 mg /hari atau intermiten Tingkatkan sampai 1600 mg tiap
8 jam (bila perlu)
Ritonavir (+2 nucleosida PI Turunkan sampai 150 mg -
lain dengan/ atau duakali seminggu
nucleoside)
Lopinavir/ Ritonavir (+2 Turunkan sampai 150 mg -
nucleoside dengan/atau dua
suatu nonnucleosidereverse- kali seminggu
transcriptase inhibitor)
NNRTI Tingkatkan Rifabutin -
Efavirenz (+ 2 nucleoside) sampai
450-600 mg, tiap hari atau
duakali seminggu
Nevirapine ( + 2 nucleoside) 300 mg tiap hari atau -
intermiten
Nucleoside 300 mg tiap hari atau -
Dua atau triple nucleoside intermiten
(mis.
Zidovudine,Lamivudine dan
Abacavir)
PI + NNRTI 300 mg tiap hari atau Tingkatkan dosis Indinavir
Efavirenz /Nevirapine + PI intermiten seperti diatas (bila perlu)
(kec. Ritonavir)

2.4.6 Reaksi paradoksal (Immune Restoration Syndromes)

Reaksi paradoksal adalah perburukan sesaat dari gejala dan tanda- tanda manifestasi
radiologis TB yang terjadi setelah dimulainya pengobatan TB dan bukan disebabkan oleh

21
kegagalan terapi atau adanya proses sekunder. Reaksi paradoksal ini sudah mulai didapatkan
sebelum era HIV/AIDS dan pada penderita yang imunokompeten reaksi ini diduga
merupakan gambaran reaktifitas sistem imun terhadap antigen yang dilepaskan oleh kuman
TB yang mati akibat OAT. Pada era pengobatan antiretrovirus yang efektif reaksi paradoksal
ini sering di dapatkan dan umumnya terjadi setelah dimulainya pemberian obat
antiretrovirus.Berkaitan dengan waktu timbulnya maka reaksi paradoksal pada penderita HIV
ini terjadi akibat perbaikan respon imun terhadap antigen Mycobacterium.
Manifestasi reaksi paradoksal dapat ringan misalnya demam atau dapat juga berat sampai
menyebabkan gagal nafas akut.Gejala klinis reaksi paradoksal yang berkaitan dengan
pengobatan antiretrovirus adalah demam, pembesaran kelenjar getah bening, timbul infiltrat
baru atau perburukan dari infiltrat yang sudah ada sebelumnya, serositis (pleuritis
perikarditis, asites), lesi kulit dan lesi desak ruang pada susunan saraf pusat.Reaksi
paradoksal dapat juga terjadi pada penderita yang belum mendapatkan obat antiretrovirus.
Pada dua penelitian didapatkan bahwa persentase terjadinya reaksi paradoksal masing-
masing adalah 36 % ( 12 kasus dari 33 penderita) dan 32 % ( 6 kasus dan 19 penderita) pada
penderita yang mulai diterapi dengan antiretrovirus. Reaksi paradoksal tidak berkaitan
dengan regimen antiretrovirus tertentu maupun gabungan obat tertentu dan umumnya terjadi
pada penggunaan kombinasiantiretrovirus.

Sebagian besar reaksi paradoksal terjadi pada penderita HIV yanglanjut dengan
jumlah CD4 rata-rata 35 /mm3dengan rata rata jumlah RNA581.694 copies/ml.
Faktor risiko untuk terjadinya reaksi paradoksal berkaitan denganpatogenesis perbaikan
respon imun. Penderita dengan jumlah sel CD4basal yang lebih rendah mempunyai risiko
yang lebih tinggi untukterjadinya reaksi paradoksal pada SSP. Hal ini terjadi karena adanya
penyebaran kuman TB akibat jumlah sel CD4 yang rendah. Supresi HIV RNA yang lebih
berat berkaitan dengan peningkatan risiko reaksiparadoksal akibat perbaikan respon imun
yang lebih nyata. Demikian jugadengan pemberian obat antiretrovirus yang dimulai dalam 2
bulan pertamapengobatan TB akan meningkatkan risiko reaksi tersebut.

Diagnosis reaksi paradoksal seringkali dibuat setelahmenyingkirkan kemungkinan


adanya kegagalan pengobatan TB,hipersensitifitas terhadap obat, serta kemungkinan adanya
infeksi lain. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan tergantung dari gambaran klinisyang
ada. Pemeriksaan foto toraks, kultur M.TBC, aspirasi / biopsy kelenjar getah bening dapat
dilakukan sesuai indikasi.

22
Penanganan reaksi paradoksal belum diteliti secara khusus.Reaksi ringansampai sedang dapat
diatasi dengan pemberian obat antiinflamasinonsteroid. Bila reaksi paradoksal yang timbul
cukup berat misalnyapembesaran kelenjar getah bening yang nyata sehingga
menimbulkangangguan anatomis misalnya kesulitan bernafas, menelan, lesi desakruang pada
SSP dapat diatasi dengan pemberian steroid atau denganmenghentikan sementara obat
antiretrovirus.
2.4.7 Tatalaksana pemberian obat anti tuberkulosis pada penderita
HIV / AIDS

Dianjurkan untuk menggunakan regimen yang mengandung Rifamycin karena waktu


pemberiannya lebih singkat dan lebih dapat ditoleransi oleh penderita sehingga diharapkan
kegagalan pengobatan dan kekambuhan akan lebih kecil. Strategi DOTS dapat digunakan
untuk meningkatkan kepatuhan berobat penderita. Lama pemberian OAT pada penderita TB
dengan HIV/AIDS masih kontroversi. Centers of Disease Control and Prevention
menganjurkan pengobatan selama 6 bulan tetapi bila gejala klinis masih ada atau bila kultur
setelah 2 bulan terapi masih positif dianjurkan ditambah hingga total 9 bulan untuk
menghindari terjadinya interaksi antara obat anti TB dan antiretrovirus maka pemberian obat-
obat tersebut harus diatur sedemikian rupa dengan memperhatikan kondisi penderita.
(gambar1) Bila penderita dengan TB aktif barudiketahui menderita HIV maka harus
ditentukan apakah pemberianantiretrovirus harus diberikan segera atau tidak. Penderita HIV
stadiumdini (jumlah Sel CD4 > 300/mm 3) mempunyai risiko yang rendah untukterjadinya
perburukan HIV, maka untuk pengobatan TB dapat diberikanregimen OAT yangmengandung
Rifampin sementara obatantiretrovirusnya ditunda sampai pengobatan infeksi TB selesai
( bilamemungkinkan ). Sementara diberikan obat-obat OAT dilakukanpemeriksaan CD4
serial.Bahkan pada penderita dengan jumlah CD4yang rendah sekalipun pemberian
antiretrovirus sedapatmungkin/sebaiknya ditunda sampai fase inisial pengobatan TB
selesai.Penundaan ini bertujuan untuk mempermudah penatalaksanaan efeksamping OAT
yang mungkin timbul serta untuk mengurangi kemungkinantimbulnya immune
restorationsyndromes.

Pengobatan TB pada penderita HIV/AIDS yang sedang dalamterapi antiretrovirus


sedikit lebih kompleks. Bila obat antiretrovirus yangdiberikan ternyata efektif
dalammeningkatkan jumlah sel CD4 danmengurangi viral loadmaka regimen anti TB yang
digunakan adalah yangmengandung Rifabutin dengan dosis yang disesuaikan ( tabel 1), dan

23
obatantiretrovirus diteruskan. Penderita yang tidak dapat menggunakangolongan Rifamycin
karena timbul efek samping maka sebagaipenggantinya dapat digunakan Streptomisin. Bila
antiretrovirus yangdigunakan ternyata tidak efektif maka obat-obat tsb sebaiknya dihentikan
dan diberikan OAT. Obat antiretrovirus diberikan lagi setelah 2 bulanpengobatan
OAT.Regimen yang dipilih adalah yang mengandungRifabutin.Bila pada fase inisial
digunakan regimen yang mengandungRifampin maka 2 minggu sebelum pemberian
antiretrovirus Rifampinharus diganti dengan Rifabutin. Substitusi tersebut bertujuan agar
dapat
menghilangkan efek Rifampin terhadap CYP3A. Dari berbagai macamkombinasi obat
antiretrovirus yang ada saat ini, pilihan yang dianjurkanadalah mengandung Nelfinavir
ditambah dengan 2 golongan nukleosidakarena pemberiannya adalah 2x /minggu sehingga
bila terjadi interaksiobat mudah untuk diatasi.

Immune restoration syndromes sering kali ditemukan dan kadang- kadang


manifestasinya cukup berat, karena itu pasien dan dokter harussenantiasa waspada akan
kemungkinan timbulnya manisfestasi tersebut.Pasien harus segera dievaluasi setelah
pemberian antiretrovirus untukmengidentifikasi dan mengatasi gejala tersebut. Koordinasi
yang baikantara tenaga kesehatan yang bergerak dalam program pemberantasan
TB dan program perduli HIV/AIDS diperlukan selama pengobatan TB dengan HIV/AIDS.

Tabel 3. Rekomendasi tatalaksana pemberian obat-obat antiretrovirus pada


penderita HIV/AIDS dengan TB
Permasalahan Anjuran Penanganan
Efek samping yang tumpang tindih antara Tunda pemberian obat antiretrovirushingga
OAT dan obat antiretrovirus 1-2 bulan untuk
mempermudahmengidentifikasi dan
mengatasi efeksamping OAT
Interaksi antara obat-obat Gunakan Rifabutin dengan dosis yang
golonganRifamycins dengan antiretrovirus disesuaikan.
(PIs dan Gunakan Rifampin dengan Efavirenz atau
NNRTIs) Ritonavir (dengan dosis > 400 mg, 2 kali
sehari).
Komunikasi yang baik antara tenaga

24
kesehatan .
Tunda pemberian obat antiretrovirus bila
jumlah CD4 relatif tinggi ( > 300/mm3).
Reaksi paradoksal setelah pemberian obat Penderita dengan jumlah sel CD4 yang
antiretrovirus. rendah pemberian antiretrovirus ditunda
sampai infeksi TB membaik (tunda hingga
2 bulan pengobatan OAT).
Kewaspadaan penderita dan tenaga
kesehatan akan gejala reaksi paradoksal.
Membuat rencana evaluasi segera setelah
pemberian antiretrovirus untuk mendeteksi
reaksi paradoksal secara dini.

2.4.8 Pencegahan TB pada HIV/AIDS

American Thoracic Society (ATS) dan Center for Disease Control and Prevention
CDC) tahun 1999 menggunakan nomenklatur baru untuk kemoprofilaksis TB yang selama ini
digunakan yaitu pengobatan infeksi laten TB (Latent Tuberculosis Infection/LTBI). Infeksi
laten TB adalah individu dengan tes tuberkulin positif, sedangkan secara klinis, bakteriologis
dan radiologis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi TB yang aktif.Tes tuberkulin dianggap
positif pada penderita AIDS bila diameter indurasi  5 mm.

Pengobatan LTBI yang dianjurkan oleh ATS dan CDC (1999) terdiridari 2 pilihan
yang memberikan efektifitas yang sama yaitu INH 5 mg/kgBB (maksimal 300 mg) yang
diberikan selama 9 bulan dan kombinasiRifampin 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg) perhari +
Pyrazinamide 15-20mg/kgBB (maksimal 2 gr) perhari selama 2 bulan.Pemilihan jenis
obatdipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keinginan penderita, risikoefek samping
obat, kepatuhan berobat, kemampuan pengawasan, adatidaknya pengobatan dengan PIs atau
NNRTI serta jenis PIs/NNRTI yangdigunakan. Penderita yang akan mendapatkan/dalam
pengobatan denganPIs atau NNRTIs dianjurkan untuk pemberian INH, sedangkan
pemberianRifampin merupakan kontran indikasi.

25
Beberapa ahli menganjurkan pemberian Rifabutin (sebagai pengganti Rifampin) bersama
dengan Pyrazinamide untuk pengobatan LTBI padapenderita yang mendapatkan pengobatan
PI atau NNRTI. Rifabutinsetengah dosis (150 mg/hari) dapat diberikan besama dengan
Indinavir,Nelfinavir atau Amprenavir, sedangkan untuk Ritanovir dosis Rifabutin yang
diberikan adalah seperempatnya ( misalnya 150 mg selang sehariatau 3 kali seminggu). Bila
PI yang digunakan adalah Nevirapine makaRifabutin dapat diberikan dengan dosis normal,
sedangkan bila bersamadengan Efavirenz dosis Rifabutin yang diberikan harus lebih tinggi
(450-600 mg/hari). Penderita yang mendapatkan terapi kombinasi denganbeberapa macam
PIs atau kombinasi PI dengan NNRTI maka pemberianRifabutin tidak dianjurkan karena
adanya kemungkinan interaksi obat-obatyang lebih kompleks.

Untuk kemoprofilaksis yang diberikan setelah pengobatan TBdengan OAT selesai


masih perlu penelitian lebih lanjut. Salah satu penelitian yang dilakukan pada tahun 1998
terhadap 142 penderita TB dengan HIV pasca pengobatan OAT 6 bulan menunjukan bahwa
rata-rata kekambuhan pada penderita yang mendapatkan tambahan INH 300 mg/hari selama
1 tahun ternyata lebih rendah dibandingkan dengan plasebo. Penelitian ini juga menunjukan
bahwa kemoprofilaksis dengan INH pasca pengobatan TB terutama bermanfaat untuk
mencegah rekurensi pada penderita dengan riwayat HIV yang simtomatik (katagori B dan C
menurut CDC).Beberapa ahli bahkan mempertimbangkan mengenai pemberian
kemoprofilaksis INH seumur hidup (bila memungkinkan ) pasca terapi OAT untuk mencegah
kemungkinan reaktifasi endogen maupun reinfeksi eksogen.
Walaupun masih dalam perdebatan, penderita HIV dengan tes tuberkulin negatif (anergi) bila
didapatkan adanya faktor risiko untuk terkena TB misalnya riwayat kontak dengan penderita
TB aktif, tinggal didaerah dengan prevalensi TB yang tinggi, perlu dipertimbangkan
/dianjurkan untuk mendapatkan kemoprofilasis INH.

26
BAB III
PEMBAHASAN

Permasalahan kasus interaksi obat pada pengobatan TBC dan HIV hanyalah salah
satu dari sekian banyak kasus interaksi obat lainnya, baik yang sudah terdokumentasikan atau
bahkan yang belum sama sekali diketahui, mengingat obat merupakan bahan kimia yang
memungkinkan terjadinya interaksi bila tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa
makanan, minuman ataupun obat-obatan lainnya. Problema polifarmasi dalam pemberian
obat dalam penanganan penyembuhan suatu penyakit tertentu menjadi hal yang belum dapat
atau bahkan tidak dapat kita hindari. Ketidaktauan pasien yang awam terhadap hal ini
didukung kurang optimalnya sumber daya tenaga kesehatan ( tenakes ) yang ada menjadi
faktor semakin parahnya kasus interaksi obat yang terjadi, untuk kasus-kasus yang sedikit
banyak telah terdokumentasikan, sangatlah penting untuk diterapkan seorang tenakes dan
diketahui bersama dengan pasien untuk mendapatkan hasil akhir pengobatan yang aman dan
tepat guna

27
BAB IV
KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari makalah studi kasus interaksi obat ini
dipandang dari dua sisi, yakni tenakes dan pasien, dari sudut pandang tenakes, hendaknya
semakin mengoptimalkan cakrawala dan wawasan akan kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi dalam suatu pemakaian polifarmasi, mengikuti perkembangan terbaru atau bahkan
turut berperan serta dalam diskusi-diskusi ilmiah akan hal yang terkait, kemudian sosialisasi
terhadap pasien atau bahkan masyarakat juga tidak dapat dilupakan, karena pada akhirnya
masyarakat ataupun pasien menjadi partner tenakes dalam menyukseskan setiappermasalahan
dalam pengobatan dengan membekali mereka pengetahuan yang akan menjadi benteng
pertama usaha pencegahan terhadap kasus interaksi obat yang mungkin ada di lingkungan
sekitar mereka.

Sudut pandang kedua dilihat dari sisi pasien, tak dapat dipungkiripasien sebagai
pengguna jasa tenakes memiliki hak untuk bersikap kritis,dalam artian seorang pasien
diperbolehkan untuk bertanya mengenaipengobatan yang dijalaninya, termasuk obat-obatan
yang harusdikonsumsi.Menyimpan setiap dokumentasi obat-obatan termasukvitamin, jamu,
makanan kesehatan, obat tanpa resep, narkoba danlainnya yang digunakan, dalam suatu
daftar pribadi misalnya, dan bawadaftar ini setiap kali kunjungan.mungkin terlihat sepele
tetapi hal tersebutakan sangat berguna bila terjadi sesuatu hal dalam pengobatan makaakan
lebih mudah untuk ditelusuri sehingga tidak menimbulkan praduga- praduga yang justru
hanya menghantarkan pada kesalahan diagnosa.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Ganiswara, G, Sulistia., dkk. 1987. Farmakologi dan Terapi Edisi3. Bagian Farmakologi,
fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. PedomanNasional Penanggulangan
Tuberculosis, cetakan ke-7. Jakarta
3. Harkness Richard, diterjemahkan oleh Goeswin Agoes danMathilda B.Widianto. 1989.
Interaksi obat. Penerbit ITB. Bandung
4. http://www.aidsmap.com/files/file1000670.pdf
5. Aids Treatment Update Issue 88, April 2000

29

Anda mungkin juga menyukai