FARMAKOLOGI III
“ANALISA RESEP POLIFARMASI”
Oleh:
KELOMPOK B2 / MEJA 1
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat melaksanakan sebuah praktikum dan
menyelesaikannya dengan baik hingga menjadi sebuah laporan resmi praktikum farmakologi.
Laporan yang kami susun dengan sistematis dan sebaik mungkin ini bertujuan untuk
memenuhi tugas kuliah farmakologi yang ketiga yang berjudul Analisa Resep Polifarmasi
Dengan terselesainya laporan resmi praktikum ini, maka tidak lupa kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan
laporan ini, khususnya kepada dosen dan asisten laboratorium yang telah membimbing kami
dalam praktikum.
Demikian laporan yang kami buat, mohon kritik dan sarannya atas kekurangan dalam
penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi
kami selaku penulis.
Medan, 20 September 2019
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.2 Tujuan...........................................................................................................................2
3.1 Kasus............................................................................................................................9
3.2 Pengamatan...................................................................................................................10
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan...................................................................................................................18
4.2 Saran.............................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Obat yang masuk ke tubuh kita baik melalui enternal, parenteral dan topikal akan
mengalami interaksi. Interaksi yang terjadi dapat dengan makanan, zat kimia dari
lingkungan maupun dengan obat lainnya. Yang akan dibahas lebih lanjut dalam
praktikum ini adalah interaksi antara obat yang dapat terjadi manakala beberapa jenis obat
diberikan secara bersamaan atau yang sering disebut juga polifarmasi.
Peresepan secara polifarmasi menyebabkan kemungkinan terjadinya interaksi
obat baik secara farmakokinetika dan farmakodinamika semakin besar untuk terjadi.
Interaksi obat dapat bersifat menguntungkan bila interaksi yang terjadi bersifat sinergisme
dan juga merugikan bila bersifat antagonisme (saling meniadakan).
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat lain
(precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang
memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki
(Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs) yang lazimnya menyebabkan efek
samping obat dan/atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau
sebaliknya menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi
tidak optimal. Sejumlah besar obat baru yang dilepas di pasaran setiap tahunnya
menyebabkan munculnya interaksi baru antar obat akan semakin sering terjadi.
Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat di
keluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi,
metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi.Dalam proses tersebut, bila berbagai
macam obat diberikan secarabersamaan dapat menimbulkan suatu interaksi. Selain itu,
obat juga dapat berinteraksi dengan zat makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan
obat. (Neal, 2006).
Interaksi yang terjadi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua,yaitu interaksi
farmakodinamik dan interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi
antar obat (yang diberikan berasamaan) yang bekerja pada reseptor yang sama sehingga
menimbulkan efek sinergis atau antagonis. Interaksi farmakokinetik adalah interaksi antar
dua atau lebih obat yang diberikan bersamaan dan saling mempengaruhidalam proses
1
ADME (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi) sehingga dapat meningkatkan
atau menurunkan salah satu kadar obat dalam darah.
Pasien yang menerima lebih dari satu obat yang berpotensi mengalami Drugs- drugs
Interactions (DDI’s) harus menjadi perhatian tenaga kesehatan terutama bagi penulis
resep (dokter) dan apoteker dalam upaya meningkatkan efektivitas terapi dan
menghindari terjadinya efek obat yang tidak diinginkan.
Informasi mengenai seberapa sering seseorang mengalami risiko efek samping karena
interaksi obat, dan seberapa jauh risiko efek samping dapat dikurangi diperlukan jika
akan mengganti obat yang berinteraksi dengan obat alternatif. Dengan mengetahui
bagaimana mekanisme interaksi antar obat, dapat diperkirakan kemungkinan efek
samping yang akan terjadi dan melakukan antisipasi.
1.2. Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-related
problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat
mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika
atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang
berinteraksi (Piscitelli, 2005). Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama
dapat berubah efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat
potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek
lainnya (BNF 58, 2009). Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran
obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya.
Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang
lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley,
2008). Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas
dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung,
antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawati, 2007).
1. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah
obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya (BNF 58, 2009). Interaksi
farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :
3
a. Interaksi pada absorbsi obat
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat
terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan
oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter
yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat
oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi
(Stockley, 2008).
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk
pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya,
tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik.
Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh,
antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah ion logam divalen
dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks
yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008). 25
Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-
obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi.
Propantelin misalnya, menghambat pengosongan lambung dan mengurangi
penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek
sebaliknya (Stockley, 2008).
Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat
ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah Pglikoprotein.
Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi
protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati digoksin
(Stockley, 2008).
4
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan
sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008).
Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi.
Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya
diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan
protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat
reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang
tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi
(Stockley, 2008).
Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi
protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa
obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk
inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak,
yang dapat meningkatkan efek samping CNS (Stockley, 2008).
Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah
dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi senyawa lipid
kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian,
banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya
untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme,
biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadangkadang detoksifikasi. Beberapa
metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi
terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum
endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang
pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan
menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan
5
terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai
glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi
oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan
peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama,
alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga
meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).
6
Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini,
sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa
rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya
(Stockley, 2008).
i. Perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian
besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat berdifusi
ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari
tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan
demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk
terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).
Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal
dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid
mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan meningkatnya
pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal, sekarang diketahui
bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan
transporter anion organik (OATs) (Stockley, 2008).
2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem
reseptor, yang dapat bersifat sinergik atau antagonistik. Yang termasuk dalam interaksi
farmakodinamik, yaitu interaksi pada reseptor, interaksi fisiologik perubahan dalam
kesetimbangan cairan elektroit, gangguan mekanisme ambilan amin di ujung saraf
adrenergik, interaksi dengan penghambat Mono Amin Oksidase (MAO).
Interaksi pada reseptor
7
a. Untuk obat yang memiliki reseptor yang berbeda
1. Adisi (1+1)=2
Sediaan kombinasi yang memiliki efek yang sama jika diberikan secara
terpisah.
Contoh : Ace-inhibitor + Diuretics
2. Sinergisme (1+1)=3
Obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi lebih bagus dibandingkan
terpisah. Efeknya bisa saling menguntungkan atau merugikan.
Contoh : - Cotrimoxazole : mengandung 2 antibiotik dalam 1 sediaan
- Aspirin + NSAID = sinergisme negatif
3. Potensiasi (0+1)=2
Obat yang satu awalnya tidak memiliki efek, dapat meningkatkan potensi
dari obat yang lain jika dikombinasikan
Contoh : Amoxycillin (1) + Asam Clauvanak (0)
4. Antagonis (1+1)=0
Obat yang jika dikombinasikan saling meniadakan efek dari obat karena
bekerja secara berlawanan/antagonis
Contoh : Epinefrin + Propanol
b. Untuk obat yang memiliki reseptor yang sama
1. Agonis
Ligan di dalam tubuh berikatan dengan reseptornya
Contoh : Epinefrin Sintesis = akan berikatan dengan reseptor
norepinefrin sehingga menimbulkan efek yang sama jika
berikatan dengan ligan norepinefrin yang ada di dalam tubuh
2. Antagonis
Menghilangkan efek ligan di dalam tubuh
Contoh : Propanol injeksi = duduk di reseptor norepinefrin tapi tidak menimbulkan efek
apapun namun memblok reseptor tersebut agar tidak berikatan dengan norepinefrin
8
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.Kasus
Praktikan mendapatkan suatu resep yang berisikan pemberian obat secara polifarmasi
sesuai dibawah ini:
Nama : dr.XX
Alamat: Komp.Suka, Indah, Medan
SIP :
Medan, 20 September 2019
Pro : Nn. X
Umur : 20 tahun
9
3.2.Pengamatan
A. AMOXYCLAV
10
Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Escherichia coli,
Proteus mirabilis, Citrobacter diversus, Klebsiella pneumonia, Salmonella, Salmonella,
Peptococcus, dan Peptostreptococcus.
Efek
Orang yang memiliki masalah hipersensivitas bisa mengalami reaksi alerg, seperti gatal-gatal,
ruam kulit, sesak nafas, dll. Pada hasil tes lab dapat meningkatkan kadar AST, ALT, alkaline
phosphatase, dan bilirubin. dapat meningkatkan jumlah eosinofil. dapat menurunkan jumlah
hemoglobin dan trombosit, WBC, dan granulosit.
B. CATAFLAM
11
4% dari senyawa induk sesudahnya dosis oral tunggal dibandingkan dengan 27% dan
1% pada subyek sehat normal. Namun, diklofenak metabolit mengalami
glukoronidasi dan sulfasi lebih lanjut diikuti oleh ekskresi empedu. Satu metabolit
diklofenak 4'-hidroksi-diklofenak memiliki farmakologis yang sangat lemah aktivitas.
Ekskresi
Diklofenak dihilangkan melalui metabolisme dan ekskresi urin dan empedu
selanjutnya glukuronida dan konjugat sulfat dari metabolit. Sedikit atau tidak ada
yang gratis tidak berubah diklofenak diekskresikan dalam urin. Sekitar 65% dari dosis
diekskresikan dalam urin dan sekitar 35% dalam empedu sebagai konjugat dari
metabolit diklofenak plus yang tidak berubah. Karena eliminasi ginjal bukanlah jalur
eliminasi yang signifikan untuk tidak berubah diklofenak, penyesuaian dosis pada
pasien dengan disfungsi ginjal ringan sampai sedang tidak perlu. Waktu paruh
terminal diklofenak yang tidak berubah adalah sekitar 2 jam.
Mekanisme Kerja
Cataflam (tablet pelepasan segera kalium diklofenak) adalah obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID) yang menunjukkan aktivitas antiinflamasi, analgesik, dan
antipiretik pada model hewan. Mekanisme kerja Cataflam, seperti NSAID lainnya,
tidak sepenuhnya dipahami tetapi mungkin terkait dengan penghambatan
prostaglandin synthetase.
Efek
Uji klinis beberapa NSAID selektif dan non-selektif COX-2 hingga tiga tahun durasi
telah menunjukkan peningkatan risiko kejadian trombotik kardiovaskular yang serius,
infark miokard, dan stroke, yang bisa berakibat fatal. NSAID dapat menyebabkan
timbulnya hipertensi baru atau memburuknya hipertensi yang sudah ada sebelumnya.
Retensi cairan dan edema telah diamati pada beberapa pasien yang menggunakan
NSAID. Cataflam harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan retensi cairan
atau gagal jantung. NSAID, termasuk Cataflam, dapat menyebabkan efek samping
gastrointestinal serius (GI) peradangan, perdarahan, ulserasi, dan perforasi lambung,
usus kecil, atau besar usus, yang bisa berakibat fatal. Pemberian NSAID jangka
panjang telah menyebabkan nekrosis papiler ginjal dan lainnya cedera ginjal.
C. LAMESON
12
Absorbsi
Diabsorbsi dengan cepat dan mencapai puncak 1-2 jam
Distribusi
Volume distribusi 0,7-1,5 L/kg
Metabolisme
Dimetabolisme secara ekstensif di liver
Ekskresi
Mekanisme Kerja
Menghambat kaskade respon imun awal dalam respon inflamasi serta menginisiasi
resolusi dari inflamasi tersebut. Obat ini bekerja dengan menghambat pelepasan
senyawa-senyawa yang menyebabkan peradangan/inflamasi. Obat ini digunakan
untuk mengobati berbagai jenis kondisi penyakit inflamatorik seperti radang sendi,
lupus, psoriasi, kolitis ulseratif, alergi, gangguan kelenjar endokrin dan kondisi yang
mempengaruhi kulit, mata, paru-paru, lambung, sistem saraf, atau sel darah.
Efek
Retensi natrium dan cairan, gangguan penyembuhan luka, gangguan metabolisme
karbohidrat, kelemahan otot, peningkatan tekanan dalam tengkorak, osteoporosis.
D. DOLONEUROBION
13
Bekerja langsung di pusat saraf dengan mempengaruhi ambang rasa sakit dengan
menghambat enzim cyclooxygenase, cox-1, cox-2 dan cox-3 yang terlibat dalam
pembentukan prostaglandin, substansi yang bertindak mengatur rasa sakit dan
diketahui juga sebagai regulator panas pada hipotalamus.
Efek
Gangguan pada hepar, nyeri perut, diare, konstipasi, ruam merah, gatal,
pembengkakan hingga kesulitan bernapas.
14
Mekanisme kerja dari kedua obat ini berbeda, pemberian kedua obat ini
dengan bersamaan tidak mengganggu farmakokinetik masing-masing obat (tidak ada
interaksi secara langsung), infeksi diatasi oleh obat amoxyclav dan inflamasi diatasi
dengan obat cataflam. Interaksi ditimbulkan merupakan sinergisme (+).
Kortikosteroid
NSAID
15
Obat golongan kortikosteroid menghambat phospolipid dalam menghasilkan asam
arakidonat sehingga PG (prostaglandin) sama sekali tidak dihasilkan, karena jalur cox
dan lox dihambat. Sedangkan obat non steroid anti inflamasi drugs (NSAID) hanya
menghambat asam arachidonat dalam menghasilkan cox (menghambat jalur cox),
sehingga biosintesis PG (prostaglandin) dapat dihambat, NSAID bekerja secara
reversibel.
Obat cataflam dan lameson bekerja pada jalur yang sama yaitu jalur metabolisme
arachidonat, kedua interaksi obat tersebut menghasilkan tidak ada/ berkurang drastis
prostaglandin pada jalur metabolisme arachidonat, sehingga berdampak pada mukus
lambung yang berkurang menyebabkan terjadinya tukak/luka di lambung.
Maka dari itu reaksi yang ditimbulkan yaitu sinergisme (-).
16
sistem saraf pusat (SSP). Sedangkan vitamin B complex bukan untuk penambah
energi, melainkan untuk meningkatkan kemampuan parasetamol sebagai analgetik
antipiretik.
pemberian kedua obat ini dengan bersamaan tidak mengganggu
farmakokinetik masing-masing obat (tidak ada interaksi secara langsung). Tetapi
kurang tepat, karena kinerja untuk mengatasi antiinflamasi sudah dilakukan oleh obat
lameson dengan baik.
Interaksi kedua obat itu secara jalur kerja memberikan reaksi obat sinergisme (+),
tetapi dapat berdampak pada ginjal karena pemberian kedua obat tersebut tidak perlu
secara berdampingan.
Dari kombinasi obat dalam kasus ini dapat dilihat bahwa peresepan polifarmasi pada
kasus ini tidak rasional karena terjadi interaksi sinergisme negatif antara cataflam dengan
lameson. Cataflam merupakan obat antiinflamasi golongan non steroid, sedangkan Lameson
merupakan obat antiinflamasi golongan steroid namun kedua obat ini bekerja di pathway
yang sama. Ketika kedua obat ini digunakan secara bersamaan, aktivitasnya akan menekan
kerja prostaglandin. Prostaglandin selain berperan sebagai pencetus terjadinya inflamasi tapi
juga berfungsi untuk meningkatkan mukus lambung. Jika kedua obat ini digunakan secara
bersamaan terus menerus yang membuat prostaglandin terus ditekan hasil yang didapatkan
adalah terjadinya luka/tukak lambung akibat terhambatnya produksi mukus di lambung. Hal
ini membuat efek samping yang didapatkan lebih besar dibandingkan efek terapinya, oleh
karena itu peresepan obat ini todak rasional. Salah satu syarat memilih obat yang rasional
adalah memilih obat yang memiliki mekanisme dan pathway yang berbeda.
17
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat lain
(precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang
memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki
(Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs) yang lazimnya menyebabkan efek samping
obat dan/atau toksisitas. Interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi
dua,yaitu interaksi farmakodinamik dan interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakodinamik
adalah interaksi antar obat (yang diberikan berasamaan) yang bekerja pada reseptor yang
sama sehingga menimbulkan efek sinergis atau antagonis. Interaksi farmakokinetik adalah
interaksi antar dua atau lebih obat yang diberikan bersamaan dan saling mempengaruhidalam
proses ADME (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi) sehingga dapat
meningkatkan atau menurunkan salah satu kadar obat dalam darah.
Berdasarkan kasus yang terjadi, interaksi yang terjadi antara amoxyclav dengan
cataflam adalah interaksi sinergisme positif, amoxyclav dengan lameson adalah interaksi
sinergisme negatif, amoxyclav dengan doloneurobion adalah interaksi sinergisme positif,
cataflam dengan lameson adalah interaksi sinergime negatif, cataflam dengan doloneurobion
adalah interkasi sinergisme positif, dan interaksi antara lameson dengan doloneuribion adalah
innteraksi sinergisme positif. Dari peresepan polifarmasi pada kasus tersebut dapat dikatakan
tidak rasional. Karena ketika Cataflam berinteraksi dengan lameson yang pada dasarnya
memiliki pathway yang sama akan memicu terjadinya efek samping berupa tukak lambung.
Salah satu syarat memilih obat yang rasional adalah memilih obat yang memiliki mekanisme
dan pathway yang berbeda.
Lameson dan Cataflam memiliki jalur yang sama namun Lameson adalah
antiinflamasi yang bekerja dengan cara menembus membran sel dan menghambat
pembentukan asam arakidonat sehingga cox juga tidak akan terbentuk, jika cox kurang maka
prostaglandin tidak akan terbentuk. Sedangkan Cataflam bekerja menghambat cox 1 dan cox
2,jika cox 1 dan cox 2 dihambat maka prostaglandin juga tidak terbentuk. Intinya kedua obat
ini sama sama mengakibatkan tidak terbentuknya prostaglandin, alasan mengapa obat ini
tidak rasional jika digabung kan pemakaiannya adalah ketidakberfungsian salah satu obat,
18
Lameson bekerja menghentikan terbentuknya asam arakidonat maka cox tidak akan
terbentuk, jika tidak terbentuk cox untuk apa memberi Cataflam yang gunanya menghambat
cox. Maka pemberian Cataflam menjadi suatu hal yang sia-sia. Sedangkan interaksi obat
yang lain seperti Amoxyclav & Cataflam, Amoxyclav & Lameson, Amoxyclav &
Doloneurobion,interaksi yang didapatkan sinergisme positif.
4.2 Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
Herdaningsih S, dkk. 2016. Potensi Interaksi Obat-Obat pada Resep Polifarmasi: Studi
Retrospektif pada Salah Satu Apotek di Kota Bandung. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia.
5(4): 288-292.
Imananta FP. 2018. Penggunaan NSAIDs (Non Steroid Anti Inflamation Drugs) Menginduksi
Peningkatan Tekanan Darah Pada Pasien Athritis. Farmaka. 16(1): 73-76.
Pangalila K, Pemsi MW, Hutagalung BSP. 2016. Perbandingan Efektivitas Pemberian
Asam Mefenamat dan Natrium Diklofenak Sebelum Pencabutan Gigi terhadap Durasi
Ambang Nyeri Setelah Pencabutan Gigi. Jurnal e-GiGi. 4(2)
Sudewa I. 2017. Siklooksigenase, Jalur Arakidonat, dan Nonsteroidal Antiinflamnnatory
Drugs. Jurnal Kedokteran Universitas Udayana. 2(7): 4-8.
Sujadmiko WK. 2017. Resistensi Antibiotik Amoksisilin pada Strain Lactobacillus plantarum
B1765 Sebagai Kandidat Kultur Probiotik. UNESA Journal of Chemistry . 6( 1): 53-55.
Sulistiyaningsih. 2007. Pengujian Potensi Sediaan Injeksi Kering Amoksisilin Dalam Aqua
Pro Injeksi pada Variasi Suhu Penyimpanan dan Konsentrasi. Laporan Penelitian
Mandiri. Bandung: Universitas Padjadjaran
20