Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

FARMAKOKINETIKA

Dosen Pengampu:
Dr. apt. Hariyanto IH, M.Si.
NIP. 198501062009121009

Disusun Oleh
Kelompok/Kelas : 4/A2
Nama Anggota : Riksa Hikmakusumah I1021201020
Bulan Maharani Kusnadie I1021201044
Maria Theresia Stefany I1021201053
Melani Pebrianti I1021201086
Nabila Mayang Ningrum I1021201107

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii


BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
I.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
I.2 Tujuan ....................................................................................................................... 2
I.3 Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3
II.1 Hubungan Antara Farmakokinetika dan Farmakodinamika ........................... 3
II.2 Hubungan Dosis Obat dengan Efek Farmakologis............................................. 4
II.3 Hubungan Dosis dan Lama Aktivitas Obat ......................................................... 7
II.4 Pengaruh Dosis dan Waktu Paruh Eliminasi Obat terhadap Lama Aktivitas
Obat ................................................................................................................................ 8
II.5 Toleransi Obat dan Ketergantungan Fisik .......................................................... 9
II.6 Hipersensitivitas dan Respon yang Merugikan ................................................ 11
II.7 Distribusi Obat dan Respon Farmakologis ....................................................... 13
BAB III............................................................................................................................. 18
PENUTUP ........................................................................................................................ 18
III.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Farkomologi (pharmacology) berasal dari bahasa Yunani, yakni


pharmacon (obat) serta logos (imu). Farmokologi ini dapat didefinisikan ialah
sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi obat dengan tubuh
untuk dapat menghasilkan efek terapi (therapeutic). Farkamologi adalah
sebuah istilah yang merujuk kepada suatu bidang ilmu tentang pengaruh
senyawa terhadap sel idup dengan melalui proses kimiawi. Adapun senyawa
yang ditujukan di sini yakni obat. Obat merupakan tiap-tiap zat kimia yang
bisa mempengaruhi suatu proses hidup pada tingkat molekuler. Dimasa lalu,
farkomologi ini mencakup semua bidang ilmu pengetahuan tentang sejarah,
sumber, sifar-sifat fisik, kimia, komposisi, efek-efek biokimiadan juga
fisiologi, mekanisme kerja,absorpsi, biotransformasi, eksresi, penggunaan
terapi, dan juga penggunaan lainnya dari obat. Ilmu farmakologi terdiri dari
ruang lingkup dan cabang ilmu yaitu farmakognosi, biofarmasi,
Farmakokinetika, farmakodinamika, toksikologi, farmakoterapi,
Farmakogenetik atau farmakogenomik dan farmakovigilan.

Fase kerja obat didalam tubuh dibahas dalam cabang ilmu


farmakodinamika dan farmakokinetika. Dimana Farmakodinamik
mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme
kerja obat, serta farmakokinetika adalah proses pergerakan obat untuk
mencapai kerja obat. Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah:
absorpsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi), dan ekskresi (atau
eliminasi).

Berdasarkan pada hal diatas, maka pada makalah ini kami akan
menjelaskan Hubungan antara farmakokinetika dan farmakodinamika,
Hubungan dosis, dengan efek farmakologis, dosis dan lama aktivitas obat,
dosis dan waktu paruh eliminasi obat terhadap lama aktivitas obat, Toleransi

1
obat dan ketergantungan fisik, Hipersensitivitas dan respons yang merugikan,
distribusi obat dan respon farmakologis.

I.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:

1. Mengetahui hubungan antara farmakokinetika dan farmakodinamika.


2. Mengetahui hubungan dosis dengan efek farmakologis.
3. Mengetahui hubungan dosis dan lama aktivitas obat.
4. Mengetahui hubungan dosis dan waktu paruh eliminasi obat terhadap lama
aktivitas obat.
5. Mengetahui toleransi obat dan ketergantungan fisik.
6. Mengetahui hipersensitivitas dan respon yang merugikan.
7. Mengetahui distribusi obat dan respon farmakologis.

I.3 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari makalah ini adalah:

1. Bagaimana hubungan antara farmakokinetika dan farmakodinamika?


2. Bagaimana hubungan dosis dengan efek farmakologis?
3. Bagaimana hubungan dosis dan lama aktivitas obat?
4. Bagaimana hubungan dosis dan waktu paruh eliminasi obat terhadap lama
aktivitas obat?
5. Bagaimana toleransi dari obat dan ketergantungan fisiknya?
6. Bagaimana hipersensitivitas dan respon yang dapat merugikan?
7. Bagaimana distribusi obat dan respon farmakologisnya?

2
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Hubungan Antara Farmakokinetika dan Farmakodinamika


Hubungan antara farmakokinetik dan farmakodinamika disebut
sebagai hubungan paparan-respons atau hubungan konsentrasi-respons atau
hubungan konsentrasi-efek. Informasi respon paparan digunakan untuk
menentukan keamanan dan kemanjuran obat dalam proses persetujuan obat,
yang lebih penting untuk memahami manfaat dan risiko obat selama proses
persetujuan obat dan untuk memperoleh informasi dosis. Dalam artiannya
hubungan antara farmakokinetika dan farmakodinamika dalam penerapannya
akan dilakukan untuk simulasi dan memprediksi aksi obat (misalnya
memprediksi onset, intensitas, dan durasi kerja suatu obat).

Sebagai contoh dalam suatu kasus hubungan dosis dan efek


farmakologi, hubungan antara farmakokinetik dan respon farmakologis dapat
ditunjukkan oleh mengamati persen depresi aktivitas otot setelah dosis IV ±
tubocurarine. Penurunan efek farmakologis adalah linier sebagai fungsi dari
waktu. Untuk setiap dosis dan respon farmakologis yang dihasilkan,
kemiringan masing-masing kurva adalah sama. Karena nilai untuk setiap
lereng, yang mana termasuk km, sama, sensitivitas reseptor untuk ±
tubocurarine diasumsikan harus sama di setiap lokasi tindakan. Perhatikan
bahwa plot konsentrasi log obat versus waktu menghasilkan a garis lurus.
Contoh kedua dari efek farmakologis menurun secara linear dengan waktu
diamati dengan dietilamid asam lisergat (LSD). Setelah dosis IV obat, log
konsentrasi obat menurun secara linear dengan waktu kecuali untuk periode
distribusi singkat. Selanjutnya farmakologis efek, yang diukur dengan skor
kinerja dari setiap mata pelajaran, juga menurun secara linear dengan waktu.
Karena kemiringan diatur sebagian oleh konstanta laju eliminasi, efek
farmakologis menurun jauh lebih cepat ketika eliminasi laju konstan
meningkat sebagai akibat dari meningkat metabolisme atau ekskresi ginjal.
Sebaliknya, lebih lama respon farmakologis yang dialami pada pasien ketika
obat tersebut memiliki waktu paruh yang lebih lama.

3
II.2 Hubungan Dosis Obat dengan Efek Farmakologis
Onset, intensitas, dan durasi efek farmakologis tergantung pada dosis
dan farmakokinetik dari obat. Dengan meningkatnya dosis, konsentrasi obat
di situs reseptor meningkat, dan respon farmakologis (efek) meningkat hingga
efek maksimal. Plot efek farmakologis untuk dosis pada skala linier umumnya
menghasilkan kurva hiperbolik dengan efek maksimum dipuncak (Gambar
21-4). Data yang sama dapat dikompresi dan diplot pada skala log-linear dan
menghasilkan sigmoid kurva (Gambar 21-5).

Kebanyakan obat, grafik log antara dosis dan respon farmakologi


menunjukkan hubungan linier pada dosis berkisar antara 20% dan 80% dari
respon maksimum, yang biasanya mencakup dosis terapeutik untuk
kebanyakan obat. Untuk obat yang mengikuti model farmakokinetik satu
kompartemen, volume distribusi konstan; Oleh karena itu, respon
farmakologis juga sebanding dengan log konsentrasi obat pada plasma dalam
rentang terapeutik, seperti yang ditunjukkan pada gambar 21-6.

4
Secara matematis, hubungan pada Gambar 21-6 dapat dinyatakan
dengan persamaan berikut, di mana m adalah kemiringan, e adalah intersep
ekstrapolasi, dan E adalah efek obat pada konsentrasi
obat (C):
E = m log C + e
(21.1)

Pemisahan untuk hasil log C :

Log C =
𝐸−𝑒 (21.2)
𝑚

Namun, setelah dosis intravena, konsentrasi suatu obat dalam tubuh


dengan satu kompartemen model terbuka
dijelaskan sebagai berikut:
𝑘𝑡
Log C = Log C0 - 2,3
(21.3)

Dengan mengganti Persamaan 21.2 menjadi Persamaan 21.3, kita


mendapatkan Persamaan 21.4, di mana E0 = efek pada
konsentrasi C0
𝐸−𝑒 𝐸0−𝑒 𝑘𝑡
= = 2,3
𝑚 𝑚
(21.4)

𝑘𝑚𝑡
E = E0 - 2,3

5
Teori tntang respons farmakologis setiap saat setelah pemberian dosis
obat intravena dapat dihitung menggunakan persamaan 21.4. Persamaan 21.4
memprediksi bahwa efek farmakologis akan menurun secara linear dengan
waktu untuk obat yang mengikuti model satu kompartemen, dengan respon
linear antara log dosis-farmakologi. Dari persamaan ini, efek farmakologis
menurun dengan kemiringan km/2,3. Penurunan farmakologis efek
dipengaruhi oleh konstanta eliminasi (k) dan kemiringan (m). Untuk obat
dengan nilai m yang besar, respon farmakologi menurun dengan cepat dan
multipel dosis harus diberikan pada interval pendek untuk mempertahankan
efek farmakologis.

Hubungan antara farmakokinetik dan respon farmakologis dapat


ditunjukkan dengan mengamati persen penurunan aktivitas otot setelah dosis
IV ± tubocurarine. Penurunan efek farmakologis yaitu linier sebagai fungsi
dari waktu (Gambar. 21-7). Untuk setiap dosis dan respon farmakologis yang
dihasilkan, kemiringan masing-masing kurva adalah sama. Karena nilai untuk
setiap kemiringan (m), yang mana termasuk km (Persamaan 21.4), sama,
sensitivitas reseptor untuk ± tubocurarine diasumsikan harus sama di setiap
lokasi tindakan. Perhatikan bahwa plot dari log konsentrasi obat versus waktu
menghasilkan garis lurus.

6
Contoh kedua dari efek farmakologis yang menurun secara linear
terhadap waktu diamati dengan dietilamid asam lisergat (LSD) (Gambar. 21-
8). Setelah dosis obat secara IV, log konsentrasi obat menurun secara linear
terhadap waktu kecuali untuk periode distribusi yang singkat. Selanjutnya
efek farmakologis yang diukur dengan skor kinerja dari setiap subjek, juga
menurun secara linear dengan waktu. Kemiringan yang diatur sebagian oleh
konstanta laju eliminasi, menyebabkan efek farmakologis menurun jauh lebih
cepat ketika laju eliminasi konstan meningkat sebagai akibat dari
meningkatnya metabolisme atau ekskresi ginjal. Sebaliknya, respon
farmakologis yang lebih lama akan dialami pada pasien ketika obat tersebut
memiliki waktu paruh yang lebih lama.

II.3 Hubungan Dosis dan Lama Aktivitas Obat


Hubungan antara durasi efek farmakologis dan dosis dapat
disimpulkan dalam persamaan 21.3. Setelah dosis intravena, dengan asumsi
model satu kompartemen, waktu yang dibutuhkan untuk setiap obat untuk

2,3 (log 𝐶0−log 𝐶) 7


t= 𝑘
menurun ke konsentrasi C diberikan oleh persamaan berikut, dengan asumsi
obat langsung bekerja :

(21.5)

Menggunakan Ceff untuk mewakili konsentrasi efektif minimum obat,


durasi kerja obat bisa diperoleh sebagai
berikut:
2,3 (log 𝐷0/𝑉𝐷−log 𝐶𝑒𝑓𝑓)
teff = 𝑘 (21.6)

Beberapa aplikasi praktis disarankan oleh persamaan ini. Misalnya,


penggandaan dosis tidak akan mengakibatkan penggandaan durasi efektif dari
aksi farmakologis. Di sisi lain, penggandaan dari t 1/2 atau penurunan k yang
sesuai akan menghasilkan peningkatan proporsional dalam durasi dari aksi.
Situasi klinis sering ditemui dalam pengobatan infeksi di mana Ceff adalah
konsentrasi bakterisidal obat, dan untuk menggandakan durasi antibiotik,
peningkatan jauh lebih besar dari hanya perlu menggandakan dosis.

II.4 Pengaruh Dosis dan Waktu Paruh Eliminasi Obat terhadap Lama
Aktivitas Obat
Persamaan tunggal dapat diturunkan untuk menggambarkan hubungan
dosis (D0) dan waktu paruh eliminasi (t1/2) pada waktu efektif untuk aktivitas
terapeutik (teff).
𝐷0
ln Ceff = ln [ ] - kteff
𝑉𝑑

𝐷0 (21.7)
kteff = ln [ ] – ln Ceff
𝑉𝑑

1 𝐷0/𝑉𝑑
teff = ln [ ]
𝑘 𝐶𝑒𝑓𝑓

Substitusi 0.693/t1/2 untuk k,


𝐷0
teff = 1.44t1/2 ln [ ] (21.8)
𝑉𝑑.𝐶𝑒𝑓𝑓
8
Dari Persamaan 21.8, peningkatan t1/2 akan meningkatkan teff secara
proporsional. Namun, peningkatan dosis, D0, tidak meningkatkan teff dalam
proporsi langsung. Pengaruh peningkatan Vd atau Ceff dapat dilihat dengan
menggunakan data yang dihasilkan. Hanya solusi positif untuk Persamaan
21.8 yang valid, meskipun secara matematis teff negatif dapat diperoleh
dengan meningkatkan Ceff atau Vd. Pengaruh perubahan dosis pada teff
ditunjukkan pada Gambar. 21.9 menggunakan data yang dihasilkan dengan
Persamaan 21.8. Peningkatan teff nonlinier diamati dengan peningkatan dosis.

II.5 Toleransi Obat dan Ketergantungan Fisik


Studi tentang toleransi obat dan ketergantungan fisik sangat menarik
untuk dipahami terkait tindakan zat obat yang disalahgunakan, seperti opiat
dan kokain. Toleransi obat adalah perubahan kuantitatif dalam sensitivitas
obat di situs reseptor dan ditunjukkan oleh penurunan efek farmakodinamik
setelah berulang kali terpapar obat yang sama. Tingkat toleransi dapat sangat
bervariasi. Toleransi obat telah dijelaskan dengan baik untuk nitrat organik,
opioid, dan obat lain. Misalnya, nitrat mengendurkan otot polos pembuluh
darah dan telah digunakan baik untuk angina akut (misalnya nitrogliserin
sublingual spray atau tablet transmukosa) atau profilaksis angina (misalnya
nitrogliserin transdermal, isosorbid dinitrat pelepasan terkontrol oral). Studi
klinis yang terkontrol dengan baik telah menunjukkan bahwa toleransi
terhadap efek vaskular dan antianginal nitrat dapat berkembang. Untuk terapi
nitrat, penggunaan periode nitrat rendah atau bebas nitrat dianjurkan sebagai
bagian dari pendekatan terapeutik. Besarnya toleransi obat merupakan fungsi
dari dosis dan frekuensi pemberian obat. Toleransi silang dapat terjadi untuk

9
obat serupa yang bekerja pada reseptor yang sama. Toleransi tidak
berkembang secara seragam terhadap semua tindakan farmakologis atau
toksik obat.

Mekanisme toleransi obat dapat disebabkan oleh :

(1) Disposisi atau toleransi farmakokinetik.


(2) Toleransi farmakodinamik.

Toleransi farmakokinetik sering disebabkan oleh induksi enzim, di


mana klirens obat di hati meningkat dengan paparan obat berulang. Toleransi
farmakodinamik disebabkan oleh perubahan seluler atau reseptor di mana
respons obat kurang dari yang diperkirakan pada pasien yang diberikan dosis
obat berikutnya. Pengukuran konsentrasi obat serum dapat membedakan
antara toleransi farmakokinetik dan toleransi farmakodinamik.

Toleransi akut, atau takifilaksis, yang merupakan perkembangan cepat


dari toleransi, dapat terjadi karena perubahan sensitivitas reseptor atau
penipisan ko-faktor setelah hanya satu atau beberapa dosis obat. Obat yang
bekerja secara tidak langsung dengan melepaskan norepinefrin dapat
menunjukkan takifilaksis. Toleransi obat harus dibedakan dari faktor genetik
yang menjelaskan variabilitas normal dalam respon obat.

Ketergantungan fisik ditunjukkan dengan munculnya gejala penarikan


setelah penghentian obat. Pekerja yang terpapar nitrat organik yang mudah
menguap di tempat kerja pada awalnya dapat mengalami sakit kepala dan
pusing diikuti dengan toleransi dengan paparan terus menerus. Namun,
setelah meninggalkan tempat kerja selama beberapa hari, pekerja mungkin
menunjukkan gejala penarikan nitrat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
ketergantungan obat dapat meliputi dosis atau jumlah obat yang digunakan
(intensitas efek obat), durasi penggunaan obat (bulan, tahun, dan penggunaan
puncak), dan dosis total (jumlah obat × durasi). Munculnya gejala putus zat
dapat dipicu secara tiba-tiba pada subjek yang ketergantungan opiat dengan
pemberian nalokson (Suboxone®), antagonis opioid yang tidak memiliki sifat
agonis.

10
II.6 Hipersensitivitas dan Respon yang Merugikan
Banyak respon yang terjadi ketika mengonsumsi obat, seperti
hipersensitivitas dan alergi. Alergi umumnya tidak berhubungan dengan
dosis, melainkan dapat terjadi pada konsenstrasi obat yang sangat rendah.
Gejala umum alergi obat yaitu erupsi pada kulit, seperti urtikaria yang dilacak
terjadi akibat kontaminasi penisilin dalam makanan. Reaksi pada kulit
lainnya yang tergolong ringan yaitu angioedema dan pruritus, sedangkan
yang tergolong serius yaitu anafilaksis tetapi masih jarang terjadi.

Reaksi alergi bisa terjadi langsung atau tertunda yang dikaitkan


dengan mekanisme IgE. Pada obat b-laktam (penisilin), reaksi langsung
terjadi sekitar 30–60 menit, tetapi reaksi tertunda atau reaksi yang dipercepat
dapat terjadi dari 1 hingga 72 jam setelah administrasi obat. Namun pada
reaksi anafilaksis dapat terjadi secara langsung maupun tertunda. Dalam
prakteknya, para klinisi harus mengevaluasi risiko alergi obat terhadap
pilihan pengobatan alternatif.

1. Penanda biologis (Biomarkers)


Interaksi obat dengan reseptor dapat menghasilkan interaksi yang pada
akhirnya mengarah ke respon farmakodinamik (PD). Respon
farmakodinamik dapat diukur menjadi tingkat biomarker yang berkaitam
dengan titik akhir klinis. Biomarker merupakan seperangkat parameter
untuk pengukuran secara kuantitaif untuk dalam mewakili proses patologi
dalam tubuh. Biomarker dapat membantu percepatan pengembangan obat
dengan menjembatani studi empiris, prak klinik, serta klinik. Selain hal
tersebut, biomarker juga digunakan sebagai:
a. Pendeteksi penyakit
b. Penentu stadium penyakit
c. Indikator prognosis penyakit
d. Pemantau tingkat klinis respon terhadap intervensi terapeutik
2. Jenis Respon Farmakodinamik
Respon farmakodinamik bersifat kontinyu, kategori, dan dari
waktu ke waktu. Respon kontinyu atau berkelanjutan dapat mengambil
nilai apapun dalam suatu kisaran, misalnya pembacaan tekanan darah,

11
glukosa darah, atau level enzim. Respon kategori atau diskrit misalnya ada
atau tidaknya kematian, jumlah kematian dalam sebulan. Respon dari
waktu ke waktu dihitung selama periode waktu tertentu misalnya waktu
kambuh atau waktu hingga tranplantasi.
3. Komponen Model Farmakokinetik-Farmakodinamik
Model farmakokinetik-farmakodinamik merupakan disiplin ilmu
yang kemudian diterapkan untuk memprediksi respon dalam kondisi baru,
misalnya dosis baru. Situs efek berfungsi sebagai penggerak atas respon
farmakodinamik dengan mempengaruhi produksi atau degradasi biosinyal.
Fungsi matematika dapat dianggap sebagai persamaan yang
menghubungkan konsentrasi obat dengan respon farmakodinamik. Waktu
jalannya respon ditunjukkan dengan persamaan sebagai berikut:
4. Model Farmakodinamik
Model farmakodinamik melibatkan mekanisme yang kompleks.
Para peneliti telah mempekerjakan model empiris, semi-mekanistik, atau
mekanistik dalam menjelaskan mekanisme aksi obat. Kemampuan model
empiris memiliki keterbatasan dalam menjelaskan skenario baru seperti
dosis baru atau regimen dosis. Untuk memahami respon obat, dapat
ditingkatkan dengan teknik pemodelan farmakokinetik yang
dikombinasikan dengan farmakologi klinis untuk menghasilkan
pengembangan farmakokinetik-farmakodinamik yang berbasis model
mekanisme.
5. Model Farmakokinetik-Farmakodinamik Non-Kompartemen
Parameter farmakokinetik seperti puncak konsentrasi obat plasma
(C), area di bawah kurva (AUC), dan waktu paruh (t ½ ) sering berkorelasi
untuk parameter farmakodinamik seperti IC50. Hubungan
farmakokinetik-farmakodinamik (PK-PD) telah diterapkan dengan sukses
pada antimikroba, dengan konsentrasi hambat minimum (MIC) yang
berperan sebagai parameter farmakodinamik.
6. Kompartemen Efek atau Model Tautan
Model ini digunakan apabila terjadi keterlambatan dalam respon
farmakologi dibandingkan dengan konsentrasi obat. Banyak obat yang

12
menunjukkan efek farmakologis secara tidak langsung. Hal tersebut
diprediksi karena obat menginduksi efeknya bukan melalui interaksi
langsung dengan reseptor, melainkan adanya degradasi senyawa endogen
dan respon selanjutnya yang dimediasi oleh zat-zat tersebut. Terdapat
empat ciri-ciri respon model tidak langsung, yaitu:
a. Model I: Penghambatan Produksi Respon kin
b. Model II: Penghambatan Degradasi Respon kout
c. Model III: Rangsangan Produksi Respon kin
d. Model IV: Stimulasi Degradasi Respon kout

II.7 Distribusi Obat dan Respon Farmakologis


Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan
tubuh dan jaringan tubuh. Distribusi obat erat kaitannya dengan faktor-faktor
seperti konsentrasi protein plasma, komposisi tubuh, aliran darah, konsentrasi
protein jaringan, dan pH cairan jaringan.(1,2) Ketika obat di distribusi di dalam
plasma, kebanyakan berikatan dengan protein (terutama albumin) dalam
derajat (persentase) yang berbeda-beda. Obat-obat yang lebih besar dari 80%
berikatan dengan protein dikenal sebagai obat-obat yang berikatan tinggi
dengan protein. Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein
adalah diazepam (Valium): yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49%
berikatan dengan protein clan termasuk obat yang berikatan sedang dengan
protein. Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif, dan bagian obat
selebihnya yang tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat yang
bebas atau yang tidak berikatan dengan protein yang bersifat aktif dan dapat
menimbulkan respons farmakologik. Dengan menurunnya kadar obat bebas
dalam jaringan, maka lebih banyak obat yang berada dalam ikatan dibebaskan
dari ikatannya dengan protein untuk menjaga keseimbangan dari obat yang
dalam bentuk bebas.(1)

Jika ada dua obat yang berikatan tinggi dengan protein diberikan
bersama-sama maka terjadi persaingan untuk mendapatkan tempat pengikatan
dengan protein, sehingga lebih banyak obat bebas yang dilepaskan ke dalam
sirkulasi. Demikian pula, kadar protein yang rendah menurunkan jumlah
tempat pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas

13
dalam plasma. Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis,
karena dosis obat yang diresepkan dibuat berdasarkan persentase di mana
obat itu berikatan dengan protein.(1)

Umur penderita sangat memengaruhi kerja dan efek obat sebab


metabolisme obat dan fungsi ginjal kurang efisien pada bayi yang sangat
muda dan padao rang-orang berusia lanjut. Oleh karena itu, obat cenderung
untuk menghasilkan efek yang lebih kuat dan lebih panjang pada kedua
golongan umur ekstrem ini. Juga terdapat perbedaan sensitivitas jaringan
pada umur yang berbeda yang menyebabkan adanya perbedaan efek obat
pada konsentrasi plasma yang sama.(3)

Albumin dan glikoprotein asam α1 adalah protein pengikat obat utama


dalam plasma. Secara umum, konsentrasi albumin darah sekitar 10% lebih
rendah pada orang tua tetapi α1-asam glikoprotein yang lebih tinggi.
Perubahan protein plasma ini umumnya bukan karena penuaan itu sendiri
tetapi karena perubahan patofisiologis atau keadaan penyakit yang mungkin
terjadi lebih sering pada pasien yang lebih tua. Pada perubahan protein
plasma mungkin tidak mempengaruhi paparan klinis pasien terhadap obat.
Dengan demikian, tidak ada penyesuaian dalam rejimen dosis yang mungkin
diperlukan secara umum kecuali dalam kasus yang jarang terjadi pada obat
dengan rasio ekstraksi tinggi dan indeks terapeutik sempit yang diberikan
secara parenteral seperti dosis lidokain intravena atau, obat dengan indeks
terapeutik sempit yang diberikan secara oral dan memiliki waktu
kesetimbangan farmakokinetik-farmakodinamik yang sangat cepat.(2)

Terdapat tiga faktor utama yang memberikan efek signifikan pada


distribusi obat pada populasi pediatrik yaitu perubahan konsentrasi protein
plasma, total lemak tubuh, serta total air tubuh dan air ekstraseluler.(2)

1. Total air tubuh yaitu 75% -90% dari total berat badan pada neonatus
dan bayi hingga 6 bulan pertama kehidupan, dibandingkan dengan
sekitar 60% pada anak-anak dan orang dewasa. Akibatnya, volume
distribusi (V) obat hidrofilik yang nyata bergantung pada usia.

14
2. Cairan ekstraseluler (ECF) tinggi pada neonates yaitu 45%,
dibandingkan dengan pada orang dewasa yaitu 25%-26%, tetapi
mendekati nilai dewasa dalam satu tahun kehidupan.
3. Total lemak tubuh 12% pada neonatus dan bayi, tetapi mencapai
puncaknya pada 30% dalam satu tahun, kemudian menurun secara
bertahap hingga dewasa yaitu 18%.

Oleh karena itu, ketika kita memberikan dosis berdasarkan berat (kg),
konsentrasi plasma untuk obat hidrofilik diharapkan lebih rendah pada
neonatus dan bayi muda, karena persentase air tubuh total dan CES yang
lebih tinggi untuk distribusi obat keluar dari sirkulasi darah. Sedangkan pada
distribusi obat lipofilik yang bergantung pada usia kurang jelas. Konsentrasi
protein rendah pada neonatus dan bayi hingga usia satu tahun. Perubahan
dalam sirkulasi protein plasma, albumin dan α-acid glycoprotein,
mempengaruhi distribusi obat yang sangat terikat. Pada neonatus dan bayi
muda, fenitoin memiliki fraksi obat tidak terikat yang lebih tinggi dalam
sirkulasi untuk mengerahkan aktivitas. Pengikatan kompetitif bilirubin pada
albumin juga merupakan masalah yang relevan pada neonatus, karena fraksi
obat yang tidak terikat lebih tinggi akan dihasilkan dari perpindahan bilirubin
dalam pengikatan obat ke albumin.(2)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respon Penderita Terhadap Obat(4)

1. Usia
Pada neonatues dan bayi premature terdapat perbedaan respons yang
terutama disebabkan oleh belum sempurnanya berbagai fungsi
farmakokinetik tubuh yaitu:
1) Fungsi biotransformasi hati
2) Fungsi eksresi ginjal hanya 60-70% dari ginjal dewasa
3) Kapasitas ikatan protein plasma yang rendah
4) Sawar darah-otak serta sawar kulit belum sempurna

Pada penderita usia lanjut perubahan respon disebabkan oleh banyak


faktor seperti penurunan fungsi ginjal, penurunan kapasitas metabolisme
beberapa obat, berkurangnya kadar albumin plasma sehingga kadar obat

15
bebas dalam darah tinggi, pengurangan berat badan dan cairan tubuh serta
penambahan lemak tubuh (sehingga dapat mengubah distribusi obat), dan
berkurangnya absorbsi aktif. Salah satu akibatnya adalah kadar obat lebih
tinggi dan bertahan lebih lama dalam darah dan jaringan serta waktu paruh
obat dapat meningkat hingga 50%.

2. Penyakit
1) Penyakit saluran cerna dapat mengurangi kecepatan dan jumlah obat
yang diabsorbsi pada pemberian oral melalui perlambatan
pengosongan lambung, percepatan waktu transit dalam saluran cerna,
malabsorbsi, dan metabolisme dalam saluran cerna.
2) Penyakit kardiovaskuler mengurangi distribusi obat dan aliran darah
ke hati dan ginjal untuk eliminasi obat, sehingga kadar obat tinggi
dalam darah dan menimbulkan efek yang berlebihan atau bahkan efek
toksik
3) Penyakit hati mengurangi metabolisme obat di hati dan sintesis protein
plasma sehingga meningkatkan kadar obat, terutama kadar obat
bebasnya dalam darah dan jaringan, sehingga mengakibatkan terjadi
respon yang berlebihan atau efek toksik. Tetapi perubahan respon ini
baru terjadi pada penyakit hati yang parah, dan tidak terlihat pada
penyakit hati yang ringan karena hati mempunyai kapasitas cadangan
yang besar.
4) Penyakit ginjal mengurangi ekskresi obat aktif maupun metabolitnya
yang aktif melalui ginjal sehingga meningkatkan kadarnya dalam
darah dan jaringan, dan menimbulkan respons yang berlebihan atau
efek toksik. Di samping itu peyakit ginjal dapat mengurangi kadar
protein plasma atau mengurangi ikatan protein plasma sehingga kadar
obat bebas dalam darah meningkat, terjadi perubahan keseimbangan
elektrolit dan asam-basa, meningkatkan sensitivitas atau respon
jaringan terhadap beberapa obat, dan mengurangi atau menghilangkan
efektivitas beberapa obat
3. Interaksi obat.

16
Adanya percampuran zat kimia obat dengan obat lain atau
makanan sehingga obat menjadi berefek toksik atau tidak efektif lagi
menyembuhkan penyakit.
4. Toleransi obat.
Penurunan efek farmakologik obat akibat pemberian yang
berulang.
5. Bioavailabilitas
6. Efek plasebo
7. Pengaruh lingkungan.
Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons
penderita terhadap obat antara lain adalah: kebiasaan merokok, keadaan
sosial budaya, makanan, pekerjaan, lingkungan tinggal, dan lain-lain.

17
BAB III

PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah:

1. Hubungan antara farmakokinetika dan farmakodinamika dalam


penerapannya akan dilakukan untuk simulasi dan memprediksi aksi obat
(misalnya memprediksi onset, intensitas, dan durasi kerja suatu obat).
2. Dengan meningkatnya dosis, konsentrasi obat di situs reseptor
meningkat, dan respon farmakologis (efek) meningkat hingga efek
maksimal.
3. Persamaan tunggal dapat diturunkan untuk menggambarkan hubungan
dosis (D0) dan waktu paruh eliminasi (t1/2) pada waktu efektif untuk
aktivitas terapeutik (teff).
4. Toleransi obat adalah perubahan kuantitatif dalam sensitivitas obat di
situs reseptor dan ditunjukkan oleh penurunan efek farmakodinamik
setelah berulang kali terpapar obat yang sama. Ketergantungan fisik
ditunjukkan dengan munculnya gejala penarikan setelah penghentian
obat.
5. Banyak respon yang terjadi ketika mengonsumsi obat, seperti
hipersensitivitas dan alergi. Alergi umumnya tidak berhubungan dengan
dosis, melainkan dapat terjadi pada konsenstrasi obat yang sangat
rendah.
6. Distribusi obat erat kaitannya dengan faktor-faktor seperti konsentrasi
protein plasma, komposisi tubuh, aliran darah, konsentrasi protein
jaringan, dan pH cairan jaringan.
7. Terdapat tiga faktor utama yang memberikan efek signifikan pada
distribusi obat pada populasi pediatrik yaitu perubahan konsentrasi
protein plasma, total lemak tubuh, serta total air tubuh dan air
ekstraseluler.

18
DAFTAR PUSTAKA
1. Setianto R, Wardani TS, Permatasari DAI. Farmakokinetika . Yogyakarta:
Pustakabarupress ; 2021.

2. Shargel L, Yu ABC. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics. 7th


ed. New York: McGraw-Hill Education; 2016.

3. Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI. Kumpulan Kuliah


Farmakologi. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2009.

4. Nuryati. FARMAKOLOGI. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia; 2017.

19

Anda mungkin juga menyukai