FARMAKOKINETIKA
Dosen Pengampu:
Dr. apt. Hariyanto IH, M.Si.
NIP. 198501062009121009
Disusun Oleh
Kelompok/Kelas : 4/A2
Nama Anggota : Riksa Hikmakusumah I1021201020
Bulan Maharani Kusnadie I1021201044
Maria Theresia Stefany I1021201053
Melani Pebrianti I1021201086
Nabila Mayang Ningrum I1021201107
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan pada hal diatas, maka pada makalah ini kami akan
menjelaskan Hubungan antara farmakokinetika dan farmakodinamika,
Hubungan dosis, dengan efek farmakologis, dosis dan lama aktivitas obat,
dosis dan waktu paruh eliminasi obat terhadap lama aktivitas obat, Toleransi
1
obat dan ketergantungan fisik, Hipersensitivitas dan respons yang merugikan,
distribusi obat dan respon farmakologis.
I.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
II.2 Hubungan Dosis Obat dengan Efek Farmakologis
Onset, intensitas, dan durasi efek farmakologis tergantung pada dosis
dan farmakokinetik dari obat. Dengan meningkatnya dosis, konsentrasi obat
di situs reseptor meningkat, dan respon farmakologis (efek) meningkat hingga
efek maksimal. Plot efek farmakologis untuk dosis pada skala linier umumnya
menghasilkan kurva hiperbolik dengan efek maksimum dipuncak (Gambar
21-4). Data yang sama dapat dikompresi dan diplot pada skala log-linear dan
menghasilkan sigmoid kurva (Gambar 21-5).
4
Secara matematis, hubungan pada Gambar 21-6 dapat dinyatakan
dengan persamaan berikut, di mana m adalah kemiringan, e adalah intersep
ekstrapolasi, dan E adalah efek obat pada konsentrasi
obat (C):
E = m log C + e
(21.1)
Log C =
𝐸−𝑒 (21.2)
𝑚
𝑘𝑚𝑡
E = E0 - 2,3
5
Teori tntang respons farmakologis setiap saat setelah pemberian dosis
obat intravena dapat dihitung menggunakan persamaan 21.4. Persamaan 21.4
memprediksi bahwa efek farmakologis akan menurun secara linear dengan
waktu untuk obat yang mengikuti model satu kompartemen, dengan respon
linear antara log dosis-farmakologi. Dari persamaan ini, efek farmakologis
menurun dengan kemiringan km/2,3. Penurunan farmakologis efek
dipengaruhi oleh konstanta eliminasi (k) dan kemiringan (m). Untuk obat
dengan nilai m yang besar, respon farmakologi menurun dengan cepat dan
multipel dosis harus diberikan pada interval pendek untuk mempertahankan
efek farmakologis.
6
Contoh kedua dari efek farmakologis yang menurun secara linear
terhadap waktu diamati dengan dietilamid asam lisergat (LSD) (Gambar. 21-
8). Setelah dosis obat secara IV, log konsentrasi obat menurun secara linear
terhadap waktu kecuali untuk periode distribusi yang singkat. Selanjutnya
efek farmakologis yang diukur dengan skor kinerja dari setiap subjek, juga
menurun secara linear dengan waktu. Kemiringan yang diatur sebagian oleh
konstanta laju eliminasi, menyebabkan efek farmakologis menurun jauh lebih
cepat ketika laju eliminasi konstan meningkat sebagai akibat dari
meningkatnya metabolisme atau ekskresi ginjal. Sebaliknya, respon
farmakologis yang lebih lama akan dialami pada pasien ketika obat tersebut
memiliki waktu paruh yang lebih lama.
(21.5)
II.4 Pengaruh Dosis dan Waktu Paruh Eliminasi Obat terhadap Lama
Aktivitas Obat
Persamaan tunggal dapat diturunkan untuk menggambarkan hubungan
dosis (D0) dan waktu paruh eliminasi (t1/2) pada waktu efektif untuk aktivitas
terapeutik (teff).
𝐷0
ln Ceff = ln [ ] - kteff
𝑉𝑑
𝐷0 (21.7)
kteff = ln [ ] – ln Ceff
𝑉𝑑
1 𝐷0/𝑉𝑑
teff = ln [ ]
𝑘 𝐶𝑒𝑓𝑓
9
obat serupa yang bekerja pada reseptor yang sama. Toleransi tidak
berkembang secara seragam terhadap semua tindakan farmakologis atau
toksik obat.
10
II.6 Hipersensitivitas dan Respon yang Merugikan
Banyak respon yang terjadi ketika mengonsumsi obat, seperti
hipersensitivitas dan alergi. Alergi umumnya tidak berhubungan dengan
dosis, melainkan dapat terjadi pada konsenstrasi obat yang sangat rendah.
Gejala umum alergi obat yaitu erupsi pada kulit, seperti urtikaria yang dilacak
terjadi akibat kontaminasi penisilin dalam makanan. Reaksi pada kulit
lainnya yang tergolong ringan yaitu angioedema dan pruritus, sedangkan
yang tergolong serius yaitu anafilaksis tetapi masih jarang terjadi.
11
glukosa darah, atau level enzim. Respon kategori atau diskrit misalnya ada
atau tidaknya kematian, jumlah kematian dalam sebulan. Respon dari
waktu ke waktu dihitung selama periode waktu tertentu misalnya waktu
kambuh atau waktu hingga tranplantasi.
3. Komponen Model Farmakokinetik-Farmakodinamik
Model farmakokinetik-farmakodinamik merupakan disiplin ilmu
yang kemudian diterapkan untuk memprediksi respon dalam kondisi baru,
misalnya dosis baru. Situs efek berfungsi sebagai penggerak atas respon
farmakodinamik dengan mempengaruhi produksi atau degradasi biosinyal.
Fungsi matematika dapat dianggap sebagai persamaan yang
menghubungkan konsentrasi obat dengan respon farmakodinamik. Waktu
jalannya respon ditunjukkan dengan persamaan sebagai berikut:
4. Model Farmakodinamik
Model farmakodinamik melibatkan mekanisme yang kompleks.
Para peneliti telah mempekerjakan model empiris, semi-mekanistik, atau
mekanistik dalam menjelaskan mekanisme aksi obat. Kemampuan model
empiris memiliki keterbatasan dalam menjelaskan skenario baru seperti
dosis baru atau regimen dosis. Untuk memahami respon obat, dapat
ditingkatkan dengan teknik pemodelan farmakokinetik yang
dikombinasikan dengan farmakologi klinis untuk menghasilkan
pengembangan farmakokinetik-farmakodinamik yang berbasis model
mekanisme.
5. Model Farmakokinetik-Farmakodinamik Non-Kompartemen
Parameter farmakokinetik seperti puncak konsentrasi obat plasma
(C), area di bawah kurva (AUC), dan waktu paruh (t ½ ) sering berkorelasi
untuk parameter farmakodinamik seperti IC50. Hubungan
farmakokinetik-farmakodinamik (PK-PD) telah diterapkan dengan sukses
pada antimikroba, dengan konsentrasi hambat minimum (MIC) yang
berperan sebagai parameter farmakodinamik.
6. Kompartemen Efek atau Model Tautan
Model ini digunakan apabila terjadi keterlambatan dalam respon
farmakologi dibandingkan dengan konsentrasi obat. Banyak obat yang
12
menunjukkan efek farmakologis secara tidak langsung. Hal tersebut
diprediksi karena obat menginduksi efeknya bukan melalui interaksi
langsung dengan reseptor, melainkan adanya degradasi senyawa endogen
dan respon selanjutnya yang dimediasi oleh zat-zat tersebut. Terdapat
empat ciri-ciri respon model tidak langsung, yaitu:
a. Model I: Penghambatan Produksi Respon kin
b. Model II: Penghambatan Degradasi Respon kout
c. Model III: Rangsangan Produksi Respon kin
d. Model IV: Stimulasi Degradasi Respon kout
Jika ada dua obat yang berikatan tinggi dengan protein diberikan
bersama-sama maka terjadi persaingan untuk mendapatkan tempat pengikatan
dengan protein, sehingga lebih banyak obat bebas yang dilepaskan ke dalam
sirkulasi. Demikian pula, kadar protein yang rendah menurunkan jumlah
tempat pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas
13
dalam plasma. Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis,
karena dosis obat yang diresepkan dibuat berdasarkan persentase di mana
obat itu berikatan dengan protein.(1)
1. Total air tubuh yaitu 75% -90% dari total berat badan pada neonatus
dan bayi hingga 6 bulan pertama kehidupan, dibandingkan dengan
sekitar 60% pada anak-anak dan orang dewasa. Akibatnya, volume
distribusi (V) obat hidrofilik yang nyata bergantung pada usia.
14
2. Cairan ekstraseluler (ECF) tinggi pada neonates yaitu 45%,
dibandingkan dengan pada orang dewasa yaitu 25%-26%, tetapi
mendekati nilai dewasa dalam satu tahun kehidupan.
3. Total lemak tubuh 12% pada neonatus dan bayi, tetapi mencapai
puncaknya pada 30% dalam satu tahun, kemudian menurun secara
bertahap hingga dewasa yaitu 18%.
Oleh karena itu, ketika kita memberikan dosis berdasarkan berat (kg),
konsentrasi plasma untuk obat hidrofilik diharapkan lebih rendah pada
neonatus dan bayi muda, karena persentase air tubuh total dan CES yang
lebih tinggi untuk distribusi obat keluar dari sirkulasi darah. Sedangkan pada
distribusi obat lipofilik yang bergantung pada usia kurang jelas. Konsentrasi
protein rendah pada neonatus dan bayi hingga usia satu tahun. Perubahan
dalam sirkulasi protein plasma, albumin dan α-acid glycoprotein,
mempengaruhi distribusi obat yang sangat terikat. Pada neonatus dan bayi
muda, fenitoin memiliki fraksi obat tidak terikat yang lebih tinggi dalam
sirkulasi untuk mengerahkan aktivitas. Pengikatan kompetitif bilirubin pada
albumin juga merupakan masalah yang relevan pada neonatus, karena fraksi
obat yang tidak terikat lebih tinggi akan dihasilkan dari perpindahan bilirubin
dalam pengikatan obat ke albumin.(2)
1. Usia
Pada neonatues dan bayi premature terdapat perbedaan respons yang
terutama disebabkan oleh belum sempurnanya berbagai fungsi
farmakokinetik tubuh yaitu:
1) Fungsi biotransformasi hati
2) Fungsi eksresi ginjal hanya 60-70% dari ginjal dewasa
3) Kapasitas ikatan protein plasma yang rendah
4) Sawar darah-otak serta sawar kulit belum sempurna
15
bebas dalam darah tinggi, pengurangan berat badan dan cairan tubuh serta
penambahan lemak tubuh (sehingga dapat mengubah distribusi obat), dan
berkurangnya absorbsi aktif. Salah satu akibatnya adalah kadar obat lebih
tinggi dan bertahan lebih lama dalam darah dan jaringan serta waktu paruh
obat dapat meningkat hingga 50%.
2. Penyakit
1) Penyakit saluran cerna dapat mengurangi kecepatan dan jumlah obat
yang diabsorbsi pada pemberian oral melalui perlambatan
pengosongan lambung, percepatan waktu transit dalam saluran cerna,
malabsorbsi, dan metabolisme dalam saluran cerna.
2) Penyakit kardiovaskuler mengurangi distribusi obat dan aliran darah
ke hati dan ginjal untuk eliminasi obat, sehingga kadar obat tinggi
dalam darah dan menimbulkan efek yang berlebihan atau bahkan efek
toksik
3) Penyakit hati mengurangi metabolisme obat di hati dan sintesis protein
plasma sehingga meningkatkan kadar obat, terutama kadar obat
bebasnya dalam darah dan jaringan, sehingga mengakibatkan terjadi
respon yang berlebihan atau efek toksik. Tetapi perubahan respon ini
baru terjadi pada penyakit hati yang parah, dan tidak terlihat pada
penyakit hati yang ringan karena hati mempunyai kapasitas cadangan
yang besar.
4) Penyakit ginjal mengurangi ekskresi obat aktif maupun metabolitnya
yang aktif melalui ginjal sehingga meningkatkan kadarnya dalam
darah dan jaringan, dan menimbulkan respons yang berlebihan atau
efek toksik. Di samping itu peyakit ginjal dapat mengurangi kadar
protein plasma atau mengurangi ikatan protein plasma sehingga kadar
obat bebas dalam darah meningkat, terjadi perubahan keseimbangan
elektrolit dan asam-basa, meningkatkan sensitivitas atau respon
jaringan terhadap beberapa obat, dan mengurangi atau menghilangkan
efektivitas beberapa obat
3. Interaksi obat.
16
Adanya percampuran zat kimia obat dengan obat lain atau
makanan sehingga obat menjadi berefek toksik atau tidak efektif lagi
menyembuhkan penyakit.
4. Toleransi obat.
Penurunan efek farmakologik obat akibat pemberian yang
berulang.
5. Bioavailabilitas
6. Efek plasebo
7. Pengaruh lingkungan.
Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons
penderita terhadap obat antara lain adalah: kebiasaan merokok, keadaan
sosial budaya, makanan, pekerjaan, lingkungan tinggal, dan lain-lain.
17
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah:
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Setianto R, Wardani TS, Permatasari DAI. Farmakokinetika . Yogyakarta:
Pustakabarupress ; 2021.
19