Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan
hidayah sehingga kami bisa menyelesaikan makalah kami tentang “Fase
Farmakokinetik” Semoga bisa menjadi acuan dalam belajar dan menambah
pengetahuan kita tentang Kimia Medisonal.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-
mudahan apa yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-
teman, serta orang lain yang ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau
mengambil hikmah. Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada
Dosen Mata Kuliah Kimia Medisonal Imunologi serta teman-teman sekalian yang
telah membantu, baik bantuan berupa moril maupun materil, sehingga makalah ini
terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.

Pandeglang, November 2016

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Mekanisme Kerja Obat............................................................ 3
B. Fase Farmakokinetik................................................................ 4
C. Parameter Farmakokinetika..................................................... 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................. 16
B. Saran........................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA

ii
MAKALAH
“FASE FARMAKOKINETIK”

Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Kimia Medisional

Disusun Oleh :
 JUMAENAH
 SITI FAUZIYAH
 SITI SOLEHATI
 SUSI SUSANTI

DEPARTEMEN FARMASI
FAKULTAS SAINS DAN FARMASI
UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN
2016

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fase farmakokinetik berkaitan dengan masuknya zat aktif ke dalam
tubuh pemasukan in vivo tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena
fisikokimia yang terpadu di dalam organ penerima obat. Fase farmakokinetik
ini merupakan salah satu unsur penting yang menentukan profil keberadaan
zat aktif pada tingkat biofase dan selanjutnya menentukan aktivitas terapeutik
obat (Aiache, 1993).
Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama keberadaan
dan perubahan zat aktif didalam tubuh (Aiache, 1993). Menurut Shargel
(1988), bahwa intensitas efek farmakologik atau efek toksik suatu obat
seringkali dikaitkan dengan konsentrasi obat pada reseptor, yang biasanya
terdapat dalam sel-sel jaringan. Oleh karena sebagian besar sel-sel jaringan
diperfusi oleh cairan jaringan atau plasma, maka pemeriksaan kadar obat
dalam plasma merupakan suatu metode yang sesuai untuk pemantauan
pengobatan.
Pemantauan konsentrasi obat dalam darah atau plasma meyakinkan
bahwa dosis yang telah diperhitungkan benar-benar telah melepaskan obat
dalam plasma dalam kadar yang diperlukan untuk efek terapetik. Dengan
demikian pemantauan konsentrasi obat dalam plasma memungkinkan untuk
penyesuaian dosis obat secara individual dan juga untuk mengoptimasi terapi
(Shargel, 1988).
Tanpa data farmakokinetik, kadar obat dalam plasma hampir tidak
berguna untuk penyesuaian dosis. Dari data tersebut dapat diperkirakan
modelfarmakokinetik yang kemudian diuji kebenarannya, dan selanjutnya
diperoleh parameter-parameter farmakokinetiknya (Shargel, 1988).
Model farmakokinetik sendiri dapat memberikan penafsiran yang
lebih teliti tentang hubungan kadar obat dalam plasma dan respons
farmakologik. Model kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai
perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang

1
sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi model ini tidak
menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah
sama dengan berbagai waktu. Disamping itu, obat didalam tubuh juga tidak
ditentukan secara langsung, tetapi dapat ditentukan konsentrasi obatnya
dengan menggunakan cuplikan cairan tubuh (Shargel, 1988).
Saat ini telah tersedia data farmakokinetik obat, yang meliputi
berbagai parameter farmakokinetik, yaitu bioavailabilitas oral, volume
distribusi, waktu paruh dan bersihan (clearance) dalam keadaan fisiologik
maupun patologik. Dimana kondisi fisiologik dan kondisi patologik ini dapat
menimbulkan perubahan pada parameter farmakokinetik obat (Setiawati,
2007).
Data farmakokinetik ini sangat penting untuk semua jenis obat
terutama untuk obat yang lazim dikonsumsi masyarakat. Karena
kemungkinan besar konsumsi obat yang terlalu sering akan menimbulkan
toksisitas serta efek samping yang beresiko terhadap kelanjutan penyakit.
Menurut Setiawati (2007), prinsip dan data farmakokinetik sangatlah penting
diketahui oleh seorang dokter agar dapat menetapkan regimen dosis yang
optimal bagi masing-masing pasiendengan berpedoman pada kadar obat
dalam plasma atau serum.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mekanisme Kerja Obat


Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau
membran sel atau dengan beinteraksi dengan tempat reseptor. Jel aluminium
hidroksida obat mengubah zat kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan
menetralisasi kadar asam lambung). Obat-obatan, misalnya gas anestsi mum,
beinteraksi dengan membran sel. Setelah sifat sel berubah, obat mengeluarkan
pengaruhnya. Mekanisme kerja obat yang paling umum ialah terikat pada
tempat reseptor sel. Reseptor melokalisasi efek obat. Tempat reseptor
berinteraksi dengan obat karena memiliki bentuk kimia yang sama. Obat dan
reseptor saling berikatan seperti gembok dan kuncinya. Ketika obat dan
reseptor saling berikatan, efek terapeutik dirasakan. Setiap jaringan atau sel
dalam tubuh memiliki kelompok reseptor yang unik. Misalnya, reseptor pada
sel jantung berespons pada preparat digitalis.
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik
(disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi.
Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat
menembus membrane biologis. Jika obat diberikan melaluirute subkutan,
intramuscular, atau intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutik. Fase kedua,
yaitu farmakokinetik, terdiri dari empat proses (subfase):absorpsi, distribusi,
metabolisme (atau biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase
farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis.
1. fase farmasetika adalah sebuah fase yang dipengaruhi antara lain oleh
cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang
digunakan. fase ini akan menentukan banyaknya obat yang diabsorbsi
masuk ke sirkulasi sistemik.
2. fase farmakokinetik, selain dipengaruhi oleh sifat kimia-fisika obat (zat
aktif) juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi tubuh dan rute pemberian obat.
obat yang masuk ke pembuluh darah tanpa melalui proses adsorbsi akan
cepat menimbulkan efek karena obat dapat langsung di distribusikan.

3
3. fase farmakodinamik menjelaskan interaksi obat dengan reseptornya
dalam menimbulkan efek. atau mempelajari fase pengaruh obat terhadap
fisiologi tubuh. fase ini dipengaruhi oleh struktur kimia obat, jumlah obat
yang sampai pada reseptor, dan afinitas obat terhadap reseptor dan sifat
ikatan antara obat dengan reseptornya.

B. Fase Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah ilmu tentang cara obat masuk ke dalam tubuh,
mencapai tempat kerjanya, dimetabolisme, dan keluar dari tubuh. Dokter dan
perawat menggunakan pengetahuan farmakokinetiknya ketika memberikan
obat, memilih rute pemberian obat, menilai resiko perubahan keja obat, dan
mengobservasi respons klien.
Farmakokinetika dapat didefenisikan sebagai setiap proses yang
dilakukan tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi. Dalam arti sempit farmakokinetika khususnya mempelajari
perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya didalam darah
dan jaringan sebagai fungsi dari waktu (Tjay dan Rahardja, 2002). Empat
proses yang termasuk di dalamnya adalah : absorpsi, distribusi, metabolisme
(biotransformasi), dan ekskresi (eliminasi).
1. Absorpsi
Yang dimaksud dengan absorpsi suatu obat ialah pengambilan obat dari
permukaan tubuh ke dalam aliran darah atau ke dalam sistem pembuluh
limfe. Dari aliran darah atau sistem pembuluh limfe terjadi distribusi obat ke
dalam organisme keseluruhan. Absorpsi, distribusi dan ekskresi tidak
mungkin terjadi tanpa suatu transport melalui membran. Penetrasi senyawa
melalui membrane dapat terjadi sebagai difusi, difusi terfasilitasi, transport
aktif, pinositosis atau fagositosis. Absorpsi kebanyakan obat terjadi secara
pasif melalui difusi.
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari konsentrasi
tinggi dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui
absorpsipasif, absorpsi aktif, rinositosis atau pinositosis. Absorpsi aktif
umumnya terjadi melalui difusi(pergerakan dari konsentrasi tinggi ke

4
konsentrasi rendah). Absorpsi aktif membutuhkan carier atau pembawa
untuk bergerak melawan konsentrasi. Pinositosis berarti membawa obat
menembus membran dengan proses menelan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, nyeri, stress, kelaparan,
makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat
vasokonstriktor, atau penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stress,
dan makanan yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa
pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung.
Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan mengalihkan darah lebih
banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi ke saluran
gastrointestinal.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain rute
pemberian obat, daya larut obat, dan kondisi di tempat absorpsi. Setiap rute
pemberian obat memiliki pengaruh yang berbeda pada absorpsi obat,
bergantung pada struktur fisik jaringan. Kulit relatif tidak dapat ditembus
zat kimia, sehingga absorpsi menjadi lambat. Membran mukosa dan saluran
nafas mempercepat absorpsi akibat vaskularitas yang tinggi pada mukosa
dan permukaan kapiler-alveolar. Karena obat yang diberikan per oral harus
melewati sistem pencernaan untuk diabsorpsi, kecepatan absorpsi secara
keseluruhan melambat. Injeksi intravena menghasilkan absorpsi yang paling
cepat karena dengan rute ini obat dengan cepat masuk ke dalam sirkulasi
sistemik.
Daya larut obat diberikan per oral setelah diingesti sangat bergantung
pada bentuk atau preparat obat tersebut. Larutan atau suspensi, yang tersedia
dalam bentuk cair, lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk tablet atau
kapsul. Bentuk dosis padat harus dipecah terlebih dahulu untuk memajankan
zat kimia pada sekresi lambung dan usus halus. Obat yang asam melewati
mukosa lambung dengan cepat. Obat yang bersifat basa tidak terabsorpsi
sebelum mencapai usus halus.
Kondisi di tempat absorpsi mempengaruhi kemudahan obat masuk ke
dalam sirkulasi sistemik. Apabila kulit tergoles, obat topikal lebih mudah
diabsorpsi. Obat topikal yang biasanya diprogamkan untuk memperoleh

5
efek lokal dapat menimbulkan reaksi yang serius ketika diabsorpsi melalui
lapisan kulit. Adanya edema pada membran mukosa memperlambat
absorpsi obat karena obat membutuhkan waktu yang lama untuk berdifusi
ke dalam pembuluh darah. Absorpsi obat parenteral yang diberikan
bergantung pada suplai darah dalam jaringan.Sebelum memberikan sebuah
obat melalui injeksi, perawat harus mengkaji adanya faktor lokal, misalnya;
edema, memar, atau jaringan perut bekas luka, yang dapat menurunkan
absorpsi obat. Karena otot memiliki suplai darah yang lebih banyak
daripada jaringan subkutan (SC), obat yang diberikan per intramuskular
(melalui otot) diabsorpsi lebih cepat daripada obat yang disuntikan per
subkutan. Pada beberapa kasus, absorpsi subkutan yang lambat lebih dipilih
karena menghasilkan efek yang dapat bertahan lama. Apabila perfusi
jaringan klien buruk, misalnya pada kasus syok sirkulasi, rute pemberian
obat yang terbaik ialah melalui intravena. Pemberian obat intravena
menghasilkan absorpsi yang paling cepat dan dapat diandalkan.
Obat oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan.
Saat lambung terisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke
duodenum, sehingga absorpsi melambat. Beberapa makanan dan antasida
membuat obat berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat melewati
lapisan saluran cerna. Contoh, susu menghambat absorpsi zat besi dan
tetrasiklin. Beberapa obat hancur akibat peningkatan keasaman isi lambung
dan pencernaan protein selama makan. Selubung enterik pada tablet tertentu
tidak larut dalam getah lambung, sehingga obat tidak dapat dicerna di dalam
saluran cerna bagian atas. Selubung juga melindungi lapisan lambung dari
iritasi obat.
Rute pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan kesehatan.
Perawat dapat meminta obat diberikan dalam cara atau bentuk yang
berbeda, berdasarkan pengkajian fisik klien. Contoh, bila klien tidak dapat
menelan tablet maka perawat akan meminta obat dalam bentuk eliksir atau
sirup. Pengetahuan tentang faktor yang dapat mengubah atau menurunkan
absorpsi obat membantu perawat melakukan pemberian obat dengan benar.
Makanan di dalam saluran cerna dapat mempengaruhi pH, motilitas, dan

6
pengangkuan obat ke dalam saluran cerna. Kecepatan dan luas absorpsi juga
dapat dipengaruhi oleh makanan. Perawat harus mengetahui implikasi
keperawatan untuk setiap obat yang diberikan. Contohnya, obat seperti
aspirin, zat besi, dan fenitoin, natrium (Dilantin) mengiritasi saluran cerna
dan harus diberikan bersama makanan atau segera setelah makan.
Bagaimanapun makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat, misalnya
kloksasilin natrium dan penisilin. Oleh karena itu, obat-obatan tersebut
harus diberikan satu sampai dua jam sebelum makan atau dua sampai tiga
jam setelah makan. Sebelum memberikan obat, perawat harus memeriksa
buku obat keperawatan, informasi obat, atau berkonsultasi dengan apoteker
rumah sakit mengenai interaksi obat dan nutrien.
2. Distribusi
Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan
tubuh dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah
(dinamika sirkulasi), afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan,
berat dan komposisi badan, dan efek pengikatan dengan protein.
Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditransfer lebih
lanjut bersama aliran darah dalam sistem sirkulasi. Akibat perubahan
konsentrasi darah terhadap jaringan, bahan obat meninggalkan pembuluh
darah dan terdistribusi ke dalam jaringan (Mutscler, 1985).
Pada tahap distribusi ini penyebarannya sangat peka terhadap berbagai
pengaruh yang terkait dengan tahap penyerapan dan tahap yang terjadi
sesudahnya yaitu peniadaan, serta terkait pula dengan komposisi biokimia
serta keadaan fisiopatologi subyeknya, disamping itu perlu diingat
kemungkinan adanya interaksi dengan molekul lainnya. Pada tahap ini
merupakan fenomena dinamik, yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan
penurunan kadar zat aktif. Pengertian akumulasi dan penimbunan terutama
penimbunan bahan toksik, harus dijajaki dari sudut pandang dinamik,
maksudnya melihat perbedaan antara kecepatan masuk dan kecepatan
keluar. Sebenarnya penimbunan bahan toksik merupakan efek racun dan
hasil fatal sebagai akibat lambat atau sangat lambatnya laju pengeluaran
dibandingkan laju penyerapan (Aiache,1993).
a. Dinamika Sirkulasi

7
Obat lebih mudah keluar dari ruang interstial ke dalam ruang
intravaskuler daripada di antara kompartemen tubuh. Pembuluh darah
dapat ditembus oleh kebanyakan zat yang dapat larut, kecuali oleh
partikel obat yang besar atau berikatan dengan protein serum.
Konsentrasi sebuah obat pada sebuah tempat tertentu bergantung pada
jumlah pembuluh darah dalam jaringan, tingkat vasodilasi atau
vasokonstriksi lokal, dan kecepatan aliran darah ke sebuah jaringan.
Latihan fisik, udara yang hangat, dan badan yang menggigil mengubah
sirkulasi lokal. Contoh, jika klien melakukan kompres hangat pada
tempat suntikan intramuskular, akan terjadi vasodilatasi yang
meningkatkan distribusi obat.
Membran biologis berfungsi sebagai barier terhadap perjalanan
obat. Barier darah-otak hanya dapat ditembus oleh obat larut lemak yang
masuk ke dalam otak dan cairan serebrospinal. Infeksi sistem saraf pusat
perlu ditangani dengan antibiotik yang langsung disuntikkan ke ruang
subaraknoid di medula spinalis. Klien lansia dapat menderita efek
samping (misalnya konfusi) akibat perubahan permeabilitas barier darah-
otak karena masuknya obat larut lemak ke dalam otak lebih mudah.
Membran plasenta merupakan barier yang tidak selektif terhadap obat.
Agens yang larut dalam lemak dan tidak larut dalam lemak dapat
menembus plasenta dan membuat janin mengalami deformitas (kelainan
bentuk), depresi pernafasan, dan pada kasus penyalahgunaan narkotik,
gejala putus zat. Wanita perlu mengetahui bahaya penggunaan obat
selama masa hamil.
b. Berat dan Komposisi Badan
Ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diberikan dan
jumlah jaringan tubuh tempat obat didistribusikan. Kebanyakan obat
diberikan berdasarkan berat dan komposisi tubuh dewasa. Perubahan
komposisi tubuh dapat mempengaruhi distribusi obat secara bermakna.
Contoh tentang hal ini dapat ditemukan pada klien lansia. Karena
penuaan, jumlah cairan tubuh berkurang, sehingga obat yang dapat larut
dalam air tidak didistribusikan dengan baik dan konsentrasinya

8
meningkat di dalam darah klien lansia. Peningkatan persentase leak
tubuh secara umum ditemukan pada klien lansia, membuat kerja obat
menjadi lebih lama karena distribusi obat di dalam tubuh lebih lambat.
Semakin kecil berat badan klien, semakin besar konsentrasi obat di dalam
cairan tubuhnya, dan dan efek obat yang dihasilkan makin kuat. Lansia
mengalami penurunan massa jaringan tubuh dan tinggi badan dan
seringkali memerlukan dosis obat yang lebih rendah daripada klien yang
lebih muda.
c. Ikatan Protein
Ketika obat didistribusikan di dalam plasma kebanyakan
berikatan dengan protein (terutama albumin). Dalam derajat (persentase)
yang berbeda-beda. Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan
protein adalah diazeipam (valium) yaitu 98% berikatan dengan protein.
Aspirin 49% berikatan dengan protein dan termasuk obat yang berikatan
sedang dengan protein. Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif,dan
bagian obat selebihnya yanhg tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya
obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan proteinyang
bersifat aktif dan dapat menimbulkan respon farmakologik.
Kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat
pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas
dalam plasma. Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan
dosis, karena dosis obat yang diresepkan dibuat berdasarkan persentase
di mana obat itu berikatan dengan protein. Seorang perawat juga harus
memeriksa kadar protein plasma dan albumin plasma klien karena
penurunan protein (albumin) plasma akan menurunkan tempat
pengikatan dengan protein sehingga memungkinkan lebih banyak obat
bebas dalam sirkulasi. Tergantung dari obat yang diberikan akibat hal ini
dapat mengancam nyawa.Abses, aksudat, kelenjar dan tumor juga
menggangu distribusi obat, antibiotika tidak dapat didistribusi dengan
baik pada tempat abses dan eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat
menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata dan
otot.

9
3. Metabolisme Atau Biotransformasi
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi lalu diangkut melalui
sistem pembuluh porta (vena portae), yang merupakan suplai darah utama
dari daerah lambung usus ke hati. Dalam hati, seluruh atau sebagian obat
mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan hasil perubahannya
(metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif, dimana proses ini disebut proses
diaktivasi atau bioinaktivasi (pada obat dinamakan first pass effect). Tapi
adapula obat yang khasiat farmakologinya justru diperkuat (bio-aktivasi),
oleh karenanya reaksi-reaksi metabolisme dalam hati dan beberapa organ
lain lebih tepat disebut biotransformasi (Tjay dan Rahardja, 2002).
Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat
diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah menjadi metabolit
inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa
obat ditransformasikan menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan
respons farmakologik, penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis,
mempengaruhi metabolisme obat.
Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim
yang dapat meningkatkan kecepatan biotransformasi. Selain itu inhibisi
enzim yang merupakan kebalikan dari induksi enzim, biotranformasi obat
diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat, menimbulkan
efek menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga
berpengaruh terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang
dimetabolisir oleh sistem enzim yang sama (contoh alkohol dan barbiturat).
Perbedaan individu juga berpengaruh terhadap metabolisme karena adanya
genetic polymorphism, dimana seseorang mungkin memiliki kecepatan
metabolisme berbeda untuk obat yang sama (Hinz, 2005).
Bila obat diberikan per oral, maka availabilitas sistemiknya kurang
dari 1 dan besarnya bergantung pada jumlah obat yang dapat menembus
dinding saluran cerna (jumlah obat yang diabsorpsi) dan jumlah obat yang
mengalami eliminasi presistemik (metabolisme lintas pertama) di mukosa
usus dan dalam hepar (Setiawati, 2005).
Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum
masuk ke dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak,

10
jantung, paru-paru dan jaringan lainnya). Di dalam lever terdapat enzim
khusus yaitu sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi bentuk
metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan
akan dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat dan
lain-lain. Hal ini akan secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam
plasma dimana obat yang mengalami first pass metabolism akan kurang
bioavailabilitasnya sehingga efek yang di hasilkan juga berkurang (Hinz,
2005).
Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu Nonsynthetic
Reactions (Reaksi Fase I) dan Synthetic Reaction (Reaksi Fase II). Reaksi
fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, hidrolisa, alkali, dan dealkilasi.
Metabolitnya bias lebih aktif dari senyawa asalnya. Umumnya tidak
dieliminasi dari tubuh kecualidengan adanya metabolisme lebih lanjut.
Reaksi fase II berupa konjugasi yaitu penggabungan suatu obat dengan
suatu molekul lain. Metabolitnya umumnya lebih larut dalam air dan mudah
diekskresikan (Hinz, 2005).
Metabolit umumnya merupakan suatu bentuk yang lebih larut dalam
air dibandingkan molekul awal. Perubahan sifat fisiko kimia ini paling
sering dikaitkan dengan penyebaran kuantitatif metabolit yang dapat sangat
berbeda dari zat aktifnya dengan segala akibatnya. Jika metabolit ini
merupakan mediator farmakologik, maka akan terjadi perubahan, baik
berupa peningkatan maupun penurunan efeknya (Aiache, 1993)
Waktu paruh, dilambangkan dengan t ½, dari suatu obat adalah waktu
yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi,
metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya,
pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih
panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika suatu
obat diberikan terus – menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat.
Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari
90% obat itu dieliminasi. Jika seorang klien mendapat 650mg aspirin
(miligram) dan waktu paruhnya adalah 3jam, maka dibutuhkan 3jam untuk
waktu paruh pertama untuk mengeliminasi 325mg, dan waktu paruh kedua 9
atau 6jam untuk mengeliminasi 162mg berikutnya, dan seterusnya sampai

11
pada waktu paruh keenam atau 18jam dimana tinggal 10mg aspirin terdapat
dalam tubuh, waktu paruh selama 4-8jam dianggap singkat, dan 24jam atau
lebih dianggap panjang. Jika obat memiliki waktu paruh yang panjang
(seperti digoksin: 36 jam), maka diperlukan beberapa hari agar tubuh dapat
mengeliminasi obat tersebut seluruhnya, waktu paruh obat juga dibicarakan
dalam bagian berikut mengenai farmakodinamik, karena proses
farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.
4. Ekskresi Atau Eliminasi
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan
oleh ginjal melalui air seni disebut ekskresi. Lazimnya tiap obat diekskresi
berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli yang
utuh. Tapi adapula beberapa cara lain yaitu melalui kulit bersama keringat,
paru-paru melalui pernafasan dan melalui hati dengan empedu (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada
kecepatan metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini menentukan
kecepatan eliminasi obat yang dinyatakan dengan pengertian plasma half-
life eliminasi (waktu paruh) yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam
plasma pada fase eliminasi menurun sampai separuhnya. Kecepatan
eliminasi obat dan plasma t1/2-nya tergantung dari kecepatan biotransformasi
dan ekskresi. Obat dengan metabolisme cepat half lifenya juga pendek.
Sebaliknya zat yang tidak mengalami biotransformasi atau yang
resorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan sendirinya t1/2-nya panjang
(Waldon, 2008).
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain
meliputi empedu, feses, paru- paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat
bebas yang tidak berkaitan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal.
Sekali obat dilepaskan bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin.
pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5
sampai 8. Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat
basa lemah. Aspirin, suatu asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam urin
yang basa. Jika seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium
bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice

12
cranberry dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga
terbentuk urin yang asam.

C. Parameter Farmakokinetika
Bio-availability dari suatu sediaan obat adalah persentase obat yang
secara utuh mencapai sirkulasi umum untuk melakukan kerjanya. Selama
proses absorpsi dapat terjadi kehilangan zat aktif akibat tidak dibebaskannya
dari sediaan pemberiannya. Atau pula karena penguraian didalam usus atau
dindingnya dalam hati salama peredaran pertama disistem porta sebelum tiba
diperedaran darah. Karena Firs Fass Effect (FPE) ini, maka bio-availability
obat menjadi rendah dari pada persentase yang sebenarnya diabsorpsi (Tjay
dan Rahardja, 2002).
Adapun parameter-parameter farmakokinetika :
1. T maksimum (tmaks) yaitu waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat
disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat
maksimum setelah pemberian obat. Pada tmaks absorpsi obat adalah terbesar,
dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Absorpsi masih
berjalan setelah tmaks tercapai, tetapi pada laju yang lebih lambat. Harga
tmaks menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk
mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat menjadi lebih
cepat (Shargel, 2005)

2. Konsentrasi plasma puncak (Cmaks) menunjukkan konsentrasi obat


maksimum dalam plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa
obat diperoleh suatu hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan
konsentrasi obat dalam plasma (Shargel, 2005).

13
3. Menurut Holford (1998), Volume Distribusi (Vd) adalah volume yang
didapatkan pada saat obat didistribusikan. Menghubungkan jumlah obat
dalam tubuh dengan konsentrasi obat ( C ) dalam darah atau plasma

4. AUC (Area Under Curve) adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang
menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu.
AUC dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk
bioavailabilitas suatu obat. AUC dapat digunakan untuk membandingkan
kadar masing-masing plasma obat bila penentuan kecepatan eliminasinya
tidak mengalami perubahan. Selain itu antara kadar plasma puncak dan
bioavailabilitas terdapat hubungan langsung (Waldon, 2008).

Dimana,

Dan
5. MRT merupakan waktu keberadaan obat dalam tubuh

6. Tetapan Laju Eliminasi dan Waktu Paruh dalam Plasma


Waktu paruh dalam plasma adalah waktu dimana konsentrasi obat dalam
darah (plasma) menurun hingga separuh dari nilai seharusnya. Pengukuran
t½ memungkinkan perhitungan konstanta laju eliminasi dengan rumus :

14
7. Klirens
Klirens suatu obat adalah faktor yang memprediksi laju eliminasi yang
berhubungan dengan konsentrasi obat :

Klirens dapat dirumuskan berkenaan dengan darah (CLb), plasma (CLp)


atau bebas dalam urin (CLu), bergantung pada konsentrasi yang diukur.
Eliminasi obat dari tubuh dapat meliputi proses-proses yang terjadi dalam
ginjal, paru, hati dan organ lainnya. Dengan membagi laju terjadi pada
setiap organ dengan konsentrasi obat yang menuju pada organ
menghasilkan klirens pada masing-masing obat tersebut. Kalau
digabungkan klirens-klirens yang terpisah sama dengan klirens sistemik
total (Katzung, 2001).
Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa
mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya, jaringan tubuh atau
organ dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas
(volume distribusi) dimana obat terlarut didalamnya (Shargel, 2005).
Untuk beberapa obat rute pemakaian mempengaruhi kecepatan
metabolismenya. Obat- obat yang diberikan secara oral diabsorbsi secara
normal dalam duodenal dari usus halus dan ditransport melalui pembuluh
mesenterika menuju vena porta hepatik dan ke hati sebelum ke sirkulasi
sistemik. Obat-obat yang dimetabolisme dalam jumlah besar oleh hati atau
sel-sel mukosa usus halus menunjukkan avaibilitas sistemik yang jelek
jika diberikan secara oral. Metabolisme secara oral sebelum mencapai
sirkulasi umum disebut first pass effect atau eliminasi presistemik
(Shargel, 2005).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam mencapai kerja maksimal, obat memerlukan beberapa tahap.
Yakni tahap farmasetik, farmakokinetik, dan farmakodinamik. Sebelum obat

15
benar-benar diserap oleh tubuh, obat perlu diubah menjadi partikel-partikel
yang lebih kecil. Masing-masing obat tidak akan mempunyai waktu perubahan
yang berbeda-beda. Tergantung kandungan obat itu sendiri. Karena beberapa
obat tidak 100% obat. . Keadaan asam-basa urin juga berpengaruh di dalam
perubahan partikel obat tersebut.
Setelah obat mencapai kerja obatnya, obat akan dimetabolasi menjadi
bentuk yang tidak aktif, sehingga lebih mudah untuk diekskresi. Setelah
dimetabolisasi, obat akan keluar dari tubuh melalui ginjal, hati, usus, paru-
paru, dan kelenjar eksokrin. Struktur kimia sebuah obat akan menentukan
organ yang akan mengekskresinya.

B. Saran
Berdasarkan materi yang telah dijelaskan dalam makalah ini, maka
perawat seyogyanya mengerti dan memahami akan medikasi khususnya dalam
hal ini adalah tentang sifat kerja obat.

DAFTAR PUSTAKA

Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktik. Jakarta: EGC

Kee Joyce L. Dan Hayes Evelyne R.1996. Farmakologi. Jakarta: EGC

16
17

Anda mungkin juga menyukai