Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

RESEPTOR OBAT

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi dan Toksikologi

Dosen Pengampu : Apt.Sri gusriani s.fram M.fram

Disusun Oleh :

Anggita amanda (2048201066 )

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS FORT DE KOCK 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami ucapkan kehadiran Allah SWT, karena atas segala
rahmat, petunjuk, dan karuniannya sehingga kami dapat menyelasaikan makalah ini untuk
memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi dan Toksikologi. Sholawat dan salam senantiasa
kita sanjungkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, Keluarga, sahabat serta
semua umatnya hingga saat ini dan semoga kita termasuk dari golongan yang kelak mendapat
syafaatnya. Amiin ya rabbal a’alamin.

Penyusunan makalah ini dibuat dengan semaksimal mungkin. Kebahagiaan yang tak
terhingga dirasakan sejalan dengan berakhirnya penulisan makalah ini. Segala hasil usaha
kami ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Ibu Apt.Sri gusriani s.fram M.fram Selaku dosen mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam
menyelesaikan makalah ini.

Oleh sebab itu, saya mengharapkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang
bersifat membangun untuk meningkatkan kualitas dikemudian hari yang dapat dijadikan
masukan dan penyempurnaan makalah ini.

Karawang, 15 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................................1

A. Latar belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2

C. Tujuan Makalah..............................................................................................................2

BAB II......................................................................................................................................3

PEMBAHASAN......................................................................................................................3

A. Definisi Reseptor Obat...................................................................................................3

B. Reseptor dalam Mekanisme Obat...................................................................................3

B. Teori para ahli mengenai reseptor dalam mekanisme obat.............................................4

C. Jenis Reseptor Obat .......................................................................................................5

D. Karateristik Reseptor Obat ............................................................................................8

E. Fungsi Reseptor dalam Mekanisme Obat.......................................................................9

BAB III..................................................................................................................................10

PENUTUP.............................................................................................................................10

A. Kesimpulan....................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sebagian besar perawatan obat tidak berguna. Selain itu, pasien yang tidak
menanggapi pengobatan dapat mengembangkan apa yang dikenal sebagai reaksi obat
yang merugikan (ADR), yang telah dikaitkan dengan lebih dari 100.000 kematian
setiap tahun di Amerika Serikat. Untuk memberikan pemilihan dan dosis obat terbaik,
farmakogenetik adalah bidang ilmiah yang memperhitungkan informasi genetik
pasien mengenai pembawa obat, enzim metabolisme obat, dan reseptor obat. Ini
adalah contoh pengobatan yang dipersonalisasi atau perawatan yang berpusat pada
pasien. Sebagian besar didasarkan pada data farmakogenetik, diperkirakan bahwa apa
yang disebut terapi obat khusus dapat menghemat sejumlah besar pengeluaran untuk
masyarakat.

Variasi genetik (kebanyakan polimorfisme nukleotida tunggal, SNP, dan


satelit mikro) dapat terdapat pada pengangkut obat, pada sebagian besar enzim
pemetabolisme obat fase I dan fase II, atau pada reseptor obat. SNP pada pengangkut
obat dapat mengubah penyerapan, distribusi dan eliminasi obat dari tubuh.
Polimorfisme dalam enzim pemetabolisme obat dapat menyebabkan hilangnya,
perubahan kuantitatif atau kualitatif, atau peningkatan metabolisme obat. Ada
beberapa contoh dimana subjek yang membawa alel tertentu mengalami kekurangan
kemanjuran obat karena metabolisme yang sangat cepat yang disebabkan oleh banyak
gen atau karena induksi ekspresi gen. Di sisi lain, efek samping dapat terjadi pada
metabolisme yang lambat akibat akumulasi obat dengan adanya alel yang rusak.
Terakhir, gen polimorf tertentu dapat digunakan sebagai penanda untuk optimalisasi
terapi obat. Kemungkinan besar genotipe prediktif bermanfaat pada 10-20%
pengobatan dan dengan demikian memungkinkan pencegahan munculnya ADR dan
dengan demikian meningkatkan kesehatan bagian pasien tersebut.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Definisi Reseptor Obat?


2. Bagaimana Teori para ahli mengenai reseptor dalam mekanisme obat?
3. Apa saja Jenis Reseptor Obat?
4. Bagaimana Karateristik Reseptor Obat?
5. Apa Fungsi Reseptor dalam Mekanisme Obat?

C. Tujuan Makalah

1. Untuk Mengetahui Definisi Reseptor Obat.


2. Untuk Mengetahui Teori para ahli mengenai reseptor dalam mekanisme obat.
3. Untuk Mengetahui Jenis Reseptor Obat
4. Untuk Mengetahui Karateristik Reseptor Obat
5. Untuk Mengetahui Fungsi Reseptor dalam Mekanisme Obat

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Reseptor Obat


Reseptor adalah makromolekul di dalam membran atau di dalam sel yang
secara spesifik (secara kimia) mengikat suatu ligan (obat). Pengikatan suatu obat ke
reseptor bergantung pada jenis ikatan kimia yang dapat dibentuk antara obat dan
reseptor. Kekuatan ikatan kimia ini (kovalen, ionik, hidrogen, hidrofobik)
menentukan derajat afinitas ligan terhadap reseptor. Ligan (obat) yang menarik
reseptor dapat diklasifikasikan sebagai agonis atau antagonis. Agonis menghasilkan
respons biologis sebagai hasil interaksi reseptor-ligan sehingga agonis memiliki
kemanjuran. Sebaliknya antagonis tidak memicu aktivitas biologis apa pun setelah
berikatan dengan reseptornya.
B. Reseptor dalam Mekanisme Obat

Reseptor merupakan suatu molekul yang jelas dan spesifik terdapat dalam
organisme, tempat molekul obat (agonis) berinteraksi membentuk suatu kompeks
yang reversibel sehingga pada akhirnya sehingga menimbulkan respon. Suatu
senyawa yang dapat mengaktivasi sehingga menimbulkan respon disebut agonis.
Selain itu senyawa yang dapat membentuk konleks dengan reseptor tapi tidak dapat
menimbulkan respons dinamakan antagonis. Sedangkan senyawa yang mempunyai
aktivitas diantara dua kelompok tersebut dinamakan antagonis parsial. Pada suatu
kejadian dimana tidak semua reseptor diduduki atau berinteraksi dengan agonis untuk
menghasilkan respons maksimum, sehingga seolah-olah terdapat kelebihan reseptor,
kejadian ini dinamakan reseptor cadangan.

Reseptor di dalam atau di membran sel yang fungsinya untuk berinteraksi


dengan pembawa pesan kimia endogen di dalam tubuh (hormone, neurotransmitter,
mediator kimia bagi system kekebalan tubuh, dan lain-lain) sehingga dapat memicu
respons sel. Reseptor membantu mengoordinasikan respons dari sel-sel tubuh. Obat-
obatan yang digunakan dalam dunia kedokteran memanfaatkan ‘sensor’ kimia ini-
baik dengan cara merangsangnya (obat-obatan ini disebut agonis) atau dengan

3
mencegah mediator endogen atau agonis untuk menstimulasi respons (obat-obatan ini
di sebut antagonis).

Kompleks obat-reseptor yang terbentuk pada tahap pertama, pada tahap kedua
memicu pembentukan pembawa pesan intraseluler atau memodulasi pembukaan
saluran ion. Pada tahap ketiga, anggota kaskade molekuler lain seperti protein kinase
dapat diaktifkan, sehingga terjadi perubahan fisiologis yang disebabkan oleh obat.
Karena sebagian besar obat mempunyai tingkat selektivitas atau spesifisitas yang
tinggi dalam kerjanya, maka reseptor yang berinteraksi dengannya harus sama
uniknya. Secara umum diterima bahwa agen endogen atau eksogen berinteraksi secara
khusus dengan situs reseptor tertentu. Rangkaian kejadian yang dipicu oleh
pengikatan obat juga terjadi dengan agen endogen, seperti hormon dan
neurotransmiter.

Banyak obat yang bekerja pada reseptor fisiologis tersebut. Senyawa yang
meniru efek senyawa pengatur endogen disebut agonis. Senyawa lain mungkin
berikatan dengan reseptor, namun tidak memiliki aktivitas pengaturan intrinsik. Obat-
obatan ini biasanya mencegah neurotransmitter mencapai reseptor, melalui persaingan
di tempat pengikatan agonis, dan disebut antagonis

C. Teori para ahli mengenai reseptor dalam mekanisme obat


Obat harus berintekasi dengan target aksi obat (salah satunya adalah reseptor)
untuk dapat menimbulkan efek. Interaksi obat dan reseptor dapat membentuk
komplek obat-reseptor yang merangsang timbulnya respon biologis, baik respon
antagonis maupun agonis. Mekanisme timbulnya respon biologis dapat dijelaskan
dengan teori obat reseptor. Ada beberapa teori interaksi obat reseptor, antara lain yaitu
teori klasik, teori pendudukan

Teori klasik

1) Crum dan Brown dan Fraser (1869), mengaktakan bahwa aktivitas biologis
suatu senyawa merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat
berinteraksi pada sistem biologis mempunyai sifat karakteristik.
2) Langley (1878), dalam studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin,
memperkenalkan konsep reseptor yang pertama kali, kemudian dikembangkan
oleh Ehrlich.

4
Teori Pendudukan

1) Clark (1926) memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati sati
sisi reseptor dan obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebihan agar
tetap efektif selama proses pembentukan kompleks
2) Besarnya efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah
reseptor khas yang diduduki molekul obat. Clark hanya meninjau dari segi
agonis saja yang kemudian dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau
dari sisi antagonis.
Jadi respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat
berupa
1. rangsangan aktivitas (efek agonis )
2. pengurangan aktivitas (efek antagonis)
D. Jenis Reseptor Obat
1) Reseptor saluran ion transmembran
Respon seluler paling cepat terhadap aktivasi reseptor dimediasi
melalui saluran ion berpintu ligan. Reseptor transmembran jenis ini terdiri dari
beberapa subunit peptida dan masing-masing mengandung empat domain
rentang membran Pengikatan ligan menyebabkan perubahan konformasi
pembentukan reseptor dan saluran ion. Pengikatan Ach ke masing-masing
empat subunit AchR menginduksi perubahan reseptor dan pembukaan saluran
selektif natrium melalui pusat protein reseptor. Ini menyebabkan depolarisasi
membran di sekitarnya. Jenis reseptor ini termasuk reseptor asetilkolin
nikotinat dan reseptor untuk GABA, serotonin, dan beberapa neurotransmiter
lainnya.
2) Reseptor berpasangan G-protein transmembrane
Jenis reseptor obat yang paling banyak adalah reseptor berpasangan G-
protein (GPCR). Ini adalah keluarga (lebih dari 100 reseptor transmembran
berbeda) yang berbagi struktur yang terpelihara dengan baik dan
mentransduksi sinyalnya melalui aktivasi protein pengikat nukleotida guanidin
intraseluler (protein G) Berbagai ligan untuk reseptor ini termasuk amina

5
biogenik (Ach, noradrenalin, serotonin), neurotransmiter asam amino
(glutamat, glisin) dan hormon peptida (angiotensin II, somatostatin). Ada
beberapa tipe GPCR untuk satu ligan. Hasilnya adalah kemungkinan bahwa
ligan tunggal dapat mengaktifkan berbagai jalur transduksi. Jadi reseptor
ditentukan tidak hanya oleh ligan mana yang mengikatnya tetapi juga oleh
sistem pesan kedua (cAMP, PLC, pertukaran Na/H) dan jalur transduksi
sinyal, yang diaktifkan oleh aktivasi reseptor.
3) Reseptor transmembran dengan domain sitosol
Reseptor tersebut tidak berhubungan dengan membran sel. Secara
umum molekul proteinnya terdiri dari tiga domain utama: Hsp-90 dan domain
pengikat DNA dan ligan. Ligan sebagian besar larut dalam lemak dan secara
pasif melewati membran sel. Agonis termasuk oksida nitrat, hormon steroid
dan vitamin D. Pengikatan ligan mengaktifkan reseptor dan memulai disosiasi
dari Hsp-90. Kompleks tersebut kemudian bertranslokasi ke nukleus dan
berikatan dengan rangkaian DNA spesifik yang sebagian besar terletak di
wilayah promotor gen. Tranduksi sinyal semacam ini lambat, namun durasi
responsnya bisa bertahan lama.
4) Reseptor intraseluler (sitoplasma atau nukleus).Reseptor beta adrenergik
(ADRBs) adalah reseptor berpasangan transmembran G-protein yang
mengikat adrenalin atau noradrenalin dalam sistem saraf simpatik. Ada tiga
jenis ADRB: ADRB1, ADRB2 dan ADRB3. ADRB3 paling sedikit dipelajari
hingga saat ini dan peran ADRB3 pada penyakit kardiovaskular belum
diketahui. ADRB1 adalah tipe dominan yang diekspresikan dalam perapian.
ADRB2 banyak diekspresikan dalam sel halus bronkus dan aktivasinya
menghasilkan bronkodilatasi.
ADRB1 dan ADRB2 masing-masing adalah gen tak berdaya yang
mengkode 477 dan 413 protein asam amino. Mereka berbagi struktur yang
sama dengan domain terminal amino ekstra seluler, tujuh domain rentang
transmembran dan terminal karboksil sitoplasma. Pengikatan ligan (adrenalin
atau noradrenalin atau agonis lainnya) pada reseptor ini digabungkan dengan
protein G menyebabkan konversi ATP menjadi cAMP. Peningkatan cAMP
menstimulasi rantai kejadian yang berpuncak pada penghilangan kalsium dari
protein kontraktil dan meningkatkan aktivasi kontraksi melalui siklus kalsium

6
yang lebih besar. Efek globalnya adalah peningkatan fungsi sistolik dan
diastolic.
a) 23 polimorfisme telah dijelaskan dan 13 di antaranya mengubah urutan
asam amino. Karena ADRB1 belum diketahui perannya dalam asma,
sebagian besar studi asosiasi dan farmakogenetik dilakukan oleh
fenotip kardiovaskular. Ser49Gly dan Arg389Gly telah dipelajari
secara luas karena penelitian yang mendukung efek fungsional pada
aktivitas dan fenotipe ADRB1.
Alel Gly49 menunjukkan perubahan glikosilasi dan penurunan regulasi
reseptor yang diinduksi agonis dalam model fibroblas yang dapat
menjelaskan resistensi terhadap stimulasi beta-adrenergik kronis
melalui penyakit atau pengobatan. Alel Arg 489 menunjukkan tingkat
cAMP basal yang lebih tinggi. Dengan demikian, Arg389 mungkin
secara inheren digabungkan dengan Gs dan meningkatkan transduksi
sinyal. Studi asosiasi populasi menunjukkan homozigot Ser49
memiliki rata-rata detak jantung yang lebih tinggi dan berhubungan
dengan penurunan kelangsungan hidup 5 tahun. Namun penelitian
yang berbeda memberikan hasil yang berbeda. Varian Arg389
dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan detak
jantung istirahat yang lebih tinggi. Temuan ini diperkuat dengan
kesimpulan serupa dari penelitian berbeda. Lebih lanjut polimorfisme
Arg389Gly tampaknya berinteraksi dengan penghapusan 4-asam
amino pada gen reseptor alfa-2-adrenergik. Homozigot dengan kedua
polimorfisme tersebut mempunyai peningkatan risiko gagal jantung
(ganjilnya 10,1). Namun disetujui pada populasi kulit hitam, jumlah
homozigot ganda pada ras Kaukasia terlalu kecil.
b) Dari 12 SNP yang teridentifikasi, hanya 5 yang memprediksi
perubahan urutan asam amino. SNP yang paling banyak dipelajari
adalah Arg16Gly, Gln27Glu dan Thr164Ile. Analisis fungsional
menunjukkan bahwa dua SNP pertama menurunkan regulasi ADRB2
pada fibroblas dan meningkatkan desensitisasi yang dimediasi
isoproterenol pada manusia yang membawa Arg16. Alel Ile164 telah
meningkatkan afinitas pengikatan untuk ligan endogen. SNP di
ADRB2 telah dipelajari pada pasien asma, obesitas dan diabetes. Studi

7
terbaru menyimpulkan bahwa alel Gly16 merupakan predisposisi
terhadap asma nokturnal dan tingkat keparahan asma serta respons
terhadap terapi beta-agonis (albuterol) pada penderita asma. Studi
asosiasi variasi gen ADRB2 dengan fenotip hipertensi menghasilkan
hasil yang beragam. Pada individu sehat, ADRB1 jauh lebih banyak
dibandingkan ADRB2. Namun pada penyakit gagal jantung proporsi
ADRB2 meningkat (sampai 40%). Data ini dapat ditafsirkan bahwa
SNP ADRB2 mungkin memiliki efek besar pada gagal jantung.
c) Karena ADRB adalah target utama terapi farmakologis (agonis dan
antagonis reseptor beta), beberapa penelitian farmakogenetik telah
dipublikasikan. Studi menunjukkan bahwa homozigot Arg389
memiliki peningkatan efek dobutamin agonis ADRB1 dan metoprolol
antagonis ADRB1 dibandingkan dengan homozigot Gly 389. SNP di
ADRB2 mempengaruhi respons terhadap terapi asma metakolin dan
albuterol. Sebagai kesimpulan untuk ADRB1, alel Gly49 dan Arg389
tampaknya merupakan varian yang bekerja lebih baik pada pasien
gagal jantung yang diberi beta-blocker, dalam kasus ADRB2 data
menunjukkan efek negatif alel Arg 16 pada terapi beta agonis jangka
pendek.
E. Karateristik Reseptor Obat
Reseptor obat memiliki empat karakteristik yang menentukan :
1) Spesifisitas : Untuk dapat didefinisikan sebagai reseptor, molekul target harus
menunjukkan spesifisitas pengikatan, dimana obat tertentu atau obat dengan
struktur terkait dapat berikatan dengan molekul dan menimbulkan efek
sedangkan obat dengan struktur berbeda tidak dapat berikatan.
2) Saturasi : Reseptor obat dinyatakan dalam jumlah yang terbatas dan dengan
demikian, menurut definisi, dimungkinkan untuk menjenuhkannya dengan
obat, yang sebagai hasil dari strukturnya, berikatan dengan reseptor secara
spesifik.
3) Pengikatan Afinitas Tinggi : Reseptor dicirikan oleh afinitas yang tinggi
terhadap obatnya dan oleh karena itu dimungkinkan untuk menjenuhkannya
dengan konsentrasi obat yang rendah.
4) Reversibilitas : Obat yang secara struktural spesifik berinteraksi dengan
reseptornya melalui pembentukan ikatan kimia dan interaksi ini umumnya

8
bersifat reversibel. Namun, obat-obatan tertentu membentuk ikatan kovalen
dengan reseptornya sehingga membentuk kompleks DR yang pada dasarnya
permanen dan tidak dapat dibalik.

F. Fungsi Reseptor dalam Mekanisme Obat


 mengenal dan mengikat suatu ligan/obat dengan spesifisitas yang tinggi
 meneruskan signal ke dalam sel melalui:
 perubahan permeabilitas membran
 pembentukansecond messenger
 mempengaruhi transkripsi gen
 Merangsang perubahan permeabilitas membran sel
 Mempengaruhi transkripsi gen atau DNA. Dari fungsi tersebut, reseptor
terlibat dalam komunikasi antar sel. Reseptor menerima rangsang dengan
berikatan dengan pembawa pesan pertama (first messenger) yaitu agonis yang
kemudian menyampaikan informasi yang diterima kedalam sel dengan
langsung menimbulkan efek seluler melalui perubahan petmeabilitas
membran, pembentukan pembawa pesan kedua atau mempengaruhi
transkripsi gen.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Reseptor adalah makromolekul di dalam membran atau di dalam sel yang


secara spesifik (secara kimia) mengikat suatu ligan (obat). Reseptor merupakan suatu
molekul yang jelas dan spesifik terdapat dalam organisme, tempat molekul obat
(agonis) berinteraksi membentuk suatu kompeks yang reversibel sehingga pada
akhirnya sehingga menimbulkan respon. Suatu senyawa yang dapat mengaktivasi
sehingga menimbulkan respon disebut agonis. Ada berbagai jenis reseptor: Reseptor
saluran ion transmembran, Reseptor berpasangan G-protein transmembran, Reseptor
transmembran dengan domain sitosol, Reseptor intraseluler (sitoplasma atau nukleus).

10
DAFTAR PUSTAKA

Maher TJ, Johnson DA. Reseptor dan aksi obat . Di dalam: Williams DA, Lemke
TL. Prinsip Foye Kimia Obat Edisi ke-5, Lippincott Williams & Wilkins
2002;86-99.

Taylor MRG. Farmakogenetika reseptor beta-adrenergik manusia . Farmakogenomik


J 2007; 7 :29-37.

Herrington DM. Peran reseptor estrogen-a dalam farmakogenetika aksi estrogen .


Opini Curr Lipidol 2003; 14 :145-150.

Dr. Syamsudin, M.Biomed., Apt.2013. "Farmakologi Molekuler". EGC

Guyton, Arthur C. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed.11. Jakarta: EGC, 2007.

11

Anda mungkin juga menyukai