Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Judul : Uji Anti Inflamasi Secara In Vivo

1.2 Tujuan Percobaan :

1) Mempelajari daya anti inflamasi obat golongan steroid dan non steroid pada binatang dengan
radang buatan.
2) Mempelajari daya antiinflamasi tanaman obat / produk herbal tertentu.

1.3 Tinjauan Pustaka

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat- zat mikrobiologik. Inflamasi
adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang,
menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan ( Mycek, 2001 ).
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman,
maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang
membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini
kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru.
Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono, 2000).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang
adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai
jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang
ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang
sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian)
jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan
sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi
sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-
perubahan imunologik (Rukmono, 2000).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang
mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler
disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan
cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor
dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi
ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem
komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang
disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton, 1997).
Proses inflamasi ini juga dipengaruhi dengan adanya mediator-mediator yang berperan,
di antaranya adalah sebagai berikut (Abrams, 2005) :
 amina vasoaktif: histamin & 5-hidroksi tritophan (5-HT/serotonin). Keduanya terjadi
melalui inaktivasi epinefrin dan norepinefrin secara bersama-sama
 plasma protease: kinin, sistem komplemen & sistem koagulasi fibrinolitik, plasmin,
lisosomalesterase, kinin, dan fraksi komplemen
 metabolik asam arakidonat: prostaglandin, leukotrien (LTB4 LTC4, LTD4, LTE4 , 5-
HETE (asam 5-hidroksi-eikosatetraenoat)
 produk leukosit – enzim lisosomal dan limfokin
 activating factor dan radikal bebas
1.4 Alat Dan Bahan

Bahan : Karagenin 0,5 % dalam NaCl 0,9%, Na Diklofenak, Prednison, CMC Na 1% tanaman
obat/produk herbaldan tikus b

Alat : Plestimograf dan alat suntik 1 ml

1.5 Prosedur

1. Tiap kelompok mendapat hewan uji untuk perlakuan sebagai berikut :

Kelompok I : Tikus diberi larutan Na Diklofenak dengan dosis pemberian diperoleh dari
konversi dosis terapi pada manusia secara peroral .

Kelompok II : Tikus diberi suspensi prednison dengan dosis sama seperti dosis Na diklofenak
secara peroral

Kelompok III : Tikus diberi suspensi CMCNa 1% dengan dosis sama seperti dosis Na diklofenak
secara peroral 2. Semua tikus ditimbang dan kaki belakang kanan diberi tanda di atas lutut
kemudian diukur volume udem dengan mencelupkan telapak kaki sampai tanda ke dalam air
raksa pada alat plestimograf sebagai volume udem awal.
3. Tigapuluh menit setelah pemberian obat telapak kaki kanan disuntik (subplantar) dengan
karagenin 0,1 ml/100 gr BB tikus. Selanjutnya volume udem diukur setiap 30 menit selama 3
jam.

1.6 Data Dan Hasil Pengamatan

Kelompok mencit % kenaikan volume udem


I (Na Diklofenak) 0,70%
II (prednisone) 0,73%

BAB II
PEMBAHASAN

Pada percobaan kali ini, kami mempelajari efek pemberian suatu bahan uji dengan
aktivitas antiinflamasi. Bahan uji yang digunakan yaitu Prednison dengan pembanding Na
Diklofenak. Zat penginduksi terjadinya inflamasi sendiri menggunakan Karagenin 0,5%
dalam NaCl 0,9%. Pemberian obat dan zat uji dan obat pembanding diberikan secara peroral
setelah pemberian obat telapak kaki kanan disuntik (subplantar) dengan karagenin 0,1 ml/100 gr
BB mencit.

Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang
merusak. Rangsangan ini menyebabkan pembebasan mediator inflamasi seperti histamin,
serotonin, bradikinin, prostaglandin, dan lain lain yang menimbiulkan reaksi radang berupa:
panas, nyeri dan bengkak dan gangguan fungsi.

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa Efek yang ditimbulkan
akibat pemberian karagenin pada hewan percobaan adalah terjadinya udem, yang terlihat
dari bertambahnya volume kaki mencit setelah diukur dengan alat pletismometer.

Dan dari hasil pengamatan di peroleh % kenaikan volume udem pada kelompok I (Na
Diklofenak) 0,70% dan kelompok II (prednisone) 0,73%. Menurut teori Golongan kortikosteroid
memiliki anti inflamasi lebih tinggi dibanding golongan nonsteroid karena mekanisme kerja
golongan kortikosteroid langsung menghambat enzim Phospholipase yang dapat menghambat
pembentukan Asam arakidonat yang merupakan cikal bakal dari mediator inflamasi sedangkan
nonsteroid hanya menghambat di bagian sikooksigenase tapi masih ada dibagian lain yang bisa
menyebabkan terjadinya inflamasi bisa jadi dari enzim lipooksigenase. Oleh karena itu
kortikosteroid memiliki aksi yang lebih luas dan lebih poten dibandingkan OAINS yang hanya
menghambat jalur siklooksigenase. Namun dalam percobaan ini hasilnya tidak berbeda
signifikan yang dikarenakan mungkin ada kesalahan pada hewan uji atau eksternal lainnya yang
membuat tidak sejalan dengan teori.

BAB III
KESIMPULAN

Karagenin dapat merangsang terjadinya inflamasi, dengan terjadinya udem, yang


terlihat dari bertambahnya volume kaki mencit setelah diukur dengan alat pletismometer.
Dan kortikosteroid memiliki aksi yang lebih luas dan lebih poten dibandingkan OAINS yang
hanya menghambat jalur siklooksigenase.

DAFTAR PUSTAKA
H. Gerhard Vogel, 2002. Drug Discovery and Evaluation, Pharmacological Assays,
Springer, Jerman
Munaf ST; Syamsul. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Staf
Pengajar Laboratorium Farmakologi-FK UNSRI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal 214.
Neal, M.J. (2006). Farmakologi Medis At Glance. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit PT
Erlangga. Hal 70-71
Wilmana, P.F. (1995). Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi Nonsteroid
Dan Obat Pirai, dalam Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistia G. Ganiswara.
Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. Hal 207-209.

Anda mungkin juga menyukai