Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


“ANALISIS EFEK OBAT ANTIINFLAMASI PADA HEWAN COBA”

Dosen Pengampu :
Siti Maimunah, M. Farm., Apt.
Yen Yen Ari I, M. Farm. Klin., Apt.
Murtiyana Sari, M. Clin. Pharm., Apt.
Wirda Anggraini, M. Farm., Apt.

Disusun Oleh :

Nama : Rivaldo Danil Ervin


NIM : 18930067
Kelas : Farmasi B
Asisten : Alimatus Silvia
Kelompok : VI (Enam)

LABORATORIUM ANALISIS FARMASI


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Inflamasi merupakan suatu respon protektif untuk menghilangkan ekologi berupa


mikroorganisme, trauma mekanisme, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika serta membuang sel
dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel. Tujuan akhir dari respon inflamasi
yaitu menarik Protein plasma dari fagosit ke tempat yang mengalami cedera agar dapat
mengisolasi, menghancurkan atau menginaktifkan gen yang masuk membersihkan debris, dan
menyiapkan jaringan untuk proses penyembuhan (Corwin, 2006)

Anti inflamasi didefinisikan sebagai obat-obat yang memiliki aktivitas menekan atau
mengurangi peradangan. Radang atau inflamasi dapat disebabkan oleh berbagai rangsangan
yang mencakup luka fisik, infeksi panas, dan interaksi antigen antibody (Houglum, 2005).
Berdasarkan mekanisme kerja obat obat anti inflamasi terbagi dalam dua golongan yaitu obat
antiinflamasi golongan steroid dan nonsteroid mekanisme kerja obat antiinflamasi golongan
steroid dan nonsteroid terutama bekerja menghambat pelepasan prostaglandin ke jaringan
yang mengalami cedera (Gunawan, 2007).

Berdasarkan uraian diatas praktikum “Analisis Efek Obat Antiinflamasi Pada Hewan
Coba” penting dilakukan pada bidang farmasi untuk dapat mempelajari daya antiinflamasi
menggunakan hewan coba sehingga akan lebih efektif dikonsumsi manusia karena telah
dilakukan uji coba.

1.2 Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini yaitu praktikan dapat mempelajari daya
antiinflamasi obat pada hewan coba dengan radang buatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori

2.1.1 Pengertian Inflamasi

Inflamasi adalah suatu respons protektif system patologi yang ditimbulkan oleh
kerusakan pada jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat
mikrobiologi. Inflamasi berfungsi untuk menghancurkan mengurangi atau melokalisasi
(sekuster) baik agen yang merusak maupun jaringan yang rusak. Tanda terjadinya inflamasi
adalah pembengkakan atau edema, kemerahan, panas, nyeri, dan perubahan fungsi
(Ramadhani, 2015)

Inflamasi merupakan suatu respon protektif untuk menghilangkan etiologi berupa


mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika serta membuang sel dan
jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel. Tujuan akhir dari respon inflamasi
yaitu menarik protein plasma dari fagosit ke tempat yang mengalami cedera agar dapat
mengisolasi, menghancurkan atau menginaktifkan agen yang masuk membersihkan debris,
dan menyiapkan jaringan untuk penyembuhan (Corwin, 2016). Inflamasi dapat terjadi secara
lok,al sistemik, akut maupun kronis. Respon inflamasi local ditandai dengan bengkak panas
sakit dan kemerahan pada abad ke-2 Galen menambahkan pertanda inflamasi yang kelima
yaitu kehilangan fungsi jaringan yang mengalami inflamasi (Gunawan, 2007).

2.1.2 Gejala Inflamasi

Inflamasi pada dasarnya tubuh bereaksi terhadap infeksi iritasi atau cedera lain, ciri
utamanya ialah kemerahan, kehangatan, bengkak, dan rasa sakit. Peradangan atau inflamasi
kini diakui sebagai respon kekebalan non spesifik inflamasi, adalah proses dasar yang
membuat jaringan tubuh bereaksi terhadap cedera saat ini. Peradangan didefinisikan dengan
adanya 5 fenomena patologis makroskopis, ialah pembengkakan tumor pada jaringan,
temperature jaringan yang naik ke permukaan, kemerahan seperti darah rubor pada jaringan
vascular, dislokasi peradangan sensori dolor yang intensif pada sebuah stimulus berbahaya,
dan fungsi organ yang terpengaruh. Semua pertanda dianggap sebagai peristiwa sekunder
akibat patofisiologi utama. Perbaikan cairan jaringan vascular sebagai konsekuensi dari
cedera jaringan (Stankov, 2012)

Inflamasi ditandai oleh adanya vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan
terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan. Peningkatan permeabilitas kapiler inflamasi
menyebabkan pembekuan cairan di dalam ruang yang disebabkan oleh fibrinogen atau protein
lainnya yang bocor dari kapiler dalam sejumlah besar. Inflamasi juga menyebabkan migrasi
sejumlah besar granulosit dan menuju ke dalam jaringan pembengkakan sel jaringan (Guyton,
1997)

2.1.3 Jenis Inflamasi

Inflamasi (radang) dibagi dalam tiga fase yaitu :

1. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap cedera jaringan hal tersebut melalui
mediator respon inflamasi akut yang terlibat antara lain : Histamin, serotonin,
bradikinin, prostaglandin, leukotrin dan pada umumnya didahului oleh pembentukan
respon imun. Respon imun terjadi bila sejumlah sel mampu menimbulkan kekebalan
yang diaktifkan untuk merespon organisme asing atau substansi antigenik yang
terlepas selama respon terhadap inflamasi akut serta kronis.
2. Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak menonjol dalam
respon akut mediator inflamasi kronis yang terlibat antara lain : Interleukin 123,
granulocyte, makrofag colony, stimulating factor, tumor necrosis, factor alpha,
interfusion, platelet derived growth factor. Salah satu dari kondisi yang paling penting
yang melibatkan mediator-mediator ini adalah arthritis koloid di mana inflamasi
kronis menyebabkan sakit dan kerusakan tulang (Katzung, 2002)

2.1.4 Obat Antiinflamasi

Obat – obat anti radang dibagi menjadi dua golongan utama, golongan kortikostreroid
dan nonsteroid. Obat – obat yang digunakan untuk sebagai anti inflamasi non steroid antara
lain ( Mycek, 2001 ):

1. Aspirin dan salisilat lain


Mekanisme kerjanya : efek antipiretik dan anti inflamasi salisilat terjadi karena
penghambatan sintesis prostaglandindi pusat pengatur panas dan hipotalamus dan
perifer di daerah target. Lebih lanjut, dengan menurunkan sintesis prostaglandin,
salisilat juga mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsangan
mekanis dan kimiawi.
2. Derivat asam propionate
Obat – obat ini menghambat reversible siklo-oksigenase dan karena itu, seperti
aspirin menghambat sintesis prostaglandin tetapi tidak menghambat leukotrien.
3. Asam Indolasetat
Yang termasuk dalam grup obat - obat ini adalah indometasin, sulindak dan
etolondak. Semua mempunyai aktivitas antiinflamasi , analgetik dan antipiretik.
Bekerja dengan cara menghambat siklo-oksigenase secara reversible. Umumnya
tidak digunakan untuk menurunkan demam.

Obat kortikosteroid anti-inflamasi, seperti kortisol dan prednisone menghambat


pengaktifan fosfolipase A2 dengan menyebabkan sintesis protein inhibitor yang disebut
lipokortin. Lipokortin menghambat aktifitas fosfolipase sehingga membatasi produksi PG.
Preparat steroid juga mengganggu fungsi limfosit sehingga produksi IL menjadi lebih sedikit.
Keadaan ini mengurangi komunikasi antar limfosit dan proliferasi limfosit. Oleh karena itu,
pasien uang menggunakan steroid dalam jangka pnjang lebih rentang terkena infeksi. (Chang
and Daly, 2009).
BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 WAKTU DAN TEMPAT

Praktikum farmakologi dan toksikologi tentang “Analisis Efek Obat Anti Inflamasi
Terhadap Hewan Coba” yang dilaksanakan pada hari kamis, 2 april 2020 pada pukul 12.20 -
selesai. Praktikum ini dilaksanakan di rumah masing-masing secara daring/online.

3.2 ALAT

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:

1. Plestimograf 1 buah

2. Alat suntik (+- 1ml) 1 buah

3. Timbangan mencit 1 buah

4. Timbangan analitik 1 buah

5. Botol 1 buah

3.3 BAHAN

Bahan yang digunakan untuk praktikum ini adalah:

1. Tikus 4 Tikus

2. Karageni 1% dalam tilosa 1% 1,2 ml

3. Indometafin 1% 0,2 ml

4. Deksametofon 0,5 ml

5. Aspirin dalam tilosan 1% (0,8) 0,4 ml

6. NaCl 0,1% 1,2 ml


3.4 LANGKAH KERJA
MENCIT

-Ditimbang 2 ekor mencit, ditandai ekornya dengan spidol.

-Tikus control (n=1)

a. Karangenin 0,1 ml disuntikkan di telapak tangan kanan lalu segera diukur


dengan odem. Dengan cara dicelupkan sampai dada dengan air raksa dengan
alat plestimograf. Pengukuran diulang 3 jam kemudian.

b. Disuntik telapak kaki dengan 0,1 ml NaCl 1% diukur volume telapak kaki
seperti diatas.

-PERLAKUAN TIKUS

a. Diberi tikus dengan obat interpenronial dengan volume suntikan 40ml/kd


BB seperti berikut:

a. Aspirin

b. Indomektasin 12,5mg/kg BB

c. Deksametafon 4mg/kg BB

b. Satu jam sesudah pemberian obat tikus disuntik dengan karagenin


seperti diatas. Pengukuran volume udem dilakukan segera dan 3 jam
setelah pemberian karagenin.

-Dihitung persen penghambatan inflamasi untuk tiap obat pada tiap dosis . jika daya
anti inflamasi aspirin diberikan 1 (absolut). Dihitung potensial Relative tiap obat pada
tiap dosis.

HASIL
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Hasil Pengamatan

4.1.1 Tabel Hasil Pengamatan

Kelompok Kelompok Volume kaki (ml) menit ke-


Perlakuan 0 15 45 75 105 135 165 195
CMC-Na 1 0,9 2,8 3,0 2,8 2,6 2,3 1,9 1,8
(Mencit 1) 2 0,8 2,6 2,9 2,8 2,5 2,2 1,9 1,7
3 0,9 2,7 2,8 2,8 2,5 2,3 1,7 1,8
4 0,7 2,6 3,0 2,7 2,5 2,2 1,6 1,4
Aspirin 1 0,9 2,7 2,7 2,5 2,2 1,8 1,2 0,95
(Mencit 2) 2 0,8 2,6 2,6 2,4 2,1 1,9 1,2 0,9
3 1,0 2,8 2,9 2,6 2,4 1,9 1,4 0,95
4 0,6 2,3 2,5 2,3 2,0 1,7 1,0 0,8
Indometasin 1 0,8 2,4 2,2 2,2 1,8 1,3 0,9 0,75
(Mencit 3) 2 0,7 2,4 2,3 2,1 1,6 1,1 0,75 0,7
3 0,9 2,5 2,5 2,1 1,5 1,1 0,85 0,9
4 0,9 2,7 2,8 2,3 1,4 0,9 0,95 0,85
Dexametason 1 0,7 2,2 1,9 1,5 1,0 1,0 0,75 0,65
(Mencit 4) 2 0,8 2,3 2,1 1,6 1,2 1,08 0,9 0,75
3 0,9 2,4 2,2 1,6 1,0 0,95 0,85 0,9
4 0,9 2,3 2,2 1,8 1,2 1,15 0,9 0,85

4.1.2 Perhitungan Dosis

1. Aspirin po (15ml)
Dosis lazim untuk manusia = 500 mg
Konversi dosis untuk tikus 200g= 500mg x 0,018
= 9 mg
Untuk tikus 1 (198 g) = 198 g x 9 mg
200 g
= 8,91 mg
Konsentrasi aspirin = 80 mg 1 ml = 0,8 mg
100 ml
= 0,08 %
8,91 mg x 1 ml = 11,1375 ml (over dose) dinaikkan 10 x
0,8 mg
Konsentrasi aspirin setelah dinaikkan 10x = 800 mg
100 ml
= 0,8 %
1 ml = 8 mg
8,91 mg x 1 ml = 1,11375 ml = 1,2 ml
0,8 mg
2. Indometasin po (15 ml)
Dosis lazim untuk manusia = 25 mg
Konversi dosis untuk tikus 200g= 25mg x 0,018
= 0,45 mg
Untuk tikus 1 (215 g) = 215 g x 0,45 mg
200 g
= 0,483 mg
Konsentrasi indometasin = 100 mg
100 ml
= 0,1 %
1ml = 1 mg
0,483 mg x 1 ml =0,483 0,5 ml
1 mg
3. Dexametasone iv ( ml)
Dosis lazim untuk manusia = 0,75 mg
Konversi dosis untuk tikus 200g= 0,75 mg x 0,018
= 0,0135 mg
Untuk tikus 1 (220 g) = 220 g x 0,0135 mg
200 g
= 0,0148 mg
Konsentrasi indometasin = 10 mg
1 ml
0,0148 mg x 1 ml =0,00148 ml
10 mg
Volume yang diambil terlalu kecil
Pengenceran
M1 x V1 = M1 x V2
1% x 1 ml = M2 x 100 ml
0,01 % = M2

%Kadar = jumlah dexa x 100%


100 ml
0,01 % = jumlah dexa x 100%
100 ml
0,01 g = jumlah dexa
100 ml 100 ml
Jumlah dexa = 0,01 g
= 10 mg
Jadi, kadar dexametasone = 10 mg
100 ml
= 0,1 mg/ml
0,0148 mg x 1 ml = 0,148 ml = 0,2 ml
0,1 mg

4.1.3 Perhitungan Persen Daya Hambat Inflamasi

Kelompok 2 :

1. Volume Udem kaki Kontrol (CMC Na)


Volume Udem Kaki Kontrol = Vol. setelah diberi penginduksi
radang – Vol. kaki awal

2,6 + 2,9+2,8 +2,5+2,2+1,9+1,7


- Tikus 1 = − 0,8 ml
7
= 2,37 ml – 0,8 ml = 1,57 ml

2. Volume Udem Kaki Uji (Aspirin)


Volume Udem Kaki Uji = Vol. setelah diberi penginduksi radang
dan bahan uji – Vol. kaki awal

2,6 + 2,6+2,4 +2,1+1,9 +1,2 +0,9


- Tikus 2 = − 0,8 ml
7
= 1,95 ml – 0,8 ml = 1,15 ml
3. Volume Udem Kaki Uji (Indometasin)
Volume Udem Kaki Uji = Vol. setelah diberi penginduksi radang
dan bahan uji – Vol. kaki awal

2,4 + 2,3 + 2,1 +1,6 +1,1 +0,75 +0,7


- Tikus 3 = − 0,8 ml
7
= 1,56 ml – 0,7 ml = 0,86 ml

4. Volume Udem Kaki Uji (Dexametason)


Volume Udem Kaki Uji = Vol. setelah diberi penginduksi radang
dan bahan uji – Vol. kaki awal

2,3 + 2,1 +1,6 +1,2 +1,08 +0,9 +0,75


- Tikus 4 = − 0,8 ml
7
= 1,41 ml – 0,8 ml = 0,61 ml

5. Volume Udem
Volume udem = Vol. udem kaki kontrol – Vol. udem kaki uji

1. Volume udem dari Aspirin


Tikus 2 = 1,57 ml – 1,15 ml
= 0,42 ml

2. Volume udem dari Indometasin


Tikus 3 = 1,57 ml – 0,86 ml
= 0,71 ml

3. Volume udem dari Dexametason


Tikus 4 = 1,57 ml – 0,61 ml
= 0,96 ml

6. % Hambatan/Efektivitas
𝑿 −𝒀
% Hambatan/Efektivitas = x 100%
𝑿

X: Volume udem kelompok kontrol

Y: Volume udem kelompok uji


1. % Hambatan/Efektivitas CMC Na

Tikus 2 = 1,57 ml – 1,57 ml x 100%


1,57
= 0 x 100%
= 0%

2. % Hambatan/Efektivitas dari kelompok Aspirin

1,57 𝑚𝑙 −1,15 𝑚𝑙 0,42𝑚𝑙


Tikus 2 = 𝑥 100 % = 1,57 𝑚𝑙 𝑥 100% = 26,75%
1,57 𝑚𝑙

3. % Hambatan/Efektivitas dari kelompok Indometasin

1,57𝑚𝑙−0,86 𝑚𝑙 0,71 𝑚𝑙
Tikus 2 = 1,57 𝑚𝑙
𝑥 100% = 1,57𝑚𝑙
𝑥 100% = 45,22 %

4. % Hambatan/Efektivitas dari kelompok Dexametason


1,57𝑚𝑙−0,61 𝑚𝑙 0,96 𝑚𝑙
Tikus 2 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 61,14 %
1,57 𝑚𝑙 1,57𝑚𝑙

4.2 Analisa Hasil Dan Prosedur

Inflamasi ialah serangkaian peristiwa yang terjadi akibat timbulnya rangsangan

berbahaya infeksi, trauma atau cedera pada jaringan hidup .Inflamasi ini dipicu oleh

serangkaian peristiwa yang mencakup aktivitas enzim, mediator, ekstrak cairan, migrasi sel,

kerusakan jaringan, dan proses perbaikan. Peradangan itu melepaskan sel-sel darah putih

sebagai cara melindungi diri dari cedera sel. Sel darah putih ini mensintesis beberapa

biomolekul dan melepaskannya setelah cedera menuju bengkak dan kemerahan (Lalrinzuali,

2016).

Tujuan dilakukannya praktikum ini yaitu untuk mempelajari daya anti inflamasi obat

pada hewan coba dengan radang buatan hewan yang digunakan yaitu mencit dan induksi

radang buatan dari CMC-Na pemberiannya melalui subplantar yaitu disuntikkan pada telapak

kaki mencit.
Langkah kerja yang dilakukan pada praktikum ini yaitu, pertama disiapkan 4 ekor

tikus dan ditimbang serta kedua kaki belakang diberi tanda di atas lutut. Setelah itu untuk

tikus kontrol, telapak kaki kanan disuntik dengan karagenin 0,1 ml dan diukur segera volume

udem dengan mencelupkan telapak kaki sampai tanda ke dalam air raksa pada alat

pletismograph. Pengukuran diulangi pada 3 jam kemudian. Untuk telapak kaki kiri, disuntik

dengan 0,1 ml CMC-Na 1% dan diukur volume telapak kaki seperti di atas. Selanjutnya untuk

tikus perlakuan yaitu, tikus dibagi menjadi tiga kelompok setiap kelompok diberi obat

intraperitoneal dengan volume suntikan sebagai berikut : Aspirin 1,2 mL, Indometasin 0,5

mL, Dexamethasone 0,2 mL. Kemudian 1 jam sesudah pemberian obat, tikus disuntik dengan

karagenin seperti diatas. Pengukuran volume udem dilakukan segera dan 3 jam setelah

pemberian karagenin. Setelah itu dihitung persen penghambatan inflamasi untuk tiap obat

pada tiap dosis uji.

4.2.1 Tikus 1 (Kontrol CMC-Na)

Na-CMC telah digunakan secara luas di bidang farmasi sebagai eksipien. Na-CMC

banyak digunakan sebagai emulsifying agent, gelling agent dan tablet binder (Indriyati, dkk,

2016). CMC-Na mempunyai susunan sebagai berikut :11 R/ CMC-Na 5% Gliserin 10%

Propilenglikol 5% Aquades ad 100 (Sayuti, Nutrisia Aquariushinta, 2015).

Hasil dari percobaan pada mencit yang diberi CMC-Na pada kaki uji terdapat udem

sebesar 1,57 mL serta persen hambatan efektifitas sebesar 0%. Hal ini dikarenakan CMC-Na

tidak mempunyai aktifitas antiinflamasi. Udem sendiri adalah pembengkakan yang terjadi

pada tubuh (Katzung, 1998)

4.2.2 Tikus 2 (Aspirin)

Obat golongan salisilat merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan,

karena mempunyaisifat analgesik, antipiretik, antiinflamasi, antireumatik, dan yang paling

mutakhir adalah sebagai antiagregasitrombosit(antitrombotik) atau antiplatelet. Obat golongan


salisilat yang paling banyak digunakan adalah aspirin (asam asetil salisilat). Sampai saat ini,

obat ini masih merupakan analgesik‐ antipiretik dan antiinflamasi yang paling banyak

diresepkan dan menjadi standar untuk pembanding atau evaluasi antiinflamasi lain

(Miladiyah, Isnatin, 2012).

Hasil dari percobaan pada tikus 2 ini yaitu didapat hasil volume udem sebesar 0,42

mL dan mempunyai daya hambat terhadap inflamasi sebesar 26,75%. Onset dari aspirin yaitu

5-30 menit untuk rute per oral (Katzung, 1998).

4.2.3 Tikus 3 (Indometasin)

Obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan obat yang sering digunakan pada

pengobatan penyakit, karena dapat menghilangkan/mengurangi tanda dan gejala radang. Salah

satu OAINS adalah indometasin yang sering diresepkan untuk serangan akut artritis gout.

Indometasin bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase yang mengkonversi asam

arakidonat menjadi prostaglandin.11 Indometasin menghambat COX-1 dan COX-2, tetapi

lebih efektif terhadap penghambatan COX-1. Penghambatan terhadap COX-2 dapat

menghilangkan tanda dan gejala radang (Mustaqim, Alan, dkk, 2017).

Hasil dari percobaan pada tikus 3 ini yaitu didapat hasil volume udem sebesar 0,71

mL dan mempunyai daya hambat terhadap inflamasi sebesar 45,22%. Onset kerja dari

indometasin yaitu 30 menit secara peroral (Katzung, 1998).

4.2.4 Tikus 4 (Dexamethason)

Deksametason merupakan kortikosteroid dari golongan glukokortikoid yang

mempunyai efek anti-inflamasi yang adekuat. Pemberian deksametason akan menekan

pembentukan bradikinin dan juga pelepasan neuropeptida dari ujung-ujung saraf, hal tersebut

dapat menimbulkan rangsangan nyeri pada jaringan yang mengalami proses inflamasi.

Penekanan produksi prostaglandin oleh deksametason akan menghasilkan efek analgesia

melalui penghambatan sintesis enzim cyclooksigenase di jaringan perifer tubuh.


Deksametason juga menekan mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α),

interleukin 1-β (IL-1 β), dan interleukin-6 (IL-6) (Erlangga, dkk, 2015).

Hasil dari percobaan pada tikus 4 ini yaitu didapat hasil volume udem sebesar 0,96

mL dan mempunyai daya hambat terhadap inflamasi sebesar 61,14 %. Onset kerja dari

indometasin yaitu 6-12 jam secara intravena (Katzung, 1998).

4.2.5 Perbandingan Daya Hambat Aspirin, Indometasin, dan Dexamethasone

Terhadap Inflamasi

Dari semua percobaan yang dilakukan diperoleh hasil daya hambat terhadap inflamasi
dari masing masing obat, yakni aspirin sebesar 26,75 %, indometasin 45,22 %, dan
dexamethasone sebesar 61,14 %. Dapat diketahui bahwa aspirin dan indometasin adalah obat
golongan NSAID, sedangkan dexamethasone adalah obat golongan kortikosteroid.
Deksametason merupakan kortikosteroid dari golongan glukokortikoid yang mempunyai efek
anti-inflamasi yang adekuat. (Erlangga, dkk, 2015). Dari data yang diperoleh serta yang
diperkuat oleh literatur tersebut menunjukkan bahwa obat golongan kortikosteroid
mempunyai efek antiinflamasi yang lebih kuat daripada obat golongan NSAID (Nonsteroidal
Anti-inflammatory Drugs).
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa daya


antiinflamasi obat pada hewan coba dengan radang buatan karagenin yang paling efektif
adalah dexamethasone dari golongan kortikosteroid dimana daya antiinflamasinya sebesar
61,14 %, lebih besar jika dibanding dengan aspirin dan indometasin dari golongan NSAID
yaitu dengan daya inflamasi sebesar 26,75 % dan 45,22 %.

5.2 Saran

Adapun saran pada praktikum ini yaitu :

1. Praktikan harus memahami langkah kerja dan prinsip kerja dari praktikum dengan
benar sebelum melaksanakan praktikum agar praktikum dapat berjalan lancar.
2. Praktikan harus menyiapkan jaringan internet yang lancar karena praktikum
dilaksanakan secara daring/online.
DAFTAR PUSTAKA

Chang, E., Daly, J., dan Elliott, D., 2010, Patofisiologi Aplikasi Pada Praktik Keperawatan.

Jakarta : EGC.

Corwin. 2006. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Erlangga, dkk. 2015. Perbandingan Pemberian Deksametason 10 mg dengan 15 mg Intravena

sebagai Adjuvan Analgetik terhadap Skala Nyeri Pascabedah pada Pasien yang

Dilakukan Radikal Mastektomi Termodifikasi. Jurnal Anestesi Perioperatif 3(3).

Gunawan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta UI

Guyton and hall. 2007. Fisiologi Kedokteran Edisi 2 .Jakarta : FK UI

Houglum et al. 2005. Principles of Pharmaceutical Technology for Athletic Trainers. United

States : Slack Incorporated

Indriyati, dkk. 2016. Karakterisasi Carboxymethyl Cellulose Sodium (Na-CMC) dari Selulosa

Eceng Gondok (Eichhornia crassipes (Mart.) Solms.) yang Tumbuh di Daerah

Jatinangor dan Lembang. IJPST Vol. 3 No. 3

Katzung, B.G. 1998. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Petrus Adrianto.

Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC. Jakarta.

Katzung, BG .2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3. Jakarta : EGC

Lalrinzuali, et al. 2016. Investigation of the Anti-Inflammatory and Analgesic Activities of

Ethanol Extract of Stem Bark of Sonapatha Oroxylum indicum In Vivo. International

Journal of Inflammation

Miladiyah, Isnatin. 2012. Therapeutic Drug Monitoring (TDM) pada Penggunaan Aspirin

sebagai Antireumatik. Jurnal FK UII Yogyakarta Vol. 4 No. 2


Mustaqim, Alan, dkk. Pengaruh Pemberian Gel Lidah Buaya (Aloe vera) Terhadap Gambaran

Histopatologi Gaster Tikus Wistar yang Diinduksi Indometasin. Jurnal Kesehatan

Andalas 6 (3)

Mycek, M. J, Harvey, R.A. dan Champe, P.C., 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar 2nd ed.

H. Hartanto, ed., Jakarta: Widya Medika.

Sayuti, Nutrisia Aquariushinta. 2015. Formulasi dan Uji Stabilitas Fisik Sediaan Gel Ekstrak

Daun Ketepeng Cina (Cassia alata L.). Jurnal Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 2

Stankov, Srdan V. 2012. Definition of Inflammation, Causes of Inflammation and Possible

Anti-inflammatory Strategies. The open Inflammation Journal (5) (1-9)

Anda mungkin juga menyukai