Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PERCOBAAN lV

ANTI INFLAMASI

Dosen Pembimbing Praktikum: Apt. Anwar Sodiq,M.Farm

Nama Asisten : Nailahana Huwaida Zahra

Disusun Oleh :

KELOMPOK B3/GOLONGAN B1

No Nama NIM Ttd


1. Hidayatus Safarah Setya Kinanti 202205035
2. Inayatul Maftukhah 202205040

3. Iska Riskiandani 202205042


4. Wulan Mawar Nurfadhillah 202205069

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

PROGRAM STUDI FARMASI PROGRAM SARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GOMBONG

2023
BAB 1

PENDAHULUAN

I. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa mampu membedakan dan melakukan uji pada obat antiinflamasi
2. Mampu mengenal, mempraktekkan dan membandingkan daya antiinflamasi obat
pada hewan uji yang diinduksi radang buatan

II. Skenario Kasus


Mampu mempraktekkan uji antiinflamasi obat pada hewan uji yang diinduksi radang
buatan.

III. Dasar Teori


Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terahdap luka jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat- zat mikrobiologik. Inflamasi
adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang,
menghilangkan zat iritan, dan mengatur zat perbaikan jaringan. Inflamasi juga merupakan
proses yang vital untuk semua organisme dan berperan baik dalam mempertahankan
kesehatan maupun dalam terjadinya berbagai penyakit yang dicetuskan oleh pelepasan
mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik
bervariasi dengan tipe proses peradangan dan meliputi amin, seperti histamin dan 5-
hidroksitriptamin; lipid, seperti prostaglandin; peptida kecil, seperti bradikinin; dan peptida
besar, seperti interleukin. Penemuan variasi yang luas diantara mediator kimiawi telah
menerangkan paradoks yang tampak bahwa obat- obat anti inflamasi dapat mempengaruhi
kerja mediator utama yang penting pada satu tipe inflamasi tetapi tanpa efek pada proses
inflamasi yang tidak melibatkan mediator target obat (Mycek, M.J., dkk., 2001).

Antiinflamasi adalah antagonis mediator atau berfungsi menghambat ekspresi


mediator inflamasi. Non-steroidal anti-inflammatory drug (NSAID) merupakan salah satu
obat dengan prevalensi penggunaan mencapai 10% diseluruh dunia dan banyak digunakan
oleh pasien geriatri (Wongrakpanich et al., 2018).
Antiinflamasi didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang memiliki
aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Radang atau inflamasi dapat disebabkan
oleh berbagai rangsangan yang mencakup luka-luka fisik, infeksi, panas dan interaksi
antigen-antibodi (Houglum, 2005).

Pengobatan antiinflamasi bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, yang seringkali


merupakan tanda pertama yang terlihat dan keluhan utama pasien yang menetap, dan untuk
memperlambat atau mencegah kerusakan jaringan (Katzung, 2001).

Umumnya inflamasi terbagi menjadi dua jenis yaitu inflamasi akut dan kronis.
Peradangan akut adalah respon awal atau pertahanan tubuh terhadap infeksi, trauma, dll. Pada
fase ini terjadi akumulasi cairan, aktivasi intravaskular, dan munculnya polimorfonuklear
sebagai sel inflamasi (Sen et al., 2010).Inflamasi kronik dibedakan berdasarkan onset
kejadian dan durasi yang lebih lama melibatkan limfosit serta makrofag dan menimbulkan
pembentukan jaringan baru (Lima et al., 2011).

Peradangan merupakan gangguan yang sering dialami oleh manusia maupun hewan
yang menimbulkan rasa sakit di daerah sekitarnya. Sehingga perlu adanya pencegahan
ataupun pengobatan untuk mengurangi rasa sakit, melawan ataupun mengendalikan rasa
sakit akibat pembeng-kakan. Dalam penelitian ini yang digunakan untuk mengiduksi
inflamasi adalah karagenin karena ada beberapa keuntungan yang didapat antara lain tidak
menimbulkan kerusakan jaringan, tidak menimbulkan bekas, memberikan respon yang lebih
peka terhadap obat antiinflamasi (Vogel, 2002).

Tanda klasik umum yang terjadi pada proses inflamasi yaitu rubor (kemerahan),tumor
(pembengkakan), kalor (panas setempat yang berlebihan), dolor (rasa nyeri), dan
fungsiolaesa (gangguan fungsi/kehilangan fungsi jaringan yang terkena) (Price dan Wilson,
2005).

• Rubor (Kemerahan) Rubor terjadi pada tahap pertama dari proses inflamasi yang
terjadi karena darah terkumpul di daerah jaringan yang cedera akibat dari pelepasan
mediator kimia tubuh (kinin, prostaglandin, histamin). Ketika reaksi radang timbul
maka pembuluh darah melebar (vasodilatasi pembuluh darah) sehingga lebih banyak
darah yang mengalir ke dalam jaringan yang cedera (Price dan Wilson, 2005).
• Tumor (Pembengkakan) Tumor merupakan tahap kedua dari inflamasi yang ditandai
adanya aliran plasma ke daerah jaringan yang cedera. Gejala paling nyata pada
peradangan adalah pembengkakan yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan
permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang
mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke
ruang interstitium (Corwin, 2008).
• Kalor (Panas)Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana
rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada
di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila terjadi dipermukaan
kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan
(Wilmana, 2007).
• Dolor (Nyeri) Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal:
o Adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan
tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri.
o Adanya pengeluaran zat-zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin,
histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf-saraf perifer di sekitar radang
sehingga dirasakan nyeri (Wilmana, 2007).

Kerusakan atau perubahan yang terjadi pada sel dan jaringan akibat adanya noksi
akan membebaskan berbagai mediator dan substansi radang. Pengurangan peradangan
dengan obat-obat antiinflamasi sering mengakibatkan perbaikan rasa sakit selama periode
yang bermakna. Obat-obat AINS yang digunakan untuk penyakit rematik mempunyai
kemampuan untuk menekan gejala peradangan. Beberapa obat ini juga mempunyai efek
antipiretik dan analgesik, tetapi efek antiinflamasinya membuat obat-obat ini bermanfaat
dalam menanggulangi kelainan rasa nyeri yang berhubungan dengan intensitas proses
peradangan (Lumbanraja, 2009).

Inflamasi bisa dianggap sebagai rangkaian kejadian komplek yang terjadi karena
tubuh mengalami injury, baik yang disebabkan oleh bahan kimia atau mekanis atau
proses self-destructive (autoimun). Walaupun ada kecenderungan pada pengobatan klinis
untuk memperhatikan respon inflammatory dalam hal reaksi yang dapat membahayakan
tubuh, dari sudut pandang yang lebih berimbang sebenarnya inflamasi adalah penting
sebagai sebuah respon protektif dimana tubuh berupaya untuk mengembalikan kondisi
seperti sebelum terjadi injury (preinjury) atau untuk memperbaiki secara mandiri setelah
terkena injury. Respon inflammatory adalah reaksi protektif dan restoratif dari tubuh yang
sangat penting karena tubuh berupaya untuk mempertahankan homeostasis
dibawah pengaruh lingkungan yang merugikan (Lutfianto, 2009) .

Terjadinya inflamasi adalah reaksi setempat dari jaringan atau sel terhadap suatu
rangsang atau cedera. Setiap ada cedera, terjadi rangsangan untuk dilepaskannya zat kimi
tertentu yang akn menstimulasi terjadinya perubahan jaringan pada reaksi radang tersebut,
diantaranya adalah histamin, serotonin, bradikinin, leukotrin dan prostaglandin. Histamin
bertanggungjawab pada perubahan yang paling awal yaitu menyebabkan vasodilatasi pada
arteriol yang didahului dengan vasokonstriksi awal dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Hal ini menyebabkan perubahan distribusi sel darah merah. Oleh karena aliran darah yang
lambat, sel darah merah akan menggumpal, akibatnya sel darah putih terdesak ke pinggir.
Makin lambat aliran darah maka sel darah putih akan menempel pada dinding pembuluh
darah makin lama makin banyak. Perubahan permeabilitas yang terjadi menyebabkan cairan
keluar dari pembuluh darah dan berkumpul dalam jaringan. Bradikinin bereaksi lokal
menimbulkan rasa sakit,
vasodilatasi, meningkatakan permeabilitas kapiler. Sebagai penyebab radang, prostaglandin
berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator lainnya (Lumbanraja, 2009).
Proses inflamasi ini juga dipengaruhi dengan adanya mediator-mediator yang
berperan, di antaranya adalah sebagai berikut (Abrams, 2005) :

• amina vasoaktif: histamin dan 5-hidroksi tritophan (5-HT/serotonin). Keduanya


terjadi melalui inaktivasi epinefrin dan norepinefrin secara bersama-sama
• plasma protease : kinin, sistem komplemen dan sistem koagulasi fibrinolitik, plasmin,
lisosomalesterase, kinin, dan fraksi komplemen
• metabolik asam arakidonat: prostaglandin, leukotrien (LTB4 LTC4, LTD4, LTE4, 5-
HETE (asam 5-hidroksi-eikosatetraenoat)
• produk leukosit – enzim lisosomal dan limfokin
• activating factor dan radikal bebas
BAB II

ALAT DAN BAHAN

A. Alat
1) Plestimograf
2) Timbangan tikus
3) Timbangan analitik
4) Gelas ukur
5) Beaker glass
6) Pipet tetes
7) Labu ukur 5 ml
8) Mortir + stamper
9) Jarum sonde
10) Spuit
11) Kertas perkamen
A. Bahan
1) Na. Diclofenac 50 mg
2) Prednisone 5 mg
3) Dexamethasone 0,5 mg
4) Methylprednisolone 4 mg
5) Karagenin 1%
6) Aquadest
7) Aquabidest
B. Hewan Uji = Tikus Putih
BAB III

CARA KERJA

Dikelompokkan tikus menjadi 4 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 3


tikus

Ditimbang berat tablet setiap obat (Na. Diclo 50 mg, Prednisone5 mg, Dexamethasone
0,5 mg, Methylprednisolone 4 mg)

Dihitung konversi dosis tiap obat dan volume pemberian pada tikus

Ditimbang berat tikus lalu ditandai masing-masing tikus, kemudian dicatat beratnya dan
pada kedua kaki belakangnya diberi tanda sebatas lutut. Dicelupkan kaki sebatas tanda
ke dalam gelas ukur yang sudah diberi aquadest hingga penuh

Dilarutkan obat dengan aquabidest ad 5 ml, lalu diambil volume pemberian pada tikus
sebanyak 2,5 ml dan diberikan secara per oral (p.o)

Ditunggu 15 menit kemudian tikus diberi karagenin sebanyak 0,1 ml secara sublantar
(telapak kaki)

Dicelupkan lagi kaki tikus sampai batas tanda ke dalam gelas ukur yang terisi penuh
aquadest dan diukur volume udem, dilakukan setiap 15 menit sekali selama 1 jam

Dihitung hasil pengamatan berdasarkan volume udem, rata-rata persen udem dan hasil
persen inhibisi
BAB IV

PERTANYAAN DISKUSI

1. Setelah pemberian karagenin, mengapa pengukuran volume udem diulangi 3 jam


kemudian (waktu yang optimum 3-4 jam)?
Jawab:
Karagenin merupakan polisakarida yang disusun oleh unit monomer galaktosa.
Karagenın mampu menginduksi reaksi inflamasi yang bersifat akut, non imun dapat
diamati dengan baik dan mempunyai reproduksibilitas yang baik tinggi. Karagenin
akan menginduksi cedera sel dengan terlepasnya mediator yang mengawali proses
inflamasi. Udem maksimal terjadi setelah pelepasan mediator maksimal dan mampu
bertahan sampai beberapa jam. Udem yang disebabkan induksi karagenin dapat
bertahan sampai 6 jam dan bertahan selamanya 24 jam. Waktu laten pada karagenin
kurang lebih jam sebelum terjadi pembentukan udem makstidak akan terjadi setelah
2-3 jam.

2. Tentukan obat yang paling poten dalam menghambat peradangan karena karagenin
jelaskan!
Jawab:
Prednison merupakan obat golongan SAID (steoid) yang bekerja dengan
menghambat enzim fosfolipase Enzim fosfolipase mengubah fosfolipid menjadi asam
arakidonat. Karagenin merupakan suatu senyawa yang dapat menyebabkan pelepasan
asam arakidonat dari fosfolipid dengan bantuan fosfolipase. Dengan bantuan
Prednison, enzim fosfolipase tidak akan terbentuk Dengan tidak adanya asam
arakidonat prostaglandin, tromboksan dan leukoterin tidak disintesis sehingga tidak
terjadi inflamasi.

3. Cari dan jelaskan cara uji daya anti inflamasi yang lain!
Jawab:
Macam-Macam metode yang digunakan untuk uji anti inflamasi antara lain adalah:
a. Asam asetat sebagai penginduksi rasa nyeri Setelah 2 minggu hewan
disesuaikankan, mencit galur ICR jantan (18-25 gr) dibagi secara acak ke
dalam 4 kelompok termasuk juga ke dalamnya kelompok normal dan
kelompok kontrol positif, dan 2 kelompok uji Kelompok kontrol diberikan
salin, sedangkan kelompok positif kontrol diberikan indometasın (10 mg/kg
ip) 20 menit sebelum diberikan asam asetat. Dosis sampel uji diberikan dalam
dua variasi dosis, dimana diberikan secara peroral 60 menit sebelum asam
asetat (01 ml/10 gr) diberikan % menit setelah injeksı ıp asam asetat dilihat
tikus yang mengalami nyeri dalam rentang waktu 10 menit.
b. Etil fenil propionate sebagai penginduksi edem pada telinga tikus Tikus jantan
(100-150 gr) digunakan sebagai hewan coba. Edema telinga diinduksi secara
topikal EEP dengan dosis 1 mg/20ul pertelinga pada bagian permukaan dan
dalam kedua telinga dengan menggunakan pipet otomatis. Sampel uji juga
diterapkan pada telinga dengan volume yang sama seperti EEP. Waktu
sebelum 30 menit, 1 jam dan 2 jam merupakan waktu setelah pengamatan
indukya. Ketebalan telinga diukur dalam jangka waktu tertentu.
c. Putih telur sebagai penginduksi edema
Empat kelompok tikus wistar jantan dan betina yang diberikan Grup 1
propilenglikol 10%, grup 2 dan 3 sampel uji, dan grup 4 diberikan natrium
diklofenak sebagai kontrol positif (100 mg/kg po). Setelah 30 menit, masing-
masing kelompok disuntikkan dengan putih telur sebanyak 0,5 ml pada
telapak kaki kırı Digunakan pletismometer digital untuk mengukur volume
kaki yang mengalami udema dalam perode 120 menit dengan interval 30, 60,
90, 120 menit. Siklooksigenase mensintesis prostaglindin G2 dan
prostaglandin H2 yang kemudian akan membentuk prostasiklinp,
tromboksan, dan prostaglandin yang lebih stabil. Enzim Lipooksigenase
diubah menjadi asam asam mono dan dihidroksı (HETE) yangmerupakan
prekusor dari leuktotrien (Katzung, 2014). Obat-obat golongan
nonkortikosteroid atau yang disebut NSAID. Sebagian besar NSAID
menghambat COX 1 dan COX 2 untuk mencegah produksi prostaglandin
Obat golongan NSAID dibedakan menjadi dua yaitu Non-selective COX
inhibitors dan SelectiveCOX-2 Inhibitors. Obat-obat yang termasuk ke dalam
Non-selective COX inhibitor antaralain diclofenac, indomethasin, piroxicam,
dan maloxicam. Sedangkan obat-obat yangtermasuk dalam golongan
selective COX-2 inhibitors adalah celecoxib dan rofecoxib Selainitu,
golongan obat yang termasuk ke dalam kortikosteroid adalah prednisolone,
dexamethasone, dan rimexolone (Katzung, 2014).
BAB V

HASIL PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN

A. Hasil Percobaan
1. Tabel Rata-Rata Volume Udem
Rata-Rata Volume Udema
Perlakuan Sebelum perlakuan
15 30 45 60
Negatif 0,21 0,23 0,25 0,27 0,09
Metil 0,19 0,22 0,25 0,26 0,10
Na.Diklo 0,14 0,16 0,18 0,18 0,08
Prednison 0,12 0,24 0,22 0,18 0,20
Dexa 0,08 0,11 0,12 0,15 0,18
2. Tabel Rata-Rata (%) Udem
Rata-Rata Volume Udema
Perlakuan Sebelum perlakuan
15 30 45 60
Negatif 133,33 155,56 177,78 200 0,09
Metil 90 120 150 160 0,10
Na.Diklo 75 100 125 125 0,08
Prednison 100 83,33 50 66,66 0,12
Dexa 37,5 50 87,5 62,5 0,08

3. Tabel Persen (%) Inhibisi


Rata-Rata Volume Udema
Perlakuan
15 30 45 60
Negatif 0 0 0 0
Metil 32,48 22,85 15,62 20
Na.Diklo 77,77 35,71 29,68 75
Prednison 24,99 46,42 62,50 45,45
Dexa 71,87 67,85 34,37 48,86
B. Perhitungan
1. Perhitungan Pengenceran Dosis Obat
1. Kontrol Negatif (Aquadest)
= 3 mL per intraperitoneal (i.p)

2. Methyl Prednisolon 4 mg
Konversi dosis Tikus pada Manusia 70 kg/BB
= 0,018 × 4 mg
= 0,072 mg
Pengambilan bahan dengan bobot tablet 130 mg
BT x 0,072 mg
= 𝑉𝑜𝑙 𝐿𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 = 4
130 x 0,072 mg
= 4 mg

= 2,34 mg dalam 5 mL (diambil 2,5 mL untuk diberikan secara i.p)

3. Natrium Diclofenac 50 mg
Konversi dosis Tikus pada Manusia 70 kg/BB
= 0,018 × 50 mg
= 0,9 mg
Pengambilan bahan dengan bobot tablet 230 mg
BT x 0,9 mg
= 𝑉𝑜𝑙 𝐿𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 = 50
230 x 0,9 mg
== 50

= 4,14 mg dalam 5 mL (diambil 2,5 mL untuk diberikan secara i.p)

4. Dexamethasone 0,5 mg
Konversi dosis Tikus pada Manusia 70 kg/BB
= 0,018 × 0,5 mg
= 0,009 mg
Pengambilan bahan dengan bobot tablet 204,1 mg
BT x 0,009 mg
= 𝑉𝑜𝑙 𝐿𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 = 0,5
204,1 x 0,009 mg
== 0,5

= 3,67 mg dalam 5 mL (diambil 2,5 mL untuk diberikan secara i.p)

5. Prednison 5 mg
Konversi dosis Tikus pada Manusia 70 kg/BB
= 0,018 × 5 mg
= 0,09 mg
Pengambilan bahan dengan bobot tablet 199,2 mg
BT x 0,09 gram
= 𝑉𝑜𝑙 𝐿𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 = 5 mg
199,2 x 0,09 mg
= 5 mg

= 3,6 mg dalam 5 mL (diambil 2,5 mL untuk diberikan secara i.p)

2. Perhitungan Rata-Rata Volume Udem


1) Kontrol Negatif (Aquadest + Karagenin )
0,21−0,09
% Udem 15 menit = 𝑥 100%
0,09
0,12
= 0,09 𝑥 100%

= 133,33 %

0,23 −0,09
% Udem 30 menit = 𝑥 100%
0,09
0,14
= 0,09 𝑥 100%

= 155,56 %

0,25 −0,09
% Udem 45 menit = 𝑥 100%
0,09
0,16
= 0,09 𝑥 100%

= 177,78 %
0,27 −0,09
% Udem 60 = 𝑥 100%
0,09
0,18
= 0,09 𝑥 100%

= 200 %

2) Methylprednisolone 4 mg
0,19 −0,10
% Udem 15 menit = 𝑥 100%
0,10
0,09
= 0,10 𝑥 100%

= 90 %

0,22 −0,10
% Udem 30 menit = 𝑥 100%
0,10
0,12
= 0,10 𝑥 100%

= 120 %

0,25 − 0,10
% Udem 45 menit = 𝑥 100%
0,10
0,15−0,10
= 𝑥 100%
0,10

= 150 %

0,26 −0,10
% Udem 60 menit = 𝑥 100%
0,10
0,16
= 0,10 𝑥 100%

= 160 %

3) Natrium Diclofenac 50 mg
0,14 −0,08
% Udem 15 menit = 𝑥 100%
0,08
0,06
= 0,08 𝑥 100%

= 75 %
0,16 −0,08
% Udem 30 menit = 𝑥 100%
0,08
0,08
= 0,08 𝑥 100%

= 100 %

0,18 −0,08
% Udem 45 menit = 𝑥 100%
0,08
0,01
= 0,08 𝑥 100%

= 125 %

0,18 −0,08
% Udem 60 menit = 𝑥 100%
0,08
0,01
= 0,08 𝑥 100%

= 125 %

4) Dexamethasone 0,5 mg
0,11−0,08
% Udem 15 menit = 𝑥 100%
0,08
0,03
= 0,08 𝑥 100%

= 37,5 %

0,12−0,08
% Udem 30 menit = 𝑥 100%
0,08
0,04
= 0,08 𝑥 100%

= 50 %

0,15−0,08
% Udem 45 menit = 𝑥 100%
0,08
0,07
= 0,08 𝑥 100%

= 87,5 %
0,13−0,08
% Udem 60 menit = 𝑥 100%
0,08
0,05
= 0,08 𝑥 100%

= 62,5%

5) Prednison 5 mg
0,24 −0,12
% Udem 15 menit = 𝑥 100%
0,12
0,12
= 0,12 𝑥 100%

= 100 %

0,22 −0,12
% Udem 30 menit = 𝑥 100%
0,12
0,10
= 0,12 𝑥 100%

= 83,33 %

0,18 −0,12
% Udem 45 menit = 𝑥 100%
0,12
0,16
= 0,12 𝑥 100%

= 50%

0,20 −0,12
% Udem 60 menit = 𝑥 100%
0,12
0,08
= 0,12 𝑥 100%

= 66,67 %

3. Perhitungan Persen Inhibisi


1). Kontrol Negatif (Aquadest)
133,33−133,33
% Inhibisi 15 menit = 𝑥 100%
133,33

=0%

155,56−155,56
% Inhibisi 30 menit = 𝑥 100%
155,56
=0%

177,78−177,78
% Inhibisi 45 menit = 𝑥 100%
177,78

=0%

200−200
% Inhibisi 60 menit = 𝑥 100%
200

=0%

2). Methylprednisolone 4 mg
133,33−90
% Inhibisi 15 menit = = 𝑥 100%
133,33
43,33
= 133,33 𝑥 100%

= 32,49 %

155,56 −120
% Inhibisi 30 menit = 𝑥 100%
155,56
35,56
= 155,56 𝑥 100%

= 22,85 %

177,78−150
% Inhibisi 45 menit = 𝑥 100%
177,78
27,78
= 177,78 𝑥 100%

= 15,62 %

200−160
% Inhibisi 60 menit = 𝑥 100%
200
40
= 200 𝑥 100%

= 20 %
3). Natrium Diclofenac 50 mg
133,33−75
% Inhibisi 15 menit = 𝑥 100%
133,33
58,33
= 133,33 𝑥 100%

= 77,77 %

155,56 −100
% Inhibisi 30 menit = 𝑥 100%
155,56
55,56
= 155,56 𝑥 100%

= 35,71 %

177,78−125
% Inhibisi 45 menit = 𝑥 100%
177,78
52,78
= 177,78 𝑥 100%

= 29,68 %

200−125
% Inhibisi 60 menit = 𝑥 100%
200
75
= 200 𝑥 100%

= 75 %

4) Dexamethasone 0,5 mg
133,33−37,5
% Inhibisi 15 menit = 𝑥 100%
133,33
95,83
= 133,33 𝑥 100%

= 71,87 %

155,56−50
% Inhibisi 30 menit = 𝑥 100%
155,56
105,56
= 𝑥 100%
155,56

= 67,86 %
133,33−87,5
% Inhibisi 45 menit = 𝑥 100%
133,33
45,83
= 133,33 𝑥 100%

= 34,37 %
122,22−62,5
% Inhibisi 60 menit = 𝑥 100%
122,22
59,72
= 122,22 𝑥 100%

= 48,86 %

5) Prednison 5 mg
0,24
% Inhibisi 15 menit = 133,33 𝑥 100%
33,33
= 133,33 𝑥 100%

= 25 %

155,56−83,33
% Inhibisi 30 menit = 𝑥 100%
155,56
72,23
= 155,56 𝑥 100%

=46,43 %

133,33−50
% Inhibisi 45 menit = 𝑥 100%
133,33
83,33
= 133,33 𝑥 100%

= 62,5 %

122,22−66,67
% Inhibisi 60 menit = 𝑥 100%
122,22
55,55
= 122,22 𝑥 100%

= 45,45 %
BAB VI

PEMBAHASAN

Anti-inflamasi didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang


memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Radang atau inflamasi
dapat disebabkan oleh berbagai rangsangan yang mencakup luka-luka fisik, infeksi,
panas dan interaksi antigen-antibodi (Houglum, 2005).

Obat-obat antiinflamasi adalah obat yang memiliki mekanisme kerja umum


berupa penghambatan sintesis prostaglandin via penghambatan enzim
siklooksigenase. Siklooksigenase bertanggung jawb dalam biosintesis prostaglandin.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi dibagi menjadi 2 golongan
yaitu golongan steroid yang berkerja dengan menghambat pelepasan prostaglandin
dan sel-sel sumbernya dan golongan nonsteroid (NSAID) yang bekerja melalui
mekanisme inhibisi siklooksigenase yang berperan pada biosintesis prostaglandin.
Obat-obat yang digunakaan sebagai antinflamasi yaitu golongan nonsteroid (AINS)
dan kortikosteroid, dimana kedua golongan tersbeut samasama memiliki kemampuan
untuk menekan tanda-tanda dan gejala-gejala inflamasi, namun sayangnya kedua
golongan obat ini seringkali menimbulkan efek yang merugikan dan berbahaya
seperti kerusakan gastrointestinal, nefrotoksik dan hepatotoksik (Katzung, 2002).
NSAID adalah obat antiinflamasi dengan struktur molekul yang berbeda
dengan steroid. Secara kimiawi, obat antiinflamasi non steroid 19 adalah senyawa
turunan dari asam asetat, asam propionat, pirazol, dan bahan kimia lainnya. Obat ini
bekerja dengan menghambat aksi siklooksigenase. Enzim inilah yang berperan
penting dalam jalur metabolisme asam arakhidonat yang mengkatalis ini yang
mengkonversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin dan tromboksam. Ada dua
isoform diklorooksigenase yakni siklooksigenase 1 dan siklooksigenase 2. Kedua
bagian tersebut memiliki struktur yang sama, tetapi pada bagian substrat saluran
pengikat enzim siklooksigenase 2 memiliki sisi yang berbeda dengan enzim
siklooksigenase 1. Hal ini adalah dasar untuk selektivitas penghambatan enzim oleh
NSAID (Zahra dan Carolia, 2017).
Kelompok obat antiinflamasi non steroid diantaranya ibuprofen, aspirin,
naproxen, indomestatin, diflunisal, tolmetin, fenoprofen, phenylbutanone, dan
natrium diklofenak. Indikasi obat ini yakni penyakit yang disertai peradangan,
terutama penyakit rematik yang disertai dengan peradangan. Efek samping yang
paling umum adalah menyebabkan tukak lambung atau tukak peptik yang terkadang
disertai dengan anemia yang disebabkan oleh peradangan saluran cerna (Septiana,
2018).
Kostikostreroid dapat mencegah atau menekan gejala peradangan. Obat
golongan ini bekerja untuk menghambat aktivitas fosfolipase, sehingga menghambat
pelepasan asam arakhidonat yang diperlukan untuk mengaktifkan jalur ezimatik
berikutnya. Penghambatan ini menyebabkan gangguan dalam sintesis prostaglandin,
tromboksan, dan leukotrien. Kortikosteroid juga dapat mengurangi gejala inflamasi
melalui 22 vasokontriksi, menurunkan permeabilitas kapiler dengan mengurangi
jumlah histamin yang dilepaskan oleh basofil, dan menghambat fagositosis sel darah
putih dan makrofag jaringan (Septiana, 2018).
Kortikosteroid yang umum digunakan antara lain prednison, betametason,
dan deksametason. Penggunaan kortekosteroid sebagai obat antiinflamasi pada
dasarnya hanyalah pengobatan paliatif, sehingga hanya gejala yang ditekan
sedangkan penyebab dari penyakit tetap ada. Efek samping dari penggunaan obat
golongan steroid diantaranya yaitu dapat menyebabkan tukak peptik, osteoporosis,
penurunan imunitas, atropi otot dan jaringan lemak, meningkatkan tekanan intra
okular, dan bersifat diabetik (Septiana, 2018).
Asam arakidonat (AA), atau asam 5,8,11,14-tetraenoat, yaitu prekursor
eikosanoid yang paling banyak, adalah suatu asam lemak 20 karbon (C20) yang
mengandung empat ikatan rangkap (disebut C20:4-6). AA mula-mula harus
dibebaskan atau dimobilisasi dari posisi sn-2 fosfolipid membran oleh satu atau lebih
lipase tipe fosfolipase A2 (PLA2) (Gambar 18-1) agar terjadi sintesis eikosanoid.
Paling tidak terdapat tiga fosfolipase yang memperantarai pembebasan arakidonat
dari lemak membran: PLA2 sitosol (c), PLA2 sekretorik (s), dan PLA2 independen-
kalsium (i) (Katzung et al.,2012).
Rangsangan fisik dan kimia memicu translokasi dependen-Ca2+ cPLA2 grup
IVa, yang memiliki afinitas tinggi terhadap AA, ke membran, tempat zat ini
membebaskan arakidonat. Telah ditemukan banyak isoform PLA2 lain (iPLA2 grup
VI dan sPLA2 dari grup IIa, V, dan X). Pada keadaan tanpa rangsangan, AA yang
dibebaskan oleh iPLA2 bergabung kembali ke membran sel sehingga sintesis
eikosanoid hampir dapat diabaikan. Sementara cPLA2 dominan dalam pengeluaran
akut AA, sPLA2 berperan dalam stimulasi produksi AA yang intens atau terus-
menerus. AA juga dapat dibebaskan oleh kombinasi fosfolipase C dan digliserida
lipase. Setelah dimobilisasi, AA mengalami oksigenasi oleh empat rute berbeda: jalur
siklooksigenase (COX), lipoksigenase, P450 epoksigenase, dan isoeikosanoid
(Katzung et al.,2012).
Berbagai faktor yang menentukan jenis eikosanoid yang disintesis adalah (1)
spesies lemak substrat, (2) jenis sel, dan (3) cara bagaimana sel terangsang. Dari
prekursor selain AA dapat dihasilkan berbagai produk yang berbeda, tetapi berkaitan.
Sebagai contoh, asam homo-γ-linoleat (C20:3-6) atau asam eikosapentanoat (C20:5-
3, EPA) menghasilkan produk-produk yang secara kuantitatif dan kualitatif berbeda
dari yang berasal dari AA. Pergeseran pembentukan produk ini merupakan dasar
dalam pemakaian asam lemak yang diperoleh dari ikan air dingin atau dari tanaman
sebagai suplemen nutrisi pada manusia. Sebagai contoh, tromboksan (TXA2), suatu
vasokonstriktor kuat dan agonis trombosit, disintesis dari AA melalui jalur COX
(Katzung et al.,2012).
Hasil tertinggi pada persen inhibisi radang jika dibandingkan dengan kontrol
negatif yaitu pada perlakuan obat metyl salisilat, hal ini dikarenakan metyl salilat
terbukti mampu menghilangkan persen udem lebih tinggi dibandingkan kontrol obat
lain. Pada volume udem, jika dibandingkan dengan kontrol negatif, kontrol
dexametason memiliki volume udem terkecil hal ini dikarenakan obat dexametason
mampu menghilangkan udem secara signifikan pada jam 15, 30, 45 dan 60 menit.
Pada kontrol negatif diberikan aquadest dan karagenan, kontrol ini berfungsi
ini perbandingan pada semua kontrol sebagai hewan uji yang sakit. Maka dari itu
persen inhibisi radang pada jam ke 15, 30, 45, dan 60 menit terus meningkat.
Karagenan adalah karagenan memiliki peranan dalam mukopolisakarida yang
diperoleh dari rumput laut merah Irlandia (Chondrus crispus). Karagenan tersebut
merupakan zat asing (antigen) yang apabila masuk ke dalam tubuh akan merangsang
pelepasan mediator inflamasi seperti histamin dan bradikinin sehingga dapat
menimbulkan radang akibat antibodi tubuh bereaksi terhadap antigen tersebut (Necas
& Bartosikova, 2013). Udem yang terbentuk akibat induksi karagenan akan
menyebabkan kenaikan volume radang, untuk waktu pengamatan relatif pendek yaitu
6 jam dan dalam 24 jam berangsur-angsur sembuh. Hal ini dapat dipastikan dengan
beberapa penelitian terdahulu yang sudah menggunakan karagenan sebagai
penginduksi (Adnyasari et al., 2017., Nuzul, 2019., Agustina et al., 2015).
Na Diklofenak adalah suatu turunan asam fenilasetat yang merupakan
inhibitor COX relatif non-selektif. Karakteristik farmakokinetik dan dosis 50-75 mg
empat kali sehari. Tukak saluran cerna mungkin lebih jarang terjadi di bandingkan
dengan OAINS lain. Suatu preparat yang mengombinasikan diklofenak dan
misoprostol dapat mengurangi ulserasi saluran cerna atas, tetapi dapat menyebabkan
diare. Kombinasi lain diklofenak dan omeprazol juga efektif dalam kaitannya dengan
pencegahan perdarahan kambuhan, tetapi efek samping ginjal sering terjadi pada
pasien berisiko tinggi (Katzung et al., 2012).
Diklofenak, 150 mg/hari, tampaknya mengganggu aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus. Peningkatan aminot transferase serum lebih sering terjadi pada
obat ini dari pada OAINS lain. Terdapat suatu preparat oftalmik 0,1% yang
dipromosikan untuk mencegah peradangan mata pascaoperasi dan dapat digunakan
setelah bedah strabismus dan implantasi lensa intraokulus. Suatu gel topikal yang
mengandung diklofenak 3% efektif untuk keratosis solaris. Diklofenak dalam bentuk
supositoria rektum dapat dipertimbangkan untuk analgesia preemptive dan mual
pascaoperasi. Di Eropa, diklofenak juga tersedia sebagai obat kumur dan untuk
penyuntikan intramuskulus (Katzung et al., 2012).
Penyerapan sempurna dari obat natrium diklofenak terjadi pada saat
pemberian peroral. Konsentrasi plasma obat tercapai dalam waktu 2-3 jam.
Penanganan bersama makanan akan memperlambat laju penyerapan, tetapi tidak akan
mengubah jumblah penyerapan. Akibat metabolisme lintas pertama yang besar,
bioavailabilitas pada obat ini sekitar 50%. Tingkat pengikatan obat ke protein plasma
adalah 99%, dan waktu paruh 1-3 jam. Natrium diklofenak terakumulasi dalam cairan
sinovial setelah pemberian oral. Hal ini menunjukkan bahwa efek terapeutik pada
sendi jauh lebih besar daripada waktu paruhnya (Wahyuni, 2016).
Natrium diklofenak dapat mengurangi pembengkakan, nyeri, serta
peningkatan fungsi sendi. Terhambatnya prostaglandin juga dapat menimbulkan efek
samping pada saluran pencernaan, utamanya pada organ lambung. Ketika
prostaglandin dihambat, sekresi mukosa sebagai perlindungan pada lambung
terhadap asam lambung dan enzim akan menurun. Efek samping dari peristiwa
tersebut adalah dispepsia, pendarahan, tukak lambung, dan eritmia terus menerus
akan mengakibatkan anemia (Septiana, 2018).
Metyl salisilat mencakup magnesium kolin salisilat, natrium salisilat, dan
salisil salisilat. Semua salisilat non-asetilasi efektif sebagai obat anti-inflamasi,
meskipun sebagai analgesik mungkin kurang efektif dibandingkan dengan aspirin.
Karena jauh kurang efektif dibandingkan dengan aspirin sebagai inhibitor COX dan
tidak menghambat agregasi trombosit, obat golongan ini mungkin lebih disukai jika
inhibisi COX tidak diinginkan misalnya pada pasien dengan asma, mereka yang
mengidap kecenderungan perdarahan, dan bahkan (di bawah pengawasan ketat)
mereka yang mengidap disfungsi ginjal. Salisilat non-asetilasi diberikan dalam dosis
hingga 3-4 g salisilat per hari serta dapat dipantau dengan menggunakan pengukuran
salisilat serum (Katzung, et al,2012).
Natrium diklofenak yang merupakan anti-inflamasi nonsteroid dari derivat
fenil asetat yang mempunyai efek farmakologi menghambat sintesis prostaglandin.
Dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh Schweitzer et al., 2009 mengatakan
Natrium diklofenak dipilih karena natrium diklofenak dan metabolitnya dapat
mencapai konsentrasi yang sangat tinggi pada telapak kaki yang mengalami
peradangan. Salah satu kelebihan utama dari natrium diklofenak adalah
kemampuannya untuk memblokir isoenzim cyclooxygenase-2 (COX-2) 10 kali lipat
lebih besar dibandingkan dengan OAINS lain. Hal ini menyebabkan berkurangnya
insiden gangguan gastrointestinal, tukak lambung, dan perdarahan gastrointestinal.
Obat ini sudah tersedia bentuk-bentuk generiknya sehingga bisa didapatkan dengan
harga yang lebih murah (Sinatra, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Meinicke J
et al membuktikan bahwa natrium diklofenak memiliki efektivitas lebih baik daripada
ibuprofen dalam pengobatan artritis rheumatoid (Meinicke, 1980). Dosis harian
natrium diklofenak adalah 100 sampai 200 mg yang dibagi menjadi beberapa dosis
(Burke et al., 2006).
BAB VII

KESIMPULAN

1. Tujuan praktikum ini adalah untuk membandingkan daya antiinflamasi obat pada
hewan uji yang diinduksi dengan radang buatan.
2. Adapun obat yang digunakan dalam praktikum percobaan antiinflamasi ialah Na
Diclofenac 50 mg. Methylprednisolon 4 mg. Prednison 5 mg, Dexamethasone 0,5 mg
sebagai control negative dan aquadest sebagai control positif.
3. Dari pengamatan berdasarkan volume udem, rata-rata persen udem, dan hasil persen
inhibisi didapatkan hasil bahwa obat Methylprednisolon memiliki daya antiinflaması
yang kuat daripada obat yang lain. Semakin besar persentase inhibisi radang maka
efek antiinflamasi obat semakin besar Dengan demikian pada praktikum kali inı,
kelompok kontrol positif yang memiliki efek antiinflaması paling baik dimiliki oleh
methylprednisolon dengan rata-rata persen inhibisi mendekatı nilai 1 atau 100%.
4. Inflamasi adalah suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat mikrobiologik.
5. Karagenin 1% sebagai sublantar yaitu berfungsi untuk pembentukan udema pada
hewan uji.
DAFTAR PUSTAKA

Adnyasari, I. A. P. S., Puspawati, N. M., & Sukadana, I. M. (2017). Potensi Antiimplamasi


Secara In Vivo Ekstrak Etanol Batang Antawali (Tinospora Sinensis) Pada Tikus
Wistar Yang Diinduksi Karagenan. Cakra Kimia (Indonesian E-Journal of Applied
Chemistry), 5(2), 113–114.

Agustina, R., Indrawati, D. T., & Masruhin, M. A. (2015). Aktivitas Ekstrak Daun Salam
(Eugenia polyantha) Sebagai Antiinflamasi Pada Tikus Putih Jantan (Rattus
Norvegicus). Laboratorium penelitian dan pengembangan farmaka tropis fakultas
farmasi universitas mulawarman, samarinda, kalimantan timur, 120–123.
Abrams, C. S. (2005). Intracellular signaling in platelets.Curr.Opin.Hematol. 12, 401-405.
Burke, A., Smyth, E., & FitzGerald, G. A. (2006). Analgesic-antipyretic agents;
pharmacotherapy of gout. Goodman & Gilman's the pharmacological basis of
therapeutics, 11, 671-715.
Corwin, E.J (2008). Handbook of Pathophysiology, Edisi ketiga. Diterjemahkan oleh:
Subekti, N.B., Editor edisi Bahasa Indonesia: Yudha, E.K., Wahyuningsih, E.,
Yulianti, D., dan Karyuni, P.E. (2009). Buku Saku Patofisiologi, Edisi ketiga. Jakarta::
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 240.
Houglum, Peggy. (2005). Therapeutic Exercise for Musculoskeletal Injuries. Second
Edition.Human Kinetics.
Katzung, B.G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik : Reseptor- reseptor Obat dan
Farmakodinamik. Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp. 23-4.
Lumbanraja, L.B., 2009, Skrining Fitokima dan Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Daun
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) terhadap Radang pada Tikus, Skripsi, Fakultas
Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Meycek. J.M. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar . Jakarta: Widya Medika.
Price, SA., dan Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit,Edisi 6. Vol. 2, diterjemahkan oleh Pendit, B. U., Hartanto, H., Wulansari,
p.,Mahanani, D. A.,Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Vogel G.H., 2002, Drug Discovery And Evalution, Pharmakological Assay, Second
Completely Revised, Up Dated And England Ed, Springer – Verlag Berlind
Heidelberg New York.
Wilman P.F., (2007). Analgesik-Antipiretik, Analgesik-Antiinflamasi Nonsteroid dan Obat
Gangguan Sendi Lainnya, dalam Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi, Elysabeth.
Farmakologi dan Terapi.Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia Pp. 207-220.
Wongrakpanich, S., Wongrakpanich, A.,Melhado, K., Rangaswami, J., 2018. A
comprehensive review of non-steroidal anti-inflammatory drug use in the elderly.
Aging Dis. 9, 143–150.
https://doi.org/10.14336/AD.2017.030 6.
LAMPIRAN
a) Lembar ACC
b) Hasil dari alat plestimograf
a. Tikus 1 : Pemberian Kontrol (-) pada tiap 15 menit

b. Tikus 2 : Pemberian NDiklofenak 50mg Pada tiap 15 menit


c. Tikus 3 : Pemberian Methyl Prednisolon 4mg tiap 15 menit

Anda mungkin juga menyukai