Anda di halaman 1dari 7

Inflamasi adalah suatu respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh kerusakan pada jaringan yang

disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat mikrobiologik. Inflamasi berfungsi untuk
menghancurkan, mengurangi, atau melokalisasi (sekuster) baik agen yang merusak maupun jaringan
yang rusak (Agustina.et.,al 2015)

Obat antiinflamasi yang biasa digunakan dibagi menjadi dua, yaitu antiinflamasi steroid dan
antiinflamasi nonsteroid.Namun kedua golongan obat tersebut memiliki banyak efek samping.
Antiinflamasi steroid dapat menyebabkan tukak peptik, penurunan imunitas terhadap infeksi,
osteoporosis, atropi otot dan jaringan lemak, meningkatkan tekanan intra okular, serta bersifat diabetik,
sedangkan antiinflamasi nonsteroid dapat menyebabkantukak lambung hingga pendarahan, gangguan
ginjal, dan anemia.(Rinayanti.et.,al 2014)

reaksi-reaksi informasi tersebut kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau
diganti dengan jaringan baru, rangkaian reaksi ini disebut radang untuk mengetahui bagaimana cara
kerja atau efek obat antiinflamasi tersebut kepada manusia maka perlu dilakukan uji praklinik terhadap
hewan coba. Membuktikan apakah obat antiinflamasi yang digunakan benar-benar efektif dalam
mengurangi peradangan yang terjadi.(Kintyas,et.,al 2015)

Inflamasi atau radang merupakan proses fungsi pertahanan tubuh terhadap masuknya organisme
maupun gangguan lain. Inflamasi merupakan suatu reaksi dari jaringan hidup guna melawan berbagai
macam rangsangan.Tanda-tanda dari inflamasi yaitu kemerahan (rubor), panas (kalor), bengkak (tumor),
nyeri (dolor), dan hilangnya fungsi (function laesa) (Soenarto, 2014).

Fenomena yang terjadi dalam proses inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular,meningkatnya


permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit menuju jaringan radang (Chen et al, 2018).

Reaksi radang meskipun membantu menghilangkan infeksi dan stimulus yang membahayakan serta
memulai proses penyembuhan jaringan, reaksi radang dapat pula mengakibatkan kerugian dikarenakan
mengakibatkan jejas pada jaringan normal misalnya pada inflamasi dengan reaksi berlebihan (infeksi
berat), berkepanjangan, autoimun, atau kelainan alergi (Zhang et al, 2019).

Jenis inflamasi dibedakan menjadi dua macam:

1. Inflamasi akut

Pada inflamasi akut proses berlangsung singkat beberapa menit hingga beberapa hari, dengan gambaran
utama eksudasi cairan dan protein plasma serta emigrasi sel leukosit terutama neutrofil. Rubor, kalor,
dan tumor pada inflamasi akut terjadi karena peningkatan aliran darah dan edema. Inflamasi akut
biasanya terjadi tiba-tiba, ditandai oleh tanda-tanda klasik, dimana proses eksudatif dan vaskularnya
dominan

2. Inflamasi Kronik

Inflamasi kronik terjadi bila penyembuhan pada radang akut tidak sempurna, bila penyebab jejas
menetap atau bila penyebab ringan dan timbul berulang-ulang. Dapat pula diakibatkan oleh reaksi
immunologik. Radang berlangsung lama (berminggu-minggu, berbulan-bulan). Radang kronik ditandai
dengan lebih banyak ditemukan sel limfosit, sel plasma, makrofag, dan biasanya disertai pula dengan
pembentukan jaringan granulasi yang menghasilkan fibrosis (Mitchell et al, 2015).

Berdasarkan jenisnya, mediator inflamasi dibagi menjadi 2 yaitu mediator lokal yang disintesis secara
lokal oleh sel di tempat inflamasi dan mediator sistemik yang bisa sirkulasi di dalam plasma dan
disintesis oleh hati (Abdulkhaleq et al, 2018)

METODE SKRINING

Secara in vivo model hewan inflamasi digunakan dalam penentuan aktivitas senyawa atau bahan obat
sebagai antiinflamasi. Model hewan inflamasi dapat diperoleh dengan cara penyuntikan secara
intraplantar hewan uji (tikus atau mencit) dengan penginduksi seperti:karagenan, antigen asing dan
asam arakidonat, yang dapat mencetus proses inflamasi(ditandai dengan pembengkakan pada telapak
kaki hewan inflamasi) (Blank et al. 2004).

Bahan penginduksi inflamasi ini mencetus mekanisme inflamasi yang kompleks, melibatkan banyak
mekanisme, meliputi pelepasan mediator-mediator biokimia, seperti: prostaglandin,histamin, bradikini,
sitokin pro inflamasi, serta peningkatan migrasi sel-sel leukosit ke tempat terjadnya inflamasi (Chiang et
al. 2005). Selanjutnya model hewan inflamasi, ditritmendengan sediaan uji atau senyawa obat dengan
dosis yang telah ditentukan.Aktivitas antiinflamasi dapat ditentukan dengan cara mengukur bengkak
pada telapak kaki hewan uji dalam interval waktu tertentu, dengan menggunakan alat pletismometer.
Berkurangnya bengkak pada telapak kaki hewan uji menandakan adanya aktivitas antiinflamasi.

OBAT ANTIINFLAMASI

Berdasarkan mekanisme kerjanya, secara umum antiinflamasi dapat dibedakan menjadi dua golongan
obat, yaitu antiinflamasi non-steroid (AINS) dan antiinflamasi steroid.

1. Antiinflamasi Non-Steroid (AINS)

Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat (inhibisi) enzim siklooksigenase yang bertanggung
jawab dalam biosistesis prostaglandin, namun tidak bekerja pada penghambatan enzim lipoksigenase.
Enzim siklooksigenase mempunyai beberapa isomer,seperti COX1, COX2 dan COX3, berdasarkan ini pula
golongan obat antiinflamasi nonsteroid dapat dibedakan menjadi AINS selektif dan AINS tidak selektif.
AINS selektif bekerja dengan menghambat satu isomer COX, seperti COX2, contoh obat ini adalah
celecoxib. Sedangkan AINS tidak selektif bekerja dengan menghambat semua isomer

COX, contoh golongan obat ini adalah aspirin (obat prototipe), indometasin, diklofenak (Katzung, 1992).

2. Antiinflamasi Steroid
Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim phospholipase A2, yang bertanggung jawab
dalam pelepasan asam arakidonat (prekursor prostaglandin) dari membrane sel. Contoh dari golongan
obat ini adalah: prednison (Mycek et al. 1997).

C. ALAT DAN BAHAN

ALAT

a. Spuit

b. Oral sonde

c. Pletismometer manual atau digital

d. Timbangan berat badan,

BAHAN

a. Larutan karagenan 1% dalam aquadest (dibuat sehari sebelum percobaan),

b. CMC Na, suspense

c. Na Diklofenak 50 mg/70 Kgbb

d. Prednison 5 mg/70 Kgbb

D. PROSEDUR

1. Tikus dipuasakan (tetap diberi air minum) sejak ± 18 jam sebelum percobaan

2. Tikus ditimbang, lalu diberikan tanda pada sendi kaki belakang sebelah kiri untuk

setiap tikus.

3. Volume kaki tikus diukur dengan cara mencelupkan kaki yang telah ditandai sampai batas tanda yang
telah diberikan ke alat pletismometer, lalu dilihat tinggi

cairan pada alat (jika menggunakan pletismometer manual) atau nilai yang tertera

di layar (jika menggunakan pletismometer digital). Nilai ini dinyatakan sebagai volume awal (V0).

e. Tikus diberikan obat Na Diklofenak dengan dosis 50 mg/70 Kgbb, Prednison 5 mg/70 Kgbb dan
suspensi CMC Na untuk tikus kontrol secara oral.

f. Pada menit ke-30 setelah pemberian obat, disuntikkan larutan karagenan 1%

dengan volume 0,05 ml ke telapak kaki belakang kiri setiap tikus.


g. 30 menit kemudian, volume kaki yang telah disuntik karagenan diukur dan dicatat. Pengukuran
dilakukan selama 3 jam dengan interval 30 menit sekali.

h. Catat hasil pengamatan dalam tabel, lalu untuk setiap tikus, hitung persentase radang dan persentase
inhibisi radang yang terjadi untuk setiap titik waktu (30 menit, 60 menit, 90 menit dan seterusnya)
dengan menggunakan rumus:

i. Berdasarkan data yang diperoleh, gambarkanlah grafik persentase radang dan persentase inhibisi
radang yang tergantung pada waktu.

Inflamasi adalah proses tubuh untuk merespons infeksi atau kerusakan jaringan, ditandai dengan kalor
(panas), rubor (merah), tumor (bengkak), dolor (sakit), dan gangguan fungsi. Prinsip pertahanan tubuh
melawan benda asing diperankan oleh protein plasma dan sirkulasi leukosit, juga sel fagosit jaringan
yang merupakan derivat sel sirkulasi.5 Untuk memulai aktivitasnya, leukosit memerlukan interaksi
dengan sel lain melalui molekul adhesi pada matriks. Molekul adhesi dibutuhkan untuk pematangan
leukosit dalam jaringan limfoid, aktivasi dan migrasi leukosit ke jaringan, interaksi dan aktivasi antar sel
imun, baik limfosit B, limfosit T dan monosit

Patofisiologi

Terjadinya inflamasi adalah reaksi lokal dari jaringan atau sel terhadap suatu rangsangan. Jika ada
cedera, terjadi rangsangan untuk melepaskan zat kimia tertentu yang menstimulasi terjadinya
perubahan jaringan sebagai manifestasi dari radang, diantaranya yaitu histamin, serotonin, bradikinin,
leukotrien dan prostaglandin (Lumbanraja, 2009).

Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim yang terdapat pada jalur biosintetik dari prostaglandin,
tromboksan dan prostasiklin.Menurut Kujubu et al (1991) dalam Multazar et al (2012)Enzim ini
ditemukan tahun 1988 oleh Dr. Daniel Simmons, peneliti dari Harvard University. Cyclooxygenase
terbagi dua yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 sebagai housekeeping gen pada hampir seluruh jaringan
normal, sedangkan enzim COX-2 bertanggung jawab terhadap mekanisme inflamasi dan rasa nyeri
(Multazar et al., 2012). COX-2membentuk PGE2 dan PGI2 yang dapat menyebabkan terjadinya beberapa
proses biologis yaitu peningkatan permeabilitas kapiler, agen piretik dan hiperalgesia (Stables &Gilroy,
2010)

NSAIDs atau Non Seteroid Anti Inflamation Drugs merupakan salah satu obat yang sering digunakan
dalam mengatasi inflamasi pada pasien dengan penyakit arthritis (Lanza et al., 2009;

Indonesian Reumatology Association, 2014). NSAIDs bekerja dengan cara menghambat enzim
cyclooxygenase-1 dan 2 (COX-1 dan COX-2) sehingga menurunkan produksi prostaglandin (PGE2) dan
prostasiklin (PGI2) yang merupakan mediator inflamasi sehingga mengakibatkan terjadinya
vasokonstriksi. Selain mengakibatkan vasokonstriksi, penghambatan produksi prostaglandin ini berefek
pada meningkatnya retensi natrium(Lovell and Ernst, 2017). Berdasarkan mekanisme tersebut maka
penggunaan NSAIDs ini dapat berdampak pada timbulnya beberapa komplikasi seperti hipertensi,
edema, gangguan fungsi ginjal, dan pendarahan gatrointestinal (Landefeld et al., 2016; Lovell and Ernst,
2017).

Asam mefenamat sendiri bekerja dengan cara yang unik, yakni dengan cara menghambat kerja enzim
siklooksigenase (COX), suatu enzim yang berfungsi sebagai pembentukan prostaglandin. Prostaglandin
itu sendiri adalah suatu gejala yang terjadi akibat luka sehingga menyebabkan rasa sakit dan
peradangan.

Kortikosteroid menekan inflamasi melalui beberapa mekanisme. Mekanisme utamanya pada dosis
terapi adalah berikatan dengan koaktivator menghambat aktivitas histon asetilase dan merekrut histon
deasetilase 2 (HDAC2) untuk menghambat gen inflamasi aktif. Kortikosteroid menurunkan jumlah sel
inflamasi saluran napas termasuk diantaranya eosinofil, limfosit T, sel mast dan sel dendritik. Hal ini
terjadi akibat inhibisi perekrutan sel inflamasi ke saluran napas dengan mensupresi produksi mediator
kemotaktik dan molekul adesi dan menghambat survival sel inflamasi saluran napas seperti eosinofil,
limfosit T dan sel mast.

Dexamethasone adalah salah satu obat generik yang di produksi banyak perusahan farmasi.
Dexamethasone di gunakan untuk mengobati peradangan, dan menekan kerja sistem imun.
Dexamethasone bekerja dengan cara mencegah aktivasi pelepasan zat-zat tertentu di dalam tubuh yang
dapat menyebabkan reaksi peradangan

Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Glukokortikoid memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan
mineralokortikoid memiliki efek kuat terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit (Katzung, 2012;
Gilman, 2012; Johan, 2015).

Dalam beberapa kasus dibutuhkan obat antiinflamasi non steroid atau lebih dikenal dengan Non
Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAID).

Meskipun bermanfaat untuk meredakan rasa nyeri, tetapi NSAID mempunyai efek samping diantaranya
dapat menyebabkan kelainan kardiovaskuler, gagal ginjal bahkan pendarahan lambung. Oleh karena itu,
penggunaan NSAID harus secara selektif dengan memerhatikan faktor risiko yang ada pada pasien

pemakaian NSAID secara terus menerus tidak dianjurkan. Selain itu harus ada pemantauan ketat dari
dokter. Dia menjelaskan pada awalnya obat-obatan NSAID yang bersifat non selektif digunakan secara
luas sehingga meningkatkan angka kematian pada pasienWalaupun dikatakan selektif, tetapi tidak
benar-benar 100% aman karena masih mungkin terjadi efek samping dan reaksinya berbeda-beda pada
tiap individu,

NSAID, sambung Herman juga dapat meningkatkan risiko komplikasi jantung dan pembuluh darah
terutama pada pasien yang memiliki gangguan jantung dan pembuluh darah, dan ada atau tidaknya
kelainan hematologi. NSAID umumnya digunakan bagi pasien dengan penyakit kronik seperti autoimun
ataupun kanker.

Abdel-Khalek, A.M. (2016). Introduction to the psychology of self-esteem. Nova Sience Publishers:
University of Alexandria, Egypt.

Agustina, Ri., D. T. Indrawati, dan M. A. Masruhin. Aktivitas Ekstrak Daun Salam (Eugenia poyantha)
Sebagai Antiinflamsi Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). J. Trop. Pharm. Chem. 2015;3(2):120-123.

Arrigoni-Blank, M. R., E. G. Dimitrieva, E. M.Franzotti, A. R. Antoniolli, M. R. Andradeand M. Marchioro.


(2004). Anti-inflammatory and analgesic activity ofPeperomia pellucida (L.) HBK(Piperaceae). J.
Ethnopharmacol, 91, 215 –218

Chen, G. et al. (2018). Review Microglia in Pain: Detrimental and Protective Roles in Pathogenesis and
Resolution of Pain, Neuron, 100(6), pp. 1292–1311. doi: 10.1016/j.neuron.2018.11.009.

Chiang, N., Arita, M. dan Serhan, C.H. 2005. Anti-inflammatory circuitry: Lipoxin, aspirin-triggered
lipoxins and their receptor ALX. Prostaglandins, Leukotrienes and Essential Fatty Acids 73: 163–177.

Lumbanraja, L.B., 2009, Skrining Fitokima dan Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Daun Tempuyung
(Sonchus arvensis L.) terhadap Radang pada Tikus, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Mitchell, Laura, David A. Mitchell, dan Lorna McCaul. 2015. Kedokteran GigiKlinik Edisi 5. Jakarta : EGC
Buku Kedokteran.Mycek, J.M., Harvey, R.A., Champe, P.C dan Fisher, B.D. 1997. Lippincott’s Illustrated
Reviews: Pharmacology. Philadelphia: Lippincotts-Raven Publisher.

Soenarto. Inflamasi.Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2015. p. 93-108

Rinayanti, A., Ema D., dan Melisha A. H. Uji Efek Antiinflamsi Fraksi Air Daun Mahkota Dewa (Phaleria
macrocarpa (Shecff.) Boerl.) Terhadap Tikus Putih (Rattus norvegicus L.). Pharm Sci Res. 2014;1(2):78-85.

Lin HUI, Zhang FAN, Wang L, Zeng DE. Use Of Clinical Nomograms For Predicting Survival Outcomes In
Young Women With Breast Cancer. Oncology Letter. 2019 ; 17 (2): 1505–16.

Stables D, Rankin J, 2010. Physiology in Childbearing with Anatomy And Related Biosciences. 3th Ed.
Bailliere Tindal Elsevier, 723-738.

Lanza F., Chan F., and Quigley E. 2009. Guideline for Prevention of NSAID-Related Ulcer Complications.
The American Journal of Gastroenterology, 104: 728-7

Lovell A., and Ernst M. 2017. Drug-Induced Hypertension: Focus on Mechanisms and Management. Curr
Hypertens Rep, 19(39): 1-12.
Landefeld K., Gonzales H., and Sander G. 2016. Hypertensive Crisis: The Causative Effects of
Nonsterooidal Anti-Inflammatory Drugs. Journal of Clinical Case Reports, 6(7): 1-3

Katzung B.G. Farmakologi: Dasar Dan Klinik Buku 2. 1st ed. Jakarta: Salemba Medika; 2012. p.484.

Goodman & Gilman, 2012, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Editor Joel. G. Hardman & Lee E. Limbird,
Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman, Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Johan R (2015). Penggunaan Kortikosteroid Topikal yang Tepat. Jurnal Continuing Professional
Development 42 (4): 308-12.

Kortikosteroid adalah golongan obat untuk menghentikan proses inflamasi alias peradangan dalam
tubuh. Kortikosteroid bekerja menyerupai kortisol, hormon yang diproduksi kelenjar adrenalin tubuh,
dengan mempersempit pembuluh darah dan menekan reaksi sistem imun tubuh yang berlebihan.

Golongan obat kortikosteroid juga sering disebut sebagai steroid. Obat kortikosteroid juga tersedia
dalam beragam bentuk, mulai dari obat oral (minum), topikal/oles (krim, losion, gel, atau salep), dan
sistemik (infus atau injeksi).

Obat kortikosteroid topikal dalam bentuk krim atau salep adalah yang paling sering diresepkan untuk
mengatasi berbagai gejala penyakit kulit.

Beberapa jenis penyakit kulit yang dapat diobati dengan krim atau salep kortikosteroid meliputi:

dermatitis,

psoriasis,

iritasi kulit seperti biduran atau akibat gigitan serangga,

penyakit kulit komplikasi lupus (diskoid lupus),

reaksi alergi, serta

Linchen planus.

kortikosteroid dapat membantu meredakan pembengkakan, gatal, dan ruam kemerahan yang kerap
ditimbulkan sebagai gejala dari masalah kulit di atas

Anda mungkin juga menyukai