Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan

yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat

mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk mengidentifikasi atau merusak

organism yang menyerang. Menghilangkan dan mengatur derajat perbaikan

jaringan. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh untuk

menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya pada tempat cidra dan

mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan misalnya antigen. Virus,

bakteri, protozoa. Gejala proses terjadinya infalamasi sudah dikenal ialah, eritema,

edemu, kolor, dolor, function laesa (Katzung, B. G., 2001).

1. Eritema (kemerahan). Terjadi pada tahap pertama dari inflamasi. Darah

berkumpul pada daerah cidra jaringan akibat pelepasan mediator kimia tubuh

(kinin, prostaglandin, histamine)

2. Edema ( pembengkakan ) merupakan tahapan kedua dari infalamasi. Plasma

merembes kedalam jaringan intestinal pada tempat cidra. Kinin medilatasi

asteriol. Meningkatkan permeabilitas kapiler

3. Kolor (panas ) dapat disebabkan oleh bertambahnya pengumpulan darah. Atau

mungkin karena pirogen yaitu substansi yang menimbulkan demam, yang

mengganggu pusat pengaturan panas pada hipotalamus.

1
4. Dolor ( nyeri ), disebabkan pembengkakan pada pelepasan mediator-mediator

kimia.

5. Function laesa ( hilangnya fungsi ), disebabkan oleh penumpukan cairan pada

tempat cidra jarinangan karena rasa nyeri. Keduanya mengurangi mobilitas pada

daerah yang terkena.

Inflamasi (radang) biasanya dibagi dalam 3 fase, yaitu inflamasi akut,

respon imun, dan inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal

terhadap cedera jaringan, pada umumnya didahului oleh pembentukan respon

imun yang merupakan

suatu reaksi yang terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan

kekebalan diaktifkan untuk merespons organisme yang asing atau substansi

antigenik yang terlepas selama respon terhadap inflamasi akut serta kronis.

Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak menonjol

dalam respon akut. Inflamasi kronis dapat menyebabkan sakit dan kerusakan pada

tulang dan tulang rawan yang dapat 8 menyebabkan ketidakmampuan serta terjadi

perubahan-perubahan sistemik yang bisa memperpendek umur (Katzung, B. G.,

2001).

Respons inflamasi terjadi dalam 3 fase dan diperantai mekanisme yang

berbeda:

a. Fase akut,dengan ciri vasodilatasi local dan peningkatan permeabilitas

kapiler.

b. Reaksi lambat, tahap subakut dengan cirri infliltrasi sel leukosit dan fagosit.

c. Fase proliferatif kronik, pada mana degenerasi dan fibrosis terjadi.

2
1.2 Tujuan Percobaan

Mempelajari daya anti inflamasi obat pada hewan uji yang diinduksi

radang buatan .

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Anti Inflamasi

Anti inflamasi adalah obat yang dapat menghilangkan radang yang

disebabkan bukan karena mikroorganisme (non infeksi). Gejala inflamasi dapat

disertai dengan gejala panas, kemerahan, bengkak, nyeri/sakit, fungsinya

terganggu. Proses inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskuler, meningkatnya

permeabilitas vaskuler dan migrasi leukosit ke jaringan radang, dengan gejala

panas, kemerahan, bengkak, nyeri/sakit, fungsinya terganggu. Mediator yang

dilepaskan antara lain histamin, bradikinin, leukotrin, Prostaglandin dan

PAF.Obat-obat anti inflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas

menekan atau mengurangi peradangan. Obat ini terbagi atas-dua golongan, yaitu

golongan anti inflamasi non steroid (AINS) dan anti inflamasi steroid (AIS).

Kedua golongan obat ini selain berguna untuk mengobati juga memiliki efek

samping yang dapat menimbulkan reaksi toksisitas kronis bagi tubuh (Katzung,

1992).

2.2 Inflamasi

Inflamasi, dalam bahasa Indonesia sehari-hari, yaitu radang. Kita sering

mendengar misalnya, radang usus, radang otak, radang paru-paru, peradangan,

bengkak memar dan seterusnya. Penggunaan istilah ini telah dikenal secara tradisi

sejak jaman Yunani dan Tiongkok kuno, ribuan tahun yang lalu. Dari penemuan-

4
penemuan terakhir, para pakar berpendapat bahwa, sebetulnya inflamasi (atau

radang) bukanlah berupa penyakit itu sendiri. Inflamasi diperlukan oleh tubuh kita,

karena proses reaksi biokimia inflamasi di dalam tubuh ditujukan melawan invasi

bakteri dari luar, zat-zat yang negatif bagi sel-sel, jaringan sel, serta organ-organ,

ataupun bila terjadi luka. Dalam hubungan ini, jenis sel seperti leukocyte,

neutrophil, berperan memusnahkan invasor. Dapat kita gambarkan fungsinya

seperti pasukan keamanan dari sesuatu bahaya yang menyerang keseimbangan

tubuh. Terutama neutrophil, berperan sebagai patrol keamanan tubuh kita, begitu

menemukan sesuatu yang asing ditubuh, serta merta akan memusnahkannya.

Dalam proses inflamasi, chemical mediator (juga disebut lipd mediator karena

berasal dari asam lemak AA, DHA dan EPA) berupa leukotriene dan

prostaglandins, turunan dari AA, memegang peranan penting. Pada waktu yang

bersamaan, proses pemusnahan awal terhadap invasor, neutrophil mengeluarkan

chemical mediator yang mana memberikan sinyal berikutnya merekrut lebih

banyak lagi sel neutrophil dan leukocyte untuk turut beraksi memusnahkan invasor.

Proses pemusnahan ini disebut phagocytosis (kemampuan memakan, menelan).

Dalam proses ini neutrophil mengeluarkan agent, enzyme (reactive oxygen

species, hydrolytic enzymes, dan lain-lain), yang secara umum juga tidak baik bagi

tubuh dan dapat merusak sel, jaringan sel. Pertahanan tubuh telah menyiapkan

mekanisme sedemikian rupa, pada tahap tertentu, aksi selanjutnya dari neutrophil

harus dicegah. Pencegahan tersebut terjadi di mana biosintesa chemical mediator

yang pro-inflamasi, leukotrine, distop, dan beralih ke biosintesa chemical mediator

anti-inflamasi jenis lipoxins.

5
2.3 Obat Antiinflamasi dari Golongan Steroid (Glukokortikoida)

Efek antiinflamasi golongan steroid (glukokortikoid) berhubungan dengan

kemampuan untuk merangsang biosintesis protein lipomodulin, yang dapat

menghambat kerja enzimatik fosfolipase A2sehingga mencegah pelepasan

mediator seperti asam arakhidonat dan metabolitnya seperti prostaglandin (PG),

leukotrien (LT), tromboksan dan prostasiklin. Glukokortikoid dapat memblok

jalur siklooksigenase dan lipooksigenase, sedangkan AINS hanya memblok enzim

siklooksigenase. Contoh senyawa yang termasuk dalam kelompok ini adalah

kortison, hidrokortison, deksametason, prednison dan sebagainya (Kee dan

Evelyn, 1996).

2.4 Obat Antiinflamasi Non-Steroida (AINS)

AINS merupakan kelompok obat-obat yang bekerja dengan aktivitas

menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi

prostaglandin menjadi terganggu. AINS cocok digunakan untuk mengurangi

pembengkakan, nyeri dan kekakuan sendi (Kee dan Evelyn, 1996).

Contoh senyawa yang termasuk dalam kelompok ini adalah:

1. Turunan asam salisilat, contoh: aspirin, diflusinal, sulfasalazin, olsalazin

2. Turunan para-aminofenol, contoh: asetaminofen

3. Indol dan asam indene asetat, contoh: indometasin, sulindak, etodolak

4. Asam heteroalil asetat, contoh: tolmetin, diklofenak, ketorolak

5. Asam arilpropionat, contoh: ibuprofen, naproksen, feniprofen, ketoprofen

6. Asam antranilat (fenamat), contoh: asam mefenamat, asam meklofenamat

6
7. Asam enolat, contoh: oksikam (piroksikam, tenoksikam), pirazolidin

(fenilbutazon, oksifentatrazon) (Foye, 1996).

Fenomena inflamasi pada tingkat bioselular masih belum dijelaskan secara

rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan disepakati.

Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, Meningkatnya

permeabilitas kapiler dam migrasi leukosit kejaringan radang. Gejala proses

inflamasi yang sudah dikenal adalah kalor, rubor tumor, dolor dan functio laesa.

Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang

dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin(5ht), faktor

kemotaktik, bradikinin, leukotrin, dan PG. Penelitian terakhir menunjukkan

autokoid lipid PAF ( platelet activating fat) juga merupakan mediator inflamasi.

Dengan migrasi sel fagosit kedaerah ini, terjadi lisis membran lisozin dan lepasnya

enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap

mediator kimiawi tersebut kecuali PG.

Inflamasi sampai sekarang fenomena ini inflamasi pada tingkat bioselular

masih belum dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah

diketahui dan disepakati. Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan

mikrovaskular, Meningkatnya permeabilitas kapiler dam migrasi leukosit

kejaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal adalah kalor, rubor

tumor, dolor dan functioleasa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak

mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-

hidroksitriptamin(5ht), faktor kemotaktik, bradikinin, leulotrin, dan PG. Penelitian

terakhir menunjukkan autokoid lipid PAF ( patelet activating fat) juga merupakan

7
mediator inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit kedaerah ini, terjadi lisis membran

lisozin dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak

berefek terhadap mediator kimiawi tersebut kecuali PG.

Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin

(PGI2) dalam jumlah nanogram, menimbulkan eritem vasodilatasi dan peningkatan

aliran darah secara lokal. Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan

permaibilitas vaskular, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. Dengan

penambahan sedikit PG efek eksudas hitamin plasma dan bradikinin menjadi lebik

jelas. Migrasi leukosit ke jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses

inflamasi. PG sendiri tidak bersifat kemotaktik tetapi produk lain dari asam

arakidonat yakni leukotrien B4 merupakan merupakan zat kemotaktik yang sangat

paten. Obat mirip aspirin tidak menghambat sistemhipoksigenase yang

menghasilkan leukotrien sehingga golongamn obat ini tidak menekan migrasi sel.

Walaupun demikian dosis tinggi juga terlihat penghambatan migrasi sel tanpa

mempengaruhi enzim liposigenase. Obat yang menghambat biosintesis PG maupun

leukotrin tentu akan lebih paten menekan proses iflfmasi. (Wilmana, F.P., 1995).

OAINS membentuk kelompok yang berbeda-beda secara kima(kiri0, tetapi

semuanya mempunyai kemampuan untuk menghambat siklooksigenase(COX) dan

inhibisi sintesis prostaglandin yang diakibatkannya sangat berperan untuk efek

terapeutiknya. Sayangnya, inhibisi sintesis prostaglandin dalam mukosa gaster

sering menyebabkan kerusakan gastrointestinal(dispepsia, mual, dan gastiritis).

Efek samping yang paling serius adlah perdarahan gastrointestinal dan perforasi.

COX terdapat pada jaringan sebagai suatu isoform konstitutif (COX-1), tetapi

8
sitokin pada lokasi inflamasi menstimulasi induksi isoform kedua (COX-2).

Inhibisi (COX-2) diduga bertanggungjawab untuk efek antiinflamasi OAINS,

sementara inhibisi COX-1 bertanggung jawab untuk toksisitas gastointestinal.

OAINS yang paling banyak digunakan adalah yang selektif untuk COX-1, tetapi

inhibitor COX-2 selektif telah diperkenalkan baru-baru ini (Neal, M.J., 2006).

Pasien-pasien ini sering diberi resep OAINS dan sangat banyak tablet

aspirin, parasetamol, dan ibuprofen tambahan yang dibeli bebas untuk terapi

sendiri pada sakit kepala, nyeri gigi, berbagai gangguan muskokletal, dan lain-lain.

Obat-obat ini tidak efektif pada terapi nyeri viseral(misalnya infark miokard, kolik

renal, dan abdomen akut) yang membutuhkan analgesik opioid. Akan tetapi,

OAINS efektif pada nyeri hebat tipe tertentu(misalnya kanker tulang). Aspirin

mempunyai aktivitas antiplatelet yang penting (Neal, M.J., 2006).

Prostaglandin dan senyawa yang berkaitan diproduksi dalam jumlah kecil

dan semua jaringan. Umumnya bekerja bekerja lokal pada tempat prostaglandin

tersebut disintesis, dan cepat dimetabolisme menjadi produk inaktif pada tempat

kerjanya. Karena itu, prostaglandin tidak bersirkulasi dengan konsentrasi bermakna

dalam darah. Tromboksan, leukotrin, dan asam hidroksiperosieikosatetraenoat

merupakan lipid yang berkaitan disintesis dari prekursor yang sama sebagai

prostaglandin memakai jalan yang berhubungan.

PG hanya berperan pada yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau

iflamasi. Penelitian tellah membukyikan bahwa PG menyebabkan snsti reseptor

nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi, jadi PG menimbulkan keadaan

hiperalgesia.Kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin

9
merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata obat mirip aspirin tidak

mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan oleh efek langsung PG.

Ini menunjukkan bahwa sintesis PG yang dihambat oleh golongan obat ini dan

bukanya blokade jantung (Wilmana,F.P., 1995)

Prostaglandin dan metabolismenya yang dihasilkan secara endogen dalam

jaringan bekerja sebagai tanda lokal menyesuaikan respon tipe sel spesifik. Fungsi

dalam tubuh bervariasi secara luas tergantung pada jaringan. Misalnya pelepasan

TXA2 dari trombosit mencetuskan penambahan trombosit baru untuk agregasi (

langkah pertama pada pembentukan gumpalan). Namun pada jaringan lain

peningkatan kadar TXA2 membawa tanda yang berbeda, misalnya otot polos

tertentu senyawa ini menginduksi kontraksi. Prostagladin merupakan salah satu

mediator kimiawi yang dilepasklan pada proses agresi alergi dan inflamasi.

(Mycek, M.J., 2001)

Inflamasi pada rematoid artistis merupakan reaksi antara antigen, antibodi

dan komlemen yang menyebabkan terentuknya faktor kemoteraktik yang menjadi

penatik leukosit, leukosit ini memfogositasi kompleks antigen-antigen komplemen

dan juga melepaskan enzim-enzim dari lisosom yang menyebabkan kerusakan

tulang rawan dan jaringan lain, Sehingga timbullah inflamasi (Syamsul Munaf,

1994).

Pada demam rematik salisilat mengurangi gejala kerusaakan sendi, tetapi

kerusakan jantung tidak dipengaruhinya Bila diberikan per oral, diserap

dangan cepat sebagian dari lambung sebaguian dari usus halus bagian atas. Kadar

puncak akan tercapai setelah pemberian 2 jam. Kecepatan absorpsi ini tergantung

10
pada : kecepatan dissintegrasi dan dissocusi tablet, PH permukaan mukosa dan

waktu penggosongan lambung. Pada pemberian rektal absorbsinya lambat dan

tidak sempurna. Absorpsi melalui kulit dapat terjadi dengan cepat dan dapat

menimbulkan efek sistemik, misalnya metil salisilat dapat diabsorpsi melalui kulit

yang utuh tetapi absorpsi melalui lambung lambat (Syamsul Munaf, 1994)

Setelah diabsorpsi, slisilat didistribusikan keseluruh tubuh dan cairan

interseluler. Salisilat dapat ditemukan pada cairan sinovial, spinal peritoneal, liur

dan air susu.

Banyak obat anti inflamasi nonsteroid (AINS ) bekerja dengan jalan

menghambat sintesis prostagladin. Jadi pemahaman akan obat AINS memerlukan

pengertian kerja dan biosintesis prostagladin turunan asam lemak tak jenuh

mengandung 20 karbon yang meliputi suatu struktur cincin siklik.

Nyeri dan inflamasi merupakan keluhan utuma penderita penyakit rematik

disamping lainnya. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi atau

menghilangkan keluhan ini antara lain dengan menggunakan medikamentosa.

Penggunaan nyeri medikamentosa pasa penyakit reumatik selain bertujuan untuk

menekan rasa nyeri dan inflamasi bila mungkin juga menghentikan perjalanan

reumatik. Hingga saat ini pada ertritis reumatoid dan goud yang telah da obat yang

telah mempengaruhi perjalanan penyakitnya. Sebagian besar penyakit reumatiknya

lainya diobati dengan akan terbukti obat anti inflamasi non steroid yang telah

terbukti dapat menekan rasa nyeri dan inflamasi tetapi tidak dapat menghentikan

perjalanan penyakit.

11
Nyeri dan inflamasi merupakan tanda bahwa sendi tersebut telah

mengalami gangguan hampir semua gangguan rematik disertai dengan nyeri atau

inflamasi. Perkecualian pada sendi neuropati. Ialah suatu keaadan hilangnya rasa

nyeri akibat keadaan tertentu seperti tebes darsalis atau siringomielia. Rasa ini

penting karena menunjukkan adanya mekanisme proteksi dari badan. Adanya rasa

nyeri menunjkkan bahwa sipenderita harus menggurangi penggunaan yang

berlebihan dari sendi tersebut. Sedangkan adanya inflamasi menunjukkan bahwa

sipenderita harus mengistirahatkan sendi tersebut. Pada sendi neuropatik Dimana

sopenderita tidak nerasai nyeri telah terbukti akan terjadi kerusakan sendi yang

lebh cepat, selain itu gangguan fungsi baru terjadi setelah ada kerusakan mekanikal

yang nyata. Sebaliknya pada artitis jenis lainya gangguan fungsi sudah mulai

tampak pada awalpenyakit bersamaan dengan timbulnya rasa nyeri.

Nyeri pada penyakit rematikterutama disebabkan oleh adanya inflamasi

yang mengakibatkan dilepasnya mediator-mediator kimiawi. Kinin dan mediator

kimiawi lainya dapat merangsang timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin berperan

dalam meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri yang disebabkan oleh suatu

rangsangan.

Sejumlah efek samping berkaitan dengan penghambatan sintesa

prostaglandin dan teunma terjadi pada lambung dan usus ginjal dan fungsi

trombosit. Frekwensinya berbeda-beda untuk berbagai obat dan pada umumnya

efek-efek ini meningkatkan besarnya dosis dan lama penggunannya, kecuali efek

terhadap trombosit.

12
Obat dengan masa paruh panjang mengakibatkan resiko gangguan lambung

usus lebih besar daripada obat dengan masa paruh pendek. Obat yang terbanyak

menimbulkan keluhan lambung-usus serius adalah indoetasin, azapropazon dan

piroxicam. Obat dengan jumlah keluhan lebih kurang separohnya adalah

ketoprofen, naproksen, flurbiprofen, sulindac dan diklofenac.

Indometasin merupakan derivat indol lasetat berkasiat amat kuat dapat

disamakan debngan diklofenac tetapi lebih sering menimbulkan efek samping.

Khususnya efek ulcerogen dan pendarahan occult (T.H. Tjay dan K. Rahardja,

2002).

Fiksasi interna merupakan salah satu modalitas terapi dalam penanganan

fraktur. Fiksasi interna dini dan tertunda masih menjadi suatu perdebatan karena

adanya perbedaan komplikasi yang ditimbulkan, terutama yang berhubungan

dengan respons inflamasi sistemik.

Tindakan fiksasi interna dini dan tertunda saat ini masih menjadi sebuah

perdebatan, khususnya mengenai early total care (tindakan dini), damage control

dan delayed total care (tindakan tertunda) pada trauma multiple. Johnson (1985),

melaporkan bahwa fiksasi interna pada major fracture dengan penundaan lebih

dari 24 jam menyebabkan peningkatan 5 kali terjadinya komplikasi ARDS (Adult

Respiratory Response Syndrome). Pada isolated femoral fracture, terjadi 10% fat

embolism syndrome jika tindakan fiksasi dilakukan setelah 10 jam dan 0% jika

dikerjakan sebelum 10 jam (Pinney, 1998). Fakta ini disebabkan oleh terjadinya

aktivasi innate immunity (Heitbrink, 2006).

13
Namun, sampai saat ini perbedaan inflamasi lokal pada saat fiksasi interna

dan respons inflamasi sistemik akibat tindakan fiksasi interna dini dan tertunda

pada fraktur belum diketahui. Makrofag merupakan sel imun utama dijaringan dan

pada trauma hebat makrofag sering mengalami gangguan respons imun berupa

gangguan imunita seluler (Franke,2006).

Demikian juga kerusakan jaringan karena pembedahan akan memicu

makrofag yang telah teraktivasi sebelumnya untuk mengekspresikan mediator

inflamasi sehingga mempengaruhi respons inflamasi baik lokal maupun sistemik.

Untuk mengurangi komplikasi pascafiksasi interna, jenis tindakan (cara fiksasi)

dan timing (waktu kapan tindakan dilakukan) dapat dipertimbangkan sebagai cara

pencegahan (Astawa, P.; Bakta, M.; Budha, K., 2008).

2.5 Peralihan atau switch biosintesa dari mediator pro-inflamasi ke anti-

inflamasi

Munculnya prostaglandins dari sel neutrophil juga mengisyaratkan secara

terprogram, nasib biosintesa mediator ini (semacam feedback) sendiri akan

berakhir, dengan meregulasi (down regulation) enzyme 15-LO yang terdapat di

dalam sel neutrophil, kemudian biosintesa beralih ke mediator yang lain, yang

anti-inflamasi. Namun hal lain yang sangat menentukan peralihan ini adalah

kemampuan enzyme 5-LO (5-Lipoxigenase. Penemuan enzyme ini dan satu lagi,

COX, Cyclooxygenase, yang membawa Samuelsson B. dan Bergstrom S.

mendapatkan penghargaan Nobel tahun 1982) mengkonversi secara reaksi

enzymatic dari AA menjadi leukotriene (LTB4), lalu beralih pada tahap berikutnya

14
ke lipoxins. Dalam hubungan ini exzyme 5-LO juga substrate dependent

(tergantung dari kondisi mikro setempat), di mana enzyme tersebut, satu dari

sekian step proses biosintesa, dapat menggunakan dan mengkonversi DHA, EPA

menjadi grup senyawa resolvins.

Pada tingkat sel, munculnya neutrophil dan terbentuknya nanah (pustule,

lihat gambar bawah) mengisyaratkan peralihan dari mediator pro- ke anti-

inflamasi, dan pembatasan atau pencegahan pengrekrutan neutrophil berikutnya

dari pembulu darah ke lokasi kejadian. Mediator anti-inflamasi, lipoxins,

resolvins, dan protectins memobilisasi sel macrophage (monocyte) yang dapat

memakan sel neutrophil, serta membersihkan Histologi leukosit (Tan, T J, 2008).

Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah

putih. Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-900

sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis,

bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel

darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup

berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti

yang bervariasi, Yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan

inti bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit

sel kecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih

banyak. Granula. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan

humora organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan

amuboid dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan

menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung

15
Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 4000-

11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai

12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel

darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun

persentase khas dewasa tercapai. Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-

sel darah tidak hanya persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis

per unit volume darah harus diambil (Dr. Zukesti Effendi, 2007).

16
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

a. Alat

1. Alat suntik 1 ml

2. Pletismometer

3. Stop watch

4. Timbangan hewan

5. Sonde oral

b. Bahan

1. NaCl fis

2. Larutan karagenan 2%

3. Obat uji (Na.diklofenak 10% /Kg BB, Indometazin 10%/Kg BB, Asam

Mefenamat 10%/Kg BB, Acetosal150mg/Kg BB)

c. Hewan Percobaan

Mencit putih jantan 4 ekor @kelompok

3.2 Prosedur Pengujian Anti Inflamasi

1. Hewan ditimbang dan diinduksikan dengan larutan uji

2. 30 menit kemduian telapak kaki kiri belakang setiap tikus pada masing-

masing kelompok disuntik dengan 0,4 ml karagenan 2% secara subplantar

17
3. Volume telapak kaki tikus diukur pada menit ke 30, 60, 90, 120, 150 dan

180 setelah diinduksi karagenan dengan cara memasukkan telapak kaki

tikus ke dalam alat pletismometer hingga batas tanda

4. Semua data yang diperoleh dianalisis secara statistik terhadap volume

telapak kaki tikus dan dihitung persentase penghambatan udem

5. Data yang diperoleh berupa volume kaki tikus, kemudian digunakan untuk

menghitung volume udem. Volume udem merupakan selisih kaki tikus

sebelum dan sesudah diradangkan dengan rumus :

Vu = Vt-Vo

Keterangan :

Vu : volume udem kaki tikus tiap waktu

Vt : volume kaki tikus setelah diinduksi karagenan pada waktu t

Vo : volume kaki tikus sebelum diinduksi karagenan

6. Setelah diperoleh volume udem kaki tikus vc waktu, selanjutnya

digunakan untuk menghitung AUC(Area Under The Curve), kurva antara

rata-rata volume udem terhadap waktu

7. Nilai AUC masing-masing kelompok perlakuan digunakan untuk

menghitung besarnya daya antiinflamasi yang dimiliki ekstrak. Besarnya

daya antiinflamasi dinyatakan dengan persen daya antiinflamasi (%DAI)

% Daya Anti Inflamasi = (a-b) / a x 100%

Keterangan :

a : persen radang pada kelompok kontrol negatif

b : persen radang pada kelompok hewan uji

18
BAB IV

HASIL PENGAMATAN & PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Data Volume Bengkak Kaki Mencit

Induksi Waktu
Obat Hasil Vu
Karagen
30 60 90
0,4 Na. Diklo 0,3 0,2 0,1 0,2
0,4 Asetosal 0,4 0,3 0,1 0,4
0,3 Asmef 0,2 0,1 0,1 0,1
0,3 Nacl 0,2 0,2 0 0,1

4.1.2 Grafik Hasil Vu

Hasil Vu
0.45
0.4
0.35
0.3
0.25
0.2 Hasil Vu
0.15
0.1
0.05
0
0 1 2 3 4 5

19
Keterangan grafik :

1 Na. Diklo
2 Asetosal
3 Asmef
4 Nacl

4.1.3 Uji Annova

ANOVA
obat

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2213,111 8 276,639 ,241 ,971


Within Groups 10334,500 9 1148,278
Total 12547,611 17

4.2 Pembahasan

Pada praktikum kali ini kita menggunakan 4 ekor mencit putih yang

disuntikkan dengan bahan uji yaitu pada tikus 1 diberikan aquades sebagai kontrol

negatif, tikus 2 , 3 , 4 diberikan Na- diklofenat, Asam mefenamat, dan asetosal

sebagai kontrol positif yang artinya tikus tersebut memberikan respon, Bahan uji

tersebut diberikan secara IP (intra peritonial) semua, setelah pemberian bahan uji,

tikus-tikus tersebut diberikan penginduksi udem berupa larutan karagenik 1%

sebanyak 0,1 ml secara subplantar pada bagian dorsal kaki kanan dan kiri.

Metode pengujian aktivitas anti inflamasi suatu bahan obat dilakukan

berdasarkan pada kemampuan obat uji mengurangi atau menekan derajat udema

yang diinduksi pada hewan percobaan. Inflamasi merupakan gangguan yang

sering dialami oleh manusia maupun hewan yang menimbulkan rasa sakit di

20
daerah sekitarnya. Sehingga perlu adanya pencegahan ataupun pengobatan untuk

mengurangi rasa sakit, melawan ataupun mengendalikan rasa sakit akibat

pembengkakan (Katzung, 2002).

Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari daya anti

inflamasi obat pada binatang dengan radang buatan. Pada praktikum kali ini

digunakan mencit karena pada kaki mencit lebih besar dan mudah disuntik secara

sublantar. Percobaan ini dimulai dengan menyiapkan obat yang mau diuji dan

hewan coba ,setelah itu tikus ditimbang untuk mendaptkan berat badanya guna

menghitung dosis yang akan diberikan. Selajutnya tikus disuntik secara sublantar,

tetapi sebelumnya kedua kaki mencit harus ditandai sebatas mata kaki untuk

menyamakan peresepsi pembacaan saat dicelupkan pada alat pletismometer.Pada

alat plestimometer digunakan air raksa karena memiliki daya kohesi yang tinggi

sehingga tidak membasahi kaki mencit dan dapat mendorong cairan berwarna

(methilen blue) untuk lebih mudah dibaca skalanya. Penggunaan cairan bisa

diganti dengan cairan lain dengan penambahan warna lain namun harus memiliki

prinsip cairan tidak bercampur satu sama lain (Katzung, 2002).

Dalam praktikum ini yang digunakan untuk mengiduksi inflamasi adalah

karagenin 1 % dalam aquades karena ada beberapa keuntungan yang didapat

antara lain tidak menimbulkan kerusakan jaringan, tidak menimbulkan bekas,

memberikan respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi . Karagenin

sebagai senyawa iritan menginduksi terjadinya cedera sel melalui pelepaskan

mediator yang mengawali proses inflamasi. Pada saat terjadi pelepasan mediator

inflamasi terjadi udem maksimal dan bertahan beberapa jam. Udem yang

21
disebabkan induksi karagenin bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur

berkurang dalam waktu 24 jam. Mekanisme radang diawali dari terjadi kerusakan

membrane sel akibat rangsangan mekanis, kimia dan fisika kemudian menuju

fosfolipida (membrane sel) terdapat enzim fosfolipase yang akan mengeluarkan

asam arakidonat. Dengan adanya enzim siklooksigensae maka asam arakidonat

akan dirubah menjadi prostaglandin. Siklooksigenase mensintesa siklik

endoperoksida yang akan dibagi menjadi dua produk COX 1 dan COX 2. COX 1

berisi tromboksan ,protasiklik (yang dapat menghambat produksi asam lambung

yang berfungsi untuk melindugi mukosa lambung). COX 2 (asam meloksikam)

berisi prostaglandin (penyebab peradangan). Sedangkan lipooksigenase akan

mengubah asam hidroperoksida yang merupakan precursor leukotrien LTA

(senyawa yang dijumpai pada keadaan antifilaksis) kemudian memproduksi LBT

4 (penyebab peradangan) dan LTC4,LTD4 dan LTE4 (Adeyemi, 2010).

Sebagai control Sebagai kontrol negative digunakan aquadest yang tidak

memberikan efek farmakologi apapun dalan proses inflamasi. Sedangkan kontrol

positif digunakan obat yang telah teruji mempunyai efek daya antiinflamasi,

dalam penelitian ini digunakan Na diklofenak, Asam mefenamat, dan asetosal. Na

diklofenak dan Asam mefenamat merupakan obat golongan non sterooid (AINS),

NA diklofenak mempunyai efek farmakologi adalah penghambat siklooksigenase

yang kuat dengan efek antiinflamasi, analgetik dan antipiretik sehingga obat ini

dapat menghambat prostaglandin yang merupakan mediator penting dalam proses

terjadinya inflamasi, nyeri dan demam . sehingga Na diklofenak dalam praktikum

kali ini digunakan sebagai standar obat paling kuat yang mempunyai sifat

22
antiradang. Asam mefenamat bekerja dengan cara menghambat sintesa

prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim siklooksigenase

sehingga mempunyai efek analgetik, anti-inflamasi dan antipiretik. Asam

mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan NA diklofenak . Sedangkan

prednison merupakan obat golongan kortikosteroid (glukokortikoid).

Glukokortikoid bersifat paliatif, digunakan untuk menekan berbagai gejala klinis

pada proses radang yang disebabkan dilatasi kapiler, udem, migrasi leukosit,

aktivitas fagosit dan sebagainya. Selain itu glukokortikoid dapat mencegah

terjadinya perubahan-perubahan lanjutan seperti proliferasi kapiler, fibroblast dan

kolagen. Glukokortikoid juga dapat diberikan sebagai imunosupresan untuk

menekan gejala klinis pada reaksi imun. Pada penyakit yang disebabkan infeksi

bakteri glukokortikoid hanya diberikan bersama antibiotika atau

khemoterapeutika. Sebagai antiradang glukokortikoid digunakan pada penyakit

reumatik (demam reumatik akut dengan karditis, artritis reumatoid, poliartritis,

osteo- artritis serta kolagenosis), reaksi alergi, udem otak, tumor ganas, radang

pada kulit, mata, telinga dan sebagainya (Reynolds, 1982).

Mekanisme kerja farmakologi adalah menginhibisi sintesis prostaglandin.

Diklofenak menginhibisi sintesis prostaglandin di dalam jaringan tubuh dengan

menginhibisi siklooksigenase; sedikitnya 2 isoenzim, siklooksigenase-1 (COX-1)

dan siklooksigenase-2 (COX-2) (juga tertuju ke sebagai prostaglandin G/H

sintase-1 [PGHS-1] dan -2 [PGHS-2]), telah diidentifikasikan dengan

mengkatalis/memecah formasi/bentuk dari prostaglandin di dalam jalur asam

arakidonat.

23
BAB V

KESIMPULAN

Inflamasi terjadi karena adanya rangsangan mekanis, fisika dan kimia yang

akan menyebabkan kerusakan membran sel sehingga terjadi rasa nyeri, panas,

bengkak dan keterbatasan gerak. Na diklofenak digunakan sebagai obat

antiinflamasi, sedangkan karagenin sebagai penyebab peradangan. Dan sebagai

larutan uji digunaakan infus rimpang temu putih dengan konsentrasi yang

berbeda. Obat antiinflamasi dibagi menjadi nonsteroid dan steroid. Hasil dari

praktikum kali ini didapatkan urutan obat anti inflamasi paling tinggi yaitu

natrium diklofenak, asetosal, dan asam mefenamat.Literatur menunjukan bahwa

obat yang paling analgetik adalah natrium diklofenak kemudian asetosal, dan

asam mefenamat. Obat anti inflamasi non steroid lebih banyak digunanan karena

lebih aman dan mempunyai efek yg lebih kecil dari pada obat anti inflamasi

steroid.

Efek ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai % efektivitas, yang berarti

suatu sediaan yang diujikan mampu menghambat udem yang terbentuk akibat

induksi karagenin. Bahwa volume udem kontrol positif mempunyai nilai paling

kecil.

24
DAFTAR PUSTAKA

Adeyemi, 2010. Analgesic and Anti-inflammatory Effects Of The Aqueous Extract


Of Leavesof Persea Americana Mill. (Lauraceae)

Kee, Joyce L. 1996. Pendekatan proses keperawatan. Jakarta : EGC

Katzung, Bertram G., 1986, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika,
Jakarta.

Katzung, B. Campbell, W.B.1991. The Pharmacological Basis of Therapeutics Ed


8. New York: Pergamon Press 2001, Farmakologi Dasar dan Klinik,
diterjemahkan oleh Dripa, S., 449-471, Salemba Medika, Jakarta.

Gupta,M, 2003. Studies On Anti-Inflammatory,Analgestic and Antipyretic


Properties of Methanol Extract of Caesalpinia bonducella leaves in
Experimental Animal Models,Iranian J. Phamacology & Therapeutics.
Calcutta,India: Razi Institute for Drug Research.

Katzung, 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik, ed IV. Jakarta: EGC

Kelompok Kerja Phytomedica, 1993. Penapisan Farmakologi, Pengujian


Fitokimia dan Pengujuan Klinis. Jakarta: Yayasan Phytomedica.

Syarif, Amir, dkk, 2001. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta : UI Press

Vohara, 1992. Herbal Analgesic Drugs, Italy : J Fitoterapia

25

Anda mungkin juga menyukai