Disusun oleh
Nama : Wahyuni futri
Nim : 2020E1C060
Kelas : 4C
A. Tujuan praktikum
Setelah menyelesaikan praktikum ini maka :
1. Mahasiswa mampu memahami daya antiinflamasi obat golongan steroid dan non
steroid pada binatang dengan radang buatan.
B. Dasar teori
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau
kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung
(sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera tersebut (Dorland, 2002).
Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki
vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling
sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan
penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh
kerusakan sel (Robbins, 2004).
Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan
pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan
fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi,
menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk, membersihkan debris dan
mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan (Corwin, 2008).
a. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap cedera jaringan, hal tersebut melalui
mediator respon inflamasi akut yang terlibat antar lain: Histamin, serotonin,
bradikinin, prostagladin, leukotrin dan pada umumnya didahului oleh pembentukan
respon imun.
b. Respon imun terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan
diaktifkan untuk merespon organisme asing atau substansi antigenik yang terlepas
selama respon terhadap inflamasi akut serta kronis.
c. Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak menonjol dalam
respon akut. Mediator inflamasi kronis yang terlibat antara lain: Interleukin-1,2,3,
Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor, Tumor necrosis factor-alpha,
Interferon, Platelet-derived growth factor. Salah satu dari kondisi yang paling penting
yang melibatkan mediatormediator ini adalah arthritis rheumatoid, dimana inflamasi
kronis menyebabkan sakit dan kerusakan tulang (Katzung, 2002).
Inflamasi ditandai oleh adanya vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan
terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, peningkatan permeabilitas kapiler.
Inflamasi menyebabkan pembekuan cairan di dalam ruang interstisial yang disebabkan
oleh fibrinogen dan protein lainnya yang 10 bocor dari kapiler dalam jumlah yang besar.
Inflamasi juga menyebabkan migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan, pembengkakan sel jaringan (Guyton dan Hall, 1997).
Tanda klasik umum yang terjadi pada proses inflamasi yaitu rubor (kemerahan), tumor
(pembengkakan), kalor (panas setempat yang berlebihan), dolor (rasa nyeri), dan fungsi
olaesa (gangguan fungsi/kehilangan fungsi jaringan yang terkena) (Price dan Wilson,
2005).
1. Rubor (Kemerahan) Rubor terjadi pada tahap pertama dari proses inflamasi yang terjadi
karena darah terkumpul di daerah jaringan yang cedera akibat dari pelepasan mediator
kimia tubuh (kinin, prostaglandin, histamin). Ketika reaksi radang timbul maka pembuluh
darah melebar (vasodilatasi pembuluh darah) sehingga lebih banyak darah yang mengalir
ke dalam jaringan yang cedera (Price dan Wilson, 2005).
2. Tumor (Pembengkakan) Tumor merupakan tahap kedua dari inflamasi yang ditandai
adanya aliran plasma ke daerah jaringan yang cedera (Price dan Wilson, 2005). Gejala
paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang disebabkan oleh terjadinya
peningkatan permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke
jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh
darah ke ruang interstitium (Corwin, 2008).
3. Kalor (Panas)Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa
panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah
lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit.
Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan (Wilmana,
2007).
4. Dolor (Nyeri) Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal:
Antiinflamasi didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang memiliki aktivitas
menekan atau mengurangi peradangan. Radang atau inflamasi dapat disebabkan oleh
berbagai rangsangan yang mencakup lukaluka fisik, infeksi, panas dan interaksi antigen-
antibodi (Houglum et al, 2005).
Berdasarkan mekanisme kerja obat-obat antiinflamasi terbagi dalam dua golongan, yaitu
obat antiinflamasi golongan steroid dan obat antiinflamasi non steroid. Mekanisme kerja
obat antiinflamasi golongan steroid dan non-steroid terutama bekerja menghambat
pelepasan prostaglandin ke jaringan yang mengalami cedera (Gunawan, 2007).
Analgesik adalah obat yang dapat menghilangkan rasa sakit atau nyeri. Rasa nyeri atau
pain adalah suatu fenomena kompleks yang melibatkan aktifitas neuron dan respon
penderita terhadap syaraf tersebut. Stimulasi nyeri antara lain terdiri dari:
1. Stimulasi termis
2. Stimulasi fisis
3. Stimulasi mekanis
4. Stimulasi kimiawi
5. Senyawa kimia endogen
Nyeri merupakan salah satu aspek penting dalam bidang medis dan menjadi penyebab
tersering yang mendorong seseorang untuk mencari pengobatan (Price danWilson, 2006).
Penelitian yang dilakukan kelompok studi nyeri PERDOSSI (Perhimpunan Dokter
Spesialis Syaraf Indonesia) pada 14 rumah sakit pendidikan di Indonesia, pada bulan Mei
2002 menunjukkan jumlah penderita nyeri sebanyak 4.456orang (25% dari total
kunjungan rumah sakit) (Sudirman dan Hargiyanto, 2011).
Pengobatan yang umum digunakan untuk mengatasi nyeri salah satunya adalah golongan
non steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) yang bekerja dengan cara menghambat
enzim cyclooxygenase (COX), sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin E2 (PGE2) terhambat (Katzung et.al ., 2002). Namun penggunaan
analgesik memiliki beberapa keterbatasan misalnya pada penggunaan NSAID dapat
mengiritasi saluran cerna, sedangkan penggunaan opioid mengakibatkan ketergantungan
(Prabhu et.al ., 2011).
Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang
diinduksi secara (pemberian asam asetat glasial secara intraperitonial) pada hewan
percobaan mencit Manifestasi nyeri akibat pemberian perangsang nyeri asam asetat
intraperitonium akan menimbulkan refleks respon geliat (writhing) yang berupa tarikan
kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen (retraksi) dan kejang tetani dengan
membengkokkan kepala dan kaki belakang. Metode ini dikenal sebagai Writhing Reflex
Test atau Abdominal Constriction Test (Wuryaningsih,1996). Frekuensi gerakan ini
dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya. Metode ini tidak
hanya sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga memberikan evaluasi yang cepat
terhadap jenis analgesik perifer (Gupta et al., 2003)
Pada metode geliat, mekanisme aksi stimulus nyeri berdasarkan pada produksi nyeri yang
disebabkan oleh cairan tubuh.
Pelepasan cairan tubuh kedalam peritoneum, dapat menyebabkan rasa nyeri yang
parah. Hal ini disebabkan bahwa bagian parietal dari rongga peritoneum sangat
sensitif terhadap stimulus fisik dan kimiawi, walaupun tanpa efek inflamasi.
Pelepasan cairan gastik ke dalam pefarasi gastrik atau duodedunum atau
kebocoran dari kantong empedu, cairan pankreas atau urin kedalam rongga
peritoneum dapat berakibat rasa nyeri yang parah.
Cairan gastrik dapat menyebabkan rasa nyeri yang parah apabila ekspose dengan
ujung syaraf sensoris lida pada kulit, rasa nyeri ini akibat sifat keasaman dengan
ph≤3. Rasanyeri pada ulser peptik terutama disebabkan oleh asam HCl.
Urin dapat menyebabkan rasa nyeri, sebagai akibat dari sifat hipertoniknya atau
disebabkan oleh kandungan campuran buffer natrium fosfat serta ion kalium.
Nyeri akibat cairan pankreas disebabkan oleh kandungan tripsin dan kalikerin.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri ( nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus),
somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang
berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan
kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:
a. Reseptor A delta
b. Serabut C
Analgrtik
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa
sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit
terdiri dari dua proses, yakni penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar
dan reaksi-reaksi emosional dan individu terhadap perangsang ini. Analgetik
diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat ditimbulkan
oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatu nilai
ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Obat penghalang nyeri (analgetik)
mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi ambang kesadaran akan
perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan reaksi-reaksi psychis yang
diakibatkan oleh rangsangan sakit.
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni:
a. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat
narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika anti radang termasuk kelompok ini.
b. analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti
pada fractura dan kanker (Tjay, 2007).
Secara kimiawi analgetika perifer dapat dibagi dalam bebrapa kelompok, yakni:
a. Paracetamol
b. Salisilat: asetosal, salisilamida, dan benorilate
c. Penghambat prostaglandin (NSAIDs): ibuprofen, dll
d. Derivate-antranilat: mefenaminat, glafenin
e. Drevirat-pirazolon: propifenazone, isopropolamonifenazon, dan metamizole
f. Lainnya: benzidamin (tantum (Tjay, 2007).
1. Metode geliat
Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang
diinduksi secara (pemberian asam asetat secara intraperitonial) pada hewan percobaan
mencit (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993). Manifestasi nyeri akibat pemberian
perangsang nyeri asam asetat intraperitonium akan menimbulkan refleks respon geliat
(writhing) yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen
(retraksi) dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki belakang.
Metode ini dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal Constriction Test
(Wuryaningsih,1996). Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat
nyeri yang dirasakannya (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993). Metode ini tidak
hanya sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga memberikan evaluasi yang cepat
terhadap jenis analgesik perifer (Gupta et al., 2003).
2. Metode listrik
Metode ini menggunakan aliran listrik sebagai penginduksi nyeri (Vohora dan
Dandiya, 1992). Sebagai respon terhadap nyeri, hewan akan menunjukkan gerakan
atau cicitan. Arus listrik dapat ditingkatkan sesuai dengan kekuatan analgesik yang
diberikan. Metode ini dapat dilakukan terhadap kera, anjing, kucing, kelinci, tikus dan
mencit (Manihuruk, 2000).
3. Metode panas
a. Pencelupan ekor hewan percobaan dalam penangas air panas yang dipertahankan
pada suhu 60 ± 1℃
b. Penggunaan panas radiasi terhadap ekor hewan percobaan melalui kawat Ni
panas(5,5 ± 0,05 Amps) (Vohora dan Dandiya, 1992).
c. Metode hot plateMetode ini cocok untuk evaluasi analgesik sentral (Gupta et al.,
2003). Pada metode ini hewan percobaan diletakkan dalam beaker glass di atas
plat panas (56± 1oC) sebagai stimulus nyeri. Hewan percobaan akan memberikan
respon terhadap nyeri dengan menggunakan atau menjilat kaki depan.
Peningkatan waktu reaksi yaitu waktu antara pemberian stimulus nyeri dan
terjadinya respon dapat dijadikan parameter untuk evaluasi aktivitas analgesik
(Adeyemi, 2001).
4. Metode mekanik
Metode ini menggunakan tekanan sebagai penginduksi nyeri. Tekanan diberikan pada
ekor atau kaki hewan percobaan. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tekanan
yang diperlukan untuk menimbulkan nyeri sebelum dan sesudah diberi obat. Metode
ini dapat dilakukan terhadap anjing, tikus, dan mencit (Manihuruk,2000).
Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. pusat
pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini
terganggu tetapi dapat dikembalikan ke keadaan normal oleh obat mirip aspirin.
Peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali pengelepasan suatu zat
pirogen endogen atau sitokin misalnya interleukin -1 (1L-1) yang mema+u
pengelepasan prostaglandin yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Obat
mirip aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis
prostaglandin. Demam yang timbul akibat pemberian prostaglandin tidak
dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu tubuh sebab lain misalnya latihan fisik.
Dalam tubuh panas dihasilkan oleh gerakan otot, simulasi makanan, dan oleh semua
proses vital yang berperan dalam tingkat metabolisme basal. Panas dikeluarkan oleh
tubuh melalui radiasi, konduksi (hantaran) dan penguapan air disaluran nafas dan
kulit. Sejumlah kecil panas juga dikeluarkan melalui urin dan feses. Keseimbangan
antara pembentukan dan pengeluaran panas menentukan suhu tubuh. Karena
kecepatan reaksi-reaksi kimia bervariasi sesuai dengan suhu dan karena sistem enzim
dalam tubuh memiliki rentang suhu normal yang sempit agar berfungsi optimal,
fungsi tubuh normal bergantung pada suhu yang relatif konstan.
Antipiretik adalah golongan obat yang dipergunakan untuk menurunkan suhu tubuh
bila demam. Cara kerja antipiretik antara lain dengan melebarkan pembuluh darah di
kulit, sehingga terjadi pendinginan darah oleh udara luar. Sebagian obat antipiretik
juga merangsang berkeringat. Penguapan keringat turut menurunkan suhu badan.
Diduga kerja obat antipiretik adalah mempengaruhi bagian otak yang mengatur suhu
badan. Bagian ini terletak di hipotalamus. Obat antipiretik juga bersifat analgesik dan
oleh karena itu biasa disebut golongan obat analgesik-antipiretik.
C. Pelaksanaan praktikum
Alat : Pletysmometer air raksa yang prinsip kerjanya berdasarkan Hukum Archimedes
Bahan :
Cara A:
1. Karagenan disuntikkan secara intraplantar sebanyak 0,1 ml pada telapak kaki kiri/kanan
tikus yang telah ditandai, dibiarkan selama 10 menit setelah itu obat disuntikkan secara
intraperitoneal.
2. Volume kaki yang disuntik karagenan diukur pada menit ke-5 dan 10 untuk mengamati
pembentukan edema.
3. Setelah penyuntikan obat, volume kaki pada menit ke-10, 15, 30, 45, dan 60 diukur untuk
menghitung persentase inhibisi edema.
Cara B
1. Setelah disuntik obat langsung suntikkan karagenan secara intraplantar sebanyak 0,1 ml
pada telapak kaki kiri / kanan tikus yang telah ditandai.\
2. Lakukan pengukuran volume kaki yang disuntik karagen setiap 10, 15,30, 45, dan 60
menit setelah penyuntikan obat, untuk menghitung prosentase inhibisi edema. Catat
perbedaan volume kaki untuk setiap pengukuran.
3. Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung presentase inhibisi edema dan bandingkan
hasil yang diperoleh untuk kelompok A dan B. Kemudian bahas apakah terjadi perbedaan
hasil
Kelompok 2
rata−rata kelompok kontrol−rata −rata volume kelompok obat
x 100 %
rata−rata volume kelompok kontrol
0,173−0,118
x 100 %
0,173
0,055
x 100 %
0,173
0,316%
b. Uji analgetik
Keterangan Gambar
1) Obat asetosal
19
100 – ( x100 )
138
100 – 13,8
86,2 %
2) Obat paracetamol
113
100 – ( x100 )
138
100 – 0,819
81,9%
c. Uji antipiretik
Keterangan Gambar
Bagi dalam beberapa kelompok, -
kelompok control (cmc) ,
kelompok obat 1 (paracetamol),
kelompok obat 2 ( ibuprofen)
Hewan uji dipisah dengan wadah
berdasarkan kelompok, dan
ditandai dengan spidol.
39
38.5
38
KONTROL
37.5
PARACETAMOL
37 IBUPROFEN
36.5
36
35.5
0 1 2 3 4 5 6 7
PEMBAHASAN
Peradangan merupakan gangguan yang sering dialami oleh manusia maupunhewan yang
menimbulkan rasa sakit di daerah sekitarnya. Sehingga perlu adanya pencegahan ataupun
pengobatan untuk mengurangi rasa sakit, melawan ataupunmengendalikan rasa sakit
akibat pembeng-kakan. Dalam penelitian ini yangdigunakan untuk mengiduksi inflamasi
adalah karagenin karena ada beberapakeuntungan yang didapat antara lain tidak
menimbulkan kerusakan jaringan, tidakmenimbulkan bekas, memberikan respon yang
lebih peka terhadap obat antiinflamasi(Vogel, 2002).
Karagenin merupakan polimer suatu linear yang tersusun dari sekitar 25.000turunan
galaktosa yang strukturnya tergantung pada sumber dan kondisi ekstraksi.Karagenin
dikelompokkan menjadi 3 kelompok utama yaitu kappa, iota, dan lambda karagenin.
Karagenin lambda (λ karagenin) adalah karagenin yang diisolasi dari ganggang Gigartina
pistillata atau Chondruscrispus, yang dapat larut dalam airdingin (Chaplin, 2005).
Karagenin dipilih untuk menguji obat antiinflamasi karenatidak bersifat antigenic dan
tidak menimbulkan efek sistemik (Chakrabortyet al .,2004). Pengukuran daya
antiinflamasi dilakukan dengan cara melihat kemampuan Nadiklofenak dan infuse
rimpang temu putih dalam mengurangi pembengkakan kakihewan percobaan akibat
penyuntikan larutan karagenin 1%. Setelah disuntikkaragenin, tikus-tikus
memperlihatkan adanya pembengkakan dan kemerahan padakaki serta tikus tidak dapat
berjalan lincah seperti sebelum injeksi.
Karagenin sebagai senyawa iritan menginduksi terjadinya cedera sel melalui pelepaskan
mediator yang mengawali proses inflamasi. Pada saat terjadi pele-pasanmediator
inflamasi terjadi udem maksimal dan bertahan beberapa jam. Udem yangdisebabkan
induksi karagenin bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur berkurangdalam waktu 24
jam.
Selain larutan karagenin 1 % ada beberapa penyebab inflamasi lain. Diantaranya:
a. Mikroorganisme
b. Agen fisik seperti suhu yang ekstrem, cedera mekanis, sinar ultraviolet, danradiasi
ion.
c. Agen kimia misalnya asam dan basa kuat
d. Antigen yangmenstimulasi respons imunologis
Mekanisme Kerja Obat
Dalam praktikum tersebut didapatkan hasil bawha control positif yang berupa pemberian
Na Diklofenak didapatkan hasil yang paling efisien, ditunjukkan dengan %efektivitasnya
paling besar. Dalam hal ini Na Diklofenak mempunyai aktivitas analgesik,antipiretik dan
antiinflamasi. Diklofenak mempunyai kemampuan melawan COX-2 lebih baik
dibandingkan dengan indometasin, naproxen, atau beberapa NSAIA lainnya.Sebagai
tambahan, diklofenak terlihat/dapat mereduksi konsentrasi intraselular dari AA bebas
dalam leukosit, yang kemungkinan dengan merubah pelepasan atau pengambilannya.
(GG Ed.11, hal 698)
Mekanisme kerja farmakologi adalah menginhibisi sintesis prostaglandin.Diklofenak
menginhibisi sintesis prostaglandin di dalam jaringan tubuh denganmenginhibisi
siklooksigenase; sedikitnya 2 isoenzim, siklooksigenase-1 (COX-1) dansiklooksigenase-2
(COX-2) (juga tertuju ke sebagai prostaglandin G/H sintase-1 [PGHS-1] dan -2 [PGHS-
2]), telah diidentifikasikan dengan mengkatalis/memecahformasi/bentuk dari
prostaglandin di dalam jalur asam arakidonat. Walaupun mekanisme pastinya belum
jelas, NSAIA berfungsi sebagai antiinflamasi, analgesik dan antipiretikyang pada
dasarnya menginhibisi isoenzim COX-2; menginhibisi COX-1 kemungkinan terhadap
obat yang tidak dihendaki (drug’s unwanted) pada mukosa GI dan agregasi platelet.
(AHFS 2010,hal.2086)
Na Diklofenak Obat dalam Tubuh mengalami beberapa tahap yaitu :
Absorpsi
Diklofenak pemberian topikal terabsorpsi ke dalam sirkulasi sistemik,
tetapikonsentrasi plasmanya sangat rendah jika dibandingkan dengan pemberian
oral.Pemberian 4 g Natrium diklofenak secara topikal (gel 1%) 4x sehari pada
satu lutut,konsentrasi mean peak plasma sebanyak 15 ng/ml terjadi setelah 14
jam. Pada pemberian gel ke kedua lutut dan kedua tangan 4x sehari (48 g gel
sehari),konsentrasi mean peak plasma sebanyak 53,8 ng/ml terjadi setelah 10 jam.
Pemaparan sistemik 16 g atau 48 g sehari adalah sebanyak 6 atau 20%
jikadibandingkan dengan administrasi oral dosis 50 mg 3x sehari. Penggunaan
heat patchselama 15 menit sebelum pemakaian gel tidak berpengaruh terhadap
absorpsisistemik.
Distribusi (AHFS 2010, hal.2087)
Sediaan oral, diklofenak terdistribusi ke cairan sinovial. Mencapai puncak 60-
70% yang terdapat pada plasma. Namun, konsentrasi diklofenak dan metabolitnya
pada cairan sinovial melebihi konsentrasi dalam plasma setelah 3-6 jam.
Diklofenakterikat secara kuat dan reversibel pada protein plasma, terutama
albumin.Padakonsentrasi plasma 0,15-105 mcg/ml, diklofenak terikat 99-99,8%
pada albumin.Diklofenak pemberian topikal tidak mengalami distribusi.
Metabolisme (AHFS 2010, hal.2087; GG Ed.11, hal.698)
Metabolisme diklofenak secara jelas belum diketahui, namun
dimetabolismesecara cepat di hati. Diklofenak mengalami hidroksilasi, diikuti
konjugasi denganasam glukoronat, amida taurin, asam sulfat dan ligan biogenik
lain. Konjugasi dariunchanged drug juga terjadi. Hidroksilasi dari cincin aromatik
diklorofenil menghasilkan 4′-hidroksidiklofenak dan 3′-hidroksidiklofenak.
Konjugasi denganasam glukoronat dan taurin biasanya terjadi pada gugus
karboksil dari cincin fenil asetat dan konjugasi dengan asam sulfat terjadi pada
gugus 4′ hidroksil dari cincin aromatik diklorofenil. 3′ dan/atau 4′- hidroksi
diklofenak dapat melalui 4′-0. Metilasi membentuk 3′-hidroksi-4′-metoksi
diklofenak.
Eliminasi (AHFS 2010, hal.2087 dan GG Ed.11, hal.698)
Diklofenak dieksresikan melalui urin dan feses dengan jumlah minimal
yangdieksresikan dalam bentuk tidak berubah (unchanged). Eksresi melalui feses
melaluieliminasi biliari. Konjugat dari diklofenak yang tidak berubah
dieksresikan melaluiempedu (bile), sementara metabolit terhidroksilasi dieksresi
melalui urin.Selain Na Diklofenak ada obat-obat yang sudah terbukti dapat
digunakan sebagaisebagai antiinflamasi diantaranya : aspirin, diflunisal, etodolax,
fenilbutazon, tolmetin, peroksikam, ibuprofen, apazone.Penggunaan Infus
rimpang temu putih dalam praktikum didapatkan hasil bahwainfus rimpang temu
putih mempunyai aktivitas antiinflamasi. Semakin tingginya dosis maka efek
antiinflamasi juga semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari % efektivitas,infus
rimpang temu putih 5 % mempunyai % efektivitas sebesar 0,12%, sedangkan
infuserimpang temu putih 10% didapatkan hasil % efektivitas sebesar 0,23% dan
% efektivitasyang paling tinggi didapatkan pada infuse rimpang temu putih
20%.Secara tradisioal rimpang temu putih digunakan sebaagi antimikroba
danantifungal(Witson et al., 2005).Shiobara et al.(1985) mengidentifikasi
senyawacyclopropanosesquiterpene, curcumenone dan 2 spirolactones,
curcumanolide A dancurcumanolide B. Pada shoots muda dari C. zedoaria
mengandung (+)-germacrone-4,5-epoxide, sebuah intermediet kunci pada
biogenesis a germacrone-type sesquiterpenoids.Di negara Brazil, di gunakan
sebagai obat penurun panas. Aktivitas ini dikarenakanadanya senyawa yang
bertanggung jawab yaitu curcumenol(Navvaro et al., 2002).Kandungan kimia
rimpang Curcuma zedoaria Rosc terdiri dari : kurkuminoid(diarilheptanoid),
minyak atsiri, polisakarida serta golongan lain. Diarilheptanoid yangtelah
diketahui meliputi : kurkumin, demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin, dan
1,7 bis (4-hidroksifenil)-1,4,6-heptatrien-3-on (Windono dkk, 2002).Minyak atsiri
berupa cairan kental kuning emas mengandung : monoterpen dansesquiterpen.
Monoterpen terdiri dari : monoterpen hidrokarbon (alfa pinen, D-
kamfen),monoterpen alkohol (D-borneol), monoterpen keton (D-kamfer),
monoterpen oksida(sineol). Seskuiterpen pada Curcuma zedoaria terdiri dari
berbagai golongan dan berdasarkan penggolongan yang dilakukan terdiri dari :
golongan bisabolen, elema,germakran, eudesman, guaian dan golongan
spironolakton. Kandungan lain meliputi :etil-p-metoksisinamat, 3,7-dimetillindan-
5-asam karboksilat (Windono dkk, 2002).Singh et al(2002) melaporkan
kandungan minyak atsiri pada Curcuma zedoaria berupa1,8 cineol(18.5%),
cymene (18.42%), α-phellandrene (14.9%). Golongan seskuiterpen yaitu β-
Turmerone dan ar-turmeron yang diisolasi dari rhizoma Curcumazedoaria
menghambat produksi prostaglandin E2 terinduksi lipopolisakarida (LPS) pada
kultur sel makrofag tikus RAW 264.7 dengan pola tergantung dosis (IC50 = 7.3
μMuntuk β-turmerone; IC50 = 24.0 μM untuk ar -turmerone). Senyawa ini juga
menunjukkanefek penghambatan produksi nitric oxide terinduksi LPS pada sistem
sel(Hong et al.,2002).
E. Kesimpulan
Efek ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai % efektivitas, yang berartisuatu sediaan
yang diujikan mampu menghambat udem yang terbentuk akibat induksikaragenin. Bahwa
volume udem kontrol positif mempunyai nilai paling kecil. Hasil penelitian menunjukkan
infus rimpang temu putih mempunyai kemampuanmengurangi udem. Efek yang paling
besar ditunjukkan , pada dosis 2,5 mg/kgbb danefek yang paling kecil ditunjukan pada
dosis 0,625 mg/kgBB. Namun kemampuannyamasih lebih kecil dibanding kemampuan
antiinflamasi Na diklofenak. Kemampuaninfus rimpang temu putih sebagai antiinflamasi
kemungkinan dikarenakan adanyaflavanoid dalam sediaan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Tamsuri, A. 2007. Konsep dan Pentatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC. Hal 1-63
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting, PT Gramedia, Jakarta
Katzung, Bertram G., 1986, Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika
Dapartemen Farmakologi dan Terapi. 2012. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Balai penerbitan
FKUI. Jakarta
Corwin, E.J. (2008). Handbook of Pathophysiology, Edisi ketiga. Diterjemahkan oleh: Subekti,
N.B., Editor edisi Bahasa Indonesia: Yudha, E.K.,
Dorland, 2002; Kamus Kedokteran;EGC, Jakarta
Guyton A. C., Hall J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC. P. 208 –
212, 219 – 223, 277 – 282, 285 – 287.
Houglum, J.E., Harrelson, G.L., Leaver-Dunn, D., 2005.Principles of pharmacology for Athletic
Trainers, Slack incorporated, United State, 143
Kee, J.L. dan Hayes, E.R.,1996, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan, hal 140-145,
435-443, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Wilmana P.F., 2007. Analgesik-Antipiretik, Analgesik-Antiinflamasi Nonsteroid dan Obat
Gangguan Sendi Lainnya,
Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi.Edisi 5. Jakarta
rice, S.A., dan Wilson, L. M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi
6, Vol. 2, diterjemahkan oleh Pendit, B. U., Hartanto, H., Wulansari, p., Mahanani, D.
A.,Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.