DISUSUN OLEH :
Kelompok 4
1.1. Inflamasi
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh
cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu
(Dorland, 2002). Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada
jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun
endogen. Dalam arti yang paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon
protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta
membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel
(Robbins, 2004).
Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat
kimia, dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik
protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar
dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk,
membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan
(Corwin, 2008).
Respons inflamasi terjadi dalam tiga fase dan diperantarai oleh mekanisme
yang berbeda (Wilmana, 2007) :
a. Fase akut, dengan ciri vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas
kapiler.
b. Reaksi lambat, tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosit.
c. Fase proliferatif kronik, dengan ciri terjadinya degenerasi dan fibrosis.
Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya
permeabilitas kapiler, dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses
inflamasi yang sudah dikenal ialah:
1. Kemerahan (rubor) Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang
mengedarkan darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi
peningkatan aliran darah ke tempat cedera (Corwin, 2008).
2. Rasa panas (kalor) Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara
bersamaan. Dimana rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih
banyak di tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang.
Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila
terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan (Wilmana,
2007).
3. Rasa sakit (dolor) Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal
yaitu adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi
peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, adanya
pengeluaran zat – zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin,
histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf – saraf perifer di sekitar
radang sehingga dirasakan nyeri (Wilmana, 2007).
4. Pembengkakan (tumor) Gejala paling nyata pada peradangan adalah
pembengkakan yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan
permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke
jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari
pembuluh darah ke ruang interstitium (Corwin, 2008).
5. Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena
inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi (Wilmana, 2007).
Selama berlangsungnya respon inflamasi banyak mediator kimiawi yang
dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor
kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan prostaglandin (PG). Dengan migrasi sel
fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya enzim pemecah.
Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator-mediator
kimiawi tersebut kecuali PG (Wilmana, 2007).
1.2. Antiinflamasi
Banyak obat – obat antiinflamasi yang bekerja dengan jalan menghambat
sintesis salah satu mediator kimiawi yaitu prostaglandin. Sintesis prostaglandin
yaitu asam arakidonat, suatu asam lemak 20 karbon adalah prekursor utama
prostaglandin dan senyawa yang berkaitan. Asam arakidonat terdapat dalam
komponen fosfolipid membran sel, terutama fosfotidil inositol dan kompleks
lipid lainnya. Asam arakidonat bebas dilepaskan dari jaringan fosfolipid oleh
kerja fosfolipase A2 dan asil hidrolase lainnya. Melalui suatu proses yang
dikontrol oleh hormon dan rangsangan lainnya (Mycek dkk, 2001).
Ada 2 jalan utama sintesis eukosanoid dari asam arakidonat :
1. Jalan siklo-oksigenase
Semua eikosanoid berstruktur cincin sehingga prostaglandin,
tromboksan, dan prostasiklin disintesis melalui jalan siklo –
oksigenase. Telah diketahui dua siklo-oksigenase : COX-1 dan COX-2
Yang pertama bersifat ada dimana – mana dan pembentuk, sedangkan
yang kedua diinduksi dalam respon terhadap rangsangan inflamasi.
2. Jalan lipoksigenase
Jalan lain, beberapa lipoksigenase dapat bekerja pada asam arakidonat
untuk membentuk HPETE, 12-HPETE dan 15-HPETE yang
merupakan turunan peroksidasi tidak stabil yang dikorvensi menjadi
turunan hidroksilasi yang sesuai (HETES) atau menjadi leukotrien atau
lipoksin, tergantung pada jaringan.
Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau.
Tanda-tanda radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup pada abad
pertama sesudah Masehi, sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang utama.
Tanda-tanda radang ini masih digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda radang
mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit), dan tumor
(pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu
functio laesa (perubahan fungsi) (Mitchell dan Cotran, 2003).
Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah
yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran
arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah
mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh
dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna
merah lokal karena peradangan akut (Abrams, 2005).
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor
disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki
suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak
daripada ke daerah normal. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion
tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau
zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan
yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang. Pembengkakan
sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan
dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan
dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat meradang (Rukmono,
2000).
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang
(Dorland, 2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal.
Akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi
jaringan yang meradang (Abrams, 2005).
Obat – obat yang digunakan untuk sebagai anti inflamasi non steroid antara
lain (Mycek, 2001) :
1. Aspirin dan salisilat lain
Mekanisme kerjanya : efek antipiretik dan anti inflamasi salisilat terjadi
karena penghambatan sintesis prostaglandindi pusat pengatur panas dan
hipotalamus dan perifer di daerah target. Lebih lanjut, dengan
menurunkan sintesis prostaglandin, salisilat juga mencegah sensitisasi
reseptor rasa sakit terhadap rangsangan mekanis dan kimiawi.
2. Derivat asam propionat
Obat – obat ini menghambat reversible siklo-oksigenase dan karena itu,
seperti aspirin menghambat sintesis prostaglandin tetapi tidak
menghambat leukotrien.
3. Asam Indolasetat
Yang termasuk dalam grup obat - obat ini adalah indometasin,
sulindak dan etolondak. Semua mempunyai aktivitas antiinflamasi ,
analgetik dan antipiretik. Bekerja dengan cara menghambat siklo-
oksigenase secara reversible. Umumnya tidak digunakan untuk
menurunkan demam.
4. Derivat oksikam
Pada waktu ini, hanya piroksikam yang tersedia di amerika serikat.
Anggota lain dalam grup ini sedang diselidiki dan mungkin akan
disediakan juga. Mekanisme kerjanya belum jelas, tetapi piroksikam
digunakan untuk pengobatan artritis rematoid, spondilitis ankilosa, dan
osteoartritis.
5. Fenamat
Asam mefenamat dan meklofenamat tidak mempunyai anti inflamasi
dibandingkan obat AINS yang lain. Efek samping seperti diare dapat
berat dan berhubungan dengan peradangan abdomen.
6. Fenilbutazon
Fenilbutazon mempunyai efek anti inflamasi kuat tetapi tetapi aktivitas
analgetik dan antipiretiknya lemah. Obat ini bukan merupakan obat first
line.
7. Obat – obat lain
a. Diklofenak : Penghambat siklo – oksigenase. Diklofenak digunakan
untuk pengobatan jangka lama arthritis rematoid, osteoartritis, dan
spondilitis ankilosa.
b. Ketorolak : Obat ini bekerja sama seperti obat AINS yang lain.
c. Tolmetin dan nabumeton : Tolmetin dan nabumeton sama kuatnya
dengan aspirin dalam mengobati artritis rematoid atau osteoartritis
dewasa.
BAB II
ISI
Dalam beberapa tahun terakhir, inflamasi dan rasa nyeri diketahui sbeagai
salah satu status penyakit yang sering ditemukan di masyarakat dan menyebabkan
penyakit-penyakit atau sinyal dari penyakit lainnya. Dari survey Medical Expenditure
Panel menyatakan bahwa masyarakat menghabiskan $560 - $635 miliyar untuk
mengatasi nyeri dan inflamasi di Amerika. Bedasarkan data dari Global Business
Intelligence, kebutuhan masyakat akan antiinflamasi meningkat yang dapat dilihat
dari pertumuhan penjualan dari 2002 meningkat sebanyak 7.6% menjadi $57.8
miliyar pada tahun 2010 dan naik kembali sebesar 5.8% menjadi $85.9 Miliyar pada
2017.
Menghilangkan nyeri dan mereduksi inflamasi merupakan tujuan terapi yang
penting dalam penatalaksaaan inflamasi. Penatalaksanaan ini biasanya melibatkan
obat-obat klasik seperti OAINS, yakni selektif inhibitor COX-2 , kortikosteroid dan
immunosupresant. OAINS menjadi pilihan terapi pertama yang banyak digunakan
dalam penatalaksaan inflamasi dan mengurangi rasa nyeri, namun penggunaan
OAINS dalam jangka panjang akan menyebabkan efek samping seperti toksisitas
kardiovaskular, luka pada saluran cerna, toksisitas pada hati dan ginjal, disfungsi
platelet dan pendaharam, aplatik anemia serta berkurangnya penyembuhan tulang.
Beberapa inhibitor selektif COX-2 akan m dikembangkan dengan harapan secara
signifikan mengurangi toksisitas GI terkait dengan penggunaan NSAID akut dan
kronis. Namun, peningkatan pengetahuan tentang peran fisiologis enzim COX-2 di
berbagai jaringan termasuk perut dan ginjal telah ditantang manfaat dari inhibisi
COX-2 selektif dan antusiasme awal kelas baru obat antiinflamasi. Bentuk sintetis
dari kortisol alami disebut sebagai glukokortikoid yang juga banyak digunakan untuk
mengobati penyakit radang, meskipun mereka berpotensi melemahkan efek samping,
glukokortikoid masih tetap menjadi andalan untuk mengurangi peradangan. Hal itu
masih menjadi tantangan bagi farmasi untuk mengembangkan agen yang lebih efektif
dan kurang beracun untuk mengobati tanda serta gejala nyeri dan gangguan inflamasi.
Beberapa upaya telah diinvestasikan dalam satu dekade terakhir untuk
mengembangkan benzimidazole sebagai senyawa modulator rasa sakit dan
peradangan yang aktif pada berbagai target terapeutik yang menunjukkan potensi
terapeutik yang sangat baik. Di ulasan ini, telah dicoba untuk menjelaskan dan
mengkompilasi laporan tentang turunan benzimidazole dengan beberapa pendapat
tentang pendekatan yang berbeda untuk membantu ahli kimia obat pada generasi
mendatang dalam merancang analgesik yang kuat dan aman serta agen anti-inflamasi.
Kinin, bradikinin dan kalidin menstimulasi sejumlah jalur inflamasi akut dan
kronis yang mengakibatkan rasa sakit, edema dan vasodilatasi. Efek ini dimediasi
oleh reseptor G-protein bradikinin B1 dan B2. Reseptor bradikinin B2 diekspresikan
dalam kondisi normal pada sebagian besar tipe sel, sedangkan reseptor bradikinin B1
diinduksi pada kondisi patofisiologis seperti infeksi, inflamasi dan cedera jaringan
traumatik. Studi terbaru pada tikus menunjukkan bahwa reseptor bradikinin B1
diekspresikan dalam SSP dengan memperlihatkan peran potensial sentral untuk
reseptor ini. Ketidakaktifan reseptor bradikinin B1 pada tikus menunjukkan respon
inflamasi dan hiperalgesia yang kurang sehingga mendukung hipotesis bahwa
antagonis reseptor bradikinin B1 efektif sebagai analgesik dan anti-inflamasi.
Upaya telah dilakukan oleh Guo et al. untuk menemukan antagonis reseptor
bradikinin B1 baru. Pada tahun 2008, para penulis melaporkan antagonis reseptor
bradikinin B1 yang selektif, non-peptida, dan poten dengan gugus benzodiazepine
memiliki efikasi in vivo yang sangat baik dalam model-model nyeri tikus. Tetapi
karena berat molekul tinggi dan bioavailabilitas oral yang buruk, bagian
phenethylbenzodiazepine senyawa 15 digantikan oleh inti benzimidazole dengan
berat molekul rendah, menyebabkan senyawa menjadi poten terhadap reseptor
bradikinin B1 dengan bioavailabilitas oral yang lebih baik. Gugus 2-karboksamida
penting untuk aktivitas dan telah dipelajari beberapa linker gugus amina seperti
piridin dan piperidin, tetapi kombinasi dari linker β-alanine dan 2-imidazoline-5-
aminopyridine senyawa 16 menunjukkan potensi yang sangat baik dengan IC50 = 2
nM.
Demikian pula, Zischinsky et al. melaporkan turunan benzimidazole sebagai
antagonis reseptor bradikinin B1 senyawa 17 dengan nilai IC50 = 3500 nM. Untuk
meningkatkan aktivitas, suatu asetamida ditambahkan ke senyawa 17 sehingga
dihasilkan senyawa 18 dengan nilai IC50 = 15 nM. Optimasi dari gugus biaril dan
amida menghasilkan senyawa 19 memiliki potensi yang sangat baik pada reseptor B1
dengan IC50 = 0,7 nM.
3.5 Anticytokines
3.5.1 Inhibitor MAP (mitogen-activated protein) Kinase
Terapi anticytokine telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi
peradangan lokal dan sistemik. Selama dekade terakhir, penelitian tentang inhibitor
MAP kinase p38α telah menerima tingkat perhatian yang luar biasa dalam kimia
medisinal dan kandidat obat untuk pengobatan nyeri dan penyakit inflamasi.
Penghambatan p38α MAP kinase melalui penyumbatan hilir mereka dari produksi
tumor necrosis factor-α, interleukin (IL) -1β, IL-6, COX-2 dan mobilisasi asam
arakhidonat memiliki potensi terapeutik yang luar biasa. Baru-baru ini telah
dilaporkan oleh Dios dkk, 2005. Bahwa kemanjuran dan selektif 2-
aminobenzimidazole berdasarkan MAP kinase inhibitor 20 (skema 5) tetapi turunan
pyridinoyl-5-methoxybenzimidazole 21 (skema 5) menunjukkan efikasi dan
selektivitas tertinggi.
4. Arah Pengembangan
BAB III
Kesimpulan
Penemuan obat utama untuk mengobati rasa sakit dan peradangan masih
dalam tahap pengembangan, jurnal ini merupakan sebuah peningkatan untuk lebih
memahami patofisiologi tentang mekanisme nyeri dan inflamasi. Sejumlah laporan
menunjukkan penggunaan benzimidazole derivatif aktif pada terapi yang diakui
secara klinis berbeda target untuk pengobatan rasa sakit dan peradangan. Penelitian
lebih lanjut di bidang ini akan membawa perkembangan farmasi yang inovatif dengan
spektrum penggunaan yang cukup besar.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, G.D. 2005. Respon Tubuh Terhadap Cedera. Dalam S. A. Price & L.
MWilson, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. 4th. ed.
(Anugerah, P. penerjemah). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Banoglu, E., Caliskan, B., Luderer, S., Eren, G., Ozkan, Y., Altenhofen, W.,
Weinigel, C., Barz, D., Gerstmeier, J., Pergola, C., dan Werz, O. 2012.
Identification of novel benzimidazole derivatives as inhibitors of leukotriene
biosynthesis by virtual screening targeting 5-lipoxygenase-activating protein
(FLAP), Bioorg. Med. Chem. 20 : 3728-3741.
Corwin, E.J., 2008. Handbook of Pathophysiology 3th edition. Philadelphia:
Lippincort Williams & Wilkins.
Dios, A. D., Shih, C. B., Uralde, L.D., Sanchez, C., Prado, M.D., dan Cabrejas, M.M.
2005. Design of potent and selective 2-aminobenzimidazole-based p38a MAP
kinase inhibitors with excellent in vivo efficacy, J. Med. Chem. 48 : 2270
2273.
Hunt, J.A., Beresis, R.T., Goulet, J.L., Holmes, M.A., Hong, X.J., Kovacs, E., Mills,
S.G., Ruzek, R.D., Wong, F., Hermes, J.D., Park, Y., Salowe, S.P., Sonatore,
L.M., Wu, L., Woods, A., Zaller, D.M., dan Sinclair, P.J. 2009. Disubstituted
pyrimidines as Lck inhibitors, Bioorg. Med. Chem. Lett. 19 : 5440-5443.
Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. 2003. Acute and Chronic Inflammation. Dalam S. L.
Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology. 7th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders.
Mycek, M. J, Harvey, R.A. dan Champe, P.C., 2001, Farmakologi Ulasan
Bergambar 2nd ed. H. Hartanto, ed., Jakarta:Widya Medika.
Robbins. 2004. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 1. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Sabat, M., VanRens, J.C., Laufersweiler, M.J., Brugel, T.A., Maier, J., Golebiowski
A., De, B., Easwaran, V., Hsieh, L.C., Walter, R.L., Mekel, M.J., Evdokimov,
A., dan Janusz, M.J. 2006. The development of 2-benzimidazole substituted
pyrimidine based inhibitors of lymphocyte specific kinase (Lck), Bioorg.
Med. Chem. Lett. 16 : 5973-5977.
Shen, Y., Boivin, R., Yoneda, N., Du, H., Schiller, S., Matsushima, T., Goto, M.,
Shirota, H. Gusovsky, F., Lemelin, C., Jiang, Y., Zhang, Z., Pelletier, R.,
Ikemori- Kawada, M., Kawakami, Y., Inoue, A., Schnaderbeck, M., dan
Wang, Y. 2010. Discovery of antiinflammatory clinical candidate E6201,
inspired from resorcylic lactone LLZ1640- 2, III, Bioorg. Med. Chem. Lett.
20(10) : 3155-3157.
Wilmana, F.P., 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi ke-5. Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.