Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FARMAKOKINETIK

“ BIOAVAILABILITAS & BIOEKUIVALENSI”

Nama : nuratisma raden


Npm : 4820117116
Prodi : farmasi
Semester : v (lima)

Sekolah tinggi ilmu kesehatan (stikes)


Maluku husada
Ambon
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya memperoleh kesehatan dan kekuatan untuk dapat
menyelesaikan “Kinetika Absorpsi Obat” ini.

Penghargaan yang tulus dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada seluruh pihak, khususnya kepada dosen atas kebijaksanaan dalam
membantu dan membimbing kami sehingga “Kinetika Absorpsi Obat” ini dapat
terselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya atas keterbatasan ilmu maupun dari segi


penyampaian yang menjadikan “Kinetika Absorpsi Obat” ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari semua pihak untuk
kesempurnaan makalah ini.
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan
a. Latar Belakang
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan

BAB IIPEMBAHASAN

A. Definisi bioavailabilitas dan bioekuivalensi


B. Jenis Penelitian Bioavaibilitas Obat
C. Tipe bioavailabilitas dan bioekuivalensi
D. Faktor yang Mempengaruhi bioavailabilitas
E. Metode dan Kriteria uji bioavailabilitas
F. Pengukuran Bioavaibilitas

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Obat setelah dilepas dari bentuk sediaannya (injeksi, tablet, suspensi dll),
akan mengalami proses absorpsi, distribusi ke dalam jaringan dan organ tubuh,
kemudian dimetabolisme serta terakhir dieliminasi ke luar tubuh. Keempat
proses diatas biasanya berbeda untuk setiap individu, namun demikian dapat
dikarakteristik dengan bantuan Model Matematika dan Statistika.
Konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Osser pada
tahun 1945, yaitu pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan
vitamin. Istilah yang dipakai pertamakali adalah availabilitas fisiologik, yang
kemudian diperluas pengertiannya dengan istilah bioavailabilitas. Dimulai di
negara Amerika Serikat, barulah pada tahun 1960 istilah bioavailabilitas masuk
ke dalam arena promosi obat. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya
produk obat yang sama yang diproduksi oleh berbagai industri obat, adanya
keluhan dari pasien dan dokter di man obat yang sama memberikan efek
terapeutik yang berbeda, kemudian dengan adanya ketentuan tidak
diperbolehkannya Apotek mengganti obat yang tertulis dalam resep dengan
obat merek lainnya.
Beberapa obat dibuat dan dipasarkan oleh lebih dari satu pabrik farmasi.
Dari studi biofarmasetik member fakta yang kuat bahwa metode fabrikasi dan
formulasi dengan nyata mempengaruhi bioavaibilitas obat tersebut. Karena
kebanyakan produk-produk obat mengandung jumlah bahan obat aktif yang
sama, maka dokter, farmasis dan orang lain yang menulis resep, menyalurkan
atau membeli obat harus memilih produk yang memberikan efek terapeutik
yang ekuivalen. Untuk memudahkan mengambil keputusan tersebut, suatu
pedoman telah dikembangkan oleh US Food and Drug Administration (FDA).
Bioekivalensi produk obat merupakan ekivalensi farmasetik atau
alternative adalah suatu sediaan yang laju dan jumlah absorpsinya tidak berbeda
secara bermakna apabila diberikan pada dosis dan kondisi percobaan yang
sama. Beberapa obat yang mempunyai jumlah absorpsi sama tetapi berbeda
dalam laju absorpsi dapat dianggap ekivalen farmasetik apabila perbedaan laju
absorpsi tidak menyebabkan perbedaan efek klinik yang bermakna. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang bioavaibilitas dan
bioekivalensi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi bioavailabilitas dan bioekuivalensi?
2. Apas saja tipe bioavailabilitas dan bioekuivalensi?
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas dan bioekuivalensi?
4. Bagaimana dengan metode dan kriteria uji bioavailabilitas dan
bioekuivalensi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi bioavailabilitas dan bioekuivalensi
2. Untuk mengetahui tipe bioavailabilitas dan bioekuivalensi
3. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas dan
bioekuivalensi
4. Untuk mengetahui metode dan kriteria uji bioavailabilitas dan
bioekuivalensi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi bioavailabilitas dan bioekuivalensi

1. Definisi Bioavailabilitas merupakan kecepatan dan jumlah obat


yang mencapai sistem sirkulasi sistemik dan secara keseluruhan
menunjukkan kinetik dan perbandingan zat aktif yang mencapai peredaran
darah terhadap jumlah obat yang dberikan. Ketersediaan hayati merupakan
bagian dari salah satu tujuan rancangan bentuk sediaan dan yang terpenting
untuk keefektifan obat tersebut.

Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan


absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh
tubuh, dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Uji bioavailabilitas dapat
digunakan untuk menentukan bahwa produk obatnya dengan formulasi
dan proses produksi yang spesifik akan memberikan efek klinik yang
sebanding dengan produk obat sejenis yang diproduksi industri obat lain
(produk originator atau produk inovator), yang pada uji kliniknya
memberikan hasil yang baik.
2. Definisi Bioekuivalensi merupakan istilah yang lebih relatif yang
membandingkan satu produk obat dengan yang lain atau dengan satu
produk standar yang sudah dikembangkan. Bioekivalensi mengindikasikan
bahwa suatu obat dalam dua atau lebih bentuk dosis yang sama mencapai
sirkulasi umum pada tingkat relatif yang sama dan keberadaan relatif yang
sama.Studi bioekivalensi produk obat pada umumnya dengan maksud
membandingkan bioavailabilitas antara suatu formulasi baru obat standar
dibandingkan terhadap formulasi asli/lama, atau suatu bentuk pemakaian
baru obat dibandingkan terhadap formulasi yang diperdagangkan. Tujuan
uji bioekivalensi baik di pedoman WHO maupun di Indonesia adalah sama
yaitu untuk menjamin bahwa obat copy yang beredar mempunyai standar
yang sama dengan produk inovatornya.

Bila dilakukan dengan baik, bioavailabilitas ini dapat digunakan


untuk menilai potensi suatu obat yaitu dengan mengetahui jumlah relatif
obat yang diabsorpsi dan kecepatan obat berada dalam sirkulasi sistemik,
dan dapat diperkirakan tercapai atau tidaknya efek terapi yang dikehendaki
menurut formulasinya. Berdasarkan penjelasan diatas, tujuan lain dari
bioavailability yaitu :

 Pengembangan senyawa baru


 Eksplorasi/ pengembangan ilmu
 Pengembangan produk / formulasi Jaminan mutu produk (quality
control)
Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat
dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke
dalam sirkulasi sistemik. Uji bioavailabilitas dapat digunakan untuk menentukan
bahwa produk obatnya dengan formulasi dan proses produksi yang spesifik akan
memberikan efek klinik yang sebanding dengan produk obat sejenis yang
diproduksi industri obat lain (produk originator atau produk inovator), yang pada
uji kliniknya memberikan hasil yang baik.
Studi bioekivalensi produk obat pada umumnya dengan maksud membandingkan
bioavailabilitas antara suatu formulasi baru obat standar dibandingkan terhadap
formulasi asli/lama, atau suatu bentuk pemakaian baru obat dibandingkan
terhadap formulasi yang diperdagangkan. Tujuan uji bioekivalensi baik di
pedoman WHO maupun di Indonesia adalah sama yaitu untuk menjamin bahwa
obat copy yang beredar mempunyai standar yang sama dengan produk
inovatornya.
Yang perlu diperhatikan dalam studi BA dan atau BE adalah perbedaan luas
di bawah kurva konsentrasi zat aktif/obat dalam plasma - waktu (AUC) yang
teramati, yang dinilai sebagai perbedaan efisiensi absorpsi obat karena
adanya perbedaan kualitas produk obat yang dipengaruhi formulasi.
B. Jenis Penelitian Bioavailabilitas Obat
Penelitian bioavailabilitas obat dapat merupakan :
1. Penelitian bioavailabilitas absolut, yaitu membandingkan bioavailabilitas
suatu bentuk sediaan obat per oral dengan pemberian secara intravena.

2.Penelitian bioavailabilitas relatif, yaitu membandingkan secara relatif


bioavailabilitas suatu bentuk sediaan obat peroral dengan bentuk sediaan obat
sejenis lainnya.

Sebagai produk standar dapat digunakan

C. Tipe bioavailabilitas dan bioekuivalensi

Bioavailabilitas terbagi menjadi 2, yaitu:

1. Bioavailabilitas absolut: bioavaibilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik


dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavaibiltas zat aktif tersebut dengan
pemberian intra vena. Bioavailabilitas absolut dapat diukur dengan membandingkan AUC produk
yang bersangkutan setelah pemberian oral dan IV. Pengukuran dapat dilakukan sepanjang Vd dan K
tidak tergantung pada rute pemberian. Availabililitas absolut dengan menggunakan data plasma dapat
ditentukan sebagai berikut :
[𝐴𝑈𝐶]𝑃𝑂/𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑃0
Availabilitas absolut =
[𝐴𝑈𝐶]𝐼𝑉/𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐼𝑉
2. Bioavailabilitas relatif: bioavaibilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik
dari suatu sediaan obat dibandingakan dengan bentuk sediaan lain selain intra vena.
Availabilitas relatif dari dua produk obat yang diberikan pada dosis dan rute pemberian yang
sama dapat diperoleh dengan persamaan berikut :
[𝐴𝑈𝐶]𝐴
Availabilitas relatif =
[𝐴𝑈𝐶]𝐵
Dimana produk obat B sebagai standar pembanding yang telah diketahui. Fraksi tersebut
dapat dikalikan 100 untuk memberi prosen availabilitas relatif. Jika dosis yang diberikan berbeda,
suatu koreksi untuk dosis dibuat seperti dalam persamaan berikut :
[𝐴𝑈𝐶]𝐴/𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐴
Availabilitas relatif =
[𝐴𝑈𝐶]𝐵/𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐵
Penilaian ketersediaan hayati / bioavaibilitas pada sukarelawan dapat
dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode dengan menggunakan data darah,
data urin dandata farmakologis atau klinis. Data darah atau data urin lazim
digunakan untuk menilai ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat
berkhasiatnyatelah diketahui cara dan validitasnya. Jika cara dengan validitas
analisis belum diketahui, dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek
farmakologi yangtimbul dapat diukur secara kuantitatif.

Meskipun metode ekskresi urin mempunyai keuntungan diantaranya


menghindari gangguan dan bahaya dari pengambilan secara intravena, namun
metode ini juga mempunyai kerugian diantaranya tidak semua obat diekskresikan
melalui urin sehingga ekskresi urin hanya mewakili sebagian kecil dari fraksi kecil
ketersediaan hayati obat.
Ada beberapa metode langsung dan tidak langsung untuk penilaian
ketersediaan hayati pada manusia. Pemilihan metode bergantung pada tujuan studi,
metode analisis untuk penetapan kadar obat dan sifat produk obat. Parameter-
parameter yang berguna dalam penentuan ketersediaan hayati suatu obat meliputi :
a) Data plasma
 Waktu untuk mencapai konsentrasi plasma maksimal (tmaks), satuannya
adalah satuan waktu misalnya, menit dan jam
 Konsentrasi plasma maksimal dalam darah (Cmaks), satuannya adalah satuan
konsentrasi, misalnya µg/ml dan mg/ml
 Luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu dari t = 0
sampai = - (AUC < 0--) menunjukkan suatu ukuran dari jumlah total obat
aktif yangmencapai sirkulasi sistemik
AUC tidak tergantung pada rute pemberian dan proses eliminasi obat
selama proses eliminasi obat tidak berubah. AUC dapat ditentukan dengan
suatu prosedur integrasi numerik, metode rumus trapesium atau secara
langsung dengan menggunakan planimeter. Satuan AUC adalah konsentrasi
waktu (misalnya, mg jam/ml).
b) Data urin
Agar didapat perkiraan yang sahih, obat harus diekskresi dalam
jumlahyang bermakna di dalam urin dan cuplikan urin harus dikumpulkan
secara lengkap.
 Jumlah kumulatif obat yang diekskresi dalam urin (Du). Data ini secara
langsung berhubungan dengan jumlah total obat terabsorpsi
 Laju ekskresi obat dalam urin (dDu/dt)
 Waktu untuk terjadi ekskresi obat maksimum dalam urin (t-)
c) Efek farmakologi akut
Merupakan pengukuran kuantitatif yang dilakukan dengan melihat
efek farmakologi akut yang ditimbulkan, misalnya efek pada diameter pupil,
kecepatan denyut jantung atau tekanan darah dapat digunakan sebagai indeks
dari ketersediaan hayati obat.
Penggunaan efek farmakologi obat untuk menentukan ketersediaan hayati
memerlukan adanya kaitan dosis-respon. Dengan demikian ketersediaan hayati
dapat ditentukan dengan memeriksa kurva dosis-respon maupun total area dari
kurva efek farmakologi akut-waktu.
d) Respon klinik
Perbedaan dari respon klinik mungkin disebabkan oleh perbedaan
farmakokinetika atau farmakodinamika obat antar individu produk-produk obat
yang bioekivalen harus mempunyai ketersediaan hayati yang sistemik yang
sama,sehingga respon obat yang sama dapat diperkirakan. Oleh sebab itu,
perubahan respon klinik antar individu yang tidak dikaitkan dengan ketersediaan
hayati mungkin disebabkan adanya perbedaan dalam farmakodinamika obat
diantaranya adalah umur, toleransi obat, interaksi obat dan faktor-faktor
patofisiologik yang tidak diketahui.
Berbagai penelitian membuktikan adanya resiko yang berkaitan
dengan pemahaman yang terlalu sederhana tenyang notasi kesetaraan obat.
Kesetaraan obat (BE) dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu :
1. Kesetaraan farmakoklinik yaitu kesetaraan dua obat dengan 2 molekul berbeda
tapi memiliki aktivitas intrinsik yang sama dan yang secara In vivo bekerja pada
substrat molekular yang sama.
2. Kesetaran kimia yaitu kesetaran 2 obat yang masing masing dengan caradan
dosis zat aktif yang sama.
3. Kesetaraan farmasetik yaitu kesetaraan antara dua bentuk yang samadengan zat
aktif dan dosis lazim yang sama.
4. Kesetaraan biologik atau bioekuivalen yaitu obat yang mempunyai kesetaraan
kimia atau kesetaraan farmasetik, yang bila diberikan dengan posologi yang
sama dengan mengacu pada kadar obat dalam darah,menunjukkan kriteria
ketersediaan hayati yang sama pada setiap individu.
5. Kesetaraan klinik atau terapetik yaitu obat dengan kesetaraanfarmakologik,
kimia atau farmasetik, yang bila diberikan dengan posologi yang sama akan
memberikan efektivitas terapetik yang sama dan terkendali serta mempunyai
toksisitas yang sama.
Kesetaraan jumlah obat dalam sediaan belum tentu menghasilkan
kadar obat yang sama dalam darah dan jaringan yaitu yang disebut ekuivalensi
biologik atau bioekuivalensi. Dua sediaan obat yang berekuivalensi kimia tetapi
tidak berekuivalensi biologik dikatakan memperlihatkan bioinekuivalensi. Ini
terutama terjadi pada obat obat yang bioekuivalensinya lambat karena sukar
larut dalam cairan saluran cerna, misalnya digoksin dan difenilhidantoin, dan
pada obat obat yang mengalami metabolisme selama absorpsinya misalnya
eritromisin dan levodopa. Perbedaan bioavaibilitas sampai dengan 10 %
umumnya tidak menimbulkan perbedaan yang berarti terutama dalam efek
kliniknya , artinya memperlihatkan ekuivalensi terapi. Bioinekuivalensi lebih
dari 10 % dapat menimbulkan inekuivalensi terapi, terutama untuk obat obat
yang memiliki indeks terapinya sempit, misalnya pada obat jantung digoksin,
difenilhidantoin dan juga teofilin.
D. Faktor yang Mempengaruhi bioavailabilitas
Secara umum bioavaibiltas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain;
1. Obat: sifat fisiko-kimia zat aktif, formulasi, dan teknik pembuatan
2. Subjek: karakteristik subjek (umur, bobot badan), kondisi patologis, posisis dan
aktivitas tubuh (pada subjek yang sama)
3. Rute pemberian
4. Antar aksi obat/makanan, misalnya grisovulvin sukar larut dalam air. Apabila
diberikan bersama makanan berlemak jadi mudah larut. Di dalam tubuh, digunakan
surfaktan alami sehingga baik diabsorpsi. Pemberian vitamin B12 dengan coca cola
menghasilkan absorpsi yang lebih baik.

Secara farmasetik, bioavaibilitas obat aktif dalam suatu bentuk sediaan padat
bergantung pada beberapa faktor, yang meliputi :
 Disintegrasi produk obat dan pelepasan partikel obat aktif
Secara umum telah dikenal sejak beberapa tahun yang lalu bahwa sebelumabsorpsi
terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi kedalam partikel
partikel kecil dan melepaskan obat.
 Pelarutan obat
Pelarutan merupakan proses dimana zat kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu
pelarut. Laju pelarutan obat obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk
sediaan padat yang utuh atau terdistegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan
laju absorpsi obat.
 Absorpsi atau permeasi obat melintasi membran sel

E. Metode dan Kriteria uji bioavailabilitas


Hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam uji BA/BE:
1. Adanya pemahaman terhadap farmakokinetik obat (absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi).
2. Pemilihan metode analisis yang tepat: hal ini diperlukan untuk mengetahui efek
samping, efek toksik, dan penanganan terhadap efek-efek tersebut.
3. Stabilitas obat dalam sampel
4. Penyusunan percobaan protokol yang tepat: sebelum dilakukan uji, sebaiknya
mendapat persetujuan dari BPOM dan dilakukan kajian etik terlebih dahulu.
Protokol harus lulus kajian ilmiah.
Sebelum melakukan uji bioavaibilitas, dilakukan uji disolusi terbanding, yaitu
dengan memakai beberapa titik waktu pengambilan sampel. Pada uji ini, yang
dibandingkan adalah profil disolusi dari sediaan uji dengan sediaan pembanding
(produk inovator) pada 3 pH, yaitu 1,2; 4,5; 6,8 pada waktu pengambilan sampel,
yaitu 10,20,30,40,50, dan 60 menit. Dari hasil uji kemudian dihitung faktor
similaritasnya (f2).
f2=50 log [100/√1+(Σ (Rt - Tt)2)/n]
Apabila nilai f2 50 atau lebih besar (50-100), hal ini menunjukkan bahwa
terdapat kesamaan atau ekivalensi ke-2 kurva yang berarti mempunyai kemiripan
profil disolusi kedua produk.
Jika produk copy atau produk pembanding memiliki uji disolusi yang cepat
(≥85%) larut dalam waktu ≤15 menit dalam ke-3 media dengan metode uji yang
dianjurkan, maka uji disolusi terbanding tidak perlu dilakukan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rancangan percobaan BA/BE:
1. Sediaan pembanding
2. Subjek percobaan dan kriteria
3. Jumlah subjek
4. Desain percobaan
5. Interval waktu pemberian
6. Modalitas pengambilan sampel: tunggal, berulang, jumlah dosis, dll.
7. Senyawa yang akan dianalisis dan metodenya.
8. Frekuensi dan waktu pengambilan sampel.
9. Jenis sampel yang akan dikumpulkan: darah/urin.
Kriteria obat pembanding antara lain Produk obat innovator, Primary market
di negara lain atau, Market leader di Indonesia, dan Produk pembanding yang
digunakan harus mendapatkan persetujuan dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan
Makanan).
Uji bioavailabilitas terbagi atas dua yaitu In vivo dan uji disolusi in vitro.
1) In Vivo
 Penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, karena:
 Lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan
menginterpretasi;
 Tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia;
 Ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran;
 Besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian subjek manusia bagi penelitian yang
“nonesensial”;
 Keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang
sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji.
Uji laju disolusi dan uji difraksi sinar X merupakan 2 contoh prosedur
laboratoris yang dapat merefleksikan perilaku obat in-vivo. Uji ini telah
dimasukkan dalam USP dan NF dan telah diterapkan pada sejumlah obat. Uji laju
disolusi mengukur laju disolusi sejumlah obat dalam medium tertentu dan pada
kondisi tertentu. Uji difraksi sinar X melengkapi beberapa indikasi dari laju dan
jumlah obat yang melarut, dengan demikian akan bermanfaat dalam
memperkirakan absorpsi obat. Sementara kedua uji ini bukan merupakan uji
bioavailabilitas yang sebenarnya, maka kedua uji ini hanya merupakan indikator
yang dapat digunakan untuk memperkirakan bioavailabilitas obat. Suatu industri
obat yang mempunyai data klinik atau informasi yang menunjukkan bahwa
produk obatnya secara klinik efektif, dan bila data ini dikorelasikan dengan uji in
vitro dengan tepat, dan bila formulasi serta prosedur produksi tidak berubah,
maka konsistensi dari batch ke batch dapat dijamin dengan melakukan uji laju
disolusi, uji difraksi sinar X atau uji in vitro lainnya yang relevan.

2) Uji Disolusi In Vitro


Akibatnya uji disolusi secara in vitro dipakai dan dikembangkan secara
luas, dan secara tidak langsung dipakai sebagai pengukur availabilitas obat,
terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai
metode pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavailabilitas.
Sasaran uji disolusi in vitro adalah pelepasan obat dari tablet kalau dapat
mendekati 100 % dan laju pelepasan seragam pada setiap batch dan harus sama
dengan laju pelepasan dari batch yang telah dibuktikan berbioavailabilitas dan
efektif secara klinis.
F. PENGUKURAN BIOAVAILABILITAS
Jumlah obat yang diabsorpsi biasanya ditentukan dengan mengukur luas
area di bawah kurva (AUC) dari kurva kadar obat dalam darah versus waktu,
atau dari jumlah obat kumulatif yang diekskresikan melalui urin. Jika suatu obat
diberikan per oral dan beberapa jam sesudahnya diambil satu seri dari sampel
darah dan dianalisis kadar obat dalarn darah, kemudian hasilnya di plot pada
kertas grafik, akan diperoleh kurva kadar darah-waktu seperti pada

gambar 1.
Gambar 1. Kurva kadar serum — waktu setelah pemberian dosis tunggal
suatu obat per oral

Obat diberikan per oral pada waktu nol; pada saat ini kadar obat dalam
darah adalah nol. Setelah obat melalui lambung dan/atau usus, akan
berdisintegrasi dan segera melarut dan absorpsi pun berlangsung. Peningkatan
kadar obat dalam darah akan terlihat pada sampel darah berikutnya sampai
tercapai kadar puncak. Titik ini disebut puncak kurva kadar serum — waktu.
Pada titik ini kecepatan absorpsi sebanding dengan kecepatan eliminasi. Di
sebelah kiri titik puncak kurva merupakan fase absorpsi, di mana kecepatan
absorpsi lebih besar daripada kecepatan-eliminasi. Di sebelah kanan titik puncak
kurva disebut fase eliminasi, di man kecepatan absorpsi lebih kecil daripada
kecepatan eliminasi. Hubungan antara bioavailabilitas dan efektivitas klinik obat
didasarkan pada asumsi bahwa intensitas dan durasi respon farmakologik obat
berkaitan erat dengan kadar dan durasi obat aktif dalam darah atau sirkulasi
sistemik. Profil kadar obat dalam darah memungkinkan perhitungan kecepatan
dan jumlah obat yang diabsorpsi dari suatu produk obat, dengan demikian data ini
sangat membantu dalam mengevaluasi besarnya pengaruh formulasi pada
perilaku obat dalam tubuh. Bila suatu industri obat telah memiliki data efektifitas
obat melalui uji klinik dari suatu formulasi obat, maka industry obat lainnya yang
ingin memasarkan obat yang sejenis haruslah melakukan suatu penetapan
bioavailabilitas yang dapat menunjukkan bahwa formulasinya memberikan kadar
puncak yang sama, kecepatan absorpsi yang sama, dan jumlah obat yang
diabsorpsi yang sama dengan formulasi dari industri obat yang pertama. Jika ke
tiga kriteria di atas dipenuhi, adalah beralasan untuk mengharapkan bahwa
formulasi yang dikembangkan industri obat ke dua akan memberikan efek
terapeutik yang sama dengan produk obat pertama. Aplikasi konsep
bioavailabilitas yang semacam ini disebut bioekivalensi.

Kriteria Bioekivalensi
Metode uji bioekivalensi antara lain uji bioavaibilitas komparatif, uji
farmakodinamik komparatif, dan uji disolusi in vitro komparatif. Kriteria
penetapan persyaratan bioekivalensi antara lain;
 Adanya fakta dari percobaan klinik yang terkendali dengan baik atau
pengamatan terkendali pada penderita yang menyatakan bahwa berbagai
produk obat tidak memberi efek terapeutik sebanding.
 Adanya fakta dari studi bioekivalensi yang terkendali dengan baik menyatakan
bahwa produk-produk tersebut bukan merupakan produk- produk yang
ekivalen.
 Adanya fakta bahwa produk obat yang memperlihatkan rasioterapeutik yang
sempit dan konsentrasi efektif minimum dalam darah,serta penggunaannya
secara aman dan efektif memerlukan dosis yangsesuai.
 Penetapan secara medik oleh yang berwenang menyatakan bahwa
suatukekurangan bioekivalensi akan menyebabkan suatu efek yang
tidak dikehendaki yang membahayakan pada pengobatan.
 Sifat fisikokimia yang meliputi bahan obat aktif memiliki kelarutan rendah
dalam air; laju pelarutan dari produk tersebut sangat rendah; bentuk struktur
tertentu dari bahan aktif terlarut sangat rendahsehingga mempengaruhi
absorpsi; produk obat mempunyai perbandingan bahan tambahan yang
besar terhadap bahan aktif; dan kebutuhan akan bahan inaktif dalam formulasi
 Sifat-sifat farmakokinetik antara lain : diserapnya bahan aktif dalam jumlah
besar pada bagian tertentu dari saluran cerna, derajat absorpsinya kecil baik
dalam bentuk murninya, terjadinya prosesmetabolisme yang terlalu cepat pada
bagian terapeutik pada dinding ususatau hati, bahan obat aktif tidak stabil pada
sisi target.
Sedangkan bioekivalensi berdasarkan data kadar obat dalam darah. Ada tiga
parameter penting dalam mengevaluasi bioekivalensi antara dua formulasi dari
obat yang sama, yaitu :
1) Kadar maksimal/kadar puncak, Cmaks (mcg/ml). Kadar maksimal dari
kurva kadar darah — waktu merupakan kadar dalam darah tertinggi yang
dicapai setelah pemberian obat per oral.
2) Waktu mencapai kadar maksimal, tmaks (jam) Pada Gambar 1, tmaks =
2,0 jam. Waktu mencapai kadar maksimal merupakan waktu yang diperlukan
untuk mencapai kadar maksimal setelah pemberian obat. Parameter tmaks
berkaitan erat dengan kecepatan absorpsi obat dan dapat digunakan sebagai
ukuran yang sederhana untuk mengukur kecepatan absorpsi.
3) Luas area di bawah kurva, AUC (mcg/ml x jam). Luas area di bawah
kurva merupakan parameter yang terpenting dan merupakan ukuran
banyaknya obat yang diabsorpsi setelah pemberian dosis tunggal suatu obat
per oral.
Bioekivalensi berdasarkan data ekskresi obat dalam urin. Bila yang
diukur adalah ekskresi obat dalam urin kumulatif, parameter-parameter yang
penting adalah :
 Jumlah kumulatif obat yang diekskresikan dalam urin
 Kecepatan ekskresi obat dalam urin
Jika kecepatan dan jumlah obat yang diekskresikan melalui urin
setelah pemberian 2 macam produk obat yang mengandung obat aktif yang
sama itu identik, dapat disimpulkan bahwa ke dua produk obat tersebut
adalah bioekivalen. Ini didasarkan pada konsep bahwa obat yang
diekskresikan ke dalam urin berasal dari darah. Jika kedua profil kadar obat
dalam darah dan pengukuran ekskresi obat dalam urin diperoleh dari satu
subyek yang sama, maka ke dua data tersebut merupakan komplemen satu
sama lain.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1) Bioavailabilitas adalah suatu istilah yang menyatakan jumlah atau
proporsiobat yang diabsorpsi dan kecepatan absorpsi obat tersebut.
Biasanya diukur dari perkembangan kadar obat (senyawa aktif) atau
metabolit aktifnya dalam darahatau dari ekskresinya dalam urin
terhadap waktu. Sedangkan bioekivalensi merupakan dua atau lebih
obat yang apabila diberikan dalamdosis, rute pemberian, dan bentuk
sediaan yang sama serta diteliti dengan kondisieksperimental yang sama
akan memberikan bioavailabilitas yang sama.
2) Tipe bioavaibilitas adalah bioavaibilitas absolute dan bioavaibilitas
relative. Sedangkan tipe bioekivalensi antara lain Kesetaraan
farmakoklinik, kesetaran kimia, kesetaraan farmasetik, kesetaraan
biologik atau bioekuivalen, dan kesetaraan klinik.
3) Factor-faktor yang mempengaruhi bioavaibilitas terbagi atas dua yaitu
secara umum dan secara farmasetik.
4) Uji bioavailabilitas terbagi atas dua yaitu In vivo dan uji disolusi in
vitro

B. Saran
Saran dan kritik dari semua pihak sangat diperlukan guna membantu
berkembangnya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

- Ardiarini, Ari. 2006. Perbandingan bioavailabilitas ( bioekivalensi ) obat cimetidine


Dalam sediaan generik dan paten secara in vitro. Artikel karya tulis ilmiah. Fakultas
kedokteran. Universitas diponegoro. Semarang.

- Aiache, J.M. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi. Edisi Kedua. Airlangga University


Press. Surabaya.

- Hagemaru. 2010. Uji Bioavailabilitas dan Bioekivalen Sanmol Tablet dengan


Pembanding Panadol Tablet. http://rafaeljosephhimawan.blogspot.com/2010/05/uji-
bioavailabilitas-dan-bioekivalen.html. Diakses pada tanggal 29 April 2012.

- Priyanto, Drs. 2010. Farmakologi Dasar Edisi II. Leskonfi. Jakarta.

- Rowland, M. and Tozer., T. M. 1980. Clinical Pharmacokinetics : Concept and


Application. Lea and Febiger. Philadelphia.

- Shargel, Leon. 2005. Biofarmasetika Dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga


University Press. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai